Resensi Novel
LAPAR Karangan Knut Hamsun
Judul : Lapar
Penulis : Knut Hamsun
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : 3 November 2019
Detail lain : 284
Lapar karya Knut Humsun, seorang novelis Norwegia,
peraih Hadiah Nobel Kesusastraan tahun 1920, mengisahkan tentang pergolakan
jiwa tokoh ‘aku’ pada suatu musim gugur di kota Christiania-nama kota lama Oslo
di Norwegia.
Saya Sedang Membaca Novel Lapar |
Seperti yang
sudah kalian baca di atas, saya mendapatkan buku ini cetakan ke tiga. Saat
proses membaca, masih saya temukan beberapa typo bahkan ada halaman yang
hilang. Saya kurang faham cetakan pertama harga bukunya berapa, yang jelas saya
mendapatkan buku ini seharga 65,000.
Ada beberapa catatan selepas saya
membaca novel ini, maaf jika saya tidak menulisya terlalu bagus dan
terstruktur. Tapi sebagai bahan pertimbangan kawan-kawan yang belum membaca,
saya juga tuliskan kembali prolog Marianne Katoppo selaku penerjemah buku ini.
Saya seperti membaca diary,
membaca catatan harian, membaca tentang kisah manusia yang terbawa dan
terjerumus rasa putus asa, susah dalam bertahan hidup tapi naas impian besar
belum sampai.
Ini sangat menyentuh, Knut Hamsun
membuat narasi potret kemiskinan. Seperti membasahi celana hitam yang ia pakai
mencari kerja agar terlihat baru, menuju kolam tengah kota demi meneguk air di
kolam taman dan cerita tentang rumah gadai.
Novel yang bercerita tentang
tokoh AKU, hidup miskin yang mengandalkan hidupnya dari naskah yang ia tulis.
Aktifitasnya sehari-hari hanya keliling kota, mencari ide apa yang akan ia
tulis dan berharap naskah yang ia kirimkan diterima oleh redaksi.
Tokoh aku (Yang di yakini sebagai
Knut Hamsun) beberapa hari hidup menggelandang dari emperan toko, taman dan
hutan untuk tidur karena tidak memiliki uang menyewa Kostan. Dengan membawa
selimut kusut berwarna hijau, malam demi malamnya ia lalui dengan kedinginan
dan rasa lapar.
Ada beberapa kepingan cerita di
mana rasa lapar dan dingin yang menyiksa itu perlahan sirna. Saat ia di datangi
polisi karena lontang-lantung di jalan di kira gelandangan. Secara spontan ia
mengaku memiliki tempat tinggal - padahal alamat yang ia sebutkan adalah alamat
Kostan yang ia tidak bayar beberapa bulan - setibanya di rumah induk semangnya.
Ia dengan hati-hati menuju kamarnya, perlahan ia menginjak anak tangga yang
berjumlah delapan itu. Setibanya di dalam kamar, tampak sepucuk surat di atas
meja, pertama ia mengira bahwa surat itu adalah surat balasan dari induk
semangnya saat ia berpamitan untuk tidak tinggal kembali kamarnya. Ternyata
nasib baik sedang ada padanya, surat yang ia terima adalah balasan dari
redaktur sebuah koran yang tiga hari lalu ia kirimi naskah. Betapa senangnya ia
saat tahu naskahnya akan di cetak dan ia berhak mendapatkan uang sepuluh crone,
uang yang memang ekspetasikan.
Pada pertengahan cerita, saya
membuat kesimpulan jika novel ini memang membahas tentang kisah seorang penulis
berkarakter "AKU" yang hidup miskin dan kelaparan tapi tetap teguh
memegang moralitas hidupnya dengan tidak mencuri dan mengemis. Yah meski dalam
sisi ceritanya, tokoh AKU ini memang sempat meminta bantuan dari rumah ke rumah
pun toko, meski usahanya mendapatkan makanan dan uang pinjaman itu gagal.
Jika saya ditanya pada bagian
mana novel ini yang menyedihkan? Banyak, tapi salah satunya saat tokoh utama
sedang demam dan kelaparan, ia lari ke pasar dan berniat meminta daging, tapi
apa daya yang tersisa hanyalah tulang. Berkat dorongan rasa kelaparan yang
tidak dapat di tolak itu, ia terima saja dan berlari kembali ke gudang. Ia
makan dengan rakus, ia paksa makan daging mentah dan berbau anyir darah
tersebut. Tapi naas, yang ia dapatkan malah muntah, daging yang ia makan harus
keluar dari perutnya, termasuk air mata kesengsaraan atas nasib yang ia terima
itu.
"KENYANG" itu biasanya
dikaitkan dengan "senang", begitu pula dalam tradisi beberapa agama
besar. Dewa kemakmuran Hindu dan Cina berperut besar; dalam salah satu
Upanishad perempuan cantik itu hendaknya "berjalan bagaikan
gajah"-karena gemuk!-dan dalam Kitab Suci Nabi Yesaya, misalnya,
convivium, yaitu pesta pada akhir jaman ketika Tuhan "menelan maut dan
menghapus semua air mata", adalah suatu santapan lezat (Yesaya 25) Dalam
bahasa Ibrani pun, kata kabod (kemuliaan) ars sebenarnya adalah
"berat". Kalau "kenyang" diasosiasikan dengan senang, "lapar"
itu pada hakikatnya dilihat-bila ditempuh secara suka rela, seperti dalam hal
puasa-sebagai suatu latihan rohani yang membantu manusia mengatasi angkara murka,
mencapai suatu keadaan kesadaran yang berbeda (altered state of consciousness),
turut mengabulkan suatu niat (bukankah itu makna puasa Senin-Kamis?); katakanlah,
lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Apakah itu makna karya Knut
Hamsun, Lapar, ini?
Kisah ini menceriterakan satu
musim gugur di "Kristiania, kota yang aneh itu, yang tak meluputkan
seorang pun tanpa meninggalkan bekas mendalam pada dirinya Musim gugur yang
dilampaui sang pengarang muda yang berkobar-kobar cita-citanya (“Aku adalah
pujangga! Sekali kelak orang akan menyanjungku di Norwegia! Dan hanya ingin
hidup sebagai pengarang. Biar harus menahan lapar, sampai rambutnya rontok dan
pusarnya berdarah; biar harus mengunyah keping-keping kayu dan mengemis tulang
dari tukang daging "untuk anjingku". Biar harapan dan harga diri
gugur satu demi satu).
Lapak Buku Saya, Jangan Lupa dikunjungi |
Betapa bersalahnya rasanya tokoh
Lapar ketika ia tergoda untuk menggadai selimut pinjaman dari seorang mahasiswa
theologia. Betapa berat hatinya ketika tak sengaja ia menipu seorang pelayan
toko. Akhirnya, apa artinya harga diri itu? Lapar begitu menyiksanya hingga ia
sampai hati merebut kue-kue dagangan seorang nenek tua. Namun masih tetap disisihkannya
satu kue untuk menghibur seorang anak kecil yang pernah menangis di bawah
jendelanya karena dianiaya seorang laki-laki berjenggot merah. Setelah ditanggalkannya
harga diri itu, ditinggalkannya kota itu, dilepaskannya cita-citanya dan ia
berlayar pergi...
Dalam Lapar ini, ia berlayar ke
Inggris, tetapi Knut Hamsun yang masih muda itu berlayar ke Amerika. Bukan cuma
satu kali, tetapi dua kali. Tahun 1882 dan tahun 1886. Pengalaman yang
dituangnya dalam Lapar itu bukan cuma pengalaman satu musim gugur saja, tetapi
pengalaman belasan tahun. Betapa teganya orang muda itu! la tahu bahwa panggilannya
adalah dunia sastra. Tetapi sel dan lamanya ia tak sanggup mendobrak masuk ke
dalam dunia itu, dan sastrawan agung Bjornstjerne Bjornson malahan memberi nasihat
padanya, "Jangan buang waktu menulis buku! Andaikan bertubuh tinggi kekar,
lagipula rupawan lebih baik jadi pemain drama!"
Knut Hamsun terlahir sebagi Knut
Pedersen, di Garmostraeet di Lom, Norwegia Teng, anak keempat dari pasangan
Peder Pedersen dan Tora Olsen. Ayah yang lazim dipanggil Peder skredder, Peder
Penjahit berasal dari keluarga orang sederhana, buruh harian Skultbakken.
Sedangkan keluarga sang satu keluarga yang paling tua-lebih dari 900 tahun Gudbrandsdalen.
Konon kabarnya cikal bakal keluarga itu tak lain dari Harald Haarfagre-Harald
yang Berambut Elok yaitu raja pertama yang mempersatukan Norwegia. Ketika Knut
berusia tiga tahun, seluruh keluarga, termasuk kakek, nenek, dan paman bungsu
dari pihak ibu, pindah ke Hamaroy, pulau kecil yang letaknya masih lebih Utara
dari Lingkaran Kutub, di pesisir laut Lofoten. Mereka menetap di suatu tempat
pertalian kecil bernama ibu tergolong salah Hamsund. Di sinilah Knut hidup
bahagia beserta keluarganya tercinta selama lima tahun. Adiknya masih bertambah
dua orang perempuan dan satu laki-laki. Ayah mencari nafkah sebagai petani dan
sekaligus penjahit, dengan modal suatu mesin jahit Singer yang pada waktu itu
masih barang langka di pelosok Norwegia Utara ini. Selain itu seluruh keluarga
harus membanting tulang seperti lazimnya kaum petani. Mereka miskin, tetapi
sangat rukun. Ketika Knut berusia 9 tahun, tiba-tiba pamannya yang tertua dari
pihak ibu, Hans Olsen, datang menagih utang. Peder dan Tora tak sanggup
membayarnya, jadi Hans meng- ambil Knut sebagai sandera dan pembayar utang.
"Bocan ini sangat bagus dan rapi tulisannya", pendapatnya, "la
dapat membantuku di kantor pos!" Adapun Hans Olsen mengelola kantor pos di
Hamaroy, selain menjabat seba- gai kepala perusahaan serta pemilik toko dan
pertanian kecil. Hamaroy letaknya hanya 5 km dari Hamsund, tetapi bagi Knut
jaraknya sama seperti neraka dan surga. Lima tahun ia terpaksa tinggal bersama
pamannya, yang sangat kejam dan sama sekali tak ada pengertian bagi perasaan
halus seorang anak. Dari pagi sampai malam ia dipaksa kerja keras: menulis
daftar-daftar panjang di kantor pos, memotong kayu, mengantar surat. Tempeleng dan
teguran bertubi-tubi, santapan dan kasih sayang sangat langka.
Di sinilah Knut pertama kalinya
bertemu dengan roh Lapar itu. Tak dapat tiada kita kagumi bocah cilik ini, yang
bertahan selama 5 tahun dari penganiayaan sang paman. Memang tahun-tahun itu
turut menempa jiwanya, membuat akhlaknya kuat, tahan uji. Tegar menghadapi nasib
yang tak terelakkan. Dua kali ia berupaya luput dari rumah paman: satu kali
ketika disuruh potong kayu waktu petang, ia sengaja melesetkan kapaknya,
memotong kakinya sendiri. Harapannya agar dikirim pulang ke mama.
Knut Hamsun - Sumber Wikipedia |
Kedua kalinya, ia lari dari rumah
paman pagi buta di tengah musim dingin. Kedua upayanya tidak berhasil. la tetap
dipaksa tinggal di rumah paman. Pendidikannya kembang-kempis, Alb. Fr. Knudsen
di Bodo. Dan terakhir, pada tahun dan penerbit yang sama, suatu novelet,
Bjorger. Karya-karya ini membuat sang sastrawan muda agak dikenal di daerah
itu, tetapi sang ayah menulis surat cemas untuk mengimbau Knut agar berusaha
menjadi tukang sepatu yang baik, ketimbang pengarang yang susah carl nafkah. Tetapi
Knut bersitegang, dan akhirnya sempat menggantikan kakaknya, Hans, kabupaten di
Bo.
Bupati Nordahl termasuk orang
yang terpelajar bagi menjadi pegawai orang daerah. Di rumahnya inilah untuk
pertama kalinya Knut sempat membaca karya-karya para sastrawan Norwegia, antara
seumur hidup menjadi pujaannya-dan Kristofer Janson, yang sekian tahun kemudian
menjadi majikannya di Minneapolis. Selain itu dongeng-dongeng rakyat himpunan Asbjornsen
dan Moo, serta karya-karya sastrawan Denmark dan Swedia turut membantu,
seakan-akan suatu dunia baru terbuka baginya. lain Bjornstjeme Bjornson yang Kemudian,
melalui jasa baik bupati dan pendeta, ia malah diangkat menjadi kepala sekolah
di Ringstad, kendati anak didiknya seringkali hanya beda usia beberapa tahun
dengannya. Lalu, pada musim semi tahun 1879, ia mendapat bantuan 1.000 kroner dari
seorang usahawan kaya, Erasmus Benedicter Kjerschov Zahl, untuk berlayar ke
Hardanger, dan bahkan ke Kopenhagen. Di jalan hidupnya, memang ia selalu
berpapasan dengan orang yang terkesan olehnya dan rela membantunya. Tetapi
sukses yang didambakannya masih tetan mengelak. Akhirnya ia terpaksa mencari
nafkah sebacai buruh pembangunan jalan di Toten, kemudian sampai dua kali
berlayar ke Amerika. Di sana ia sempat bekerja di kantor dan toko di Wisconsin,
sebagai penginjil awam di Minnesota, sebagai peternak babi di Dakota Utara, sebagai
kondektur trem di Chicago.
Petama kalinya ia kembali dari
Amerika ialah karena kesehatannya rusak sama sekali, kata dokter ia segera akan
mati karena kena penyakit TBC. Waktu itu rekan-rekan mengumpulkan uang baginya,
untuk kembali ke Norwegia dan mati di sana. Malahan dia sembuh, dan berhasil
menulis beberapa artikel, termasuk cerber. Di situlah pertama kalinya tercetak
nama Knut Hamsun sebetulnya salah cetak dari pihak penerbit yang melupakan
"d" pada ujungnya! Tetapi Hamsun sendiri membiarkannya,
"barangkali memang lebih bagus begini," katanya.
Kedua kalinya di Amerika pun
ternyata semua jalan buntu, walaupun ia mulai mendapat nama di kalangan orang-orang
Norwegia di sana karena, sering memberi ceramah yang menarik. Musim panas 1888
ia terpaksa mengaku kalah lagi, dan pinjam uang untuk kembali ke tanah air
tercinta.la naik kapal uap Denmark, Thingvalla, yang ber- layar dari New York
ke Kopenhagen lewat Kristiania. Satu hari penuh kapal itu berlabuh di
Kristiania. Knut mondar mandir di atas dek kapal. Dari situ hampir terlihat
olehnya rumah di Tomtegatan 11, tempat dilaluinya musim dingin yang begitu
perih itu. Bukan cuma pengalaman getir yang terkenang olehnya, tetapi juga
semua orang baik yang begitu rela membantunya, kendati mereka sendiri sering tergolong
orang yang kurang mampu. La ingin sekali pergi menengoknya. Tetapi ia sudah bersumpah
ia takkan menjejakkan kaki lagi di Kristiania sebelum ia berhasil. la akan
kembali sebagai pemenang, bukan pecundang. Konon, menurut anaknya, Tore Hamsun
(dalam biografinya, Knut Hamsun, min far-Knut Hamsun, ayahku), pada saat
itulah, ketika Knut Hamsun berdiri di atas dek kapal Thingvalla, memandang
pelabuhan Kristiania dan melihat lampu-lampu mulai dipasang satu-satu menghias rumah-rumah
di sekitar fjord yang permai itu-pada petang itulah ia duduk di atas bangku dan
mulai menulis, "Semua ini terjadi ketika aku lapar di Kristiania.
Sepanjang penyeberangan ke Kopenhagen
ia menulis. Sesampai di ibu kota Denmark itu, pusat budaya Benua Utara, ia
mencari kamar yang murah ("dua minggu dengan makan malam, tiga minggu
tanpa") dan menulis tanpa henti-hentinya. Lupa makan, lupa mandi, lupa segala-galanya.
"Tanpa sadar ia meluncur masuk dalam keadaan pencerahan yang dapat
diakibatkan oleh rasa lapar, suatu bentuk askese, dan dengan duka dan derita
dihayatinya kembali seluruh bahan ceritanya sampai ke ujung syaraf yang
terkecil pun" (Tore Hamsun, hlm. 101).
Selesai menulis, bagaimana
menerbitkannya? Dua hari Knut Hamsun bolak-balik di muka rumah Geore Brandes,
sastrawan Denmark yang tersohor itu. Tetapi Brandes tidak ke luar, dan Knut tak
beranĂ masuk. Akhirnya, naskah yang dibungkus kertas koran itu, dibawanya
kepada seseorang yang diharapkannya dapat mengantarnya secara tidak langsung
kepada Georg Brandes. la pergi ke surat kabar ternama, Politiken, dan bertemu
dengan Edvard Brandes, abang Georg, yang menjadi redaktur di situ.
Pertemuan mereka diceritakan oleh
Edvard Brandes pada pengarang Swedia Axel Lundegard, yang bertamu malam itu.
"Percaya atau tidak," tutur Brandes, "tadi siang di redaksi aku
didatangi seorang Norwegia. Sudah jelas ia membawa naskah! Tetapi pada mulanya,
bukan naskahnya, melainkan orangnya yang menarik perhatianku. Belum pernah
kulihat seseorang yang begitu tidak terurus. Bukan saja pakaiannya yang lusuh
dan kotor, tetapi wajah- nya! Anda tahu aku bukan orang yang sentimental.
Tetapi wajah orang Norwegia itu membuatku terharu." Tadinya Brandes
berniat menolak naskah itu secara halus, karena terlalu panjang untuk cerpen
dan terlalu pendek untuk cerber. Namun
ketika tertangkap olehnya "perasaan yang berpijar dari balik kaca mata
orang itu", ja tidak tega. la berjanji akan membaca tulisan itu dan mencatat
nama dan alamat sang pengarang. Wajah yang pucat gemetar itu tetap membayang. Ketika
Edvard Brandes pulang ke rumah, ia mulai membaca tulisan itu, dan segera
terpesona. "Ini bukan bakat lagi, ini sederajat dengan Dostoyewski...!"
Bukan cuma terpesona, tetapi malu, ketika disadarinya bahwa sang sastrawan
barangkali sudah beberapa hari tidak makan. Brandes segera lari ke kantor pos
dan mengirim uang sepuluh kroner pada pengarang muda itu. "Begitu
mempesonakah kisahnya?" tanya Lundegard.
"Apa judulnya?"
"Sult (Lapar)"
"Siapa pengarangnya?"
"Knut Hamsun.
Sult diterbitkan secara anonim
pada bulan November 1888 dalam majalah Ny Jord (Dunia Baru). Majalah ini tergolong
majalah sastra yang paling berpengaruh di Benua Utara pada waktu itu. Kalangan
sastrawan gempar. Semuanya mengaku bahwa gaya bahasa, penggunaan bahasa, penyajian
cerita, sungguh menakjubkan. Suatu breakthrough, bukan saja bagi sastra
Skandinavia, tetapi sastra dunia. Gaya bahasa Knut Hamsun menggambarkan
stemning (suasana) yang dialami jiwa sang pelaku, bukan saja radikal berbeda
dari arus realisme yang berlaku waktu itu. la adalah Sang Pemula arus sastra
modern Eropa dan dunia. Tak dapat disangkal betapa besar pengaruhnye atas
sastrawan-sastrawan agung seperti Maxim Gorki Stefan Zweig, Thomas Mann, Leon
Feuchtwanger, William Faulkner, Ernest Hemingway, dan masih banyak lagi Pelukis
tersohor Pablo Picasso pun merasa dipengaruhi oleh kebebasan jiwa Knut Hamsun. Isaac
Bashevis Singer sendiri mengatakan bahwa Knut Hamsun mencanangkan suatu zaman baru
bagi dunia sastra. Lapar itu berlaku di Kristiania, dasawarsa terakhir abad
ke-19. Nama-nama jalan dan tempat-tempat dicantumkan dengan jelas, seakan-akan
kita ikut dibawa berjalan oleh tokoh "aku" itu. Banyak di antara
nama-nama itu masih tetap sama pada tahun 1993 ini, kendati Kristiania sendiri
sudah ganti nama menjadi Oslo. Pada hakikatnya, pengalaman tokoh
"aku" dalam Lapar ini dapat mencerminkan pengalaman barang siapa yang
ingin hidup menurut keyakinan dan panggilan yang membakar hidupnya; barang
siapa yang ingin hidup, bukan saja mencari nafkah sesuai ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat yang hendak dipaksakan oleh masyarakat sekitarnya. Tokoh Lapar
itu dapat hidup di Kristiania tahun 1879, atau di mana saja, tahun berapa saja.
Apakah di New York, Berlin, Delhi, Seoul, Canberra, atau Jakarta, begitu banyak
orang yang akan mengenal kembali dirinya dalam "aku" Lapar ini.
Ia adalah bagaikan
"Aku" Chairil Anwar yang menyepak, menerjang, membawa luka dan bisa
berlari, dan mau hidup seribu tahun lagi. Salah satu detail yang mengharukan
dalam Lapar ia- lah ketika "aku" sempat mengagumi dan mendambakan bunga
mawar merah yang dijual ibu-ibu di Stortorvet. "Bila aku sudah menerima
uang memadai, aku akan membeli mawar merah itu", begitulah janjinya pada dirinya.
"Bagaimanapun juga, aku dapat menghemat di sana-sini dalam cara hidupku,
aku harus memiliki mawar itu!"
Kerinduan akan keindahan,
bukankah itu turut memanusiakan manusia? Beberapa dasawarsa kemudian, para
buruh perempuan di Lawrence, Massachusetts, berdemonstrasi menuntut haknya akan
Bread and Roses (Roti dan Mawar). Dari situlah asalnya perayaan 8 Maret sebagai
Hari Perempuan Internasional. Semua pembaca Knut Hamsun niscaya terkesan oleh semangat
hidupnya yang luar biasa. Beruntunglah kita bahwa semangat hidup itu
dimilikinya. Seandainya ia sebagai Thomas Chatterton, pujangga muda Inggris
abad ke-18, yang bunuh diri pada usia 19 tahun karena sadar bahwa sastra dan
seni takkan sanggup menafkahinya!
Pada tahun 1920 akhirnya Knut
Hamsun mendapat Hadiah Nobel untuk kesusastraan, untuk karyanya Markens Grode
(1917). Sebelum itu sudah berpuluh karyanya, antara lain Pan, Victoria, dan
Mysteries, tersebar ke seluruh dunia. Penggemarnya terdapat di mana-mana. Tahun
1994, HUT keseratus penulisan Pan akan dirayakan di Paris. Dari tahun 1920
sampai akhir Perang Dunia Kedua, lebih dari dua juta eksemplar karya Hamsun
terjual: angka tertinggi dari semua buku terbitan Gyldendals. Para pujangga
agung Bjornson dan Ibse masing-masing hanya 135.000 dan 90.000. Sekarang, minat
terhadap Knut Hamsun mulai banokit lagi di Norwegia. Lama nian ia tak disukai
di negerinya sendiri. Hingga sekarang, tak ada satu pun jalan, taman atau
lapangan di ibukota Norwegia ini yang menyandang namanya. Tak ada satu patung
pun untuk menghormatinya.
Padahal siapa lagi yang membuat
Kristiania yang kecil dan terpencil ini menjadi tersohor ke ujung dunia? Pasalnya,
Knut Hamsun dianggap sebagai pengkhi- anat. la simpati pada Jerman, dan malahan
mengirimkan medali Nobelnya kepada Goebbels! Memang bukan pada Goebbels
pribadi, tetapi sebagai Ketua Kamar Sastra namun tentu saja tindakan seperti
itu sangat mengejutkan. Istrinya sendiri berpendapat bahwa lebih baik medali
itu dikirimnya ke Finlandia, seperti yang dilakukan oleh ke dua pemenang Hadiah
Nobel Skandiniavia lainnya, Selma Lagerlof (Swedia), dan Sigrid Undset
(Norwegia), untuk membantu negara itu dalam perjuangannya terhadap Rusia, tahun
1939.
Tore Hamsun merasa bahwa mungkin
ayahnya tidak mau “membuntuti" kedua perempuan itu, yang memang telah
dimusuhinya sejak suatu polemik sengit pada tahun 1915. Waktu itu Lagerlof dan Undset
membela seorang perempuan petani yang membunuh bayinya karena miskin, sedangkan
Hamsun berpendapat ibu durhaka begitu perlu digantung. Sebetulnya, Hamsun tidak
pernah menjadi anggota partai Quisling yang pro Jerman, dan yang memerintah sewaktu
Norwegia dijajah Jerman. Dan setiap kali ada orang Norwegia yang dijatuhkan
hukuman mati oleh penjajah Jerman, Hamsun menulis surat atau telegram ke Hitler,
Goebbels, dan Goring, untuk minta pengampunan, ia bahkan pergi menghadap Hitler
di Berchtesgade untuk menghimbau agar Terboven penguasa tertinggi Jerman di Norwegia,
dipecat. Pertemuan itu tidak berhasil, tetapi surat kabar memuat foto Hamsun
dengan Hitler, dan citranya sebagai pro Jerman semakin kuat.
Seusai perang ia ditangkap.
Mula-mula ditahan dan diperiksa di rumah sakit jiwa, dan kemudian diadili di Grimstadt.
Akhirnya, Knut Hamsun diwajibkan membayar denda 325.000 kroner, tetapi tak
dipenjarakan. Usianya pada waktu itu sudah 89 tahun, ia masih menulis satu buku
lagi, Paa gengrodde Stier (Pada lorong-lorong tertutup), semacam catatan harian
sejak hari pertama ia ditahan hingga jatuhnya vonis Mahkamah Agung. Gaya
bahasanya masih tetap mempesona, ekspresi lirik dan rasa humomya pun tetap
melimpah-limpah. Karya ini seakan-akan suatu usaha untuk membela dendanya?
la meninggal 19 Februari 1952,
tertidur tenang di rumahnya di Norbolm. Lebih dari 40 tahun kemudian, dirinya.
Tetapi bukankah ia sudah diadili, dan membayar masih tetap ada orang Norwegia
yang merasa tak dana "mengampuni" Knut Hamsun. Seperti diuraikan
Thorkia Hansen dalam bukunya Prosessen mot Hamsun (Proses terhadap Hamsun),
1978, banyak hal yang sebetulnya tidak pernah dijelaskan atau diusut dengan saksama.
Barangkali Norwegia butuh "kambing hitam" waktu itu? Di kamar tunggu
Penerbit Gyldendals di Oslo ada satu patung dada Knut Hamsun. Tadinya akan
ditempatkan di Grimstad, tempat ia bermukim sekitar empat dasawarsa terakhir
hidupnya. Tetapi terlalu banyak protes dari ba- nyak pihak membatalkan niat
itu.
Barangkali monumen peringatan
bagi Knut Hamsun terdapat dalam hati setiap orang yang mengagumi dan menghayati
tulisan-tulisannya. Memperhatikan masyarakat masa kini, yang semakin menjurus
pada global village, dengan sistem nilai yang makin mirip laporan akuntan,
tentunya kita dapat bertanya bagaimana kiranya pendapat Hamsun mengenai banyak
hal.
Misalnya, kelestarian lingkungan,
yang sangat berarti baginya. Bagaimana pendapatnya mengenai perburuan Ikan
paus, yang sudah diprotes oleh seluruh dunia, tetapi masih saja dipertahankan
Norwegia? Fakta sudah menunjukkan bahwa sudah banyak sumber energi, gizi, dan
protein alternatif, hingga tak perlu lagi memburu biinatang yang semakin langka
itu. Pembantaian binatang itu juga biasanya dilakukan dengan cara yang sangat sadis,
suatu pertumpahan darah yang lebih menyerupai ritus primitif daripada pencarian
nafkah. Bagaimana kiranya pendapat Hamsun, "pengkhianat", mengenai
hal ini? Barangkali tokoh "aku" Lapar masih tetap mengembara di
lorong-lorong Kristiania. Sia-sia mencari apa yang paling didambakannya.
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 24 Juni 2020
No comments:
Post a Comment