Tuesday, May 18, 2021

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas


“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.

Kasar. Brutal. Tidak sopan. Semau gue. Bisa dibilang keempat kata tersebut mencerminkan buku ini. Buku ini merupakan novel kedua dari tiga novel Eka Kurniawan yang sudah saya baca. Eka Kurniawan adalah seorang penulis yang menyelesaikan studinya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Beberapa karyanya yang telah terbit, yaitu novel Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau; kumpulan cerpen Gelak Sedih dan Cinta Tak Ada Mati; juga satu karya nonfiksi Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.

Instagram: Pedagang Kampung

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel ketiganya setelah 10 tahun tidak menelurkan novel. Sampai sekarang saya masih penasaran dengan novel keduanya yang berjudul Lelaki Harimau. Saya berharap GPU mencetak kembali novel tersebut, seperti Cantik itu Luka yang telah dicetak ulang pada tahun 2004 lalu.

Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras. (Hlm. 1)

Buku ini mengisahkan tentang ‘burung’, alias kemaluan pria yang dimiliki seorang tukang berkelahi bernama Ajo Kawir. ‘Burung’-nya tidak mau bangun dan mengeras. ‘Burung’-nya seperti orang mati suri yang terus-menerus tertidur pulas. Hal ini bermula ketika sahabatnya, Si Tokek, mengajak Ajo Kawir untuk melihat sesuatu yang menarik di rumah perempuan gila bernama Rona Merah. Tanpa disengaja Ajo Kawir dan Si Tokek melihat dua orang polisi, yaitu Si Pemilik Luka dan Si Perokok Keretek, memerkosa perempuan gila tersebut. Akibat ajakannya yang berujung pada tidurnya kemaluan Ajo Kawir, Si Tokek pun merasa bersalah.

Sudah beberapa cara dilakukan Ajo Kawir demi membuat kemaluannya bangun. Mulai dari mengolesi kemaluannya dengan cabai rawit, disengat tiga ekor lebah, hingga membaca buku-buku tipis stensilan karya Valentino, tapi tetap saja ‘burung’-nya malas untuk berdiri. Suatu ketika ia bertemu dengan Iteung, gadis yang dicintainya. Ajo Kawir dan Iteung sama-sama saling mencintai. Menurutnya, Iteung adalah gadis yang manis dan menyenangkan, juga seorang petarung yang hebat. Ia bahagia bersamanya, namun juga merasa takut. Takut akan apa yang bisa ia berikan untuk memenuhi kebutuhan Iteung jika ‘burung’-nya saja sama sekali tidak tertarik melihat perempuan telanjang dan lebih memilih untuk tidur panjang.

Ajo Kawir sudah bilang berkali-kali, tak mungkin baginya untuk jatuh cinta kepada perempuan. Bukan ia tak berminat kepada perempuan, tapi ia tak tahu apa yang bisa diberikannya kepada perempuan. (Hlm. 62)

Ajo Kawir merasa hampir putus asa dengan ‘burung’-nya yang tidak mau menurut padanya hingga akhirnya ia pun pasrah dan memutuskan untuk tetap menunggu hari di mana ‘burung’-nya telah siap untuk bangun.

Semakin ke belakang pertanyaan “kira-kira ‘burung’-nya bakal bangun lagi nggak ya” terus bergentayangan di benak saya. Mengingat hal yang pernah diajarkan Eka Kurniawan (saat itu saya mengambil kursus cerpen online dan Eka Kurniawan adalah mentor saya), permasalahan khusus dalam cerita ini adalah apa yang terjadi dengan Ajo Kawir bila kemaluannya malas untuk berdiri. Ya, seperti yang saya katakan di atas, cerita dari buku ini sendiri adalah tentang ‘burung’. Tak heran bila kita menemukan beberapa kata yang menurut orang tabu untuk diucapkan/dituliskan justru terpampang nyata di sini. Misalnya, (maaf) memek, kuntul, dan lain-lain. Oleh sebab itu, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, novel ini adalah novel yang brutal. Keseluruhan cerita dalam buku ini adalah mengenai kehidupan Ajo Kawir yang berubah setelah ‘burung’-nya tidur dan usahanya untuk membangunkan si ‘burung’.

Berbeda dengan Cantik itu Luka, novel ini merupakan novel yang nggak berat dan serampangan. Terlihat dari alur maju-mundur yang bertumpuk-tumpuk tapi terkait satu sama lain, cerita yang berloncatan dan paragraf yang pendek-pendek. Namun bila diperhatikan secara lebih mendalam, ceritanya saling menyambung. Di tengah-tengah cerita saya menemukan satu paragraf tentang jari manusia yang menurut saya lucu karena bisa membuat saya tersenyum ketika membacanya. Ini pertama kalinya saya membaca novel dengan alur yang bertumpuk-tumpuk dan sempat bingung, tapi setelah baca chapter-chapter berikutnya akhirnya saya pun mengerti dan ternyata seru juga.  Saya amat salut dan kagum dengan gaya menulisnya Eka Kurniawan yang menurut saya keren.

Dalam novel ini pun saya menemukan beberapa kosakata baru, seperti surau, pelor, berlepot, dan lain-lain. Senang kalau lagi baca buku, kemudian menemukan kosakata yang nggak umum jadi menambah pengetahuan saya.  Nama tokoh-tokohnya pun begitu unik dan nggak biasa. Contohnya saja Rona Merah, Iwan Angsa, Paman Gembul, Si Macan dan lain-lain. Ada satu tokoh yang saya benci bernama Pak Toto, di mana ia adalah guru dan wali kelas Iteung di sekolah. Kelakuan Pak Toto sangat nggak mencerminkan sebagai seorang wali kelas dan guru yang baik. Saya dibikin kesal dengan sikap Pak Toto. Ia selalu menyuruh Iteung pulang terakhir dengan maksud agar ia bisa melalukan perbuatan yang tidak senonoh padanya. Melihat adegan ini mengingatkan saya pada kejadian-kejadian yang sekarang sering terjadi yakni guru mencabuli siswanya.

Ia akan duduk di satu kursi menghadap meja, sementara Pak Toto duduk di sampingnya. Ruangan telah senyap, sekolah telah sepi. Sementara Iteung melakukan pekerjaannya, Pak Toto akan melingkarkan tangannya ke pundak Iteung, lalu jari-jemarinya menyentuh dada gadis itu, dengan sentuhan yang nakal. (Hlm. 160)

Berbicara mengenai kover, saya sangat suka dengan kovernya yang menampilkan seekor burung cantik yang sedang terlelap. Kovernya sangat menggambarkan cerita di dalamnya. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bisa dibilang novel yang cukup vulgar juga, meskipun nggak sevulgar Cantik itu Luka. Mungkin karena kalau Cantik itu Luka berkisah tentang kehidupan seorang pelacur di akhir masa kolonial sehingga adegan bercintanya pun jauh lebih banyak dibandingkan dengan kisah dalam buku ini.

Membaca dua karya Eka Kurniawan membuat saya berpikir apakah Lelaki Harimau juga ada adegan bercintanya karena dua novel sebelumnya seperti itu. Oleh sebab itu, sampai sekarang saya pun masih penasaran dengan novel keduanya tersebut. Menurut saya, karya-karyanya Eka Kurniawan memiliki daya tarik tersendiri karena belum banyak yang mengangkat tema semacam ini (mohon koreksi bila saya salah karena masih sedikit penulis yang bukunya telah saya baca, hehe). Pendeskripsian adegan bercintanya pun nggak berlebihan sehingga nggak bikin saya eneg. Semoga novel berikutnya memiliki perbedaan tersendiri dengan ketiga novel sebelumnya dan lebih seru. 

Source: https://coretanlauna.wordpress.com/2014/07/04/seperti-dendam-rindu-harus-dibayar-tuntas-oleh-eka-kurniawan/

 

No comments:

Post a Comment