Resensi Novel Babad
Kopi Parahyangan Karya Evi Sri Rezeki
Judul :
Babad Kopi Parahyangan
Penulis :
Evi Sri Rezeki
Penerbit :
Marjin Kiri
Cetak :
2020
Tebal :
348 halaman
ISBN :
978 979 1260 96 1
Berbicara Mbak Evi Sri Rezeki,
tak lepas dari buku Teenlit. Saat saya tahu Marjin Kiri menerbitkan buku
karangan beliau, saya mengernyitkan dahi. Bagaimana proses kesulitan si penulis
berganti haluan dari menulis Teenlit ke sebuah novel Tetralogi. Pada awalnya
saya sangsi kalau novel Babad Kopi Parahyangan tak lebih dari sebuah novel remaja
pada umunya. Namun alasan itu tak bertahan lama, hal ini karena saya masih
bertanya tanya kok bisa sampai diterbitkan oleh Marjin Kiri? yang sepamahaman
saya selalu menerbitkan buku dengan tema cukup berat.
Buku Babad Kopi Parahyangan |
Saya membaca buku kisaran sebulan
lamanya, saya sempat kehilangan fokus karena banyak pekerjaan yg harus di
selesiakan. Tepat 10 Juni 2020 pukul 15:36 saya menandaskan novel epik ini.
Mbak Evi dengan ciamik menuliskan asal muasal sejarah pohon kopi, perdagangan
kopi pada masa dinasti Islam sampai pada zaman colonial.
Sebelum membaca Babad Kopi
Parahyangan,saya sudah mendegar jika banyaknya pohon kopi di Indonesia
berangkat dari sistim tanam paksa yang di lakukan Belanda. Banyak orang pribumi
dari pelbagai daerah di jadikan buruh paksa, pergi meninggalkan sanak keluarga
sampai ajal menjemput karena kelelahan dan siksaan di kebun kopi.
Selain itu, bagi yang sudah
membaca buku Max Havelaar tentu tidak kaget. Karena Mbak evi dengan terang
menukiskan kisah Max Havelaar dalam novel ini. Di mana novel epik itu di baca oleh
Raden Arya selaku petinggi di Parahyangan.
Perlu pembaca tahu, novel ini
masuk dalam kategori novel terbaik yang di lombakan di “Sayembara Novel Dewan
Kesenian Jakarta 2018”
Ajang yang diadakan dua tahun
sekali ini, sudah membuka pendaftaran dari bulan Maret-Juli dan ditutup oleh
Yusi Avianto selaku Ketua Komite Sastra DKJ di Teater Kecil, Taman Ismail
Marzuki (04/11).
Silahkan Kunjungi Lapak Saya |
Sebelum memasuki acara inti,
penonton disuguhkan dengan penampilan musik oleh Reda Gaudiamo. Ia ialah
pemusik dan pecinta sastra yang sering membuat musikalisasi puisi degan akun
youtebe Ari Reda. Dengan empat lagu unggulannya, pemusik tersebut membuat para
penonton hampir terhanyut dengan nada-nadanya.
Acara dilanjutkan dengan
Pertanggungjawaban Juri Sayembara Novel DKJ 2018. Ketiga juri tersebut ialah
A.S Laksana, Nukila Amal, dan Martin Suryajaya. Setelah dipersilakan menaiki
panggung oleh pewara, ketiga juri tersebut menyampaikan satu persatu laporan pertanggungjawabannya.
Martin Suryajaya menjabarkan
empat keriteria juri dalam memilih pemenang. Yaitu,
Kecakapan Bahasa Indonesia
Novel Indonesia tentu saja
bernafas kepada bahasa Indonesia sendiri. Dengan beragam macam kekayaan bahasa
Indonesia serta susunan gramatikanya, begitulah para juri mencari penulis
terbaik yang mengeksplor lebih dalam terkait bahasa Indonesia
Pengrajinan Sastrawi
Ialah kepiawayan pengarang dengan
teknik sastranya. Seperti bagaimana pengarang memainkan alur, tokoh, dan kontras
irama dalam naskahnya.
Kebaruan
Ialah bagaimana para juri menilai
naskah dengan kebaruan yang diciptakan oleh para pengarang peserta sayembara,
baik dalam isi kisah, maupun teknik penulisan. Pasalnya, novelis-novelis
Indonesia perlulah mengambil uji coba yang penuh dengan resiko untuk
menumbuhkan sesuatu yang lebih segar.
Keselarasan bentuk dan isi
Ialah bagaimana juri menilai para
pengaran dengan Pemilihan bentuk pengungkapan yangmesti disesuaikan dengan isi
yang mau disampaikan. Sebab, bagaimanapun, bentuk merupakan konsekuensi
artistik dari isi.
Martin suryajaya pun menyampaikan
catatan lebih rinci mengenai 245 naskah yang sampai di tangan juri.
Naskah-naskah tersebut memiliki genre yang cukup beragam. Dimulai dari fiksi
ilmiah dan fantasi, fiksi sejarah, fiksi religius, juga fiksi ‘hikmah’, memoar
dan otobiografi, fiksi etnografis berbagai suku di nusantara, novel gagasan,
dan lain-lain.
Naskah-naskah tersebut memang
beragam, hanya saja kepengarangannya masih banyak yang perlu ditingkatkan.
Walaupun ada beberapa menarik dan aspek narasi yang asyik. Naskah yang ditulis
tanpa kepengrajinan tersebut, juri menjumpai beberapa hal berikut: alur yang
mudah ditebak, penokohan yang terkesan monofonik dan generik, novel yang ingin
polifonik tapi sebenarnya sama sekali tidak, atau deskripsi narasi yang kurang
pas, serta kurang tergelincirnya dialog-dialog dalam narasi tersebut.
Terlebih lagi, juri sangat
menyayangkan kepada para pengarang yang kurang memerhatikan naskah. Terlihat
jelas juri menemukan naskah-naskah seperti yang tidak disunting. Entah karena
terburu-buru ataupun alasan hal lainnya. Itu ialah sikap Anti-kepengrajinan
yang seharusnya dimusnahkan oleh para pengarang.
Laporan pertanggungjawaban
dilanjutkan oleh Nukila Anwar. Ia menyebutkan lima naskah yang layak terbit.
Berikut ialah daftarnya,
(83) Pemetik Bintang karya
Venerbi Handoryo
Gagasan cerita tersebut ialah
tentang medrioritas anak mua yang dipoles dengan deskrpisi yang mantap. Akan
tetapi, pada penokohannya kurang beragam. Dengan tokoh-tokoh yang tergambarkan
pintar semua, hal tersebut membuat pembaca merasa digurui. Novel ini terkesan
seperti novel populer Barat.
(214) Tiga dalam Kayu karya
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Naskah tersebut ditulis dengan
struktur yang baru, sehingga lebih cenderung untuk berpuisi. Motivasinya ialah
feminis. Hanya saja, sering terganggu dengan gramatika yang kuran pas dalam
novel tersebut. Ada beebrapa bagian yang cenderung sureal dan penggambarannya
kabur serta tidak masuk akal.
(218) “Nyi Manganti” karya
Dadan Sutisna.
Yang menjadi unggulan dalam
naskah ini ialah ditopang oleh riset skrip naskah sunda kuno dan juga perubahan
zaman. Hanya saja agak terlalu cepat bagian akhir serta elaborasi dalam setiap
tokohnya kurang memadai.
Sama dengan Nyi Maganti, novel
ini pun dibangun oleh riset yang sangat mendalam. Bukan hanya masalah
kolonialisme , tetapi juga ditambah dengan masalah etnografi dan teknologi
pasundan abad 19. Sayangnya, pada bagian akhir penceritaannya terlalu
terburu-buru dan terkesan mirip dengan Max Havellar
(241) “Teror Kain Kusut” karya
Irman Hidayat
Kisah dalam novel ini begitu
mengalir dan dialognya pun enak dibaca. Pendek tapi generik. Ingin
polifonik tapi nyatanya monofonik.
Juara pertama (256)
Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi
Novel ini berlokasi di Nusa
Tenggara Timur dan mengisahkan tentang suku Jawan. Bukan hanya berlokasi di
bagian timur, novel ini pun diimbangi dengan kekayaan pembendaharaan kata,
khususnya bahasa Tetun. Pembaca diajak untuk menelusuri bagian pertama sebelum
akhirnya novel ditutup dengan kembali ke adegan tersebut. Humornya pun baik dan
menitik beratkan ke kritik sosial. Penokohannya digarap secara mendetail dan
melebar. Pengarang sangat menceritakan budaya, mitos, suasana, dan karakter
orang timur dengan akurat karena didasari oleh riset dan pengalaman yang cukup.
Dapat dikatakan, novel ini merupakan novel begenre etnografis yang sangat
baik.
Juara kedua, (164) Anak
Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman karya Ahmad Mustafa.
Agak berbeda dengan juara
pertama, juara kedua sayembara novel ini mengisahkan tentang kaum minioritas:
seorang waria, kaum Ahmadiah, dan sebagainya. Pengarang cukup berhasil dengan
membawa novel ini sebagai novel yang polifonik. Sangat disayangkan, dalam novel
ini penokohannya cenderung hitam putih, suatu gangguan yang membawa risiko
tergelincir ke arah melodrama.
Juara Ketiga, (105) Balada
Supri oleh Mochamad Nasrullah
Naskah novel ini dituturkan
dengan gaya jenaka dan mengisahkan tentang keluarga lintas generasi. Alur ceritanya
mengambil peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia.
Metafora-metafora dalam naskah ini cukup menggelitik dengan dialog-dialog yang
cair, sehingga membuat pembaca terkesan. Hanya saja, naskah ini terkesan atau
terasa berkiblat ke One Hundred Years of Solitude.
Berdasarkan empat kriteria juri
tersebut, naskah Orang-orang Oetimu memang sangat cocok keluar sebagai
pemenang. Bukan hanya kecakapan bahasa Indonesianya saja yang dalam, tapi
pengarang berhasil menguak bahasa daerah serta budaya yang berkembang di Timur.
Sayembara Novel DKJ 2018
benar-benar sesuai tujuan tradisionalnya, yang mana memberikan peluang bagi
bakat-bakat muda yang geman dengan sastra untuk berkompetisi dan dinilai secara
adil, tanpa prasangka tentang pusat-daerah, tanpa bias nama besar, dan tanpa
kekhawatiran akan jaringan perkoncoan. Karena semua naskah dinilai tanpa nama
penulis.
Tokoh utama dari Babad Kopi
Parahyangan adalah seorang pemuda dari Minangkabau bernama Karim yang
mengembara ke pulau Jawa setelah mendengar ceritanya seorang Pelaut mengenai
kopi di pulau Jawa.
Ceracau si Pelaut soal kopi di
Parahyangan yang rasanya lebih enak daripada kopi yang disajikan di kampung
halaman Karim, Darek membuat ia begitu bergairah untuk datang ke Parahayangan.
Rasanya yang manis, asam dan gurrih serta sedikit pahit lebih menggoda
bagi Karim ketimbang ngerinya tanam paksa yang diberlakukan Daendels waktu itu.
Penindasan oleh Bangsa Sendiri
Baik, kita sisihkan dulu cerita
soal Daendels dan sangkut pautnya dengan Perancis itu.
Seperti yang pernah kita tahu,
nama Daendels tidak bisa lepas dari tanam paksa yang pernah terjadi dalam
sejarah Indonesia. Jalan Pos yang digagas oleh Daendels pada waktu membuka
sejarah kelam petani di Parahyangan karena dipaksa harus menanam kopi,
mengabaikan ladang dan sawah sendiri demi memenuhi birahi Belanda yang ingin
menguasa perdagangan dunia. Pada waktu itu, mereka terbius oleh nikmatnya
kopi dari rasa dan uang yang dihasilkan lewat ekspor kopi dari Indonesia,
terutama yang ditanam di pulau Jawa.
Tiba di Batavia, Karim sendirian
melanjutkan perjalanan menuju Parahayangan ditemani oleh Ujang (seorang kusir
sahabatnya Si Pelaut) dan bertemu denga Euis seorang mojang sunda yang geulis
dengan pesona khas layaknya seorang Mojang Parahyangan. Dari Euis ini juga
Karim mendapat akses untuk bekerja di perkebunan kopi dan menemukan penindasan
yang dialami oleh petani kopi.
Orangtua kita jaman dulu
memanfaatkan 'jasa' careuh bulan atau luwak untuk mencuri rasa kopi yang tidak
bisa dinikmati sembarang orang. Meski harus mengais-ngais kotoran, tidak
lantas mereka leluasa menikmatinya. Di sisi lain, walau para meneer ogah
menjamah kotoran careuh, tidak lantas pribumi terutama terutama masyakarakat
strata rendah bisa seenaknya menikmati kopi. Meminumnya adalah pelanggaran yang
harus dihukum berat.
Yang membuat perih hati bagi
Karim, penindasan yang dialami oleh para petani justru lebih nyata dilakukan
oleh para mandor dan para kaum priyayi dari bangsa sendiri. Kompeni lewat para
kontrolier malah terkesan cuci tangan setiap terjadi keributan dan kerusuhan.
Masa bodoh dengan mereka, selama produksi kopi tetap lancar.
Seorang Mandor bernama Satria
mempunyai hubungan khusus dengan Euis yang meninggalkan kenangan pahit bagi
keduanya, melibatkan ayah Euis seorang tenaga kesehatan - Mantri Darma, juga seorang
petani cacah - Kang Asep, yang bekerja di perkebunan kopi itu. Dendam
kesumat yang berpilin di antara mereka dibalut dalam konflik yang apik.
Latar Budaya Sunda - Minang
Dialog antara tokoh baik dalam
bahasa Minang atau Sunda dikemas Evi dengan dialog yang ringan namun terasa
nyastra. Dibanding novel Evi lainnya yang pernah saya baca (CineUs dan
Twiries), Babad Kopi Parahyangan ini tampil berbeda, lebih dewasa dari
sebelumnya.
"Apa mau kau cari
Awak?" ucap Karim, suaranya ketus. Dari sorot matanya meruak bara amarah,
Datang dari mana kesumat itu? Tentu Euislah yang menyiram api dalam sekam.
Apakah gadis itu mempergunakan Karim demi membalaskan dendamnya? Kang Asep
hanya dapat menduga-duga - halaman 201
Babad Kopi Parahyangan memotret
kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Minang pada tahun 1870an dengan tokoh
utamanya Karim dan Euis dan menjadikan kopi sebagai benang merah yang
mengikat konflik di sepanjang cerita.
Karakteristik orang Minang yang
melekat pada Karim seperti tipikal Pengembara, berbahasa melayu yang puitis dan
agamis (walau Karim pernah 'tergelincir', kelak masa lalunya ini
berpengaruh bagaimana ia memperlakukan Euis). Sementara karakteristik orang
Sunda akan kita temukan pada sosok Euis dan kang Asep yang berpengaruh kuat
pada Karim.
"Orang Sunda itu
tidak pemalas, Rim. Tidak perlu dipaksa-paksa buat kerja. Kami hanya mengambil
sesuatu dari alam secukupnya. Dan prinsip itu diputarbalikkan sedemikian rupa
oleh Kompeni sehingga orang-orang memercayainya, bahkan orang Sundanya
Sendiri"
Lapak Buku Saya |
Sifat orang Sunda yang welas asih
dan setia seperti yang digambarkan pada karakter Kang Asep dan teman-temannya
di perkebunan seakan jadi cara Evi membantah cap negatif yang identik dengan
orang Sunda. Meski pun di sisi lain ada Satria yang culas dan tidak segan
mengorbankan teman dan keluarga sendiri demi kepentingannya sendiri.
Tapi seperti yang sudah saya
bilang sebelumnya, motif dari Satria dilatari karena dendam dan sakit hatinya
di masa lalu. Sedahsyat itu kekuatan kesumat, bisa hinggap pada siapa saja,
bahkan kalau pun Satria bukan seorang pemuda Sunda.
Konflik Sosial
Dalam satu waktu, Karim mengenal
Raden Arya Kusumah Jaya, bupati pada masa itu yang mengenalkan Karim pada Max
Havelaar, tokoh novel Multatuli yang dditulis oleh Douwes Dekker, seorang
Belanda yang punya keprihatinan dan mengkritik pemeritahnya melalui novelnya
itu.
Struktur pemerintahan di
Parahyangan pada masa itu sesungguhnya cuma akal-akalan Belanda untuk
memperalat dan menciptakan peluang konflik perpecahan yang bisa terjadi.
Raden Arya Kusumah terbelit intrik kepentingan dan batinnya terkait tanam
paksa kopi, belum lagi kecemburuan pihak lain karena merasa iri dengan posisi
dan kedudukan yang dimilikinya.
Transisi Antar Bab
Tapi jangan khawatir, novel
ini bukan jenis novel yang berat untuk dibaca, walau terkesan cukup rumit. Evi
berhasil menyajikan cerita lewat penuturan yang lincah. Dari satu bab ke bab
lain akan menggelitik kita untuk terus membaca berkat fragmen mendebarkan yang
selalu muncul di akhir bab. Ini sih udah kayak candu seperti kopi,
membuat kita ingin terus menyesap ceritanya, sepahit apapun itu.
Bagian cerita antara Karim, Raden
Arya dan Philip Vitalis (sahabat Raden Arya) membutuhkan kesabaran lebih eksta
buat saya untuk tidak melewatkannya. Alur cerita agak datar namun membuat saya
lebih paham pemikiran Douwes Dekker lewat novel Multatuli dan reaksi petinggi
Belanda pada masa itu.
Membaca novel Babad Kopi
Parahayangan juga bercerita kearifan lokal, bagaimana hubungan orang tua kita
pada masa lalu dengan para leluhurnya. Euis dengan sesajen yang dibuatnya, dan
Karim dengan silek harimaunya.
Babad Kopi Parhayangan sukses
membuat saya senang terhibur dengan alur cerita dan diksi yang digunakan Evi
dalam bertutur, meski masih dibuat penasaran antara hubungan Kenikir,
Khapi dan para leluhurnya. Ada celah masa di antara mereka dengan tokoh
lainnya yang membuat kita harus sabar meraba-raba ada apa yang terjadi.
Jadi semakin penasaran dengan
kelanjutan Tetralogi Babad Kopi Parahyangan.
Sumber Rujukan:
Novel Babad Kopi Parahyangan
http://www.bengkelsastra(dot)com/2018/12/novel-etnografis-menjadi-primadona(dot)html
https://www(dot)resensiefi(dot)my(dot)id/2020/03/babad-kopi-parahyangan-pahitnya-sejarah(dot)html
No comments:
Post a Comment