“Hanya orang yang enggak bisa
ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal
Ajo Kawir.
Kasar. Brutal. Tidak sopan. Semau
gue. Bisa dibilang keempat kata tersebut mencerminkan buku ini. Buku ini
merupakan novel kedua dari tiga novel Eka Kurniawan yang sudah saya
baca. Eka Kurniawan adalah seorang penulis yang menyelesaikan studinya di
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Beberapa karyanya yang
telah terbit, yaitu novel Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau;
kumpulan cerpen Gelak Sedih dan Cinta Tak Ada Mati; juga satu
karya nonfiksi Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
![]() |
Instagram: Pedagang Kampung |
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel ketiganya setelah 10 tahun tidak menelurkan novel. Sampai sekarang saya masih penasaran dengan novel keduanya yang berjudul Lelaki Harimau. Saya berharap GPU mencetak kembali novel tersebut, seperti Cantik itu Luka yang telah dicetak ulang pada tahun 2004 lalu.
Ia satu dari beberapa orang yang
mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu,
seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan.
Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun
dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa
mengeras. (Hlm. 1)
Buku ini mengisahkan tentang ‘burung’, alias kemaluan pria yang dimiliki seorang tukang berkelahi bernama Ajo Kawir. ‘Burung’-nya tidak mau bangun dan mengeras. ‘Burung’-nya seperti orang mati suri yang terus-menerus tertidur pulas. Hal ini bermula ketika sahabatnya, Si Tokek, mengajak Ajo Kawir untuk melihat sesuatu yang menarik di rumah perempuan gila bernama Rona Merah. Tanpa disengaja Ajo Kawir dan Si Tokek melihat dua orang polisi, yaitu Si Pemilik Luka dan Si Perokok Keretek, memerkosa perempuan gila tersebut. Akibat ajakannya yang berujung pada tidurnya kemaluan Ajo Kawir, Si Tokek pun merasa bersalah.
Sudah beberapa cara dilakukan Ajo
Kawir demi membuat kemaluannya bangun. Mulai dari mengolesi kemaluannya dengan
cabai rawit, disengat tiga ekor lebah, hingga membaca buku-buku tipis stensilan
karya Valentino, tapi tetap saja ‘burung’-nya malas untuk berdiri. Suatu ketika
ia bertemu dengan Iteung, gadis yang dicintainya. Ajo Kawir dan Iteung
sama-sama saling mencintai. Menurutnya, Iteung adalah gadis yang manis dan
menyenangkan, juga seorang petarung yang hebat. Ia bahagia bersamanya, namun
juga merasa takut. Takut akan apa yang bisa ia berikan untuk memenuhi kebutuhan
Iteung jika ‘burung’-nya saja sama sekali tidak tertarik melihat perempuan
telanjang dan lebih memilih untuk tidur panjang.
Ajo Kawir sudah bilang
berkali-kali, tak mungkin baginya untuk jatuh cinta kepada perempuan. Bukan ia
tak berminat kepada perempuan, tapi ia tak tahu apa yang bisa diberikannya
kepada perempuan. (Hlm. 62)
Ajo Kawir merasa hampir putus asa
dengan ‘burung’-nya yang tidak mau menurut padanya hingga akhirnya ia pun
pasrah dan memutuskan untuk tetap menunggu hari di mana ‘burung’-nya telah siap
untuk bangun.
Semakin ke belakang pertanyaan
“kira-kira ‘burung’-nya bakal bangun lagi nggak ya” terus bergentayangan di
benak saya. Mengingat hal yang pernah diajarkan Eka Kurniawan (saat itu saya
mengambil kursus cerpen online dan Eka Kurniawan adalah mentor saya),
permasalahan khusus dalam cerita ini adalah apa yang terjadi dengan Ajo Kawir
bila kemaluannya malas untuk berdiri. Ya, seperti yang saya katakan di atas,
cerita dari buku ini sendiri adalah tentang ‘burung’. Tak heran bila kita
menemukan beberapa kata yang menurut orang tabu untuk diucapkan/dituliskan
justru terpampang nyata di sini. Misalnya, (maaf) memek, kuntul, dan
lain-lain. Oleh sebab itu, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, novel
ini adalah novel yang brutal. Keseluruhan cerita dalam buku ini adalah mengenai
kehidupan Ajo Kawir yang berubah setelah ‘burung’-nya tidur dan usahanya untuk
membangunkan si ‘burung’.
Berbeda dengan Cantik itu
Luka, novel ini merupakan novel yang nggak berat dan serampangan. Terlihat dari
alur maju-mundur yang bertumpuk-tumpuk tapi terkait satu sama lain, cerita yang
berloncatan dan paragraf yang pendek-pendek. Namun bila diperhatikan secara
lebih mendalam, ceritanya saling menyambung. Di tengah-tengah cerita saya
menemukan satu paragraf tentang jari manusia yang menurut saya lucu karena bisa
membuat saya tersenyum ketika membacanya. Ini pertama kalinya saya membaca
novel dengan alur yang bertumpuk-tumpuk dan sempat bingung, tapi setelah
baca chapter-chapter berikutnya akhirnya saya pun mengerti dan ternyata
seru juga. Saya
amat salut dan kagum dengan gaya menulisnya Eka Kurniawan yang menurut saya
keren.
Dalam novel ini pun saya
menemukan beberapa kosakata baru, seperti surau, pelor, berlepot, dan
lain-lain. Senang kalau lagi baca buku, kemudian menemukan kosakata yang nggak
umum jadi menambah pengetahuan saya. Nama
tokoh-tokohnya pun begitu unik dan nggak biasa. Contohnya saja Rona Merah, Iwan
Angsa, Paman Gembul, Si Macan dan lain-lain. Ada satu tokoh yang saya benci
bernama Pak Toto, di mana ia adalah guru dan wali kelas Iteung di sekolah.
Kelakuan Pak Toto sangat nggak mencerminkan sebagai seorang wali kelas dan guru
yang baik. Saya dibikin kesal dengan sikap Pak Toto. Ia selalu menyuruh Iteung
pulang terakhir dengan maksud agar ia bisa melalukan perbuatan yang tidak
senonoh padanya. Melihat adegan ini mengingatkan saya pada kejadian-kejadian
yang sekarang sering terjadi yakni guru mencabuli siswanya.
Ia akan duduk di satu kursi
menghadap meja, sementara Pak Toto duduk di sampingnya. Ruangan telah senyap,
sekolah telah sepi. Sementara Iteung melakukan pekerjaannya, Pak Toto akan
melingkarkan tangannya ke pundak Iteung, lalu jari-jemarinya menyentuh dada
gadis itu, dengan sentuhan yang nakal. (Hlm. 160)
Berbicara mengenai kover, saya
sangat suka dengan kovernya yang menampilkan seekor burung cantik yang sedang
terlelap. Kovernya sangat menggambarkan cerita di dalamnya. Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bisa dibilang novel yang cukup vulgar
juga, meskipun nggak sevulgar Cantik itu Luka. Mungkin karena
kalau Cantik itu Luka berkisah tentang kehidupan seorang pelacur di
akhir masa kolonial sehingga adegan bercintanya pun jauh lebih banyak
dibandingkan dengan kisah dalam buku ini.
Membaca dua karya Eka
Kurniawan membuat saya berpikir apakah Lelaki Harimau juga ada
adegan bercintanya karena dua novel sebelumnya seperti itu. Oleh sebab itu,
sampai sekarang saya pun masih penasaran dengan novel keduanya tersebut.
Menurut saya, karya-karyanya Eka Kurniawan memiliki daya tarik tersendiri
karena belum banyak yang mengangkat tema semacam ini (mohon koreksi bila saya
salah karena masih sedikit penulis yang bukunya telah saya baca, hehe).
Pendeskripsian adegan bercintanya pun nggak berlebihan sehingga nggak bikin
saya eneg. Semoga novel berikutnya memiliki perbedaan tersendiri dengan ketiga
novel sebelumnya dan lebih seru.
Source: https://coretanlauna.wordpress.com/2014/07/04/seperti-dendam-rindu-harus-dibayar-tuntas-oleh-eka-kurniawan/
No comments:
Post a Comment