Tradisi Barzanji Pada Masyarakat Loloan Kabupaten Jembrana, Bali
Al-Barzanji merupakan kitab yang berisi doa-doa,
puji-pujian dengan satu irama atau nada yang biasa dilantunkan Ketika momen kelahiran,
khitanan, pernikahan dan peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Isi
daripada Al-Barzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang
disebutkan berturut-turut yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja,
pemuda, hingga beliau diangkat menjadi rasul.
Nama barzanji diambil dari nama pengarang buku tersebut, yaitu Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Kata Barzanji sendiri berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Meski pun lebih terkenal dengan nama penulisnya, karya tersebut sebenarnya berjudul Iqd al-Jawahir (kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Barzanji di masyarakat Loloan terbentuk
karena kedatangan orang-orang Bugis-Makasar (Suku Wajo) dan orang-orang
Pontianak sehingga mempengaruhi kebudayaan masyarakat di Loloan.
Baca tulisan yang lain: Siklus Slametan Bagi Orang Jawa
Asal Mula Nama Jembrana
Dalam menceritakan sejarah, sangat penting
untuk ditelusuri asal muasal nama dari sebuah daerah atau wilayah dari pelbagai
segi. Mengenai awal dari nama Jembrana, apabila dilihat dari segi Bahasa Jimbar
yang berarti lebar atau luas dan wana yang memiliki arti hutan. Jadi,
Jimbarwana memiliki arti hutan yang sangat luas. Kenyataannya, wilayah
Jembrana sampai hari ini memang memiliki wilayah hutan yang cukup luas. Jember
berarti tanah becek (tanah geduh), dan ana berarti ada. Jadi Jembrana
berasal dari adanya tanah becek (tanah geduh) yaitu daerah yang terdapat
genangan air atau rawa-rawa (Wartama, 1972:7-8).
Asal Usul Tradisi Barzanji di Loloan
Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi pembacaan
Barzanji di Loloan Jembrana awalnya dipengaruhi oleh orang-orang muslim pendatang
dari Bugis-Makasar sehingga membentuk menjadi produk kebudayaan. Namun hal
tersebut tidak dapat berlangsung dengan mudah jikalau para raja yang memegang
kekuasaan saat itu tidak mau menerima pasukan Islam yang lari dari kejaran VOC
saat itu. Setelah melalui perundingan, kehendak raja itu pun disanggupi oleh
Daeng Nahkoda pemimpin rombongan dan sebagai imbalannya sang raja memberikan
tempat bermukim dibagian selatan jauh dari pusat kerajaan. Hal ini untuk
menghindari kudeta yang mungkin terjadi sewaktu-waktu, juga dimanfaatkan oleh pihak
kerajaan menjadi garis pertahanan pertama saat tentara belanda menyerang Jembrana.
Baca juga: Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem
Pada tahun 1767 gelombang kedua kedatangan
empat ulama besar ke Loloan antara lain Sihabuddin dan Muhammad Yassin (asal
Bugis-Makasar), Dawam Sirajudin (asal Serawak) dan Syekh Bauzir (asal arab
Yaman). Berkat kedatangan ulama-ulama tersebut dan hubungan orang-orang Musllim
dengan Hindu di Loloan yang harmonis menjadikan tradisi pembacaan Barzanji sudah
terbentuk menjadi produk kebudayaan itu sendiri.
Pola Pemertahanan Pembacaan Tradisi Barzanji
Barzanji sebagai produk kebudayaan, wajar jika
mengalami pasang surut peminat. Hal di tengarai beberapa faktor diantaranya
derasnya informasi dari sosial media dan masyarakat urban yang cenderung bergaya
hidup efisien dan minimalis. Jika hari ini anda masih membaca Barzanji, saya memiliki
dua jawaban. Akar budaya yang kuat menjadikan anda masih mau membacanya atau kebetulan
anda hidup di lingkungan yang mayoritas masih membaca Barzanji. Sedangkan pola pemertahanan
pembacaan Barzanji yang masih ada di Loloan Jembrana dan mungkin juga terjadi
di daerah lain diantaranya: Masa kehamilan, Masa Kelahiran, Masa akil balig, Masa
perkawinan dan Masa kematian.
Baca juga: Psikologi Suryomentaraman
Nilai Tradisi Barzanji
Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling melengkapi serta bermanfaat dan sebagai suatu yang eksistensial. Sebagai bentuk seni, kelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, dan pada giliran yang lain, sastra juga memberi sumbangan bagi terbentuknya tata nilai itu sendiri. Hal ini terjadi karena setiap cipta seni yang lahir dari kesungguhan mengandung keterikatan yang kuat dengan kehidupan. Manusia sebagai pencipta seni adalah bagian dari kehidupan, sedangkan sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan lainnya.
Sebagai seorang sastrawan Islam, Syekh Ja’far
bin Hussen bin Abdul Karim Al-Barzanji tidak mungkin memisahkan dirinya
sebagai pengarang di satu pihak, dan sebagai pemeluk Islam pada pihak lain. Oleh
karenanya, sesuatu yang dialami oleh umat muslim, juga dialami oleh Syekh Ja’far
bin Husein bin Abdul Karim Al-Barzanji.
Baca Juga: Apa Itu Maiyah?
Al-Barzanji sendiri merupakan karya tulis berupa puisi
yang terbagi atas dua bagian yaitu Natsar dan Nazhom. Bagian natsar
mencakup 19 sub-bagian yang memuat 355 untaian syair. Keseluruhannya merunutkan
kisah Nabi Muhammad SAW, mulai saat-saat menjelang dilahirkan hingga masa
tatkala beliau diangkat menjadi nabi. Sementara bagian Nazhom terdiri
dari 16 sub-bagian berisi 205 untaian syair penghormatan, puji-pujian akan
keteladanan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW.
Jika ditelisik mendalam, tradisi pembacaan Barzanji
sebagai sastra lokal mengajarkan banyak akhlak Nabi Muhammad SAW yang patut
dicontoh. Cara tersebut juga dapat dijadikan opsional, tidak mutlak hanya
melalui kitab suci seperti Al-Qur’an atau Hadist. Melalui pola kesenian,
kebertahanan pembacaan Al-Barzanji dapat dilakukan agar masyarakat tidak
merasa digurui dan tidak bosan. Karena itu tidak mengherankan bahwa kesenian
disebut tradisi hidup, ia selalu berubah mengikuti perkembangan zaman (way
of life).
Tradisi Barzanji mampu bertahan di
Loloan atas dasar kultural masyarakatnya. Kebertahanan tradisi Barzanji
di masyarakat terbentuk karena telah memiliki potensi kuat dalam menghadapi
realitas, seperti: Barzanji memilik dimensi religiositas yang tinggi
karena secara langsung berhubungan dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW,
memiliki massa (umat Islam) sangat besar, mudah dihafalkan dan difahami, enak dan
indah dilantukan Ketika ditangkap telinga dan perasaan, dan masayarakat
menyadari jika membaca Barzanji digunakan sebagai media untuk mengisi kekosongan
rohani.
Baca Juga: Mengapa Kita Harus Berpikir Secara Logis?
Baca Juga: Masalah Umat Islam di Indonesia
Terimakasih
Malang, 13 Maret 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment