Wednesday, October 7, 2020

Resensi Kumpulan Cerpen Penembak Misterius Seno Gumira Ajidarma

Penembak Misterius

 


Siapa yang tak kenal Seno Gumira Ajidarma, seorang akademisi dan penulis yang tulisannya sudah semerbak dimana-mana. Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang bernama lengkap dan bergelar Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum ini dikenal luas sebagai seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato, digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981. “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” adalah take line ciptaan Pak Seno yang sering kita dengar dalam dunia jurnalisme dan kepenulisan. Ketika sistem politik yang represif ingin menghilangkan isu petrus dari wacana publik, cerpen-cerpen Pak Seno ini punya daya gugat yang kuat untuk mengkritisi militerisme Orba.


Kumcer Penembak Misterius ini sudah beberapa kali cetak ulang di pelbagai penerbit. Bagi pembaca yang sudah pernah membaca kumcer ini di beda penerbit, sharing yuk. Hehe


Kumcer Penembak Misterius terbagi menjadi Trilogi Cerita Pendek. Yakni (a) Keroncong Pembunuhan, (b) Bunyi Hujan di Atas Genting, dan terkahir (c) Grhhh!. Buku kumcer ini juga terbagi lagi dalam Trilogi kumcer (saya menyebutnya seperti itu, hehe). Apa saja itu? (a) Penembak Misterius terdiri dari tiga cerpen, (b) Cerita Untuk Alina terdiri dari tujuh cerpen, dan (c) Bayi Siapa Menangis di Semak-Semak? terdiri dari lima cerpen. Jadi, keseluruhan cerpen yang ada pada buku ini ada lima belas dan dipilihnya Trilogi Penembak Misterius menjadi judul kumcer ini. Menariknya lagi dari buku terbitan Pabrik Tulisan ini juga menceritakan catatan penulis yang khusus membahas cerita di balik pengerjaan sampul dari pertama kalinya terbit sampai dengan sampul dari buku yang kali ini saya baca.


Baca tulisan saya yang lain: Mengkritik Kartu Pra Kerja, Tapi Diam-Diam Ikut Mendaftar


Sastra memang tidak bisa menjawab semua persoalan dalam hidup. Tapi, sastra punya peran lain yang tidak kalah penting, yakni membuat kita mempertanyakan hal hal yang layak dipertanyakan tapi sering kita terlupa. Dengan kata lain, membaca sastra memunculkan sejenis kegelisahan positif. Dari kwgelisahan inilah diharapkan dapat mendorong manusia untuk mencari jalan keluar kreatif untuk mengatasi permasalahan yang ada.


Ditulis tahun 1980an, cerpen cerpen di buku ini beneran menggambarkan Indonesia di era orde baru dengan segala romansanya. Paling kentara adalah soal Petrus yang marak di awal tahun 80an. Saya memang belum lahir saat itu tapi dari bertanya kepada teman yang sudah jadi anak kecil di era itu, memang sering ditemukan mayat mayat begal yg dibunuh secara misterius . Bahkan ada tetangganya yang malam harinya diciduk dan paginya udah mengambang di sungai. Konon, ini ulah penembak misterius yang bertujuan untuk mengurangi angka kriminalitas di perkotaan waktu itu.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Mengapa Kita Harus Berfikir Secara Logis?


Secara tujuan memang baik, yakni memberantas kejahatan. Tetapi apakah caranya tepat? SGA mempertanyakan apa kuasa yg dimiliki manusia sampai dia berhak menentukan hidup dan matinya seseorang. Juga, bagaimana dengan nurani si eksekutor yang harus melakukan eksekusi di lapangqn, sementara pembunuh yg sebenarnya adalah di jajaran tertinggi.


Sastra selalu membuat kita bertanya sudah manusiakah kita? Karena kadang demi tujuan yang baik pun manusia dipaksa tidak menjadi manusia. Kadang juga, manusia terlalu sibuk menepi sampai lupa kalau dirinya juga manusia. Cerpen terakhir di buku ini mengingatkan kita bahwa sering kali kita malah terlalu sibuk mengomentari sehingga lupa beraksi.


Pada bab keroncong pembunuhan, setting cerita ada pada pelaku tukang tembak misterius yang dibayar oleh seorang yang tak dikenal untuk menembak seseorang ditengah jalannya pesta. Meski dibayar, pelaku masih bertanya-tanya alasan terbesar ia harus membunuh seseorang. Prosesnya tidak sesingkat apa yang kita bayangkan, seperti telah ditemukannya sasaran tembak kemudian "dorr" mati. Lewat headphone yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan perempuan yang memerintahkannya, diam-diam ia mengetahui jika pesuruh juga hadir di tengah-tengah pesta, bahkan berdekatan dengan calon korban.


Bunyi Hujan di Atas Genting

Pada bab ini, cerita berfokus pada Sawitri dan Alina. Kepingan awal cerita di bab awal tidak dibahas sama sekali. Mungkin ini beda alur, batinku saat membacanya. Namun, halaman demi halaman saya baca, saya mulai menemukan inti dari apa yang Pak Seno sampaikan pada cerita Sawitri yang berlaku sebagai juru cerita ke Alina tentang fenomena kematian para lelaki bertato di ujung gang rumahnya selepas hujan reda. Dari pelbagai mayat yang ada, Sawitri selalu menunggu dengan was-was dan senang. Takut karena jika pria bertato yang meninggal adalah kekasihnya sendiri. Dari mana ia tahu? Dari tato berbentuk love di dada Pamuji.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar


Grhhh!
Tokoh utama pada cerpen ini adalah reserse Sarman. Kesehariannya selain bertugas dan nyangkruk di warkop Mak Markonah, ia dan polisi lain sibuk membunuh, atau tepatnya merudal para mayat hidup yang disebutnya zombie.  


Cerita ini tentu berbeda sekali dengan kedua cerpen di atas, toh dalam dunia nyata tidak mungkin ada yang namanya mayat hidup. Kalau saya bilang, cerpen ini beraliran realis. Tapi jika disebut realis, harusnya reserse Sarman dan kawan-kawan polisinya tak perlu takut dengan keberadaan para zombie.


Karena cerpen ini menjadi trilogi dalam novel Trilogi Penembak Misterius, tentu ada hubungannya dengan Petrus itu sendiri. Terlebih sangat jelas dalam penghujung cerpen bahwa para zombie adalah gerombolan korban pembantaian yang tak bersalah. Mereka menuntut dendam kepada para polisi, terutama Sarman yang tak tahu menahu apa alasan mereka dibantai.


Sarman
Ini tentang Alina yang menyuruh si juru cerita untuk bercerita tentang tema kejenuhan. Di pilihlah cerita tentang karyawan sebuah perusahaan bernama, Sarman. Karyawan yang sudah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja dengan totalitas dan penuh dedikasi ini pada suatu sore tiba-tiba menjadi gila. Ia memaki-maki amplop gaji yang ia terima, tidak hanya itu. Ia menendang apa saja yang berada dihadapannya, ia melompat dari meja satu ke meja yang lain sembari menghambur kan gaji yang ia terima. Teman-teman karyawan yang berada satu ruangan dengan Sarman tampak kaget. Kaget karena melihat tingkat Sarman yang ganjil, sedikit takut tapi senang karena Sarman menghambur-hambur kan uangnya. Mereka berebut, ruangan menjadi porak-poranda, kertas dan gelas menjadi korban.


Tentu bagi yang sudah membaca cerpen ini banyak memiliki tafsir atas cerpen ini. Saya sendiri menilai jika Pak Seno mengkritik para karyawan yang diperbudak gaji. Rutinitas yang dijalani setiap harinya, delapan jam kerja dan tugas tambahan lainnya idealnya bukan melulu berbicara gaji. Didalamnya ada proses, ada humanisme dan spiritualitas. Kurang lebih begitu, Hehe.


Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)

Cerpen ini ditulis pada februari 1986. Saya belum sempat melacak apa waktu itu sedang gencar peremajaan transportasi massal atau tidak. Masih pada bagian cerita untuk Alina. Kini ia meminta ke juru cerita untuk menceritakan tentang kepunahan. Si juru cerita bercerita tentang sebuah kafilah beratus-ratus truk mengangkut becak yang hendak dibuang ke tengah laut. Saya mengira Pak Seno mengkritik Pemerintah yang hendak membasmi becak-becak dan diganti dengan Bajaj. Kritik pada cerpen sangat jelas, Pemerintah hanya fokus pada cara menghilangkan becak dari jalanan, mereka lupa bahwa pengayuh becak butuh pekerjaan baru, jika janji Pemerintah akan mengganti becak mereka dengan bajaj. Apa pemerintah cukup bajaj?


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Surat Untuk Ayah


Puncak satire pada cerpen yang Pak Seno tulis saat Rambo si pemilik becak terakhir berhenti di gubuk tua milik penumpangnya yang belakangan diketahui seorang pelacur. Dengan santai si pelacur berkata ke Rambo


"Aku pelacur, kami biasa digaruk. Nasib kita sama-sama tergusur". Rambo menimpali "Tapi pelacur tak akan pernah habis digaruk, lain dengan becak. Becakku adalah becak terakhir di dunia. Tak akan pernah ada pelacur terakhir di dunia. Kamu lebih untung ..." Hal 53


Tragedi Asih Istrinya Sukab

Seperti halnya menyelami sejarah, cerpen Pak Seno ditulis atas respon beliau terhadap kondisi sosial politik dan budaya pada masa itu, khususnya cerita tentang Asih istri dari Pak Sukan. Bagiku ini sangat menarik, cerpen Pak Seno adalah realita bagaimana seorang manusia yang tertatih tatih dalam menyambung hidup. Bekerja siang dan malam demi menafkahi keluarga, menjaga wibawa dan tentunya rasa hormat di masyarakat.

 

Terimakasih

Malang, 6 Oktober 2020

Ali Ahsan Al Haris


 

No comments:

Post a Comment