Tuesday, September 29, 2020

Resensi Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti

Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti

 

Bagi para penggemar cerpen, tentunya sudah tidak asing dengan nama Hamsad Rangkuti. Berdiri sebagai satu di antara sekian cerpenis-cerpenis besar di Indonesia yang telah melahirkan karya-karya yang juga besar. Karya-karya yang ketika dibaca sepuluh atau dua puluh tahun mendatangpun, akan tetap terasa baru dan segar.



Kali ini, Hamsad kembali hadir melepas dahaga jiwa-jiwa yang haus akan karya sastra. Panggilan Rassul, memuat 14 buah cerpen yang mengusung tema religius. Latarnya pun tidak jauh dari Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Akan tetapi, seperti pada karya-karya Hamsad sebelumnya; cerita-cerita dalam buku ini masih kental akan penjelajahannya pada kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Kehidupan yang sering kita lupakan, karena terlalu sibuk berkenalan dengan diri sendiri juga dengan gempuran teknologi.


Melalui buku ini, Hamsad menyapa sekaligus menegur kita secara halus melalui kisah-kisah lokal bernafas keislaman. Cerita-ceritanya terasa begitu hidup, tidak terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari yang sering kita jumpai di sekeliling kita. Hamsad dengan sangat apik mengemas itu semua menjadi cerita yang sangat detail dan sarat makna. Hamsad menulis tentang seorang guru mengaji, tuan tanah, gelandangan, penggembala, bahkan tukang pecel. Gaya penulisan Hamsad yang khas; realistis, deskriptif, kaya detail, dan satire, akan membawa pembaca masuk pusaran kisah yang apik, menarik, sekaligus menggelitik.


Baca tulisan saya yang lain: Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur


Cerpen utama di dalam buku ini, Panggilan Rasul (1962) menceritakan tentang dua orang anak yang meninggal pada saat disunat oleh dukun sunat. Ayahnya adalah seorang tuan tanah yang kikir dan tamak. Ketika akan menyunati anaknya yang ketiga, tuan tanah ini tampaknya merasa sangat khawatir kalau anaknya yang ketiga; Lassudin, akan mengalami nasib yang sama seperti kedua kakaknya. Demi untuk menghindari kejadian itu terulang, si tuan tanah sengaja mendatangkan dokter ahli dari kota. Tetapi ibu Lassudin mengklaim bahwa kedua anaknya yang meninggal merupakan hukuman dari Allah lantaran sifat suaminya yang kikir, tamak, penghisap, dan lintah darat.


Begitulah, Hamsad menggambarkan karakter kehidupan di perkampungan, yang tidak jarang menyangkutkan setiap kejadian, hanya dengan adat kebiasaan; diluar ilmiah. Berbeda dengan masyarakat perkotaan (baca: berpendidikan) yang berpikir logis. Segala sesuatu dikaji menggunakan ilmu, yang karena itu pula, terkadang manusia jadi lupa kepada Tuhan. Ada pula cerita Malam Takbir (1993). Mengisahkan perjumpaan tokoh aku dengan seorang tukang kebun. Seorang tukang kebun miskin yang sedang berbuka puasa, dan nasinya kejatuhan sebuah bola bulu ayam (bulu tangkis) yang sebelumnya telah jatuh ke comberan. Dalam kisah ini, Hamsad berhasil mengiris hati pembaca, kemudian menyampaikan hal yang sangat penting; Bahwa rezeki sering kali datang tanpa disangka-sangka, tanpa diduga-duga arahnya.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Kumcer Corat-Coret di Toilet By Eka Kurniawan


Hamsad, terkenal sangat detail dalam menulis narasi. Ia mampu mendeskripsikan kejadian dan laku setiap tokohnya hingga ke bagian terkecil dengan sangat rapi dan jelas. Misal dalam Santan Durian (1999) “Mula-mula ketan diambil dari piring suguhan, dipindahkan seingin kita ke piring kecil yang dasarnya lebih dalam. Santan durian dituangkan ke atas ketan berikut beberapa butir biji durian beserta dagingnya. Kami lebih suka memakannya dengan cara bersuap, dan duduk di atas tikar pandan di lantai. Kaki kiri kami tekuk sehingga tempurung lutut sama tinggi dengan dagu. Piring kami angkat di tangan kiri yang sikunya kami topangkan di atas lutut. Ujung jari-jamari tangan kanan memisahkan sedikit ketan dari tumpukannya. Pisahkan daging durian dari bijinya yang sudah basah santan itu. Satukan dalam sejumput, sebanyak yang dipungut ujung jari, lalu disuap. Sebagai penutup, bila ada santan tersisa di piring, langsung kami tuangkan ke mulut.”


Hal yang tak kalah menarik lainnya, adalah gaya ironisme dan satire yang sering dimunculkan di sela antara plot utama. Selain itu, ada banyak lelucon segar di tiap titik tertentu, tujuannya adalah agar pembaca tidak terlalu fokus pada hal-hal serius yang kadang bisa membuat lelah dan mengantuk. Hamsad juga betul-betul memperhitungkan minat dan keinginan pembaca, sehingga pembaca dapat mengaminkan dan menerima pesan moral tanpa merasa didikte dan digurui.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah?


Pada cerita Ayahku Seorang Guru Mengaji, misalnya, perkembangan zaman di sini dikemas melalui kisah anak-anak yang mulai malas untuk pergi mengaji usai Magrib. Mereka lebih nyaman duduk di depan televisi. Pun dari perkembangan zaman ini pula, saya melihat perubahan pola hidup masyarakat ditandai dengan kehadiran produk-produk baru yang bisa menggusur usaha kecil. Namun, Hamsad justru kembali menampar kesok-tahu-an saya dengan menjejalkan fakta bahwa manusia mampu beradaptasi selama dia mau bekerja keras dan menggunakan otaknya untuk berpikir tanpa meninggalkan landasan-landasan hidup yang telah menjadi prinsip. Beradaptasi bukan berarti meninggalkan jati diri kita. Beradaptasi bukan berarti menggadaikan prinsip hidup.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel "Babad Kopi Parahyangan"


Cerita tentang sebuah keluarga kecil, keluarga sederhana dengan kepala keluarga bernama Achmad yang berprofesi sebagai tukang pembuat kasur dan malamnya menjadi guru mengaji dengan upah yang tak seberapa.


Bagi saya, cerpen ini terbilang keren karena mempertontonkan konfrontasi di dalam keluarga kecil. Konflik pertama ada pada Istri dari Pak Achmad yang selalu menyindir suaminya karena penghasilnya tak dapat mencukupi kebutuhan keluarga, belum lagi saat istrinya memperbandingkan penghasilnya dengan Pak Sanusi si tukang penjual bunga dan penjual jasa membacakan doa di pemakaman. Konflik kedua ada pada anaknya sendiri yang sudah dua kali khatam Al Quran berkat didikannya langsung. Pak Achmad selalu mewanti-wanti agar anaknya selalu ikhlas dalam mengamalkan kemampuannya membaca Al Quran, tapi anaknya selalu mendebat ayahnya saat disuruh membantunya mengajar mengaji anak-anak selepas shalat maghrib.


Konflik pada cerpen ini melebar saat para tetangga Pak Achmad mampu mengaliri rumahnya dengan listrik, membeli televisi dan radio. Berkebalikan dengan rumahnya yang masih menggunakan lampu minyak. Menanggapi apa yang dilakukan Pak Sanusi di pemakaman, saya melihat Pak Hamsad Rangkuti dengan jeli menyelipkan teologi pada cerpennya. Persisnya pada pesan bahwa sebaiknya ilmu mengaji itu disampaikan ke manusia yang masih hidup, bukan hanya terbatas yang sudah meninggal demi mendapatkan imbal jasa dari peziarah. Hal ini menguatkan bahwa bacaan Yasin dan Tahlil di pemakaman bukan hanya tradisi saja, melainkan sebuah tuntunan hidup bagi manusia yang masih hidup untuk bertemu dengan Tuhan-Nya.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel Cinta Lama Karya Puthut EA


Memang ada beberapa cerpen yang nendang habis dibandingkan dengan cerpen lainnya. Dari beberapa cerpen yang nendang dan datar tersebut, dapat saya nilai bahwa Pak Hamsad dengan ciamik meramu sebuah cerita dengan aliran humanis, religious dengan sumber sekelilingnya. Pak Hamsad tidak dapat diragukan dalam membuat cerita, dibalik ide kecil (sederhana), bukan tidak mungkin menanamkan nilai yang besar.


Terimakasih

Malang, 29 September 2020

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment