Saturday, March 13, 2021

Barzanji Sebagai Produk Budaya

 Tradisi Barzanji Pada Masyarakat Loloan Kabupaten Jembrana, Bali

Al-Barzanji merupakan kitab yang berisi doa-doa, puji-pujian dengan satu irama atau nada yang biasa dilantunkan Ketika momen kelahiran, khitanan, pernikahan dan peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Isi daripada Al-Barzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang disebutkan berturut-turut yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga beliau diangkat menjadi rasul.


Nama barzanji diambil dari nama pengarang buku tersebut, yaitu Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Kata Barzanji sendiri berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Meski pun lebih terkenal dengan nama penulisnya, karya tersebut sebenarnya berjudul Iqd al-Jawahir (kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Barzanji di masyarakat Loloan terbentuk karena kedatangan orang-orang Bugis-Makasar (Suku Wajo) dan orang-orang Pontianak sehingga mempengaruhi kebudayaan masyarakat di Loloan.

Baca tulisan yang lain: Siklus Slametan Bagi Orang Jawa

Asal Mula Nama Jembrana

Dalam menceritakan sejarah, sangat penting untuk ditelusuri asal muasal nama dari sebuah daerah atau wilayah dari pelbagai segi. Mengenai awal dari nama Jembrana, apabila dilihat dari segi Bahasa Jimbar yang berarti lebar atau luas dan wana yang memiliki arti hutan. Jadi, Jimbarwana memiliki arti hutan yang sangat luas. Kenyataannya, wilayah Jembrana sampai hari ini memang memiliki wilayah hutan yang cukup luas. Jember berarti tanah becek (tanah geduh), dan ana berarti ada. Jadi Jembrana berasal dari adanya tanah becek (tanah geduh) yaitu daerah yang terdapat genangan air atau rawa-rawa (Wartama, 1972:7-8).

Asal Usul Tradisi Barzanji di Loloan

Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi pembacaan Barzanji di Loloan Jembrana awalnya dipengaruhi oleh orang-orang muslim pendatang dari Bugis-Makasar sehingga membentuk menjadi produk kebudayaan. Namun hal tersebut tidak dapat berlangsung dengan mudah jikalau para raja yang memegang kekuasaan saat itu tidak mau menerima pasukan Islam yang lari dari kejaran VOC saat itu. Setelah melalui perundingan, kehendak raja itu pun disanggupi oleh Daeng Nahkoda pemimpin rombongan dan sebagai imbalannya sang raja memberikan tempat bermukim dibagian selatan jauh dari pusat kerajaan. Hal ini untuk menghindari kudeta yang mungkin terjadi sewaktu-waktu, juga dimanfaatkan oleh pihak kerajaan menjadi garis pertahanan pertama saat tentara belanda menyerang Jembrana.

Baca juga: Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem

Pada tahun 1767 gelombang kedua kedatangan empat ulama besar ke Loloan antara lain Sihabuddin dan Muhammad Yassin (asal Bugis-Makasar), Dawam Sirajudin (asal Serawak) dan Syekh Bauzir (asal arab Yaman). Berkat kedatangan ulama-ulama tersebut dan hubungan orang-orang Musllim dengan Hindu di Loloan yang harmonis menjadikan tradisi pembacaan Barzanji sudah terbentuk menjadi produk kebudayaan itu sendiri.

Pola Pemertahanan Pembacaan Tradisi Barzanji

Barzanji sebagai produk kebudayaan, wajar jika mengalami pasang surut peminat. Hal di tengarai beberapa faktor diantaranya derasnya informasi dari sosial media dan masyarakat urban yang cenderung bergaya hidup efisien dan minimalis. Jika hari ini anda masih membaca Barzanji, saya memiliki dua jawaban. Akar budaya yang kuat menjadikan anda masih mau membacanya atau kebetulan anda hidup di lingkungan yang mayoritas masih membaca Barzanji. Sedangkan pola pemertahanan pembacaan Barzanji yang masih ada di Loloan Jembrana dan mungkin juga terjadi di daerah lain diantaranya: Masa kehamilan, Masa Kelahiran, Masa akil balig, Masa perkawinan dan Masa kematian.

Baca juga: Psikologi Suryomentaraman

Nilai Tradisi Barzanji


Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling melengkapi serta bermanfaat dan sebagai suatu yang eksistensial. Sebagai bentuk seni, kelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, dan pada giliran yang lain, sastra juga memberi sumbangan bagi terbentuknya tata nilai itu sendiri. Hal ini terjadi karena setiap cipta seni yang lahir dari kesungguhan mengandung keterikatan yang kuat dengan kehidupan. Manusia sebagai pencipta seni adalah bagian dari kehidupan, sedangkan sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan lainnya.

Sebagai seorang sastrawan Islam, Syekh Ja’far bin Hussen bin Abdul Karim Al-Barzanji tidak mungkin memisahkan dirinya sebagai pengarang di satu pihak, dan sebagai pemeluk Islam pada pihak lain. Oleh karenanya, sesuatu yang dialami oleh umat muslim, juga dialami oleh Syekh Ja’far bin Husein bin Abdul Karim Al-Barzanji.

Baca Juga: Apa Itu Maiyah?

Al-Barzanji sendiri merupakan karya tulis berupa puisi yang terbagi atas dua bagian yaitu Natsar dan Nazhom. Bagian natsar mencakup 19 sub-bagian yang memuat 355 untaian syair. Keseluruhannya merunutkan kisah Nabi Muhammad SAW, mulai saat-saat menjelang dilahirkan hingga masa tatkala beliau diangkat menjadi nabi. Sementara bagian Nazhom terdiri dari 16 sub-bagian berisi 205 untaian syair penghormatan, puji-pujian akan keteladanan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW.

Jika ditelisik mendalam, tradisi pembacaan Barzanji sebagai sastra lokal mengajarkan banyak akhlak Nabi Muhammad SAW yang patut dicontoh. Cara tersebut juga dapat dijadikan opsional, tidak mutlak hanya melalui kitab suci seperti Al-Qur’an atau Hadist. Melalui pola kesenian, kebertahanan pembacaan Al-Barzanji dapat dilakukan agar masyarakat tidak merasa digurui dan tidak bosan. Karena itu tidak mengherankan bahwa kesenian disebut tradisi hidup, ia selalu berubah mengikuti perkembangan zaman (way of life).

Tradisi Barzanji mampu bertahan di Loloan atas dasar kultural masyarakatnya. Kebertahanan tradisi Barzanji di masyarakat terbentuk karena telah memiliki potensi kuat dalam menghadapi realitas, seperti: Barzanji memilik dimensi religiositas yang tinggi karena secara langsung berhubungan dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW, memiliki massa (umat Islam) sangat besar, mudah dihafalkan dan difahami, enak dan indah dilantukan Ketika ditangkap telinga dan perasaan, dan masayarakat menyadari jika membaca Barzanji digunakan sebagai media untuk mengisi kekosongan rohani.

Baca Juga: Mengapa Kita Harus Berpikir Secara Logis?

Baca Juga: Masalah Umat Islam di Indonesia

Terimakasih

Malang, 13 Maret 2021

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment