Thursday, May 20, 2021

Romusa Sejarah Yang Terlupakan


 

Judul               : Sejarah yang terlupakan (1942-1945)

Penulis             : Hendri F Isnaeni & Apid

Penerbit           : Ombak, 2008

Halaman         : xi + 158 Halaman

ISBN               : 978-079-3472-88-1

Harga              : 40.000


Romusha merupakan bentuk mobilisasi tenaga kerja pada masa Pendudukan Jepang. Masyarakat pribumi dipekerjakan untuk membangun sarana prasarana militer dan menggali bahan tambang atau lubang perlindungan. Salah satu daerah yang menjadi tempat pemusatan romusha di Jawa Barat adalah Bayah di Banten Selatan. Mereka berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan dipekerjakan di tambang batu bara Bayah Kozan. Sistem penambangan batu bara yang dilakukan di Bayah adalah tambang tertutup. Penambangan dilakukan dengan cara membuat lubang untuk mencapai ader, yaitu pohon bijih. Kegiatan penggalian lubang tambang dan penambangan batu bara dilakukan dengan peralatan sederhana di bawah tekanan dan siksaan tentara Jepang yang menjadi pengawas romusha.

 Buku ini lahir atas kolaborasi dua penelitian. penelitian pertama dilakukan oleh Hendri F. Isnaeni pada tahun 2003-2004. Hasil penelitiannya disusun dalam bentuk karya ilmiah dengan judul Rekonstruksi Sejarah di Banten Selatan 1942-1945. Penelitian Kedua dilakukan oleh Apid pada tahun 2005 berjudul Romusha di Pertambangan Bayah Banten Selatan Tahun 1942-1945.

Intisari Buku

Pada awalnya, peralihan kekuasaan dari Pemerintahan Kolonial Belanda ke Pemerintahan Pendudukan Jepang memberikan angin segar bagi bangsa Indonesia yang sedang berjuang meraih kemerdekaan. Kemenangan pasukan Kamikaze atas pasukan militer Belanda pada tahun 1942 menjadi pemantik semangat pejuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Kedatangan mereka ke Nusantara diterima dengan tangan terbuka dan dielu-elukan oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai saudara tua yang telah membantu bangsa Indonesia keluar dari cengkeraman penjajahan Belanda.

Simbol-simbol nasional diizinkan untuk dipamerkan bersama dengan simbol-simbol negara Jepang. Bendera merah putih berkibar berdampingan dengan bendera matahari terbit, demikian pula lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Jepang. Selain itu, Jepang juga membebaskan pemimpin pemimpin nasional yang ditahan oleh Belanda. Kebijakan tersebut tidak terlepas dari prinsip utama yang dipegang Jepang dalam menguasai bangsa Indonesia, khususnya Jawa, yaitu bagaimana menarik hati rakyat (minshin ha’aku) serta bagaimana mengindoktrinasi; menjinakkan mereka (senbu kosaku); dan mengusahakan agar daerah yang diduduki mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Hal ini dilakukan sebagai bentuk strategi Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Semakin terbukanya serangan Sekutu ke wilayah-wilayah yang diduduki oleh Jepang, mendorong Pimpinan Tentara Jepang di Jawa, Jenderal Harada, mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan dalam bentuk aksi aksi lokal jika Pasukan Sekutu mendarat di Jawa  Harada sadar bahwa Tokyo tidak akan mengirimkan divisi-divisi baru untuk membantu pertahanan di Jawa. Berkenaan dengan hal tersebut maka setiap Karesidenan di Jawa harus mampu memenuhi kebutuhan masing-masing dan menyimpan perbekalan dan perlengkapan perang.

Salah satu kemandirian yang harus dicapai oleh Penguasa Militer jepang di Pulau Jawa, adalah kemandirian di bidang energi. Hal ini disebabkan kebutuhan sumber energi Industri berupa batu bara didatangkan dari luar Jawa, yaitu dari Sumatera dan Kalimantan. Hal ini tidak mungkin dilakukan ketika masa perang, karena tongkang pembawa batu bara akan menjadi sasaran empuk bagi torpedo-torpedo Angkatan Laut Sekutu. Kondisi tersebutlah yang mendorong eksploitasi potensi batu bara Bayah, tujuannya agar Jawa dapat mandiri secara energi. Kegiatan penambangan batu bara di Bayah dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap perencanaan dan pembangunan yang dilakukan pada tahun 1942 sampai tahun 1943, serta tahap produksi atau penambangan yang dilakukan mulai tahun 1943 sampai Jepang kalah pada bulan Agustus tahun 1945.

Romusha yang bertugas di penambangan dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 10—12 orang setiap kelompoknya. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang kepala regu dengan anggota terdiri dari 2 orang pemegang bor, 2 orang ahli dinamit, dan sisanya adalah pemecah batu dan tukang angkut. Penambangan dilakukan dengan cara meledakkan ader menggunakan dinamit. Pecahan dan reruntuhan batu bara berupa bongkahan dikumpulkan dan dipecah menjadi pecahan kecil untuk selanjutnya ditampung di lori yang akan mengangkutnya ke luar lubang. Pada banyak titik ader, terutama yang ukurannya kecil, penambangan dilakukan secara manual yaitu dengan menghancurkannya menggunakan belincong. Setelah banyak terkumpul, batu bara diangkut ke pusat penimbunan di stasiun Bayah dengan menggunakan stingkul. Saat ini, beberapa lubang tambang masih bisa ditemukan di Gunung Madur dan masyarakat menyebutnya sebagai lubang Jepang. Lubang-lubang tambang tersebut di antaranya: Lubang Cipicung, Lubang Cigalugur, Lubang Sangko, dan Gua Jepang di tepi pantai Gua Langgir.

Dari beberapa bekas lubang galian tersebut, Gua Jepang yang berada di tepi pantai Gua Langgar menjadi Gua yang paling dikenal masyarakat karena dipercaya menyimpan harta karun di dalamnya. Lokasi gua Jepang ini tidak jauh dari lubang Sanko, lubang Niko, dan pusat pengumpulan batu bara di Pulomanuk. Gua tersebut merupakan gua buatan untuk kepentingan pertahanan. beberapa narasumber yang berhasil diwawancarai oleh penulis mengungkapkan bahwa berdasarkan cerita orang tuanya, gua Jepang tersebut dibangun untuk markas tentara yang bertugas mengintai lautan. Selain itu, gua tersebut juga menjadi gudang penyimpanan barang-barang yang dikirim melalui laut. Menjelang Jepang kalah dan meninggalkan Bayah, gua tersebut dihancurkan terlebih dahulu dengan menggunakan dinamit dan para romusha yang bekerja di gua tersebut ikut dikubur, tidak ada seorangpun yang lolos. Berkenaan dengan keberadaan Gua tersebut sengaja digali oleh Jepang untuk mengawasi laut dan dihancurkan oleh tentara Jepang menjelang kepergian mereka dari Bayah. Saat ini, lubang Jepang/Gua Hartakarun merupakan salah satu gua di kawasan wisata pantai Gua Langgir. Pintu masuk sudah terkubur dan bahkan bagian dalam gua sudah terkubur oleh runtuhan gua, karena seperti diuraikan sebelumnya, Gua Harta Karun sengaja dihancurkan Jepang. Sisa lubang tersebut hanya berupa ceruk, tinggi pintu lubang 2 m dan lebar 3 m. Semakin dalam, ketinggian lubang semakin rendah dan tidak dapat dimasuki karena sudah tertutup oleh reruntuhan.

Perekrutan Romusha & Klasifikasi Keahlian

Berdasarkan keahlian yang dimiliki, romusha di Bayah dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu romusha yang memiliki keahlian dan romusha yang tidak memiliki keahlian. Romusha yang memiliki keahlian adalah mereka yang sebelum dikirim ke Bayah sudah memiliki keahlian seperti masinis, pegawai stasiun, ahli di bidang mesin, survei lahan, ahli konstruksi jalan dan jembatan, serta ahli dalam penambangan. Romusha yang tidak memiliki keahlian adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan/keahlian di bidang pertambangan atau bidang lainnya yang diperlukan di pertambangan Bayah.

Berdasarkan kondisi fisik, romusha dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) kelompok romusha dengan kondisi fisik lemah; (2) kelompok romusha dengan kondisi fisik sedang; dan (3) kelompok romusha dengan kondisi fisik yang prima. Pembagian kelompok berdasarkan kondisi fisik dilakukan agar memudahkan dalam penempatan di pertambangan Bayah. Adapun jenis pekerjaan di Pertambangan Bayah antara lain, bagian tambang, bagian transportasi, bagian bangunan, bagian kereta api, bagian bengkel mobil dan kereta api, bagian gudang, serta pesuruh di kantor dan rumah orang Jepang.

Perekrutan romusha awalnya dilakukan secara sukarela dan terdiri atas para pengangguran yang mencari kerja dan dipekerjakan sebagai tenaga produktif atau buruh. Ketika permintaan tenaga kerja meningkat, maka sejak akhir 1943, Pemerintahan Jepang di Indonesia memobilisasi tenaga kerja secara sistematik dan intensif melalui slogan “Peningkatan Produksi” dan “Mobilisasi total” Perekrutan dilakukan tidak lagi mengandalkan perekrutan sukarelawan namun memerintahkan kepala desa untuk menyediakan warganya guna menjadi romusha. Pengumpulan tenaga kerja juga dilakukan Pasukan Jepang dengan menjalankan razia dan mengambil siapapun yang tertangkap di jalan untuk memperkuat barisan romusha guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Laki-laki dan perempuan usia produktif di setiap desa/wilayah diinventarisir oleh kepala desa atau kepala wilayah, kemudian mereka dikenai kewajiban kerja tanpa terkecuali. Setiap saat sebuah badan yang berkaitan langsung dengan romusha mengkondisikan penempatan romusha sesuai dengan kebutuhan angkatan perang. Kebijakan mobilisasi mereka dimaksudkan untuk menciptakan produktivitas akibat pengurangan produktivitas pertanian dan perkebunan di Jawa. Romusha juga merupakan komoditi yang diperlukan guna dipertukarkan dengan bahan bahan yang dibutuhkan dalam perang.

Hal ini menunjukkan bahwa perekrutan romusha dilakukan secara lebih serius dengan alasan: (1) Kondisi perang yang semakin memburuk bagi Jepang; (2) Tuntutan untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri (swasembada) bagi tiap Angkatan Perang di daerah pendudukan; dan (3) Adanya motivasi ekonomi yang menyertai setiap pengerahan tenaga romusha.

Para Romusha pada awalnya datang ke Bayah dengan tujuan memperbaiki kehidupan agar menjadi lebih baik, namun kenyataan berbicara lain. Selama menjalani tugas sebagai romusha, mereka harus bekerja berat dengan peralatan seadanya, mengalami banyak siksaan fisik dan mental, kurangnya asupan gizi, dan kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Banyak kecelakaan kerja terjadi di dalam lubang tambang. Pekerja romusha banyak yang tewas akibat kecelakaan tersebut. Mereka harus meregang nyawa akibat keracunan gas, tertimpa longsoran, dan bencana lainnya di dalam lubang tambang. Tidak ada catatan jumlah pasti berapa banyak romusha yang tewas di Bayah selama kegiatan pembangunan dan penambangan batu bara, termasuk pembangunan jalur kereta api Saketi—Bayah. Pada proyek pembangunan jalur kereta api Saketi—Bayah, jumlah romusha yang menjadi korban mencapai 90.000 jiwa. Jenazah pekerja romusha yang tewas seringkali dikubur dengan tidak melalui proses ritual keagamaan. Mereka hanya dibungkus tikar dan dibalut dengan pakaian yang menempel di badannya. Pemakaman pun dilakukan di lokasi mayat itu ditemukan, bahkan saking banyaknya mayat romusha tidak sedikit satu lubang makam diisi oleh 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) mayat. Salah satu pemakaman massal romusha berada di kawasan Deker, Pulomanuk, yang memiliki luas hingga mencapai 38 Ha.

Penutup

Romusha di Bayah meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarganya. Hal inilah yang menjadikan ingatan komunal masyarakat akan romusha sedikit demi sedikit dihilangkan. Para mantan romusha enggan untuk menceritakan pengalaman mereka selama bekerja dan hidup di Bayah, terpisah jauh dari keluarga besar. Keengganan untuk menceritakan pengalamannya semasa menjadi romusha, karena mereka ingin melupakan apa yang pernah dialaminya dan berharap anak cucu tidak merasakan pahit getirnya menjadi romusha.

Terakhir, buku ini menyuguhkan hasil penelitian yang sangat cantik dan patut kita apresiasi bersama. Data-data yang dihadirkan cukup relevan dan membuat pembaca seperti saya dapat menggambarkan bagaimana sakitnya para pekerja di masa itu. terlebih, lokalitas yang diangkat menjadi tema yang sangat menarik. Patut ditunggu hasil penelitian di daerah lainnya.

Terimakasih

Malang, 20 Mei 2021

Ali Ahsan Al Haris 

1 comment: