Psikologi
Suryomentaraman
A.
Ilmu Nyata dan Ilmu Keyakinan
Ki Ageng memulai bab Ilmu
(Kawruh) dengan sebuah pembedaan tegas definisi dari Ilmu yang menurut beliau
adalah "Sistematika penalaran yang mengarahkan orang untuk memilah-milah
persoalan ke dalam kategori-kategori benar, sehingga melahirkan kejernihan
berpikir dan keteraturan tindakan".
Dengan berpikir secara benar,
tindakan kita selamat. Berpikir salah, tindakan kita akan masuk kategori yang
salah.
Cara berpikir benar akan
melahirkan tindakan yang benar. Cara berpikir yang salah akan melahirkan
tindakan yang salah pula. Sederhananya, Ilmu adalah cara seseorang untuk
mencapai level berpikir dan bertindak benar sehingga dapat mengantarkannya pada
kebahagiaan.
Ilmu secara objek dibagi menjadi
dua.
1. Barang
Asal: Sebuah keharusan, tidak kasat mata, tanpa cacah, tetap, tidak terikat
ruang dan waktu.
2. Barang
Jadi: Keberadaanya ditentukan barang asal sehingga dapat diketahui cacahnya,
tidak tetap dan terikat dengan ruang dan waktu.
Karena ilmu sebagai objek, maka
perlu sebuah subjek untuk mengetahui, dan manusia adalah satu-satunya mahluk
yang sanggup karena memilik akal. Namun lantas tidak semua pengethauan yang
lahir dari fikiran manusia berarti benar. Karena seringkali orang meyakini
kebenaran pengetahuan dari pikiran orang yang “Merasa Tahu”.
Dari hal tersebut, maka sumber
pengetahuan dibagi menjadi dua.
1. Tahu
Sendiri: Dapat merasakan,mengerti dan melihat secara langsung
2. Mengira
Tahu: Tidak merasakan langsung, tidak mengerrti dan melihat secara langsung
Jika dibuat sebuah alur, kurang
lebih seperti ini.
Tahu Sendiri > Ilmu
Nyata/Rasional > Terus mencari sebab akibat & dapat diverifikasi.
Mengira Tahu > Ilmu
Keyakinan/Irasional > Cukup diyakini tanpa perlu dimengerti, sumbernya kata
orang, dugaan dan pantas-pantasnya.
Hasil dari ilmu nyata membuat
kepercayaan seseorang tetap, jika dipercaya tak bertambah, jika disangkal tak
berkurang. Sedangkan ilmu keyakinan bersifat tidak tetap. Jika dipercaya
bertambah, jika disangkal akan berkurang. Dalam hal bersosial dan
bermasyarakat, ilmu nyata dapat membuat sebuah komunitas rekat karena sifatnya
ilmunya yang pakem. Berbeda dengan ilmu keyakinan yang cenderung
berubah-berubah tergantung banyaknya orang percaya dan menyangkalnya.
B. Dari
Kramadangsa Menjadi Manusia Tanpa Ciri
Pokok dari ajaran kawruh jiwa
adalah tentang “Yang Tahu” dan “Yang Diketahui”. Ajaran ini berlaku ke semua
hal (Rasional dan Irasional). Pada bab ini, kramadangsa mengajarkan bagaimana
mengetahui diri sendiri, karena mempelajari diri sendiri berbeda caranya karena
tidak seluruhnya memerlukan kapasitas analitis, melainkan juga reflektif.
Terlebih dalam mempelajari diri sendiri karena hal ini berhubungan dengan
kejiwaan.
“Yang Tahu” dan “Yang Diketahui”
menjadi sangat penting karena bukan membahas “aku yang sedang melijat benda di
sekelilingku” melainkan “aku yang sedang mengamati rasaku sendiri”.
SI JURU CATAT
Setiap manusia tidak pernah berhenti dalam mencatat kebiasaanya dalam mencatat, dalamhal ini menyimpan apa yang pernah ia alami melalui indera penglihatan, peraba, pencium, pengecap dan pendengaran. Proses pencatatan itu pada mulanya bersifat netral sebelum melahirkan kramadangsa atau rasa sebagai “aku” yang senantiasa ingin meyenangkan diri sendiri dan mengabaikan kesenangan atau perasaan orang lain.
Dari watak kramadangsa itu tadi,
kemudian dikategorikan tiga kelompok besar yang mempengaruhi kehidupan manusia,
yaitu: Semat (Jabatan), Drajat (Kehormatan) dan Kramat (Kekuasaan). Dari sini
coba saya simpulkan kegunaan dari kramadangsa adalah untuk pelayanan atau arsip
dari catatan-catatan selama seorang manusia hidup yang kemudian berpengaruh
terhadap laku spiritual.
Perlu saya jelaskan terlebih
dahulu latar belakang dari kramadangsa sehingga sangat penting untuk kita
ketahui. Kramadangsa baru muncul saat manusia memasuki umur 2-3 tahun, pada
umur tersebut seorang anak sudah dapat mengetahui, mencatat dan mengenali
benda-benda yang ada disekitarnya termasuk merespon lingkungan dengan
perasaanya meski sebatas senang dan tidak meski anak tersebut belum dapat
mengenali siapa dirinya. Baru saat si anak bertambah umur, catatan-catatan
selama ia hidup akan mengantarkannya pada keinginan.
Jenis catatan kramadangsa menurut
Ki Ageng Pronowidigdo, seorang parawai Kawruh Jiwa paling orotitatif dan
pengikut Ki Ageng Suryomentaraman, kramadangsa dibagi menjadi 11 kelompok
catatan.
1. Kelompok
Catatan Harta Benda: segala jenis barang kepemilikan seperti harta, tanah,
hewan peliharaan, perhiasan, buku dll. Tanggapan kramadanagsa mengenal hal ini,
jika hartaku berkurang aku susaj, jika hartaku bertambah maka aku senang.
2. Kelompok
catatan kehormatan: tersusun dari cara orang dalam menunjukan penghormatan
seperti mencium tangan, membungkukan badan, meyanjung dan memuji. Tanggapan
kramadangsa dalam hal ini. Jika dihormati aku senang, jika disepelekan aku
susah.
3. Kelompok
catatan kekuasaan: meliputi hal yang berkaitan dengan batas-batas kekuasaan,
seperti ruang kerja, pagar rumah, tanah milik, dan lain-lain. Kramadangsa akan
menanggapi catatan ini sebagai kewenanganku; jika dilanggar aku marah, jika
dipuji aku senang. Setiap gangguan yang terjadi di anggap sebagai gangguan
terhadap kekuasaanku.
4. Kelompok
catatan keluarga: catatan ini terdiri dari semua orang yang menjadi bagian dari
keluarga, anak, istri, ayah, ibu, adik, paman dll. Kramadangsa dalam hal ini
memberi tanggapan hanya dengan rasa senang dan susah. Jika orang lain
mengganggu keluarku aku susah, dan jika mereka membantu keluargaku aku akan
senang.
5. Kelompok
catatan golongan: orang yang masuk kelompok catatan ini terbagi menjadi dua,
sengaja dan tidak sengaja. Contohnya seperti ini. Haris adalah seorang
pengangguran, ia masuk partai politik karena ia menilai parta tersebut
memperjuangakan golonganya sesame penganggur agar mendapatkan pekerjaan. Di
sisi lain, Haris juga seorang yang melarat. Namun karena ia tidak memiliki
apa-apa dan orang lain memang menyebutnya demikian makai a tak dapat menolak.
Cara menanggapi kelompok catatan ini pun sama. Jika golonganku dibantu aku
senang, jika dirugikan aku akan marah.
6. Kelompok
catatan bangsa. Pada umumnya seseorang tidak dapat memilih menjadi bagian
bangsa mana. Hal ini terjadi karena ia dilahirkan oleh orangtuanya yang tinggal
di Indonesia. Ada juga seseorang yang dengan sendirinya memilih kebangsaanya
sendiri. Seperti seorang anak yang lahir dari kedua orangtua yang berbeda
kebangsaan. Maka saat ia dewasa bebas memilih mau mengikuti kebangsaan ayah
atau ibunya. Tanggapan dalam kelompok catatan bangsa pun sama. Jika bangsaku
diganggu aku marah, jika dipuji aku senang.
7. Kelompok
catatan jenis. Kelompok catatan ini berisi rasa sebagai sesame manusia.
Contohnya saat kita di tengah hutan dan melihat ada manusia yang sedang
diterkan harimau. Sebagai manusia kita tergerak untuk menolongnya. Namun jika
kita melihat ada harimau atau hewan lain saling terkam dan membunuh kita akan
membiarkannya karena hewan tersebut bukan golongan kita.
8. Kelompk
catatan kepandaian: yang termasuk kelompok ini meliputi berbagai keahlian
seperti mengukuir, menulis, membatik, membuat video, menenun, menari dll. Sifat
kramadangsa dalam menanggapi hal ini pun sama. Jika ada orang yang mencela
keahlianku maka aku marah, dan jika dipuji aku senang.
9. Kelonpok
catatan kebatinan. Kawruh jiwa yang kelahiranya sebagai kritik atas
tendensi-tendesi irasional dan klenik pada waktu itu, sering disalahpahami
sebagai aliran kebatinan. Dalam hal ini kramadangsa tanggapanya pun sama. Jika
seseorang mencela aliran kebatinanku maka aku marah dan sebaliknya.
10. Kelompok
catatan pengetahuan. Saya merasa hampir ada kemiripan kelompok catatan
kepandaian dengan pengetahuan di mana lebih menitikberatkan kepada sebuah karya
semacam lukisan, tulisan, membuat kursi, membuat meja dll. Tanggapan
kramadangsa terhadap kelompok catatan ini pun sama. Jika ada orang yang mencela
ciptaanku aku akan marah, dan jika ada orang yang memuji hasil ciptakaanku
makan aku akan sangat senang.
11. Kelompok
catatan rasa hidup. Kelompok catatan ini berisi jenis-jenis pengalaman yang
dilahirkan oleh rasa hidup yang berasal dari energi yang terdapat dari dalam
manusia untuk melestarikan jenisnya, misalnya memenuhi kebutuhan pangan, papan,
sandang dan seksual. Ambil contoh makan yang fungsi aslinya lebih kepada
penahan rasa lapar. Hal ini kemudian bergeser seiring catatan-catatannya yang
semakin berkeinginan yang lain. Makanan yang semula kebutuhan ragawi bergeser
ke sarana pemuas keinginan, membedakan makanan mahal dan miskin, enak dan
tidak, mahal, murah dan sebagainya.
Si Tukang Menanggapi
Ki Ageng mengajarkan kepada kita
untuk meneliti apa yang kita rasakam saat menanggapi orang lain. Dalam menilai
seseorang, kita sering menaggapi dengan “Suka” dan “Tidak Suka”, tanggapan ini
di dorong dari catatan-catatan dan pengalaman hidup seperti yang dibahas di
atas tadi.
BAB 4
Pada bab ini, Ki Ageng menekankan
kita untuk mengenali diri sendiri, hal ini teramat penting karena kita sering
terjebak dalam istilah yang disebut Ki Ageng dengan “Gagagasan” dan “Potret”.
Gagasan dalam hal ini diartikan sebagai “Apa yang kita fikirkan”, sedangkan
Potret “Apa yang kita alami”. Ilmu mawas diri atau olah rasa berfungsi sebagai
sarana latihan memilah-milah rasa sendiri dan orang lain sebagai manifestasi
tercapaianya manusia tanpa ciri.
Karena ilmu olah rasa berhubungan
dengan penilaian kita ke orang lain. Manfaat dari menguasai ilmu olah rasa akan
menghindarkan kita dari perselisihan dalam pergaulan karena masing-masing dari
kita menganggap gagasan kita adalah potret. Hal ini terjadi karena kita sendiri
atau orang lain bertindak sebagai orang yang mengira-ngira dan mendaku sebagai
pengagas. Selain itu, ilmu olah rasa/mawas diri dapat dipergunakan untuk
menghikmahi hidup yang kadang kita rasakan susah dan senang. Padahal dua hal
tersebut bersifat abadi. Kita tidak dapat memilih untuk selalu hidup dalam
kenyamanan dan ketenangan, ilmu olah rasa mengajarkan kepada kita bahwa susah
dan senang itu abadi, hanya siklusnya yang berbeda.
BAB 5
Ki Ageng menekakankan pada
pembedahan apa yang kita rasakan itu murni muncul dari dalam sendiri atau
ketidakpuasan kita terhadap lingkungan kita. Seperti halnya hidup dalam
bermasyarakat, idellnya adalah kita hidup lebih mementingkan masyarakat di atas
kepentingan pribadi, hal ini tentu dapat tercapai jikalau negara menjamin hak
hidup warganya dengan menjamin lapangan pekerjaan, keamanan warga dan sejahtera
sehingga nanti otomatis masyarakat akan dengan sendirinya memenuhi apa yang
mejadi kebutuhan negara.
Jika penasaran dengan isi bukunya, silahkan baca lebih lanjut. Ada dua buku yang saya rekomendasikan: Buku pertama adalah yang saya baca ini, kedua adalah buku berjudul "Kawruh Jiwa - Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaraman Oleh Muhaji Fikriono terbitan Yayasan Obor Indonesia".
Terimakasih
Malang, 29 September 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment