Beberapa Buku Koleksi Saya |
Tulisan ini adaah resensi atas buku “Perbanditan di Kota Semarang Pasca Revolusi 1950-1958” karangan Joseph Army Sadhyoko terbitan Penerbit Kendi, April 2021.
Buku ini membahas tentang dunia bandit
yang terjadi di Kota Semarang periode 1950-1958 dengan fokus permasalahan pada
penyebab adanya bandit, jenis bandit, dan cara penanggulangannya. Ditulis menggunakan
penelusuran metode sejarah, mengumpulkan artikel (terutama dari Suara Merdeka) dan merekonstruksi
permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan konsep realitas sosial
kejahatan.
Setidaknya sampai hari ini, masih
jarang buku yang membahas dunia perbanditan secara nasional. Hanya ada dua kota
di Indonesia selama Perang Kemerdekaan dan Pasca Perang Kemerdekaan yang
membahas kasus-kasus ini. Kota-kota tersebut adalah Yogyakarta dan Jakarta.
Sedangkan di Semarang sendiri, hanya sedikit orang yang mengetahui sejauh mana bandit
terjadi di kota tersebut.
Secara umum, Perang Kemerdekaan yang berlangsung dalam kurun waktu 1945-1949 menyebabkan banyak rusaknya sarana prasarana dan mengakibatkan kondisi perekonomian yang buruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera melakukan pembenahan di bidang pembangunan fisik dan ekonomi. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan, baik sipil maupun militer memerlukan restrukturisasi dan rasionalisasi (Rera) pascaperang kemerdekaan. Kebijakan Rera diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada Januari 1948. Menteri Mohammad Hatta yang menjadi kepala pemerintahan saat itu berkeinginan kuat untuk menciptakan kondisi “satu prajurit satu komando”.
Jumlah pejuang yang berlebihan
dan adanya formasi militer di luar tentara reguler menjadi perhatian pemerintah
pusat. Oleh karena itu, keberadaan mereka harus diatur melalui kebijakan Rera
ini. Kebijakan Rera perlu mengatur tidak hanya para pejuang tetapi juga
pemerintah pusat dan daerah untuk menata kembali PNS yang tersebar (mengungsi) selama
perang. Banyak karyawan dievakuasi ke tempat yang aman. Semuanya harus ditata
ulang agar bisa mengisi pos-pos pemerintahan dan pertahanan negara secara ideal
dan proporsional. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat menghemat anggaran
negara yang dan segera memulihkan kondisi negara yang tidak stabil akibat
perang.
Baca tulisan lain: Masyarakat jawa & Slametan
Pasca pengakuan kemerdekaan, hampir
semua kota besar di Indonesia masih mengalami berbagai masalah sosial. Mulai dari
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rusaknya infrastruktur publik (gedung
perkantoran rusak) dan ekonomi (perkebunan dan industri acak kadut),
meningkatnya urbanisasi, dan maraknya pengangguran. Hal tersebut merupakan
beban yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Semarang menjadi salah satu
kota besar di Indonesia yang mengalami kondisi tersebut. Kota ini harus
membangun kembali infrastruktur dan birokrasinya yang kacau karena perang.
Selain soal penguasaan senjata
dan penggunaan atribut militer, masalah urbanisasi pascaperang kemerdekaan
menjadi problematika sendiri bagi pemerintah Semarang. Pada Agustus 1950, Kabupaten
Demak pernah mengalami kemarau parah. Sumur dan sungai banyak yang kering,
banyak ternak mati, sawah, dan ladang yang gagal panen. Selain kemarau panjang,
kerusakan pintu air Karanganyar, tepatnya di sungai Wulan akibat Perang
Kemerdekaan sejak akhir tahun 1945 memperburuk kondisi Demak. Hal tersebut juga
menjadi factor meningkatnya urbanisasi ke Semarang.
Dari hal ini, kita dapat mulai
mengambil kesimpulan jika akar munculnya bandit dipengaruhi oleh masalah
sosial, ekonomi dan politik selama kemerdekaan pasca perang.
Baca juga tulisan lain: Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur
Terminologi Bandit
Di Semarang, tindak pidana
memiliki berbagai istilah. Beberapa kejahatan dapat dikategorikan sebagai
tindakan bandit karena memiliki beberapa terminologi, seperti perampok, orang
yang mencuri dan membunuh dengan kejam. Bandit yang beraksi di Semarang
memiliki berbagai nama, seperti garong, begal, maling, dan perampok. Perbedaan nama
ini mengacu pada tujuan operasi bandit. Berikut istilah dan penjelasan
singkatnya :
Begal
Para begal ini menjalankan
aksinya tanpa mengenal waktu dan selalu diiringi ancaman ke para korbannya. Berita
pembegalan pertama di Semarang pertama kali dimuat di harian Suara Merdeka,
korbannya mandor perusahaan Borsumij di Kampung Duwet pada sore hari antara
pukul 13.00-14.00, 5 Mei 1950. Saat korban baru saja keluar dari toko
Abdulkadir dan berjalan menuju rest area Tan Oei, tiba-tiba ia didekati oleh
dua orang yang memaksanya untuk menyerahkan uangnya. (Suara Merdeka, 6 Mei
1950).
Baca juga tulisan lainnya: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar
Pencuri
Di Semarang sering disebut dengan
istilah "maling". Aksinya merampas harta milik orang lain secara
diam-diam. Kasus pencurian pertama yang dimuat di harian Suara Merdeka,
bertempat di Gudang Kancil Mas di Oosterwalstraat (sekitar kawasan Kota Tua)
pada tanggal 23 Mei 1950 pukul lima pagi. Gudang tersebut didatangi empat
pencuri yang masuk ke gudang dengan cara membuka genting. Keempat pencuri
tersebut berhasil merampas sebagian besar bahan tekstil yang diperkirakan
bernilai kurang lebih 20.000 f atau Rp. 10.147.629,94 (Kurs uang sekarang).
Seorang saksi mata yang mengetahui kejadian tersebut mengaku melihat pencuri
menyembunyikan barang jarahannya tidak jauh dari Gudang Kancil Mas yang berada
di dekat gerbong kereta api. Setelah dilakukan penyidikan, polisi berhasil
menangkap dua dari empat pencuri dan mengamankan 15 blok tekstil hasil curian
(Suara Merdeka, 24 Mei 1950: 2)
Perampokan
Perampokan berasal dari ata dasar
rampok yang diartikan sebagai orang yang melakukan perbuatan mengambil barang
milik orang lain dengan paksaan dan kekerasan. Perampokan pertama yang tercatat
terjadi pada malam hari tanggal 28 April 1950. Para perampok menggunakan
seragam tentara dan menyerang seorang Tionghoa yang tinggal di Jalan Pedamaran
Nomor 39 A. Perampok tersebut membawa pistol dan memaksa tuan rumah untuk
menyerahkan barang-barang berharganya. Para perampok berhasil menggondol uang
tunai senilai f 400 atau sekitar 5.672.800, jam tangan, dan anak kunci lemari
besi (Suara Merdeka, 29 April 1950: 2).
Baca juga tulisan lainnya: Surat Untuk Ayah
Penanggulangan
Banyaknya bandit di Semarang
tidak sebanding dengan jumlah aparat penegak hukum, sedangkan aksi para bandit dari
hari ke hari semakin meresahkan para warga sehingga keberadaan organisasi
keamanan swasta mendapat tempat di tengah-tengah warga. Para anggota organisasi
ini sebagian besar berasal dari lascar atau pun pejuang-pejuang kemerdekaan era
Revolusi Kemerdekaan.
Tujuan melibatkan mantan pejuang
adalah agar para pejuang terhindar dari keterlibatan sebagai bandit. Beberapa
mantan pejuang memprakarsai pembentukan beberapa organisasi keamanan swasta.
Semua organisasi keamanan swasta ini berada di bawah koordinasi Kantor Militer Kota
Semarang. Namun, jika wilayah kerjanya meliputi Jawa Tengah, maka organisasi
pengamanan harus berada di bawah koordinasi TNI IV Wilayah Jawa Tengah. Secara umum
organisasi keamanan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu organisasi keamanan
swasta yang didirikan secara swadaya oleh para bekas pejuang dan organisasi
keamanan bentukan pemerintah bernama Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR).
Baca juga tulisan lainnya: Anti Sambat Sambat Club
Kesimpulan
Pertama, bandit di Semarang
muncul akibat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Desakan ekonomi yang terjadi
pada awal 1950-an memaksa mereka untuk beraksi dan menyasar semua orang atau
bangunan tanpa terkecuali. Kesulitan ekonomi paling mencolok terlihat dari
distribusi makanan, sandang, papan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Ditambah dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Semarang, seperti
munculnya pengangguran, gelandangan, pengungsi, dan kriminalitas.
Kedua, bandit yang beraksi di Semarang
lebih banyak didominasi dari desa-desa sekitar Semarang. Kondisi ini bisa
dimaklumi karena warga tidak terbiasa hidup subsisten dan hanya mengandalkan
sektor perdagangan dan jasa, sehingga tidak punya pilihan lain ketika mengalami
tekanan ekonomi. Kondisi yang memaksa mereka menjadi bandit, seperti mencuri,
merampok dan menjadi begal. Selain itu, mereka bergerak lebih dominan dalam
kelompok yang tidak terorganisir dengan baik.
Baca tulisan lainnya: Pulang ke Rinjani
Ketiga, untuk menyikapi dan
mengatasi ulah para bandit yang meresahkan warga Semarang, pemerintah daerah,
polisi, TNI, dan warga cenderung bersikap reaksioner. Mereka hanya memberikan
respon setelah ada kasus bandit yang mencuat, sehingga sifat represif lebih
diutamakan dalam mengatasi bandit di Semarang. Pilihan tindakan penanggulangan
jangka pendek ini adalah sebagai konsekuensi dari munculnya pemerintahan baru
selama pasca-perang Kemerdekaan yang membutuhkan pemulihan kondisi dengan segera.
Alhasil, keberhasilan penanganan bandit jangka pendek hanya dilihat dari
berbagai operasi pengamanan, pengendalian senjata api, dan penangkapan para bandit.
Sekian. Terimakasih banyak.
Malang, 12 Mei 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment