Dikarenakan tulisan ini adalah serial resensi dari buku Agama
Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, silahkan baca tulisan
sebelumnya agar menjadi suatu kesatuan yang utuh.
2. Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus
***
Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap
Mahluk Halus
Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal tiga jenis mahluk
halus: Memedi, Lelembut dan Tuyul. Memedi hanya
mengganggu orang atau menakut-nakuti, biasanya tidak menimbulkan kerusakan yang
serius. Memedi laki-laki disebut gendruwo dan yang perempuan disebut wewe.
Memedi biasa ditemukan pada malam hari, khususnya ditempat gelap dan
sepi. Mereka sering kali tampak dalam wujud orangtua atau keluarga lainnya.
Lelembut, berbeda dengan memedi, ia dapat menyebabkan seseorang jatuh
sakit atau gila. Lelembut masuk ke tubuh seseorang, dan kalau tidak
diobati oleh Kyai dan dukun asli Jawa, seseorang ini akan gila atau mati. Dukun
atau Kyai biasa mengeluarkan Lelembut dari tubuh manusia dengan cara
memijat salah satu bagian dari seseorang yang dirasuki. Misalnya tangan, kaki,
lengan atau bagian punggung. Perlu diketahui juga, karena Lelembut kasat
mata, ia tidak menyerupai wujud manusia seperti apa yang Memedi lakukan.
Jenis terakhir adalah Tuyul, ia berbentuk anak-anak, tapi bukan anak seperti fisik anak manusia pada umumnya, ia adalah mahluk halus anak-anak. Konon, jika ada Tuyul yang fisiknya hampir mirip dengan fisik anak-anak manusia pada umumnya, Tuyul tersebut termasuk kategori Tuyul grade A dan banyak diburu paranormal.
Apakah hanya itu? Masyarakat Jawa juga mengenal istilah
tempat Angker, lokasi yang dikenal banyak Memedi dan Lelembut
karena dibuang atau dipindahkan oleh manusia, sedangkan Wingit
adalah lokasi yang sudah ribuan tahun dihuni oleh para Demit
& Danyang sebelum masyarakat Jawa ada.
Oke, mari kita bahas secara sederhana apa itu Demit
dan Danyang.
Banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa, termasuk yang
sudah kita kenal luas pada buku Babad Tanah Jawa. Dulunya, pulau Jawa
diselimuti hutan belantara. Kecuali sebidang tanah kecil tempat Semar
bersemayam di kaki gunung Merbabu. Ia berusia ribuan tahun dan dikenal sebagai
rajanya Demit Nusantara. Ada versi Semar bertarung dengan seorang Pendeta,
versi lain mengatakan sosok Semar bertarung dengan Syekh Subakir yang datang
untuk "Numbali" atau "Mbabad" tanah Jawa. Tak
heran kitab-kitab kuno dan buku era sekarang memberikan judul Babad Tanah Jawa,
karena Babad sendiri berarti membersihkan sebidang hutan belantara untuk
dijadikan sebuah pemukiman manusia. Ada versi lain yang mengatakan Syekh
Subakir menumbali tanah Jawa dengan cara melakukan shalat di beberapa titik
kritis di mana titik ini kemudian menjadi tempat wingit dan berdiri
beberapa Pondok Pesantren.
Versi yang umum adalah kisah dimana Syekh Subakir bertarung
dengan Semar. Konon pertarungannya memakan waktu bertahun-tahun sampai Semar
dan para mahluk halus lainnya harus lari tunggang langgang ke kawah-kawah
gunung berapi dan dasar laut selatan.
Paling tidak dari pelbagai versi yang ada, Babad Tanah Jawa
memang lebih pantas disebut sebagai mitos kolonisasi daripada mitos penciptaan,
karena tidak mengherankan, mengingat sejarah Jawa yang terus menerus mengalami "invasi"
orang-orang Hindu, Islam dan tentu Eropa (Banyak literatur yang ditulis oleh
Sejarawan dari Eropa). Gambaran dari mitos Jawa mengenai banyaknya manusia
pendatang yang masuk ke Jawa mendorong mahluk-mahluk halus ke gunung, ke
tempat-tempat liar yang belum dijamah dan lautan.
Demit
Dalam arti sempit, Demit
tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut punden, yang
dibeberapa daerah diyakini berupa reruntuhan Hindu seperti patung atau candi,
pohon beringin besar, kuburan tua, sumber mata air yang tersembunyi atau
kekhususan topografi. Tempat-tempat semacam ini, dalam masyarakat Jawa di
anggap sebagai lokasi yang tepat untuk meminta tolong ke Demit mengabulkan
permintaannya. Menariknya, hal ini juga berhubungan dengan prosesi Slametan,
jika seorang yang keinginannya sudah terkabul, ia wajib melakukannya, jika
tidak, seseorang tersebut akan diteror oleh Demit yang bersemayam di
lokasi tersebut.
Danyang: Mahluk Halus Pelindung
Dayang umumnya adalah nama lain dari Demit (yang adalah kata dasar Jawa
berarti "mahluk halus"). Seperti halnya Demit, Danyang tinggal
menetap di suatu tempat yang disebut Punden; seperti Demit,
mereka merespon permintaan tolong manusia dan sebagai imbalannya, menerima
janji akan melaksanakan Slametan. Berbeda dengan Lelembut, Demit dan Danyang
tidak menyakiti orang, hanya bermaksud melindungi. Namun, ini yang penting, Danyang
dianggap sebagai arwah dari tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri
desa tempat kita tinggal atau orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa di
Jawa biasanya memiliki Danyang desa.
Danyang desa, ketika ia masih hidup sebagai manusia, datang ke sebuah hutan
belantara atau tanah kosong, membersihkannya serta membagi-bagikannya ke para
pengikutnya, keluarganya, teman-temannya dan ia sendiri menjadi kepala desanya
yang pertama. Setelah ia meninggal, makamnya dijadikan Punden dan
dikeramatkan masyarakat desa sampai generasi sekarang.
Bersambung ...
Teman-teman pembaca yang budiman. Tulisan di atas adalah
resensi dari bab berjudul "Kepercayaan Terhadap Mahluk Halus"
buku "Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa",
ditulis oleh sejarawan Amerika Clifford Geertz dan diterbitkan oleh
Komunitas Bambu. Saya dengan sengaja meresensi per bab agar pesannya
tersampaikan kepada pembaca yang belum berkesempatan membeli bukunya. Semoga
api semangat terus terjaga dan resensinya dapat teman-teman baca setidaknya
seminggu sekali.
Terimakasih
Malang, 4
November 2020
Ali Ahsan Al
Haris
No comments:
Post a Comment