Wednesday, November 4, 2020

Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus


Dikarenakan tulisan ini adalah serial resensi dari buku Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, silahkan baca tulisan sebelumnya agar menjadi suatu kesatuan yang utuh.

1. Masyarakat Jawa & Slametan

2. Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus

***

Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus

 

Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal tiga jenis mahluk halus: Memedi, Lelembut dan Tuyul. Memedi hanya mengganggu orang atau menakut-nakuti, biasanya tidak menimbulkan kerusakan yang serius. Memedi laki-laki disebut gendruwo dan yang perempuan disebut wewe. Memedi biasa ditemukan pada malam hari, khususnya ditempat gelap dan sepi. Mereka sering kali tampak dalam wujud orangtua atau keluarga lainnya.


Lelembut, berbeda dengan memedi, ia dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila. Lelembut masuk ke tubuh seseorang, dan kalau tidak diobati oleh Kyai dan dukun asli Jawa, seseorang ini akan gila atau mati. Dukun atau Kyai biasa mengeluarkan Lelembut dari tubuh manusia dengan cara memijat salah satu bagian dari seseorang yang dirasuki. Misalnya tangan, kaki, lengan atau bagian punggung. Perlu diketahui juga, karena Lelembut kasat mata, ia tidak menyerupai wujud manusia seperti apa yang Memedi lakukan.



Jenis terakhir adalah Tuyul, ia berbentuk anak-anak, tapi bukan anak seperti fisik anak manusia pada umumnya, ia adalah mahluk halus anak-anak. Konon, jika ada Tuyul yang fisiknya hampir mirip dengan fisik anak-anak manusia pada umumnya, Tuyul tersebut termasuk kategori Tuyul grade A dan banyak diburu paranormal.


Apakah hanya itu? Masyarakat Jawa juga mengenal istilah tempat Angker, lokasi yang dikenal banyak Memedi dan Lelembut karena dibuang atau dipindahkan oleh manusia, sedangkan Wingit adalah lokasi yang sudah ribuan tahun dihuni oleh para Demit & Danyang sebelum masyarakat Jawa ada.


Oke, mari kita bahas secara sederhana apa itu Demit dan Danyang.


Banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa, termasuk yang sudah kita kenal luas pada buku Babad Tanah Jawa. Dulunya, pulau Jawa diselimuti hutan belantara. Kecuali sebidang tanah kecil tempat Semar bersemayam di kaki gunung Merbabu. Ia berusia ribuan tahun dan dikenal sebagai rajanya Demit Nusantara. Ada versi Semar bertarung dengan seorang Pendeta, versi lain mengatakan sosok Semar bertarung dengan Syekh Subakir yang datang untuk "Numbali" atau "Mbabad" tanah Jawa. Tak heran kitab-kitab kuno dan buku era sekarang memberikan judul Babad Tanah Jawa, karena Babad sendiri berarti membersihkan sebidang hutan belantara untuk dijadikan sebuah pemukiman manusia. Ada versi lain yang mengatakan Syekh Subakir menumbali tanah Jawa dengan cara melakukan shalat di beberapa titik kritis di mana titik ini kemudian menjadi tempat wingit dan berdiri beberapa Pondok Pesantren.


Versi yang umum adalah kisah dimana Syekh Subakir bertarung dengan Semar. Konon pertarungannya memakan waktu bertahun-tahun sampai Semar dan para mahluk halus lainnya harus lari tunggang langgang ke kawah-kawah gunung berapi dan dasar laut selatan.


Paling tidak dari pelbagai versi yang ada, Babad Tanah Jawa memang lebih pantas disebut sebagai mitos kolonisasi daripada mitos penciptaan, karena tidak mengherankan, mengingat sejarah Jawa yang terus menerus mengalami "invasi" orang-orang Hindu, Islam dan tentu Eropa (Banyak literatur yang ditulis oleh Sejarawan dari Eropa). Gambaran dari mitos Jawa mengenai banyaknya manusia pendatang yang masuk ke Jawa mendorong mahluk-mahluk halus ke gunung, ke tempat-tempat liar yang belum dijamah dan lautan.


Demit
Dalam arti sempit, Demit tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut punden, yang dibeberapa daerah diyakini berupa reruntuhan Hindu seperti patung atau candi, pohon beringin besar, kuburan tua, sumber mata air yang tersembunyi atau kekhususan topografi. Tempat-tempat semacam ini, dalam masyarakat Jawa di anggap sebagai lokasi yang tepat untuk meminta tolong ke Demit mengabulkan permintaannya. Menariknya, hal ini juga berhubungan dengan prosesi Slametan, jika seorang yang keinginannya sudah terkabul, ia wajib melakukannya, jika tidak, seseorang tersebut akan diteror oleh Demit yang bersemayam di lokasi tersebut.


Danyang: Mahluk Halus Pelindung

Dayang umumnya adalah nama lain dari Demit (yang adalah kata dasar Jawa berarti "mahluk halus"). Seperti halnya Demit, Danyang tinggal menetap di suatu tempat yang disebut Punden; seperti Demit, mereka merespon permintaan tolong manusia dan sebagai imbalannya, menerima janji akan melaksanakan Slametan. Berbeda dengan Lelembut, Demit dan Danyang tidak menyakiti orang, hanya bermaksud melindungi. Namun, ini yang penting, Danyang dianggap sebagai arwah dari tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri desa tempat kita tinggal atau orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa di Jawa biasanya memiliki Danyang desa.


Danyang desa, ketika ia masih hidup sebagai manusia, datang ke sebuah hutan belantara atau tanah kosong, membersihkannya serta membagi-bagikannya ke para pengikutnya, keluarganya, teman-temannya dan ia sendiri menjadi kepala desanya yang pertama. Setelah ia meninggal, makamnya dijadikan Punden dan dikeramatkan masyarakat desa sampai generasi sekarang.

Bersambung ...


Teman-teman pembaca yang budiman. Tulisan di atas adalah resensi dari bab berjudul "Kepercayaan Terhadap Mahluk Halus" buku "Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa", ditulis oleh sejarawan Amerika Clifford Geertz dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Saya dengan sengaja meresensi per bab agar pesannya tersampaikan kepada pembaca yang belum berkesempatan membeli bukunya. Semoga api semangat terus terjaga dan resensinya dapat teman-teman baca setidaknya seminggu sekali.

 

Terimakasih

Malang, 4 November 2020

Ali Ahsan Al Haris


 

No comments:

Post a Comment