SURAT UNTUK AYAH
Tulisan ini sudah saya share di group keluarga dan terbaca oleh Ayah dan Ibu saya. Jadi, selamat membaca.
Minggu ini saya sedang berusaha menyelesaikan buku karangan Eka Kurniawan berjudul "Senyap Yang Lebih Nyaring", penulis yang banyak kalangan menyebut Eka adalah pewaris idiologisnya Pramoedya Ananta Toer. Buku tersebut aslinya adalah tulisan di blog Eka pada medio tahun 2012-2014 yang diterbitkan oleh Circa Yogyakarta. Jarang sekali saya membeli buku yang naskah aslinya bisa saya nikmati lewat blog atau web, seingat saya hanya buku terbitan Mojok dengan judul "Surat Terbuka Kepada Pemilih Jokowi Sedunia" dan buku yang sedang saya baca minggu ini. Lantas jika dibilang tidak suka membeli buku yang naskah awalnya bisa saya nikmati lewat blog atau web, mengapa saya membeli buku ini?. Jawabannya sederhana, ada rasa hormat saya kepada Eka. Selain karena buku Cantik Itu Luka yang sangat fenomenal, saya pernah bertemu langsung dengan Eka saat bedah buku di Malang. Bagi saya, Eka bukan hanya penulis buku, dia juga seorang kritikus sastra, desainer dan pribadi yang komitmen dengan apa yang dia tulis.
Oke, saya kira saya harus langsung kepada inti tulisan. Jadi begini, hehe.
Sebenarnya banyak judul yang menarik pada buku tersebut, tapi untuk kali ini saya ingin membahas judul "Ayah dan Anak" pada halaman 61. Singkatnya, judul tersebut mengisahkan hubungan seorang Ayah dan Anak di The Road Cormac McCarthy, yang beberapa kali (Si Anak) mengingatkan ayahnya untuk menepati apa yang telah dikatakannya sendiri. Pada bagian tersebut Eka berandai jika hubungan Eka dengan Ayahnya seperti pada cerita di atas, dan saya (Sekarang) membayangkan apa yang waktu Eka bayangkan. Ya, saya sedang membayangkan hubungan saya dengan ayah saya.
Saya tidak terlalu banyak bicara dengan ayah saya, dan itu salah satu yang saya sesali. Saya hanya banyak bicara ke ibu saya, itupun ukurannya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan kawan-kawan atau saudara saya. Saya menjadi anak yang pendiam, khususnya di rumah. Atau kalau boleh saya memakai bahasa halus, saya adalah tipikal anak yang semasa kecil suka mengamati, bahkan sampai sekarang. Saya tidak memiliki banyak energi untuk bicara, kalau pun terpaksa maka hanya obrolan pemecah kegaringan semata. Parahnya, tabiat ini berlanjut saat saya memiliki istri, untung saja perempuan yang saya nikahi ini paham. Syukur allhamdulillah.
Saya masih ingat, pertengahan tahun 2011 selepas shalat ashar berangkat ke Malang dengan ayah. Kami naik bus dari terminal Pecangaan Jepara ke terminal Jati Kudus. Dari Kudus kita berdua melanjutkan perjalanan ke terminal Bungurasih Surabaya. Waktu itu kita menaiki Bus Sinar Mandiri kelas ekonomi yang membawa kita 6 jam lamannya menuju kota pahlawan.
Saya membawa tas yang cukup besar berisi pakaian dan berkas daftar ulang Mahasiswa Baru. Sedangkan ayah hanya membawa day pack kecil yang berisi beberapa baju dan sedikit makanan ringan pemberian ibu. Perjalanan yang memakan waktu 6 jam itu kita lalui tanpa banyak bicara, pikiran saya banyak membayangkan bagaimana kelak saya hidup di Malang yang jauh dari orangtua...bagaimana nanti hubungan saya dengan kawan-kawan baru saya, apakah di Malang memiliki tempat pusat perbelanjaan buku seperti di Semarang dan Yogya. Malang, saya datang kembali setelah rekreasi SD dulu, kini nasib membawaku ke kotamu yang dingin...kira-kira pikiran semacam itu yang menyeruak dalam otak saya.
Momen yang tidak mungkin saya lupakan adalah saat saya ketinggalan bus dengan ayah. Bagi pembaca yang pernah naik bus kelas ekonomi jurusan Semarang-Surabaya tentu paham jika bus kelas ekonomi istirahatnya ngemper di warung pinggir jalan, kelas ekonomi tidak memiliki rekanan dengan resto. Saya berteriak dan berlari saat busnya meninggalkan saya dan ayah...berkas dan pakaianku ada didalam bus semua, modyar aku, batinku...tapi allhamdulillah Allah masih bersama kami. Ternyata, kondektur bus yang kami tumpangi juga tertinggal di warung. Alhasil si kondektur menelpon si supir untuk berhenti, lumayan jauh juga karena kami bertiga harus jalan kisaran 200 meter menuju bus.
Tibalahlah kami di terminal Bungurasih Kota Surabaya, kalau tidak salah ingat waktu itu kisaran jam 1 dinihari. Kita berdua lanjut bergegas menaiki Bus yang membawa saya dan ayah ke Malang, kota yang kelak menjadi tempat saya menuntut ilmu. Kali ini kita berdua naik bus patas non ekonomi, karena penumpang terlalu penuh, saya harus duduk terpisah dengan ayah saya. Syukur allhamdulillah jarak kita berdua tidak terlalu jauh, sehingga saya tidak takut jika terjadi hal negatif dengan diri saya.
Perjalanan Kudus - Surabaya - Malang, suasana masih sama. Kita berdua tidak terlalu banyak bicara. Datar, diam tapi saling mengamankan jika terjadi hal-hal negatif.
Kita sampai Malang menjelang subuh, kalau tidak salah jam 03.15. Dinginnya Malang, wangi buah apel dan bakso malangan yang dijual di terminal Arjosari menyambut saya dan ayah.
"Allhamdulillah", ucap ayah yang masih saya ingat betul.
"Leh, awakmu gak maem?", Tanya Ayah
"Mboten, Pak. Kulo tak lungguh mawon ngeh kaleh ngentosi jemputan", jawabku ke ayah.
Tak lama saya melihat ayah makan bakso. Mungkin ayah sangat lapar, batinku.
Ya, hanya obrolan-obrolan kecil saja yang terjadi antara saya dengan ayah. Perlu pembaca ketahui juga, jika saya ke terminal arjosari menjemput istri pulang kerja. Saya masih ingat betul kedai bakso tempat ayah makan dulu, mengingat warna jaket dan celana kainnya yang kumal. Duh Gusti, terimakasih telah memberikan kesehatan kepada Ayah dan Ibu saya.
Waktu banyak membawa perubahan, saya sudah lulus dan menikah. Yang tidak berubah hanya satu, saya tetap jarang bicara dengan ayah saya. Sesekali kami memberi kabar, isinya guyonan seputar bagaimana perkembangan kasus saya dengan orang yang tidak terima dengan artikel saya, bagaimana kabar pekerjaan dan istri saya dll. Sekali telpon saya bisa menghabiskan waktu minimal 45 menit, dan saya bahagia juga sedih. Entahlah perasaan apa ini.
Pernah saya bertanya kepada kawan-kawan gaek saya ditempat kerja, atau kawan saya yang menempuh studi pasca sarjana. Apakah hubungan saya dengan ayah saya ini terbilang wajar. Tentu banyak jawaban yang beragam dan tidak dapat saya jelaskan juga. Akan tetapi ada benang merah hasil diskusi saya dengan kawan-kawan yang perlu saya share dengan pembaca.
"Begitulah lelaki, terlebih seorang Bapak. Terkesan cuek dan keras terhadap anaknya, tapi diam-diam dia selalu bertanya kabar anak-anaknya melalui istrinya. Jadi jangan kaget kalau anak selalu dekat dengan Ibunya", Saya kira itu benang merah yang saya dapat dan saya mengamini hal itu.
Mengapa saya menulis ini? Sudah saya jelaskan di awal tulisan. Ada alasan lain? Ya, alasan itu adalah saya ingin berterimakasih kepada ayah saya. Sebagai anak yang tidak pandai bicara, tentu tulisan ini saya harap mewakili apa yang saya rasakan. Hornat saya kepada Ayah dan Ibuk. I love you.
Saya memiliki banyak kenangan, namun sedikit yang bisa saya kenang dipikiran saya karena harus bersaing dengan ingatan kapan jatuh tempo cicilan sepeda motor, listrik, bpjs dll. Oleh karena itu saya memilih menulis kenangan ini.
Seperti saat selesai makan atau bercinta. Jika ada sensasi selepas aktifitas tersebut, anggap saja sebagai residu perasaan dan kenangan yang bertahan. Jika saya ingin mengingat kenangan itu dan lupa, saya tinggal membaca tulisan ini lagi. Begitu terus akan saya ulangi.
Terimakasih
Salam hangat bagi Ayah dan Ibu saya.
Salam bagi para Ayah di luar sana.
No comments:
Post a Comment