Saturday, November 7, 2020

Siklus Slametan Bagi Orang Jawa

 Pembaca yang budiman, sebelum membaca lebih lanjut. Alangkah baiknya untuk membaca tulisan di bawah ini sesuai urutan agar menjadi satu kesatuan yang utuh. Mengapa? Karena saya me resensi bukunya secara bab per bab.


1. Masyarakat Jawa dan Slametan
2. kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus






Bagi orang Jawa, Slametan terbagi dalam empat jenis: (1) berkisar disekitar kehidupan kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) berhubungan dengan hari-hari raya Islam-Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dll; (3) berkaitan dengan integrasi sosial desa, bersih desa, pemilihan Kades dll; (4) Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kejadian luar biasa yang dialami seseorang seperti berangkat haji, ganti nama, pindah rumah, sakit karena tenung dll.



Sebelum membahas lebih jauh jenis-jenis slametan secara terperinci, perlu diketahui bahwa ada dua faktor umum pelaksanaan Slametan itu sendiri; Pertama, prinsip yang mendasari penentuan waktu diadakannya Slametan dan kedua, slametan dalam arti ekonomi.


Petungan: Sistem Numerologi Orang Jawa

Ambil contoh kelahiran, Slametan yang diadakan menurut peristiwa kelahiran dan Slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu sendiri. Namum, orang Jawa tidak menganggap bahwa kejadian tersebut terjadi kebetulan begitu saja. Peristiwa tersebut sudah ditentukan oleh Tuhan, yang telah menetapkan secara pasti jalan hidup manusia.


Slametan yang dilaksanakan dalam rangka pindah rumah, khitanan, pernikahan pun pindah tempat kerja mungkin dilihat itu adalah kehendak manusia. Tapi orang Jawa tidak menganggap sesederhana itu. Ada sebuah tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut oleh orang Jawa dengan nama petungan atau hitungan.


Bagi para pembaca, petungan terkesan sangat berbelit, tapi konsep ini memiliki arti metafisik yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai, ibarat gembok dengan kunci. Sistem petungan memberikan jalan untuk menyatakan kaitan antar hubungan dan menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem ontologis, dengan petungan masyarakat Jawa menghindari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam, karena mereka percaya jika petungan tidak tepat; tidak cocog, maka seseorang tersebut akan dihantui kemalangan.


Seperti halnya jika orang Jawa akan pindah rumah, ia tidak begitu saja membuat keputusan pindah; pertama-tama ia akan mempertimbangkan setidaknya dua variabel yang berkaitan: (1) arah ke mana ia akan pindah, dan (2) hari apa ia akan pindah.


Setiap hari memiliki sebuah angka (Neptu): Senin empat, Minggu Lima, Selasa tiga, Rabu tujuh, Kamis delapan, Jumat enam, Sabtu sembilan; Legi lima, Paing sembilan, Pon tujuh, Wage empat, Kliwon delapan. Dari angka-angka dijumlahkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengadakan Slametan. Bagi para priyayi yang biasa tekun dalam merenungkan hal seperti ini, sistem angka-angka untuk hari adalah deskripsi empiris dari tatanan alam yang tertinggi. Angka-angka tersebut keluar dari kesadran internal dari orang keramat yang termasyhur dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun bagi kalangan Abangan, angka-angka tersebut malah dipahami dalam pengertian mahluk halus, umumnya disebut sebagai nagadina atau "Hari Naga'


Untuk siklus Slametan sendiri, terdapat empat siklus besar; (1) Siklus Slametan Kelahiran, (2) Siklus Slametan Khitanan dan Perkawinan, (3) Siklus Slametan Perkawinan, dan (4) Siklus Slametan Menurut Penanggalan Desa dan Selingan. Keempat siklus ini akan saya ulas lebih lanjut dalam tulisan selanjutnya.


SELESAI


Para pembaca yang budiman, tulisan di atas adalah hasil resensi saya pada buku "Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa" karangan "Clifford Geertz" peneliti Antropologi dari Amerika yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.  Semoga resensi ini dapat secara rutin saya tulis, setidaknya bagi teman-teman yang belum berkesempatan memiliki buku ini dapat membaca resensi saya seminggu sekali.

Terimakasih banyak
Malang, 7 November 2020
Ali Ahsan Al Haris

 

No comments:

Post a Comment