Pembaca yang budiman, sebelum membaca lebih lanjut. Alangkah baiknya untuk membaca tulisan di bawah ini sesuai urutan agar menjadi satu kesatuan yang utuh. Mengapa? Karena saya me resensi bukunya secara bab per bab.
1. Masyarakat Jawa dan Slametan
2. kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus
Bagi orang Jawa, Slametan terbagi dalam empat jenis: (1) berkisar disekitar kehidupan kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) berhubungan dengan hari-hari raya Islam-Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dll; (3) berkaitan dengan integrasi sosial desa, bersih desa, pemilihan Kades dll; (4) Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kejadian luar biasa yang dialami seseorang seperti berangkat haji, ganti nama, pindah rumah, sakit karena tenung dll.
Petungan: Sistem Numerologi Orang Jawa
Ambil contoh kelahiran, Slametan yang diadakan menurut peristiwa
kelahiran dan Slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu
sendiri. Namum, orang Jawa tidak menganggap bahwa kejadian tersebut terjadi
kebetulan begitu saja. Peristiwa tersebut sudah ditentukan oleh Tuhan, yang
telah menetapkan secara pasti jalan hidup manusia.
Slametan yang dilaksanakan dalam rangka pindah rumah, khitanan,
pernikahan pun pindah tempat kerja mungkin dilihat itu adalah kehendak manusia.
Tapi orang Jawa tidak menganggap sesederhana itu. Ada sebuah tatanan ontologis
yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut oleh
orang Jawa dengan nama petungan atau hitungan.
Bagi para pembaca, petungan terkesan sangat berbelit, tapi konsep
ini memiliki arti metafisik yang fundamental: cocog. Cocog
berarti sesuai, ibarat gembok dengan kunci. Sistem petungan memberikan jalan
untuk menyatakan kaitan antar hubungan dan menyesuaikan perbuatan seseorang
dengan sistem ontologis, dengan petungan masyarakat Jawa menghindari semacam
disharmoni dengan tatanan umum alam, karena mereka percaya jika petungan tidak
tepat; tidak cocog, maka seseorang tersebut akan dihantui kemalangan.
Seperti halnya jika orang Jawa akan pindah rumah, ia tidak begitu
saja membuat keputusan pindah; pertama-tama ia akan mempertimbangkan setidaknya
dua variabel yang berkaitan: (1) arah ke mana ia akan pindah, dan (2) hari apa
ia akan pindah.
Setiap hari memiliki sebuah angka (Neptu): Senin empat, Minggu
Lima, Selasa tiga, Rabu tujuh, Kamis delapan, Jumat enam, Sabtu sembilan; Legi
lima, Paing sembilan, Pon tujuh, Wage empat, Kliwon delapan. Dari angka-angka
dijumlahkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengadakan Slametan. Bagi para
priyayi yang biasa tekun dalam merenungkan hal seperti ini, sistem angka-angka
untuk hari adalah deskripsi empiris dari tatanan alam yang tertinggi.
Angka-angka tersebut keluar dari kesadran internal dari orang keramat yang
termasyhur dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun bagi kalangan Abangan,
angka-angka tersebut malah dipahami dalam pengertian mahluk halus, umumnya
disebut sebagai nagadina atau "Hari Naga'
Untuk siklus Slametan sendiri, terdapat empat siklus besar; (1)
Siklus Slametan Kelahiran, (2) Siklus Slametan Khitanan dan Perkawinan, (3)
Siklus Slametan Perkawinan, dan (4) Siklus Slametan Menurut Penanggalan Desa
dan Selingan. Keempat siklus ini akan saya ulas lebih lanjut dalam tulisan
selanjutnya.
SELESAI
Para pembaca yang budiman, tulisan di atas adalah hasil resensi
saya pada buku "Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan
Jawa" karangan "Clifford Geertz" peneliti Antropologi
dari Amerika yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Semoga resensi ini dapat secara rutin saya
tulis, setidaknya bagi teman-teman yang belum berkesempatan memiliki buku ini
dapat membaca resensi saya seminggu sekali.
Terimakasih banyak
Malang, 7 November 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment