Seperti halnya buku sejarah, buku Karni Ilyas Lahir Untuk Berita dengan ciamik menceritakan bagaimana Sukarni Ilyas (Bang Karni) menempuh karier sebagai wartawan yang betul-betul. Periodisasi terpenting perjalanan karier dengan ciamik diceritakan oleh Mbak Fenty Effendy. Buku yang terbit delapan tahun lalu ini mungkin bakalan usang dan tidak up to date jikalau dilihat dari segi tahun. Namun akan sangat mencerahkan bagi yang ingin mengenal lebih dekat sosok Bang Karni, wajah dunia hukum era Order Baru dan bagaimana rezim tersebut mengukuhkan kekuasaannya. Terutama bagi kawan-kawan yang sekarang menjadi wartawan, tentu buku ini bisa menjadi acuan penting belajar semangat dan ketekunan yang Bang Karni lakukan selama menjadi wartawan. Pembaca yang sekarang menapak umur dua puluh delapan jangan kaget, jika kita akan dibuat bolak-balik dari buku ke Google untuk mencari tahu peristiwa dan banyaknya tokoh yang tidak kita kenal.
Sejak Kecil Hidup Susah
Lahir dari pasangan Ilyas Sutan Nagari dan Syamsinar. Meski kedua orang
tuanya berasal dari keluarga terpandang dan cukup mapan, bukan berarti
kehidupan Karni Ilyas masa kecil penuh dengan kegemilangan dan privilese
layaknya cucu orang kaya zaman sekarang. Keluarganya sempat berpindah-pindah
rumah, mulai karena faktor perang dan bencana. Kepindahan keluarganya yang
terakhir ke jalan Bandar Damar karena kebakaran menjadi kebersamaannya terakhir
dengan Ibundanya yang meninggal karena banyak kehilangan darah saat proses
persalinan anaknya yang ke tiga. Karni Ilyas semasa kecil terbilang pandai,
nilai matematika, sosial dan ilmu pengetahuan alamnya 9. Saat ujian sekolah
dasar pun, ia mendapatkan nilai terbaik nomor dua yang mengantarkannya masuk
SMP I Padang.
Persinggungan Karni Ilyas dengan koran dimulainya sejak ia SMP. Bang
Karni sejak masuk SMP memang sudah berikrar untuk tidak meminta uang ke
Ayahnya, mulai dari kebutuhan sekolah seperti uang saku, seragam dan buku. Untuk
memenuhi keinginannya membeli buku, jajan dll. Bang Karni setiap jam lima pagi
pergi ke percetakan mengambil dan menjajakan koran Aman Makmur, Haluan,
Penerangan, Res Publika, Warta Bakti dll. Selain menjajakan Koran, Bang
Karni juga pernah menjual 'BT' semacam lotre dan sempat ditangkap Polisi.
Bang Karni kemudian dilepaskan karena Polisi yang menangkapnya tahu ayah dari
Bang Karni. Berbicara perihal kepiawaiannya menulis, sejak bisa mengeja huruf,
Bang Karni akan melahap tulisan apa pun yang ada di depannya. Mulai dari koran
bekas; bungkus kacang dan bungkus gorengan. Kebiasaan membacanya tersebut ditunjang
keseharian Bang Karni saat SMP menjadi loper koran menjadikannya memahami di
luar kepala cara penulisan yang sistematis. Puisi pertamanya yang dimuat di
surat kabar Haluan berjudul 'Kramat Tunggak', bercerita tentang perantau
yang jauh-jauh pergi ke Jakarta, hidup susah dan berkubang siang malam di
lokalisasi pelacuran.
Suara Karya & Rahman Tolleng
Kiprah karir Bang Karni tidak dapat dipisahkan dari sosok bernama Abdul
Rahman Tolleng. Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Sosial (GemSos) ini adalah
sosok kunci diterimanya Bang Karni menjadi wartawan di Suara Karya. Pada
awalnya, Bang Karni tidak diterima saat menyerahkan memo dari kawan Ayahnya dan
teman sesama DPR Rahman Tolleng, Novyan Koman. Beruntungnya, Bang Karni dengan
gagah berani menginterupsi ke Rahman Tolleng jika Suara Karya memiliki
kekurangan berita, yakni berita Hukum. Sore itu, Bang Karni diizinkan menjadi
wartawan Suara Karya.
Tidak ada catatan kapan Bang Karni resmi bekerja di Suara Karya. Namun
nama Bang Karni sudah ada di halaman pertama Suara Karya tanggal 30 September
1972, dalam laporan berjudul “Jepang Sedia Teruskan Proyek Asahan”. Gaji
pertama yang Bang Karni terima di Suara Karya sebesar tujuh ribu rupiah. Ia
melampiaskan hasil keringatnya itu untuk membeli sebungkus rokok Djie Sam Soe.
Rokok termahal kala itu. Itu pula yang membuat Bang Karni menjadi perokok
sampai hari ini.
Ketekunannya berburu berita, belajar dari para senior dan tak pantang
menyerah menjadikan karir dan namanya melambung di kalangan wartawan, Hakim,
Jaksa dan media massa. Pemberian sepeda motor dinas Yamaha ber cc besar adalah
buktinya, naas, saat pertama kali menjajal sepeda motor tersebut. Bang Karni
harus berurusan dengan polisi dikarenakan sepeda motor yang ia kenakan nopol
sepeda motornya terbuat dari kardus. Saat itu juga, pertama kalinya Bang Karni
diperas oleh Polisi karena tidak ada pilihan lain daripada sepeda motornya yang
ditahan.
Bekerja di Suara Karya (SK) tak lepas dari kebaikan hati Rahman
Tolleng, meski hubungannya hanya sebatas memberi ijin untuk bekerja di SK.
Kekhawatiran muncul saat meletusnya peristiwa Malari dan dijebloskannya Rahman
Tolleng ke penjara. Ali Moertopo, jenderal berbintang dua itu mengumumkan rencananya
untuk membersihkan orang-orang Rahman Tolleng dari SK, posisi karir Bang Karni
selamat karena tidak ketahuan sampai dapat melanjutkan kuliah di FH UI.
Doa semasa kecil Bang Karni perlahan terjawab. Mulai dari menaiki
pesawat terbang, menginap di hotel mewah, ke luar negeri, ke tanah suci makkah
dan bertemu pemimpin dunia. Semua itu berkat penugasan dari SK untuk liputan. Di
antara kesibukan meliput baik di dalam dan luar negeri, Bang Karni sempat
pulang ke kampung halaman. Di Padang, seorang anak dara, Yulinas memikat
hatinya. Tak berselang lama, mereka berdua menikah tanggal 25 September 1977,
persis pada tanggal yang sama ketika Bang Karni dilahirkan.
Meniti Karier di Tempo
Pindahnya Bang Karni dari SK ke Tempo tidak semudah yang dibayangkan. Selain
karena berita eksklusif tentang Syarifa Syifa yang membuat nama Bang Karni
tenar, di majalah Tempo, memang banyak wartawan yang tertarik dengan
potensinya, salah satunya adalah Harun Musawa.
Bang Karni resmi menjadi wartawan Tempo pada bulan November 1978, tepat
setahun boyongannya kantor Tempo yang lama di jalan Senen Raya Nomor 83 ke
Lantai III Blok B II Pusat Perdagangan Senen. Pemimpin redaksi saat itu adalah
Goenawan Mohamad (GM), bergabungnya Bang Karni ke Tempo yang baru menginjak
tujuh tahun itu, redaksi memang sedang berbenah. Ibarat kata, hampir setiap
hari ada rapat membahas perencanaan isi majalah. Karena ternyata, semula
pemimpin redaksi tak tahu Tempo minggu depan mau di isi apa. Hal ini diakui GM:
“Majalah Tempo dimulai dengan sedikit nekat dan ketololan... peran satu
orang bisa begitu besar hingga mengabaikan orang-orang lain, dan sejumlah
wartawan bekerja jungkir-balik sementara sejumlah wartawan lain bisa menghabiskan
waktu main biliar”.
Hal lain yang mungkin banyak tidak diketahui orang banyak. Selain harus
melepas sepeda motor dinas selama bekerja di SK, gaji Bang Karni di SK dulu
mencapai 100 ribuan, sedangkan di Tempo menerima sekitar 80 ribu.
Buku ini juga menampilkan hasil liputan Bang Karni di beberapa media
selama ia bekerja. Pembaca seperti saya menjadi tahu bagaimana logika berpikir dan
sistem kerja para wartawan dalam menuliskan kembali ingatan-ingatannya selama
berada di lapangan menjadi sebuah tulisan. Selain hal itu, pembaca juga di ajak
merenung dan mengingat kembali sejarah bangsa kita lewat berita-berita hukum
dengan pelbagai kasus yang Bang Karni tulis.
