Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti
Bagi para penggemar cerpen,
tentunya sudah tidak asing dengan nama Hamsad Rangkuti. Berdiri sebagai satu di
antara sekian cerpenis-cerpenis besar di Indonesia yang telah melahirkan
karya-karya yang juga besar. Karya-karya yang ketika dibaca sepuluh atau dua
puluh tahun mendatangpun, akan tetap terasa baru dan segar.
Kali ini, Hamsad kembali hadir melepas dahaga jiwa-jiwa yang haus akan karya sastra. Panggilan Rassul, memuat 14 buah cerpen yang mengusung tema religius. Latarnya pun tidak jauh dari Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Akan tetapi, seperti pada karya-karya Hamsad sebelumnya; cerita-cerita dalam buku ini masih kental akan penjelajahannya pada kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Kehidupan yang sering kita lupakan, karena terlalu sibuk berkenalan dengan diri sendiri juga dengan gempuran teknologi.
Melalui buku ini, Hamsad menyapa
sekaligus menegur kita secara halus melalui kisah-kisah lokal bernafas
keislaman. Cerita-ceritanya terasa begitu hidup, tidak terlepas dari realitas
kehidupan sehari-hari yang sering kita jumpai di sekeliling kita. Hamsad dengan
sangat apik mengemas itu semua menjadi cerita yang sangat detail dan sarat
makna. Hamsad menulis tentang seorang guru mengaji, tuan tanah, gelandangan,
penggembala, bahkan tukang pecel. Gaya penulisan Hamsad yang khas; realistis,
deskriptif, kaya detail, dan satire, akan membawa pembaca masuk pusaran kisah
yang apik, menarik, sekaligus menggelitik.
Baca tulisan saya yang lain: Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur
Cerpen utama di dalam buku
ini, Panggilan Rasul (1962) menceritakan tentang dua orang anak yang
meninggal pada saat disunat oleh dukun sunat. Ayahnya adalah seorang tuan tanah
yang kikir dan tamak. Ketika akan menyunati anaknya yang ketiga, tuan tanah ini
tampaknya merasa sangat khawatir kalau anaknya yang ketiga; Lassudin, akan mengalami
nasib yang sama seperti kedua kakaknya. Demi untuk menghindari kejadian itu
terulang, si tuan tanah sengaja mendatangkan dokter ahli dari kota. Tetapi ibu
Lassudin mengklaim bahwa kedua anaknya yang meninggal merupakan hukuman dari
Allah lantaran sifat suaminya yang kikir, tamak, penghisap, dan lintah darat.
Begitulah, Hamsad menggambarkan
karakter kehidupan di perkampungan, yang tidak jarang menyangkutkan setiap
kejadian, hanya dengan adat kebiasaan; diluar ilmiah. Berbeda dengan masyarakat
perkotaan (baca: berpendidikan) yang berpikir logis. Segala sesuatu dikaji
menggunakan ilmu, yang karena itu pula, terkadang manusia jadi lupa kepada
Tuhan. Ada pula cerita Malam Takbir (1993). Mengisahkan perjumpaan
tokoh aku dengan seorang tukang kebun. Seorang tukang kebun miskin yang sedang
berbuka puasa, dan nasinya kejatuhan sebuah bola bulu ayam (bulu tangkis) yang
sebelumnya telah jatuh ke comberan. Dalam kisah ini, Hamsad berhasil mengiris
hati pembaca, kemudian menyampaikan hal yang sangat penting; Bahwa rezeki
sering kali datang tanpa disangka-sangka, tanpa diduga-duga arahnya.
Baca tulisan saya yang lain: Resensi Kumcer Corat-Coret di Toilet By Eka Kurniawan
Hamsad, terkenal sangat detail
dalam menulis narasi. Ia mampu mendeskripsikan kejadian dan laku setiap
tokohnya hingga ke bagian terkecil dengan sangat rapi dan jelas. Misal dalam Santan
Durian (1999) “Mula-mula ketan diambil dari piring suguhan, dipindahkan
seingin kita ke piring kecil yang dasarnya lebih dalam. Santan durian
dituangkan ke atas ketan berikut beberapa butir biji durian beserta dagingnya.
Kami lebih suka memakannya dengan cara bersuap, dan duduk di atas tikar pandan
di lantai. Kaki kiri kami tekuk sehingga tempurung lutut sama tinggi dengan
dagu. Piring kami angkat di tangan kiri yang sikunya kami topangkan di atas
lutut. Ujung jari-jamari tangan kanan memisahkan sedikit ketan dari
tumpukannya. Pisahkan daging durian dari bijinya yang sudah basah santan itu.
Satukan dalam sejumput, sebanyak yang dipungut ujung jari, lalu disuap. Sebagai
penutup, bila ada santan tersisa di piring, langsung kami tuangkan ke mulut.”
Hal yang tak kalah menarik
lainnya, adalah gaya ironisme dan satire yang sering dimunculkan di sela antara
plot utama. Selain itu, ada banyak lelucon segar di tiap titik tertentu,
tujuannya adalah agar pembaca tidak terlalu fokus pada hal-hal serius yang kadang
bisa membuat lelah dan mengantuk. Hamsad juga betul-betul memperhitungkan minat
dan keinginan pembaca, sehingga pembaca dapat mengaminkan dan menerima pesan
moral tanpa merasa didikte dan digurui.
Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah?
Pada cerita Ayahku Seorang Guru
Mengaji, misalnya, perkembangan zaman di sini dikemas melalui kisah anak-anak
yang mulai malas untuk pergi mengaji usai Magrib. Mereka lebih nyaman duduk di
depan televisi. Pun dari perkembangan zaman ini pula, saya melihat perubahan
pola hidup masyarakat ditandai dengan kehadiran produk-produk baru yang bisa
menggusur usaha kecil. Namun, Hamsad justru kembali menampar kesok-tahu-an saya
dengan menjejalkan fakta bahwa manusia mampu beradaptasi selama dia mau bekerja
keras dan menggunakan otaknya untuk berpikir tanpa meninggalkan landasan-landasan
hidup yang telah menjadi prinsip. Beradaptasi bukan berarti meninggalkan jati
diri kita. Beradaptasi bukan berarti menggadaikan prinsip hidup.
Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel "Babad Kopi Parahyangan"
Cerita tentang sebuah keluarga
kecil, keluarga sederhana dengan kepala keluarga bernama Achmad yang berprofesi
sebagai tukang pembuat kasur dan malamnya menjadi guru mengaji dengan upah yang
tak seberapa.
Bagi saya, cerpen ini terbilang
keren karena mempertontonkan konfrontasi di dalam keluarga kecil. Konflik
pertama ada pada Istri dari Pak Achmad yang selalu menyindir suaminya karena
penghasilnya tak dapat mencukupi kebutuhan keluarga, belum lagi saat istrinya
memperbandingkan penghasilnya dengan Pak Sanusi si tukang penjual bunga dan
penjual jasa membacakan doa di pemakaman. Konflik kedua ada pada anaknya
sendiri yang sudah dua kali khatam Al Quran berkat didikannya langsung. Pak
Achmad selalu mewanti-wanti agar anaknya selalu ikhlas dalam mengamalkan
kemampuannya membaca Al Quran, tapi anaknya selalu mendebat ayahnya saat
disuruh membantunya mengajar mengaji anak-anak selepas shalat maghrib.
Konflik pada cerpen ini melebar
saat para tetangga Pak Achmad mampu mengaliri rumahnya dengan listrik, membeli
televisi dan radio. Berkebalikan dengan rumahnya yang masih menggunakan lampu
minyak. Menanggapi apa yang dilakukan Pak Sanusi di pemakaman, saya melihat Pak
Hamsad Rangkuti dengan jeli menyelipkan teologi pada cerpennya. Persisnya pada
pesan bahwa sebaiknya ilmu mengaji itu disampaikan ke manusia yang masih hidup,
bukan hanya terbatas yang sudah meninggal demi mendapatkan imbal jasa dari
peziarah. Hal ini menguatkan bahwa bacaan Yasin dan Tahlil di pemakaman bukan
hanya tradisi saja, melainkan sebuah tuntunan hidup bagi manusia yang masih
hidup untuk bertemu dengan Tuhan-Nya.
Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel Cinta Lama Karya Puthut EA
Memang ada beberapa cerpen yang
nendang habis dibandingkan dengan cerpen lainnya. Dari beberapa cerpen yang
nendang dan datar tersebut, dapat saya nilai bahwa Pak Hamsad dengan ciamik
meramu sebuah cerita dengan aliran humanis, religious dengan sumber sekelilingnya.
Pak Hamsad tidak dapat diragukan dalam membuat cerita, dibalik ide kecil (sederhana),
bukan tidak mungkin menanamkan nilai yang besar.
Terimakasih
Malang, 29 September 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment