Thursday, June 11, 2020

Resensi Novel Babad Kopi Parahyangan Karya Evi Sri Rezeki


Resensi Novel Babad Kopi Parahyangan Karya Evi Sri Rezeki


Judul                     : Babad Kopi Parahyangan
Penulis                 : Evi Sri Rezeki
Penerbit                : Marjin Kiri
Cetak                    : 2020
Tebal                    : 348 halaman
ISBN                    : 978 979 1260 96 1


Berbicara Mbak Evi Sri Rezeki, tak lepas dari buku Teenlit. Saat saya tahu Marjin Kiri menerbitkan buku karangan beliau, saya mengernyitkan dahi. Bagaimana proses kesulitan si penulis berganti haluan dari menulis Teenlit ke sebuah novel Tetralogi. Pada awalnya saya sangsi kalau novel Babad Kopi Parahyangan tak lebih dari sebuah novel remaja pada umunya. Namun alasan itu tak bertahan lama, hal ini karena saya masih bertanya tanya kok bisa sampai diterbitkan oleh Marjin Kiri? yang sepamahaman saya selalu menerbitkan buku dengan tema cukup berat.


Buku Babad Kopi Parahyangan
Tidak mau selalu diliputi pertanyaan semacam ini, saya manfaatkan gawai untuk mencari informasi tentang buku yang ia tulis. Informasi dari artikel dan youtube sedkit membuat saya yakin kalau novel pertama dari Tetralogi ini harus saya baca. Mbak Evi menghabiskan waktu enam tahun lamanya, sebuah riset yang bukan main demi sebuah karya Non Fiksi. Dengan membeli buku asli tentu, saya dapat memberi penghormatan sebuah karya kepada penulis dan pekerja literasi.


Saya membaca buku kisaran sebulan lamanya, saya sempat kehilangan fokus karena banyak pekerjaan yg harus di selesiakan. Tepat 10 Juni 2020 pukul 15:36 saya menandaskan novel epik ini. Mbak Evi dengan ciamik menuliskan asal muasal sejarah pohon kopi, perdagangan kopi pada masa dinasti Islam sampai pada zaman colonial.


Sebelum membaca Babad Kopi Parahyangan,saya sudah mendegar jika banyaknya pohon kopi di Indonesia berangkat dari sistim tanam paksa yang di lakukan Belanda. Banyak orang pribumi dari pelbagai daerah di jadikan buruh paksa, pergi meninggalkan sanak keluarga sampai ajal menjemput karena kelelahan dan siksaan di kebun kopi.


Selain itu, bagi yang sudah membaca buku Max Havelaar tentu tidak kaget. Karena Mbak evi dengan terang menukiskan kisah Max Havelaar dalam novel ini. Di mana novel epik itu di baca oleh Raden Arya selaku petinggi di Parahyangan.


Perlu pembaca tahu, novel ini masuk dalam kategori novel terbaik yang di lombakan di “Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018”


Ajang yang diadakan dua tahun sekali ini, sudah membuka pendaftaran dari bulan Maret-Juli dan ditutup oleh Yusi Avianto selaku Ketua Komite Sastra DKJ di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (04/11).


Silahkan Kunjungi Lapak Saya
Dengan 828 nama yang telah mendaftarkan diri di ajang tersebut, panitia begitu yakin terhadap perkembangan dunia sastra yang semakin pesat. Hanya saja, naskah yang masuk ke panitia hanya 271, terlebih lagi yang memenuhi syarat administrasi hanyalah 245 naskah. Jumlah naskah tersebut ialah menurun dari dua tahun sebelunya yang mencapai 312 naskah. Tetapi, pada tahun ini, kualitas naskah-naskah tersebut patut diacungi jempol. Karena lebih baik dari tahun sebelumnya.


Sebelum memasuki acara inti, penonton disuguhkan dengan penampilan musik oleh Reda Gaudiamo. Ia ialah pemusik dan pecinta sastra yang sering membuat musikalisasi puisi degan akun youtebe Ari Reda. Dengan empat lagu unggulannya, pemusik tersebut membuat para penonton hampir terhanyut dengan nada-nadanya.


Acara dilanjutkan dengan Pertanggungjawaban Juri Sayembara Novel DKJ 2018. Ketiga juri tersebut ialah A.S Laksana, Nukila Amal, dan Martin Suryajaya. Setelah dipersilakan menaiki panggung oleh pewara, ketiga juri tersebut menyampaikan satu persatu laporan pertanggungjawabannya.  


Martin Suryajaya menjabarkan empat keriteria juri dalam memilih pemenang. Yaitu,


Kecakapan Bahasa Indonesia
Novel Indonesia tentu saja bernafas kepada bahasa Indonesia sendiri. Dengan beragam macam kekayaan bahasa Indonesia serta susunan gramatikanya, begitulah para juri mencari penulis terbaik yang mengeksplor lebih dalam terkait bahasa Indonesia


Pengrajinan Sastrawi
Ialah kepiawayan pengarang dengan teknik sastranya. Seperti bagaimana pengarang memainkan alur, tokoh, dan kontras irama dalam naskahnya.


Kebaruan
Ialah bagaimana para juri menilai naskah dengan kebaruan yang diciptakan oleh para pengarang peserta sayembara, baik dalam isi kisah, maupun teknik penulisan. Pasalnya, novelis-novelis Indonesia perlulah mengambil uji coba yang penuh dengan resiko untuk menumbuhkan sesuatu yang lebih segar.


Keselarasan bentuk dan isi
Ialah bagaimana juri menilai para pengaran dengan Pemilihan bentuk pengungkapan yangmesti disesuaikan dengan isi yang mau disampaikan. Sebab, bagaimanapun, bentuk merupakan konsekuensi artistik dari isi.

           
Martin suryajaya pun menyampaikan catatan lebih rinci mengenai 245 naskah yang sampai di tangan juri. Naskah-naskah tersebut memiliki genre yang cukup beragam. Dimulai dari fiksi ilmiah dan fantasi, fiksi sejarah, fiksi religius, juga fiksi ‘hikmah’, memoar dan otobiografi, fiksi etnografis berbagai suku di nusantara, novel gagasan, dan lain-lain. 


Naskah-naskah tersebut memang beragam, hanya saja kepengarangannya masih banyak yang perlu ditingkatkan. Walaupun ada beberapa menarik dan aspek narasi yang asyik. Naskah yang ditulis tanpa kepengrajinan tersebut, juri menjumpai beberapa hal berikut: alur yang mudah ditebak, penokohan yang terkesan monofonik dan generik, novel yang ingin polifonik tapi sebenarnya sama sekali tidak, atau deskripsi narasi yang kurang pas, serta kurang tergelincirnya dialog-dialog dalam narasi tersebut.


Terlebih lagi, juri sangat menyayangkan kepada para pengarang yang kurang memerhatikan naskah. Terlihat jelas juri menemukan naskah-naskah seperti yang tidak disunting. Entah karena terburu-buru ataupun alasan hal lainnya. Itu ialah sikap Anti-kepengrajinan yang seharusnya dimusnahkan oleh para pengarang. 


Laporan pertanggungjawaban dilanjutkan oleh Nukila Anwar. Ia menyebutkan lima naskah yang layak terbit. Berikut ialah daftarnya,


(83) Pemetik Bintang karya Venerbi Handoryo
Gagasan cerita tersebut ialah tentang medrioritas anak mua yang dipoles dengan deskrpisi yang mantap. Akan tetapi, pada penokohannya kurang beragam. Dengan tokoh-tokoh yang tergambarkan pintar semua, hal tersebut membuat pembaca merasa digurui. Novel ini terkesan seperti novel populer Barat.


(214) Tiga dalam Kayu karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie   
Naskah tersebut ditulis dengan struktur yang baru, sehingga lebih cenderung untuk berpuisi. Motivasinya ialah feminis. Hanya saja, sering terganggu dengan gramatika yang kuran pas dalam novel tersebut. Ada beebrapa bagian yang cenderung sureal dan penggambarannya kabur serta tidak masuk akal.


(218) “Nyi Manganti” karya Dadan Sutisna.
Yang menjadi unggulan dalam naskah ini ialah ditopang oleh riset skrip naskah sunda kuno dan juga perubahan zaman. Hanya saja agak terlalu cepat bagian akhir serta elaborasi dalam setiap tokohnya kurang memadai.


 
Mbak Evi Sri Rezeki
(233) “Babad Kopi Parahyangan” karya Evi Sri Rezeki.
Sama dengan Nyi Maganti, novel ini pun dibangun oleh riset yang sangat mendalam. Bukan hanya masalah kolonialisme , tetapi juga ditambah dengan masalah etnografi dan teknologi pasundan abad 19. Sayangnya, pada bagian akhir penceritaannya terlalu terburu-buru dan terkesan mirip dengan Max Havellar


(241) “Teror Kain Kusut” karya  Irman Hidayat
Kisah dalam novel ini begitu mengalir dan dialognya pun enak dibaca.  Pendek tapi generik. Ingin polifonik tapi nyatanya monofonik.


Juara pertama (256) Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi
Novel ini berlokasi di Nusa Tenggara Timur dan mengisahkan tentang suku Jawan. Bukan hanya berlokasi di bagian timur, novel ini pun diimbangi dengan kekayaan pembendaharaan kata, khususnya bahasa Tetun. Pembaca diajak untuk menelusuri bagian pertama sebelum akhirnya novel ditutup dengan kembali ke adegan tersebut. Humornya pun baik dan menitik beratkan ke kritik sosial. Penokohannya digarap secara mendetail dan melebar. Pengarang sangat menceritakan budaya, mitos, suasana, dan karakter orang timur dengan akurat karena didasari oleh riset dan pengalaman yang cukup. Dapat dikatakan, novel ini merupakan novel begenre etnografis yang sangat baik. 


Juara kedua, (164)  Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman karya  Ahmad Mustafa.
Agak berbeda dengan juara pertama, juara kedua sayembara novel ini mengisahkan tentang kaum minioritas: seorang waria, kaum Ahmadiah, dan sebagainya. Pengarang cukup berhasil dengan membawa novel ini sebagai novel yang polifonik. Sangat disayangkan, dalam novel ini penokohannya cenderung hitam putih, suatu gangguan yang membawa risiko tergelincir ke arah melodrama.


Juara Ketiga, (105) Balada Supri oleh Mochamad Nasrullah
Naskah novel ini dituturkan dengan gaya jenaka dan mengisahkan tentang keluarga lintas generasi. Alur ceritanya mengambil peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia. Metafora-metafora dalam naskah ini cukup menggelitik dengan dialog-dialog yang cair, sehingga membuat pembaca terkesan. Hanya saja, naskah ini terkesan atau terasa berkiblat ke One Hundred Years of Solitude.


Berdasarkan empat kriteria juri tersebut, naskah Orang-orang Oetimu memang sangat cocok keluar sebagai pemenang. Bukan hanya kecakapan bahasa Indonesianya saja yang dalam, tapi pengarang berhasil menguak bahasa daerah serta budaya yang berkembang di Timur.


Sayembara Novel DKJ 2018 benar-benar sesuai tujuan tradisionalnya, yang mana memberikan peluang bagi bakat-bakat muda yang geman dengan sastra untuk berkompetisi dan dinilai secara adil, tanpa prasangka tentang pusat-daerah, tanpa bias nama besar, dan tanpa kekhawatiran akan jaringan perkoncoan. Karena semua naskah dinilai tanpa nama penulis.


Buku Max Havelaar
Dari Minangkabau ke Parahyangan
Tokoh utama dari Babad Kopi Parahyangan adalah seorang pemuda dari Minangkabau bernama Karim yang mengembara ke pulau Jawa setelah mendengar ceritanya seorang Pelaut mengenai kopi di pulau Jawa.


Ceracau si Pelaut soal kopi di Parahyangan yang rasanya lebih enak daripada kopi yang disajikan di kampung halaman Karim, Darek membuat ia begitu bergairah untuk datang ke Parahayangan. Rasanya yang manis, asam dan gurrih serta sedikit pahit lebih menggoda bagi Karim ketimbang ngerinya tanam paksa yang diberlakukan Daendels waktu itu.


Penindasan oleh Bangsa Sendiri
Baik, kita sisihkan dulu cerita soal Daendels dan sangkut pautnya dengan Perancis itu.  


Seperti yang pernah kita tahu, nama Daendels tidak bisa lepas dari tanam paksa yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Jalan Pos yang digagas oleh Daendels pada waktu membuka sejarah kelam petani di Parahyangan  karena dipaksa harus menanam kopi, mengabaikan ladang dan sawah sendiri demi memenuhi birahi Belanda yang ingin menguasa perdagangan dunia. Pada waktu itu, mereka terbius oleh nikmatnya kopi dari rasa dan uang yang dihasilkan lewat ekspor kopi dari Indonesia, terutama yang ditanam di pulau Jawa.  


Tiba di Batavia, Karim sendirian melanjutkan perjalanan menuju Parahayangan ditemani oleh Ujang (seorang kusir sahabatnya Si Pelaut) dan bertemu denga Euis seorang mojang sunda yang geulis dengan pesona khas layaknya seorang Mojang Parahyangan. Dari Euis ini juga Karim mendapat akses untuk bekerja di perkebunan kopi dan menemukan penindasan yang dialami oleh petani kopi. 


Orangtua kita jaman dulu memanfaatkan 'jasa' careuh bulan atau luwak untuk mencuri rasa kopi yang tidak bisa dinikmati sembarang orang. Meski  harus mengais-ngais kotoran, tidak lantas mereka leluasa menikmatinya. Di sisi lain, walau para meneer ogah menjamah kotoran careuh, tidak lantas pribumi terutama terutama masyakarakat strata rendah bisa seenaknya menikmati kopi. Meminumnya adalah pelanggaran yang harus dihukum berat. 


Yang membuat perih hati bagi Karim, penindasan yang dialami oleh para petani justru lebih nyata dilakukan oleh para mandor dan para kaum priyayi dari bangsa sendiri. Kompeni lewat para kontrolier malah terkesan cuci tangan setiap terjadi  keributan dan kerusuhan. Masa bodoh dengan mereka, selama produksi kopi tetap lancar.   


Seorang Mandor bernama Satria mempunyai hubungan khusus dengan Euis yang meninggalkan kenangan pahit bagi keduanya, melibatkan ayah Euis seorang tenaga kesehatan - Mantri Darma, juga seorang petani cacah - Kang Asep, yang bekerja di perkebunan kopi itu.  Dendam kesumat yang berpilin di antara mereka dibalut dalam konflik yang apik.


Latar Budaya Sunda - Minang 
Dialog antara tokoh baik dalam bahasa Minang atau Sunda dikemas Evi dengan dialog yang ringan namun terasa nyastra. Dibanding novel Evi lainnya yang pernah saya baca (CineUs dan Twiries), Babad Kopi Parahyangan ini tampil berbeda, lebih dewasa dari sebelumnya.  


 "Apa mau kau cari Awak?" ucap Karim, suaranya ketus. Dari sorot matanya meruak bara amarah, Datang dari mana kesumat itu? Tentu Euislah yang menyiram api dalam sekam. Apakah gadis itu mempergunakan Karim demi membalaskan dendamnya? Kang Asep hanya dapat menduga-duga - halaman 201


Babad Kopi Parahyangan memotret kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Minang pada tahun 1870an dengan tokoh utamanya Karim dan Euis dan menjadikan kopi sebagai benang merah yang mengikat konflik di sepanjang cerita.


Karakteristik orang Minang yang melekat pada Karim seperti tipikal Pengembara, berbahasa melayu yang puitis dan agamis (walau Karim pernah 'tergelincir', kelak masa lalunya ini berpengaruh bagaimana ia memperlakukan Euis). Sementara karakteristik orang Sunda akan kita temukan pada sosok Euis dan kang Asep yang berpengaruh kuat pada Karim.  


"Orang Sunda itu tidak pemalas, Rim. Tidak perlu dipaksa-paksa buat kerja. Kami hanya mengambil sesuatu dari alam secukupnya. Dan prinsip itu diputarbalikkan sedemikian rupa oleh Kompeni sehingga orang-orang memercayainya, bahkan orang Sundanya Sendiri"


Lapak Buku Saya
Narasi dari Kang Asep di atas seakan mewakili bantahan dari orang Sunda yang sudah kadung dicap malas. Saya jadi ingat cerita teman yang dinasihati ibunya jangan mau nikah sama orang Sunda  dengan alasan yang sama, pemalas. 


Sifat orang Sunda yang welas asih dan setia seperti yang digambarkan pada karakter Kang Asep dan teman-temannya di perkebunan seakan jadi cara Evi membantah cap negatif yang identik dengan orang Sunda.  Meski pun di sisi lain ada Satria yang culas dan tidak segan mengorbankan teman dan keluarga sendiri demi kepentingannya sendiri. 


Tapi seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, motif dari Satria dilatari karena dendam dan sakit hatinya di masa lalu. Sedahsyat itu kekuatan kesumat, bisa hinggap pada siapa saja, bahkan kalau pun Satria bukan seorang pemuda Sunda.


Konflik Sosial 
Dalam satu waktu, Karim mengenal Raden Arya Kusumah Jaya, bupati pada masa itu yang mengenalkan Karim pada Max Havelaar, tokoh novel Multatuli yang dditulis oleh Douwes Dekker, seorang Belanda yang punya keprihatinan dan mengkritik pemeritahnya melalui novelnya itu.  


Struktur pemerintahan di Parahyangan pada masa itu sesungguhnya cuma akal-akalan Belanda untuk memperalat dan menciptakan peluang konflik perpecahan yang bisa terjadi.  Raden Arya Kusumah terbelit intrik kepentingan dan batinnya terkait  tanam paksa kopi, belum lagi kecemburuan pihak lain karena merasa iri dengan posisi dan kedudukan yang dimilikinya.


Transisi Antar Bab
Tapi jangan khawatir, novel ini bukan jenis novel yang berat untuk dibaca, walau terkesan cukup rumit. Evi berhasil menyajikan cerita lewat penuturan yang lincah. Dari satu bab ke bab lain akan menggelitik kita untuk terus membaca berkat fragmen mendebarkan yang selalu muncul di akhir bab.  Ini sih udah kayak candu seperti kopi, membuat kita ingin terus menyesap ceritanya, sepahit apapun itu. 


Bagian cerita antara Karim, Raden Arya dan Philip Vitalis (sahabat Raden Arya) membutuhkan kesabaran lebih eksta buat saya untuk tidak melewatkannya. Alur cerita agak datar namun membuat saya lebih paham pemikiran Douwes Dekker lewat novel Multatuli dan reaksi petinggi Belanda pada masa itu.


Membaca novel Babad Kopi Parahayangan juga bercerita kearifan lokal, bagaimana hubungan orang tua kita pada masa lalu dengan para leluhurnya. Euis dengan sesajen yang dibuatnya, dan Karim dengan silek harimaunya. 


Babad Kopi Parhayangan sukses membuat saya senang terhibur dengan alur cerita dan diksi yang digunakan Evi dalam bertutur, meski masih dibuat penasaran  antara hubungan Kenikir, Khapi dan para leluhurnya.  Ada celah masa di antara mereka dengan tokoh lainnya yang membuat kita harus sabar meraba-raba ada apa yang terjadi. 


Jadi semakin penasaran dengan kelanjutan Tetralogi Babad Kopi Parahyangan.


Sumber Rujukan:
Novel Babad Kopi Parahyangan
http://www.bengkelsastra(dot)com/2018/12/novel-etnografis-menjadi-primadona(dot)html
https://www(dot)resensiefi(dot)my(dot)id/2020/03/babad-kopi-parahyangan-pahitnya-sejarah(dot)html

No comments:

Post a Comment