Pengalaman bekerja di SK dan Tempo menjadikan Bang Karni banyak dan
dekat dengan para jaksa, hakim dan Menteri. Menjelang lima tahunnya bekerja di
Tempo, Bang Karni mendapatkan promosi menjadi penanggung jawab rubrik Hukum dan
Kriminalitas per Januari 1983. Meski tanggung jawab barunya menjadikan Bang
Karni harus banyak di dalam kantor, sesekali ia datang ke pengadilan-pengadilan
untuk mencari informasi secara langsung.
Layaknya buku sejarah, periode penceritaan dimulai dari awal menuju
purna. Begitu pun dengan buku ini. Meniti karier wartawan di zaman order baru menjadikan
Bang Karni tahu persis situasi politik kala itu. Terlebih bagaimana Soeharto
menggunakan kekuasaannya untuk lama menjabat. Tak ayal jikalau banyak tahanan
politik (Tapol) yang dijebloskan atau diasingkan Order Baru saat itu.
Kisah yang menarik saat Bang Karni membantu Alm. Adnan Buyung Nasution
mengumpulkan dan menyerahkan bahan-bahan untuk menyelesaikan Disertasi beliau. Ia
jauh-jauh datang ke Belanda membawa segepok koper besar berisi banyak dokumen
penting. Pengacara senior dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) itu sempat
dikucilkan oleh rezim Orde Baru. Siapa pun termasuk perangkat negara dipersulit
untuk menemui beliau. Beruntung Almarhum mengenal Bang Karni, dengan status
wartawannya ia bebas keluar masuk untuk menemui siapa pun.
Prestasi besar yang Bang Karni dapatkan selama menjadi wartawan tentu keberhasilannya
menemui Kartika Thahir. Kasus belasan tahun yang menjerat suaminya itu terus
bergulir tanpa pemberitaan berimbang dikarenakan informan yang terbatas. Bang
Karni, juga pernah bersama Dahlan Iskan menggenjot pemberitaan koran tersebut.
Ia merangkap koordinator liputan dan editor naskah para reporter. Dan, posisi
Redaktur Pelaksana (RePel) di Tempo berakhir karena ditugaskan memimpin Majalah
Forum Keadilan. Bang Karni menerima penugasan itu diiringi gunjingan sejawat yang
meragukan masa depan majalah tersebut. Hal ini ditengarai FORUM Keadilan adalah
majalah yayasan instansi Kejaksaan Agung waktu itu. Jika ditilik dari segi isi
saja sudah jauh dari tempo, apalagi bila ukurannya adalah sumber daya manusia.
Benar-benar perkara-begitulah komentar dari Bang Karni.
Memimpin FORUM Keadilan
Majalah baru dengan oplah yang tak begitu besar, sumber daya manusia yang
tertinggal dan konten yang jauh berbeda dengan tempo membuat Bang Karni memeras
otak betul-betul menakhodai majalah yang sekarang ia pimpin. Grafiti Pres
selaku pemegang sahan menggelontorkan uang 800 Juta untuk FORUM Keadilan dengan
harapan penjualannya meningkat. Dari sisi keredaksian, Bang Karni menggunakan
bahasa hukum yang lebih nge pop, tujuannya tidak kaku agar banyak masuk di
segmen pembaca. Dari segi sumber daya manusia, wartawan yang mendaftar memang
ada yang secara sengaja ingin masuk ke majalah FORUM, tapi beberapa ada yang
ingin masuk tempo.
Kantor FORUM Keadilan adalah sebuah ruko tiga lantai di Velbak,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lantai pertama digunakan bagian non redaksi
(Keuangan, sumber daya manusia, dan umum), lantai dua dipenuhi awak redaksi
-termasuk editor naskah, fotografer dan artistik- tidak lebih dari 20 orang, 13
di antaranya adalah reporter dan rata-rata adalah reporter baru yang baru lulus,
dan lantai tiga adalah ruang rapat dan perpustakaan.
Di tahun pertama Bang Karni memimpin FORUM Keadilan, ia sukses
mendongkrak oplah majalah hukum tersebut. Pengalaman yang tidak mungkin Bang
Karni lupakan saat menutup tahun pertama FORUM Keadilan dengan laporan utama
berjudul “Kartika Kalah Atau Mengalah” yang mengabarkan Pertamina berhak atas
17 rekening ACU (Asian Current Unit) senilai Rp. 100 Miliar di Bank Sumitomo
Singapura.
Selain itu, di tahun yang sama Bang Karni harus gegeran dengan
raja properti Indonesia, Ciputra. Lewat PT. Mandara, Pak Cip dan rekan-rekannya
itu ingin membangun perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Angke dengan dana
investasi sebesar 9 Triliun dengan menempati lahan seluas 831,63 hektar. FORUM
menyoroti hal itu karena kawasan Angke adalah kawasan hutan mangrove yang
masuk hutan lindung dan cagar alam. Posisi Bandara Soekarno Hatta juga
dikhawatirkan akan mengalami banjir jika hutan Mangrove di babat habis
untuk pembangunan PIK. Namun, pengusaha dan pemegang sahan utama majalah tempo
itu meradang. Dicari-carinya Bang Karni, mulai dari menelpon ke rumah,
kantor dan telepon tangan tapi tak pernah Bang Karni respon. Bahkan, FORUM
masih memberitakan rencana pembangunan perumahan di PIK dalam beberapa edisi.
Ujung-ujungnya, bagian keuangan tempo diperintahkan untuk men-stop gaji Bang
Karni.
Tua-Tua Keladi
Berbicara jauh agak ke depan. Sebagai pelaku sejarah berkobarnya
reformasi dengan segala polemik dan kejanggalannya membuat buku ini sangat
patut untuk dibaca. Meski tidak membahas secara detail kejadian Mei 1998, sudut
pandang penulis dan penuturan Bang Karni pada buku ini dapat menjadi cerminan
membayangkan betapa mengerikannya suasana pada saat itu. Memang sih tidak dapat
disimpulkan siapa dalang dibalik peristiwa tersebut. Namun Bang Karni menuturkan
kekecewaannya di hadapan para Jenderal saat diminta Gus Dur memberikan kuliah Jurnalisme
di hadapan para Perwira. Bang Karni mengatakan jika TNI tidak bersikap tegas,
malah cenderung membiarkan kerusuhan tersebut terjadi. Pembiaran tersebut juga
terjadi saat pecahnya kerusuhan di Ambon, Maluku pada Idul Fitri kedua 19
Januari 1999. Bang Karni berujar jika akibat kelambanan TNI bertindak
mengakibatkan banyaknya korban jiwa berjatuhan.
Sebagai pembaca, saya juga baru tahu jika Indonesia Lawyer Club (ILC)
yang sekarang tayang di TV One dulunya bernama Jakarta Lawyer Club (JLC),
digawangi sembilan orang sarjana hukum menandatangani piagam pendirian JLC.
Mereka itu adalah Amir Syamsuddin, Denny Kailimalang, Erman Rajaguguk, Karni
Ilyas, Luhut MP Pangaribun, OC Kaligis, Rudhy A. Lomtoh, Todung Mulya Lubis,
dan Wina Armada. Baru pada 30 Juli 1992, JLC diluncurkan di Executive Club
Hotel Hilton Jakarta. Dalam peluncuran itu disepakati Todung Mulya Lubis
sebagai President JLC untuk periode pertama, didampingi Bang Karni Ilyas
sebagai Vice President. Sementara itu, Denny Kailimalang dan Erman Rajaguguk
menjadi Sekretaris Komite. Sedangkan sisanya menjadi anggota komite.
Kini, Karni Ilyas telah setangguh Mochtar Lubis (wartawan pendiri media
Indonesia Raya yang pernah dibrendel oleh rezim orde lama dan orde baru. Lahir
di Padang 7 Maret 1922). Barangkali juga sehebat George Will di Amerika. (Ia
dijuluki The Most Powerful Journalist in America versi Wall Street).
Buku berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita”
patut dikonsumsi bukan saja bagi para jurnalis, tetapi juga bagi masyarakat
umum. Buku yang ditulis Fenty Effendy ini menguak tentang keluh dan pilu Karni
sebagai anak manusia dalam menggapai cita-cita. Di dalam buku 396 halaman Ini,
digambarkan juga bagaimana sepenggal sejarah demokrasi pers dan beberapa scene perjuangan
reformasi 1998.
Fenty Effendy telah berhasil meracik pengalaman Karni dengan kalimat
yang menyederhana, sehingga tidak ada warna eksklusif untuk menikmati buku ini.
Tak bisa disangkal lagi kepiawaian Fenty dalam menggambarkan perjalanan
tokoh-tokoh popular dan menuangkannya sebagai buku biografi yang patut dibaca semua
orang.
Terimakasih
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 6 Maret 2021
No comments:
Post a Comment