Saturday, March 6, 2021

Bang Karni Ilyas, Lahir Untuk Berita

 


Seperti halnya buku sejarah, buku Karni Ilyas Lahir Untuk Berita dengan ciamik menceritakan bagaimana Sukarni Ilyas (Bang Karni) menempuh karier sebagai wartawan yang betul-betul. Periodisasi terpenting perjalanan karier dengan ciamik diceritakan oleh Mbak Fenty Effendy. Buku yang terbit delapan tahun lalu ini mungkin bakalan usang dan tidak up to date jikalau dilihat dari segi tahun. Namun akan sangat mencerahkan bagi yang ingin mengenal lebih dekat sosok Bang Karni, wajah dunia hukum era Order Baru dan bagaimana rezim tersebut mengukuhkan kekuasaannya. Terutama bagi kawan-kawan yang sekarang menjadi wartawan, tentu buku ini bisa menjadi acuan penting belajar semangat dan ketekunan yang Bang Karni lakukan selama menjadi wartawan. Pembaca yang sekarang menapak umur dua puluh delapan jangan kaget, jika kita akan dibuat bolak-balik dari buku ke Google untuk mencari tahu peristiwa dan banyaknya tokoh yang tidak kita kenal.  

 

Sejak Kecil Hidup Susah

Lahir dari pasangan Ilyas Sutan Nagari dan Syamsinar. Meski kedua orang tuanya berasal dari keluarga terpandang dan cukup mapan, bukan berarti kehidupan Karni Ilyas masa kecil penuh dengan kegemilangan dan privilese layaknya cucu orang kaya zaman sekarang. Keluarganya sempat berpindah-pindah rumah, mulai karena faktor perang dan bencana. Kepindahan keluarganya yang terakhir ke jalan Bandar Damar karena kebakaran menjadi kebersamaannya terakhir dengan Ibundanya yang meninggal karena banyak kehilangan darah saat proses persalinan anaknya yang ke tiga. Karni Ilyas semasa kecil terbilang pandai, nilai matematika, sosial dan ilmu pengetahuan alamnya 9. Saat ujian sekolah dasar pun, ia mendapatkan nilai terbaik nomor dua yang mengantarkannya masuk SMP I Padang.

Persinggungan Karni Ilyas dengan koran dimulainya sejak ia SMP. Bang Karni sejak masuk SMP memang sudah berikrar untuk tidak meminta uang ke Ayahnya, mulai dari kebutuhan sekolah seperti uang saku, seragam dan buku. Untuk memenuhi keinginannya membeli buku, jajan dll. Bang Karni setiap jam lima pagi pergi ke percetakan mengambil dan menjajakan koran Aman Makmur, Haluan, Penerangan, Res Publika, Warta Bakti dll. Selain menjajakan Koran, Bang Karni juga pernah menjual 'BT' semacam lotre dan sempat ditangkap Polisi. Bang Karni kemudian dilepaskan karena Polisi yang menangkapnya tahu ayah dari Bang Karni. Berbicara perihal kepiawaiannya menulis, sejak bisa mengeja huruf, Bang Karni akan melahap tulisan apa pun yang ada di depannya. Mulai dari koran bekas; bungkus kacang dan bungkus gorengan. Kebiasaan membacanya tersebut ditunjang keseharian Bang Karni saat SMP menjadi loper koran menjadikannya memahami di luar kepala cara penulisan yang sistematis. Puisi pertamanya yang dimuat di surat kabar Haluan berjudul 'Kramat Tunggak', bercerita tentang perantau yang jauh-jauh pergi ke Jakarta, hidup susah dan berkubang siang malam di lokalisasi pelacuran.

Suara Karya & Rahman Tolleng

Kiprah karir Bang Karni tidak dapat dipisahkan dari sosok bernama Abdul Rahman Tolleng. Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Sosial (GemSos) ini adalah sosok kunci diterimanya Bang Karni menjadi wartawan di Suara Karya. Pada awalnya, Bang Karni tidak diterima saat menyerahkan memo dari kawan Ayahnya dan teman sesama DPR Rahman Tolleng, Novyan Koman. Beruntungnya, Bang Karni dengan gagah berani menginterupsi ke Rahman Tolleng jika Suara Karya memiliki kekurangan berita, yakni berita Hukum. Sore itu, Bang Karni diizinkan menjadi wartawan Suara Karya.

Tidak ada catatan kapan Bang Karni resmi bekerja di Suara Karya. Namun nama Bang Karni sudah ada di halaman pertama Suara Karya tanggal 30 September 1972, dalam laporan berjudul “Jepang Sedia Teruskan Proyek Asahan”. Gaji pertama yang Bang Karni terima di Suara Karya sebesar tujuh ribu rupiah. Ia melampiaskan hasil keringatnya itu untuk membeli sebungkus rokok Djie Sam Soe. Rokok termahal kala itu. Itu pula yang membuat Bang Karni menjadi perokok sampai hari ini.

Ketekunannya berburu berita, belajar dari para senior dan tak pantang menyerah menjadikan karir dan namanya melambung di kalangan wartawan, Hakim, Jaksa dan media massa. Pemberian sepeda motor dinas Yamaha ber cc besar adalah buktinya, naas, saat pertama kali menjajal sepeda motor tersebut. Bang Karni harus berurusan dengan polisi dikarenakan sepeda motor yang ia kenakan nopol sepeda motornya terbuat dari kardus. Saat itu juga, pertama kalinya Bang Karni diperas oleh Polisi karena tidak ada pilihan lain daripada sepeda motornya yang ditahan.

Bekerja di Suara Karya (SK) tak lepas dari kebaikan hati Rahman Tolleng, meski hubungannya hanya sebatas memberi ijin untuk bekerja di SK. Kekhawatiran muncul saat meletusnya peristiwa Malari dan dijebloskannya Rahman Tolleng ke penjara. Ali Moertopo, jenderal berbintang dua itu mengumumkan rencananya untuk membersihkan orang-orang Rahman Tolleng dari SK, posisi karir Bang Karni selamat karena tidak ketahuan sampai dapat melanjutkan kuliah di FH UI.

Doa semasa kecil Bang Karni perlahan terjawab. Mulai dari menaiki pesawat terbang, menginap di hotel mewah, ke luar negeri, ke tanah suci makkah dan bertemu pemimpin dunia. Semua itu berkat penugasan dari SK untuk liputan. Di antara kesibukan meliput baik di dalam dan luar negeri, Bang Karni sempat pulang ke kampung halaman. Di Padang, seorang anak dara, Yulinas memikat hatinya. Tak berselang lama, mereka berdua menikah tanggal 25 September 1977, persis pada tanggal yang sama ketika Bang Karni dilahirkan.

Meniti Karier di Tempo

Pindahnya Bang Karni dari SK ke Tempo tidak semudah yang dibayangkan. Selain karena berita eksklusif tentang Syarifa Syifa yang membuat nama Bang Karni tenar, di majalah Tempo, memang banyak wartawan yang tertarik dengan potensinya, salah satunya adalah Harun Musawa.

Bang Karni resmi menjadi wartawan Tempo pada bulan November 1978, tepat setahun boyongannya kantor Tempo yang lama di jalan Senen Raya Nomor 83 ke Lantai III Blok B II Pusat Perdagangan Senen. Pemimpin redaksi saat itu adalah Goenawan Mohamad (GM), bergabungnya Bang Karni ke Tempo yang baru menginjak tujuh tahun itu, redaksi memang sedang berbenah. Ibarat kata, hampir setiap hari ada rapat membahas perencanaan isi majalah. Karena ternyata, semula pemimpin redaksi tak tahu Tempo minggu depan mau di isi apa. Hal ini diakui GM: “Majalah Tempo dimulai dengan sedikit nekat dan ketololan... peran satu orang bisa begitu besar hingga mengabaikan orang-orang lain, dan sejumlah wartawan bekerja jungkir-balik sementara sejumlah wartawan lain bisa menghabiskan waktu main biliar”.

Hal lain yang mungkin banyak tidak diketahui orang banyak. Selain harus melepas sepeda motor dinas selama bekerja di SK, gaji Bang Karni di SK dulu mencapai 100 ribuan, sedangkan di Tempo menerima sekitar 80 ribu.

Buku ini juga menampilkan hasil liputan Bang Karni di beberapa media selama ia bekerja. Pembaca seperti saya menjadi tahu bagaimana logika berpikir dan sistem kerja para wartawan dalam menuliskan kembali ingatan-ingatannya selama berada di lapangan menjadi sebuah tulisan. Selain hal itu, pembaca juga di ajak merenung dan mengingat kembali sejarah bangsa kita lewat berita-berita hukum dengan pelbagai kasus yang Bang Karni tulis.

Pengalaman bekerja di SK dan Tempo menjadikan Bang Karni banyak dan dekat dengan para jaksa, hakim dan Menteri. Menjelang lima tahunnya bekerja di Tempo, Bang Karni mendapatkan promosi menjadi penanggung jawab rubrik Hukum dan Kriminalitas per Januari 1983. Meski tanggung jawab barunya menjadikan Bang Karni harus banyak di dalam kantor, sesekali ia datang ke pengadilan-pengadilan untuk mencari informasi secara langsung.

Layaknya buku sejarah, periode penceritaan dimulai dari awal menuju purna. Begitu pun dengan buku ini. Meniti karier wartawan di zaman order baru menjadikan Bang Karni tahu persis situasi politik kala itu. Terlebih bagaimana Soeharto menggunakan kekuasaannya untuk lama menjabat. Tak ayal jikalau banyak tahanan politik (Tapol) yang dijebloskan atau diasingkan Order Baru saat itu.

Kisah yang menarik saat Bang Karni membantu Alm. Adnan Buyung Nasution mengumpulkan dan menyerahkan bahan-bahan untuk menyelesaikan Disertasi beliau. Ia jauh-jauh datang ke Belanda membawa segepok koper besar berisi banyak dokumen penting. Pengacara senior dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) itu sempat dikucilkan oleh rezim Orde Baru. Siapa pun termasuk perangkat negara dipersulit untuk menemui beliau. Beruntung Almarhum mengenal Bang Karni, dengan status wartawannya ia bebas keluar masuk untuk menemui siapa pun.

Prestasi besar yang Bang Karni dapatkan selama menjadi wartawan tentu keberhasilannya menemui Kartika Thahir. Kasus belasan tahun yang menjerat suaminya itu terus bergulir tanpa pemberitaan berimbang dikarenakan informan yang terbatas. Bang Karni, juga pernah bersama Dahlan Iskan menggenjot pemberitaan koran tersebut. Ia merangkap koordinator liputan dan editor naskah para reporter. Dan, posisi Redaktur Pelaksana (RePel) di Tempo berakhir karena ditugaskan memimpin Majalah Forum Keadilan. Bang Karni menerima penugasan itu diiringi gunjingan sejawat yang meragukan masa depan majalah tersebut. Hal ini ditengarai FORUM Keadilan adalah majalah yayasan instansi Kejaksaan Agung waktu itu. Jika ditilik dari segi isi saja sudah jauh dari tempo, apalagi bila ukurannya adalah sumber daya manusia. Benar-benar perkara-begitulah komentar dari Bang Karni.

Memimpin FORUM Keadilan

Majalah baru dengan oplah yang tak begitu besar, sumber daya manusia yang tertinggal dan konten yang jauh berbeda dengan tempo membuat Bang Karni memeras otak betul-betul menakhodai majalah yang sekarang ia pimpin. Grafiti Pres selaku pemegang sahan menggelontorkan uang 800 Juta untuk FORUM Keadilan dengan harapan penjualannya meningkat. Dari sisi keredaksian, Bang Karni menggunakan bahasa hukum yang lebih nge pop, tujuannya tidak kaku agar banyak masuk di segmen pembaca. Dari segi sumber daya manusia, wartawan yang mendaftar memang ada yang secara sengaja ingin masuk ke majalah FORUM, tapi beberapa ada yang ingin masuk tempo.

Kantor FORUM Keadilan adalah sebuah ruko tiga lantai di Velbak, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lantai pertama digunakan bagian non redaksi (Keuangan, sumber daya manusia, dan umum), lantai dua dipenuhi awak redaksi -termasuk editor naskah, fotografer dan artistik- tidak lebih dari 20 orang, 13 di antaranya adalah reporter dan rata-rata adalah reporter baru yang baru lulus, dan lantai tiga adalah ruang rapat dan perpustakaan.

Di tahun pertama Bang Karni memimpin FORUM Keadilan, ia sukses mendongkrak oplah majalah hukum tersebut. Pengalaman yang tidak mungkin Bang Karni lupakan saat menutup tahun pertama FORUM Keadilan dengan laporan utama berjudul “Kartika Kalah Atau Mengalah” yang mengabarkan Pertamina berhak atas 17 rekening ACU (Asian Current Unit) senilai Rp. 100 Miliar di Bank Sumitomo Singapura.

Selain itu, di tahun yang sama Bang Karni harus gegeran dengan raja properti Indonesia, Ciputra. Lewat PT. Mandara, Pak Cip dan rekan-rekannya itu ingin membangun perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Angke dengan dana investasi sebesar 9 Triliun dengan menempati lahan seluas 831,63 hektar. FORUM menyoroti hal itu karena kawasan Angke adalah kawasan hutan mangrove yang masuk hutan lindung dan cagar alam. Posisi Bandara Soekarno Hatta juga dikhawatirkan akan mengalami banjir jika hutan Mangrove di babat habis untuk pembangunan PIK. Namun, pengusaha dan pemegang sahan utama majalah tempo itu meradang. Dicari-carinya Bang Karni, mulai dari menelpon ke rumah, kantor dan telepon tangan tapi tak pernah Bang Karni respon. Bahkan, FORUM masih memberitakan rencana pembangunan perumahan di PIK dalam beberapa edisi. Ujung-ujungnya, bagian keuangan tempo diperintahkan untuk men-stop gaji Bang Karni.

Tua-Tua Keladi

Berbicara jauh agak ke depan. Sebagai pelaku sejarah berkobarnya reformasi dengan segala polemik dan kejanggalannya membuat buku ini sangat patut untuk dibaca. Meski tidak membahas secara detail kejadian Mei 1998, sudut pandang penulis dan penuturan Bang Karni pada buku ini dapat menjadi cerminan membayangkan betapa mengerikannya suasana pada saat itu. Memang sih tidak dapat disimpulkan siapa dalang dibalik peristiwa tersebut. Namun Bang Karni menuturkan kekecewaannya di hadapan para Jenderal saat diminta Gus Dur memberikan kuliah Jurnalisme di hadapan para Perwira. Bang Karni mengatakan jika TNI tidak bersikap tegas, malah cenderung membiarkan kerusuhan tersebut terjadi. Pembiaran tersebut juga terjadi saat pecahnya kerusuhan di Ambon, Maluku pada Idul Fitri kedua 19 Januari 1999. Bang Karni berujar jika akibat kelambanan TNI bertindak mengakibatkan banyaknya korban jiwa berjatuhan.

Sebagai pembaca, saya juga baru tahu jika Indonesia Lawyer Club (ILC) yang sekarang tayang di TV One dulunya bernama Jakarta Lawyer Club (JLC), digawangi sembilan orang sarjana hukum menandatangani piagam pendirian JLC. Mereka itu adalah Amir Syamsuddin, Denny Kailimalang, Erman Rajaguguk, Karni Ilyas, Luhut MP Pangaribun, OC Kaligis, Rudhy A. Lomtoh, Todung Mulya Lubis, dan Wina Armada. Baru pada 30 Juli 1992, JLC diluncurkan di Executive Club Hotel Hilton Jakarta. Dalam peluncuran itu disepakati Todung Mulya Lubis sebagai President JLC untuk periode pertama, didampingi Bang Karni Ilyas sebagai Vice President. Sementara itu, Denny Kailimalang dan Erman Rajaguguk menjadi Sekretaris Komite. Sedangkan sisanya menjadi anggota komite.

Kini, Karni Ilyas telah setangguh Mochtar Lubis (wartawan pendiri media Indonesia Raya yang pernah dibrendel oleh rezim orde lama dan orde baru. Lahir di Padang 7 Maret 1922). Barangkali juga sehebat George Will di Amerika. (Ia dijuluki The Most Powerful Journalist in America versi Wall Street).

Buku berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” patut dikonsumsi bukan saja bagi para jurnalis, tetapi juga bagi masyarakat umum. Buku yang ditulis Fenty Effendy ini menguak tentang keluh dan pilu Karni sebagai anak manusia dalam menggapai cita-cita. Di dalam buku 396 halaman Ini, digambarkan juga bagaimana sepenggal sejarah demokrasi pers dan beberapa scene perjuangan reformasi 1998.

Fenty Effendy telah berhasil meracik pengalaman Karni dengan kalimat yang menyederhana, sehingga tidak ada warna eksklusif untuk menikmati buku ini. Tak bisa disangkal lagi kepiawaian Fenty dalam menggambarkan perjalanan tokoh-tokoh popular dan menuangkannya sebagai buku biografi yang patut dibaca semua orang.

Terimakasih

Ali Ahsan Al Haris

Malang, 6 Maret 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment