Penembak Misterius
Siapa yang tak kenal Seno Gumira Ajidarma, seorang akademisi dan penulis yang tulisannya sudah semerbak dimana-mana. Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang bernama lengkap dan bergelar Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum ini dikenal luas sebagai seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato, digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981. “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” adalah take line ciptaan Pak Seno yang sering kita dengar dalam dunia jurnalisme dan kepenulisan. Ketika sistem politik yang represif ingin menghilangkan isu petrus dari wacana publik, cerpen-cerpen Pak Seno ini punya daya gugat yang kuat untuk mengkritisi militerisme Orba.
Kumcer Penembak Misterius ini
sudah beberapa kali cetak ulang di pelbagai penerbit. Bagi pembaca yang sudah
pernah membaca kumcer ini di beda penerbit, sharing yuk. Hehe
Kumcer Penembak Misterius terbagi
menjadi Trilogi Cerita Pendek. Yakni (a) Keroncong Pembunuhan, (b) Bunyi Hujan
di Atas Genting, dan terkahir (c) Grhhh!. Buku kumcer ini juga terbagi lagi
dalam Trilogi kumcer (saya menyebutnya seperti itu, hehe). Apa saja itu? (a)
Penembak Misterius terdiri dari tiga cerpen, (b) Cerita Untuk Alina terdiri
dari tujuh cerpen, dan (c) Bayi Siapa Menangis di Semak-Semak? terdiri dari
lima cerpen. Jadi, keseluruhan cerpen yang ada pada buku ini ada lima belas dan
dipilihnya Trilogi Penembak Misterius menjadi judul kumcer ini. Menariknya lagi
dari buku terbitan Pabrik Tulisan ini juga menceritakan catatan penulis yang
khusus membahas cerita di balik pengerjaan sampul dari pertama kalinya terbit
sampai dengan sampul dari buku yang kali ini saya baca.
Baca tulisan saya yang lain: Mengkritik Kartu Pra Kerja, Tapi Diam-Diam Ikut Mendaftar
Sastra memang tidak bisa menjawab
semua persoalan dalam hidup. Tapi, sastra punya peran lain yang tidak kalah
penting, yakni membuat kita mempertanyakan hal hal yang layak dipertanyakan
tapi sering kita terlupa. Dengan kata lain, membaca sastra memunculkan sejenis
kegelisahan positif. Dari kwgelisahan inilah diharapkan dapat mendorong manusia
untuk mencari jalan keluar kreatif untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Ditulis tahun 1980an, cerpen
cerpen di buku ini beneran menggambarkan Indonesia di era orde baru dengan
segala romansanya. Paling kentara adalah soal Petrus yang marak di awal tahun
80an. Saya memang belum lahir saat itu tapi dari bertanya kepada teman yang
sudah jadi anak kecil di era itu, memang sering ditemukan mayat mayat begal yg
dibunuh secara misterius . Bahkan ada tetangganya yang malam harinya diciduk
dan paginya udah mengambang di sungai. Konon, ini ulah penembak misterius yang
bertujuan untuk mengurangi angka kriminalitas di perkotaan waktu itu.
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Mengapa Kita Harus Berfikir Secara Logis?
Secara tujuan memang baik, yakni memberantas kejahatan. Tetapi apakah caranya
tepat? SGA mempertanyakan apa kuasa yg dimiliki manusia sampai dia berhak
menentukan hidup dan matinya seseorang. Juga, bagaimana dengan nurani si
eksekutor yang harus melakukan eksekusi di lapangqn, sementara pembunuh yg
sebenarnya adalah di jajaran tertinggi.
Sastra selalu membuat kita
bertanya sudah manusiakah kita? Karena kadang demi tujuan yang baik pun manusia
dipaksa tidak menjadi manusia. Kadang juga, manusia terlalu sibuk menepi sampai
lupa kalau dirinya juga manusia. Cerpen terakhir di buku ini mengingatkan kita
bahwa sering kali kita malah terlalu sibuk mengomentari sehingga lupa beraksi.
Pada bab keroncong pembunuhan,
setting cerita ada pada pelaku tukang tembak misterius yang dibayar oleh
seorang yang tak dikenal untuk menembak seseorang ditengah jalannya pesta.
Meski dibayar, pelaku masih bertanya-tanya alasan terbesar ia harus membunuh
seseorang. Prosesnya tidak sesingkat apa yang kita bayangkan, seperti telah
ditemukannya sasaran tembak kemudian "dorr" mati. Lewat headphone
yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan perempuan yang memerintahkannya,
diam-diam ia mengetahui jika pesuruh juga hadir di tengah-tengah pesta, bahkan
berdekatan dengan calon korban.
Bunyi Hujan di Atas Genting
Pada bab ini, cerita berfokus
pada Sawitri dan Alina. Kepingan awal cerita di bab awal tidak dibahas sama
sekali. Mungkin ini beda alur, batinku saat membacanya. Namun, halaman demi
halaman saya baca, saya mulai menemukan inti dari apa yang Pak Seno sampaikan
pada cerita Sawitri yang berlaku sebagai juru cerita ke Alina tentang fenomena
kematian para lelaki bertato di ujung gang rumahnya selepas hujan reda. Dari
pelbagai mayat yang ada, Sawitri selalu menunggu dengan was-was dan senang.
Takut karena jika pria bertato yang meninggal adalah kekasihnya sendiri. Dari mana
ia tahu? Dari tato berbentuk love di dada Pamuji.
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar
Grhhh!
Tokoh utama pada cerpen ini adalah reserse Sarman. Kesehariannya selain
bertugas dan nyangkruk di warkop Mak Markonah, ia dan polisi lain sibuk
membunuh, atau tepatnya merudal para mayat hidup yang disebutnya zombie.
Cerita ini tentu berbeda sekali
dengan kedua cerpen di atas, toh dalam dunia nyata tidak mungkin ada yang
namanya mayat hidup. Kalau saya bilang, cerpen ini beraliran realis. Tapi jika
disebut realis, harusnya reserse Sarman dan kawan-kawan polisinya tak perlu
takut dengan keberadaan para zombie.
Karena cerpen ini menjadi trilogi dalam novel Trilogi Penembak Misterius, tentu
ada hubungannya dengan Petrus itu sendiri. Terlebih sangat jelas dalam
penghujung cerpen bahwa para zombie adalah gerombolan korban pembantaian yang
tak bersalah. Mereka menuntut dendam kepada para polisi, terutama Sarman yang
tak tahu menahu apa alasan mereka dibantai.
Sarman
Ini tentang Alina yang menyuruh si juru cerita untuk bercerita tentang tema
kejenuhan. Di pilihlah cerita tentang karyawan sebuah perusahaan bernama,
Sarman. Karyawan yang sudah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja
dengan totalitas dan penuh dedikasi ini pada suatu sore tiba-tiba menjadi gila.
Ia memaki-maki amplop gaji yang ia terima, tidak hanya itu. Ia menendang apa
saja yang berada dihadapannya, ia melompat dari meja satu ke meja yang lain
sembari menghambur kan gaji yang ia terima. Teman-teman karyawan yang berada
satu ruangan dengan Sarman tampak kaget. Kaget karena melihat tingkat Sarman
yang ganjil, sedikit takut tapi senang karena Sarman menghambur-hambur kan
uangnya. Mereka berebut, ruangan menjadi porak-poranda, kertas dan gelas
menjadi korban.
Tentu bagi yang sudah membaca
cerpen ini banyak memiliki tafsir atas cerpen ini. Saya sendiri menilai jika
Pak Seno mengkritik para karyawan yang diperbudak gaji. Rutinitas yang dijalani
setiap harinya, delapan jam kerja dan tugas tambahan lainnya idealnya bukan
melulu berbicara gaji. Didalamnya ada proses, ada humanisme dan spiritualitas.
Kurang lebih begitu, Hehe.
Becak Terakhir di Dunia (atawa
Rambo)
Cerpen ini ditulis pada februari
1986. Saya belum sempat melacak apa waktu itu sedang gencar peremajaan
transportasi massal atau tidak. Masih pada bagian cerita untuk Alina. Kini ia meminta
ke juru cerita untuk menceritakan tentang kepunahan. Si juru cerita bercerita
tentang sebuah kafilah beratus-ratus truk mengangkut becak yang hendak dibuang
ke tengah laut. Saya mengira Pak Seno mengkritik Pemerintah yang hendak
membasmi becak-becak dan diganti dengan Bajaj. Kritik pada cerpen sangat jelas,
Pemerintah hanya fokus pada cara menghilangkan becak dari jalanan, mereka lupa
bahwa pengayuh becak butuh pekerjaan baru, jika janji Pemerintah akan mengganti
becak mereka dengan bajaj. Apa pemerintah cukup bajaj?
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Surat Untuk Ayah
Puncak satire pada cerpen yang
Pak Seno tulis saat Rambo si pemilik becak terakhir berhenti di gubuk tua milik
penumpangnya yang belakangan diketahui seorang pelacur. Dengan santai si
pelacur berkata ke Rambo
"Aku pelacur, kami biasa
digaruk. Nasib kita sama-sama tergusur". Rambo menimpali "Tapi
pelacur tak akan pernah habis digaruk, lain dengan becak. Becakku adalah becak
terakhir di dunia. Tak akan pernah ada pelacur terakhir di dunia. Kamu lebih
untung ..." Hal 53
Tragedi Asih Istrinya Sukab
Seperti halnya menyelami sejarah,
cerpen Pak Seno ditulis atas respon beliau terhadap kondisi sosial politik dan
budaya pada masa itu, khususnya cerita tentang Asih istri dari Pak Sukan.
Bagiku ini sangat menarik, cerpen Pak Seno adalah realita bagaimana seorang
manusia yang tertatih tatih dalam menyambung hidup. Bekerja siang dan malam
demi menafkahi keluarga, menjaga wibawa dan tentunya rasa hormat di masyarakat.
Terimakasih
Malang, 6 Oktober 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment