Apa itu MocoSik?
Jika
buku adalah teman paling loyal (Ernest Hemingway), musik adalah bahasa manusia
paling universal (Henry Wadsworth). Jika buku memberikan makna, maka musik
memberi jiwa pada alam semesta. Buku menuntun kita menemukan eksistensi, dan musik
menerbangkan kita menjelajah imajinasi. Buku membawa kita kepada kebijaksanaan
hidup, dan musik membawa kita kepada keindahan dan kegembiraan hidup.
Mocosik adalah festival tahunan yang dirancang untuk mempertemukan dalam satu panggung dua kultur yang berbeda, yakni buku dan musik. Kedua kultur yang masuk dalam ranah literasi budaya itu diringkus dalam satu ikatan akronim: Mocosik. Dalam bahasa Jawa, “maca” atau “moco” artinya baca, sementara “sik” berarti “musik”. Pada tahun ini, Bank BRI Mocosik Festival 2018 mengusung tagline besar "merayakan buku dan musik", Mocosik menampilkan dua budaya secara serentak dan kontinum. Buku yang sunyi disandingkan dengan musik yang bunyi lewat sebuah perayaan selama tiga hari yaitu tanggal 20, 21 dan 22 April 2018.
Di
panggung Mocosik, baik buku maupun musik adalah sebuah percakapan kreatif.
Panggung buku mewujud dalam obrolan dan bazar, sementara musik adalah dialog
dalam bunyi dan lirik. Baik panggung buku dan musik, sukma utama yang
ditumbuhkan adalah perjumpaan serta penciptaan kreatif dalam kereta literasi
budaya yang panjang.
Baca juga: Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib
Ratusan
penerbit dan pegiat buku diundang dalam bazar buku dan percakapan literasi di
panggung Buku. Sementara itu, di panggung Musik, hadir musisi-musisi papan
atas, baik grup maupun solo. Panitia memberikan panggung yang sama besar untuk
buku & musik, Mocosik akan mempertemukan pembaca yang baru, yakni pecinta
musik & buku. Panitia berharap antara penggerak budaya pop seperti musik
bertemu menjadi satu arus kesadaran bahwa literasi penting untuk membangun
peradaban di mana kita hidup sehari-hari.
Project
Director Mocosik Festival, Bakkar Wibowo menyampaikan bahwa semua lapak buku
digratiskan kepada seratus penerbit yang terseleksi, bersama ribuan judul buku
di sana. “Silahkan pilih mana yang Anda suka dengan menukarkan tiket dengan
buku. Jadi, beli tiket nonton konser musik dapat buku. Jika buku ingin
disumbangkan, kita juga menyediakan tempat untuk menyumbangkan buku,” ungkap
Bakkar yang dimuat di Republika. Panggung Galeri Seni Rupa, Bank BRI Mocosik
Festival 2018 menampilkan pameran arsip dari Buldanul Khuri dengan tajuk “25
Tahun Buldanul Khuri Berkarya”. Pria kelahiran Kotagede Yogyakarta tersebut
menurut Bakkar dikenal bukan hanya sebagai penggerak dunia penerbitan buku-buku
humaniora di seantero Yogyakarta, namun juga sosok penting yang membawa karya
seni rupa di sampul buku.
“Di panggung galeri seni rupa nanti juga akan dihadirkan pula karya seni dari perupa Titarubi & Ong Hari Wahyu,” lanjut Bakkar.
Bank BRI
MocoSik Festival 2018 di selenggarakan di Jogja Expo Centre (JEC), Yogyakarta,
MocoSik berlangsung selama tiga hari dengan 4 acara utama: (1) Pertunjukan
Musik, (2) Bazar Buku, (3) Talkshow Buku dan Literasi, (4) Pameran Arsip dan
Seni Rupa Buku. Di panggung pertunjukan musik, grup musik serta musisi yang
akan tampil adalah Kahitna, Rio Febrian, Letto, Melancholic Bitch, Pure
Saturday, Tulus, Tompi, Ten2Five, Frau, Neonomora, Slank, Glenn Fredly, dan
Sirkus Barock. Di panggung buku dan literasi, para penampil bukan hanya dari
sastrawan dan penulis, melainkan juga musisi, sutradara film, dan pegiat seni
rupa.
Baca juga: Saksi Mata, Buku Pertama Terbitan Yayasan Bentang Budaya
Di
antaranya yang dihadirkan adalah Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma,
Aan Mansyur, Alia Swastika, Yovie Widianto, Kamila Andini, Garin Nugroho, dan
Adib Hidayat. Selain itu, ada pula nama-nama yang tak asing di publik sastra
dan perbukuan Yogyakarta, seperti Afrizal Malna, Edy AH Iyubenu, Muhidin M.
Dahlan, Mahfud Ikhwan, Iqbal Aji Daryono, dan Irwan Bajang. Tak kalah serunya
dengan penampilan yang siap disajikan Bank BRI MocoSik Festival 2018 lainnya,
ada juga Jubing-Reda, Yovie Widianto, Semendelic dan Sri Krisna siap menggempar
panggung talkshow untuk menampilkan kebolehan mereka dalam bermusikalisasi.
Penasaran
Pengalaman
saya membaca buku tidak cukup panjang. Saat masih SMP, buku yang saya baca
seputar ensiklopedia di perpustakaan dan buku-buku tasawuf koleksi Ayah.
Kesukaan terhadap tema Humaniora terbentuk saat menginjak SMK, sepulang sekolah
saya dan teman-teman biasa mampir ke Perpustakaan Daerah. Dari tempat itu,
akses buku-buku sejarah dengan mudah di dapatkan.
Kegilaan
terhadap buku tambah subur saat kuliah, pergaulan dan iklim akademik yang
mengelilingi saya membuat buku menjadi jajanan wajib bulanan. Rela tidak makan
asal dapat membeli buku. Karena hal tersebut, tugas-tugas kuliah yang memerlukan
uang sering luput tidak dikerjakan. Alhasil, perpustakaan dan klub baca menjadi
rumah saya selama kuliah.
Baca juga: Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur
Pengalaman
membaca buku, menonton film dan menghadiri pameran-pameran membuat saya
penasaran dengan sosok dibalik penerbit Yayasan Bentang Budaya. Entah sebuah
kewajaran atau tidak, dulu saya sering luput untuk mengetahui lebih detil siapa
yang mendesain kover, menerjemahkan dan penerbit dari buku yang saya baca.
Pokok baca dan baca terus. Ternyata, hal tersebut kurang baik juga.
Mungkin
sama dengan para pembaca yang lain, kesukaan saya terhadap buku terbitan
Bentang Budaya berawal dari kover bukunya. Artistik, ciamik dan layak koleksi.
Tidak kalah keren juga, di
Facebook ada grup khusus jual beli buku terbitan Bentang
Budaya. Jaminan bukunya original, tapi harganya kadang bikin geleng-geleng kepala. Novel
Seratus Tahun Kesunyian saja dijual 600 ribu. Hadehhh.
Baca juga: Babad Kopi Parahyangan
Banyak
pemilik penerbitan yang juga berprofesi sebagai penulis. Sama halnya dengan Pak
Bul. Khusus tulisan-tulisana Pak Bul, saya kesulitan mencarinya. Beberapa tulisan yg dapat saya kumpulkan
berasal dari kompilasi atau orang lain yang menulis tentang beliau. Hal ini juga yang membuat saya
membeli buku “Merayakan Buku & Musik”, selain ada tulisan yang membahas Pak
Bul, ada juga Pak Ong yang tidak kalah kerennya.
Pak
Buldanul Khuri
Dijuluki
sebagai legenda perbukuan Yogyakarta. Tahun 2004 bangkrut, aset-aset
berharganya berupa komputer berisi soft file kover-kover, rumah dan buku kurang
lebih 600 judul ludes. Nasib membawanya bertemu temannya seorang dokumentator
ulet. Di rumah temannya itu, hampir semua buku terbitan Bentang Budaya
dikoleksi. Ini menjadi titik awal 13-14 tahun Pak Bul mencari semua buku yang
pernah ia terbitkan untuk ia beli dan koleksi lagi. Saat acara MocoSik
berlangsung, ia mengaku sudah 95% buku-bukunya dulu berhasil ia kumpulkan.
Bagi Pak
Bul, dunia penerbitan memang tak asing lagi. Saat kelas tiga SMP, ia sudah
menerbitkan buku sendiri. Mulai dari mengetik, desain sampul, kover, layout isi
sampai format buku dikerjakannya seorang diri.
Baca juga: Lelaki Malang, Kenapa Lagi?
Selepas
SMA, Pak Bul bergabung di majalah Gelanggang terbitan Shalahuddin Press UGM. Di
tahun 1992 Pak Bul bersama dengan kawan-kawannya mendirikan PT. Bentang
Intervisi Utama. Namun tak lama Pak Bul keluar dari perusahaan yang ia dirikan
karena tidak cocok dengan model perusahaan yang hanya mencari keuntungan
semata. Tidak berselang lama, Pak Bul mendirikan penerbitan baru dengan format
Yayasan yang ia beri nama, Yayasan Bentang Budaya. Kumpulan Cerita Pendek Saksi
Mata karangan Pak Seno menjadi buku pertama yang beliau terbitkan.
Kebangkrutan
Bentang Budaya membuat Pak Bul menerima tawaran dari Pak Haidar Bagir untuk
bergabung dengan Mizan-tawaran yang pernah ia terima di tahun 2002. Kedua
legenda perbukuan ini sepakat untuk membentuk perusahaan baru bernama Bentang
Pustaka, Pak Buldan menjadi Direktur di perusahaan tersebut. Posisi tersebut
tidak membuat nyaman karena rutinitas kantor, tidak mempunyai hak penuh atas
naskah yang diproduksi, dan Pak Bul juga tidak diizinkan untuk membuat
penerbitan baru.
Baca juga: Negeri Para Bedebah
Pada
tahun 2007, Pak Bul keluar dari Bentang Pustaka. Tak lama kemudian, buku Laskar
Pelangi meledak di pasaran, Bentang Pustaka untung besar. Namun Pak Bul sudah
mengambil sikap, mustahil juga untuk kembali.
Kini
bersama MataBangsa, penerbit yang ia lahirkan dulu di tahun 2000
berangsur-angsur ia besarkan kembali. “Saya memang pernah bangkrut secara
ekonomi, tapi tidak secara spirit.”- Buldanul Khuri
Ong
Hari Wahyu & Kover Buku
Jangan
nilai buku dari kovernya, atau jangan nilai seseorang dari penampilannya.
Begitulah kalimat yang sering kita dengar.
Rekomendasi
dalam membeli buku ada karena pelbagai alasan. Bisa karena si penulis sendiri,
judul, trend, diskon, arahan dari teman dan kover. Untuk yang terakhir, saya
sering kedapatan membeli buku karena kepincut dengan kover buku yang ciamik dan
menggoda untuk dibaca. Beberapa rumah penerbitan memang dengan sengaja membuat
judul yang marketable agar laris di pasaran, saat di baca, hmmm, kadang bikin
menyesal.
Berbeda
dengan kover, sisi ini lebih banyak kepada target marketing saja. Namun
belakangan, terutama karya-karya fiksi getol-getolnya membuat kover buku yang
bagus dan filosofis.
Ong Hari
Wahyu, dikenal luas sebagai seniman gaek penghasil kover-kover buku di era
2000-an. Jika menyebut namanya, otomatis tidak dapat dipisahkan dengan sosok
Buldanul Khuri, penerbit Bentang Budaya, film Daun Di Atas Bantal & Habibie
Ainun. Kover buku adalah pintu yang saya masuki menjadi fans dari Pak Ong.
Baca juga: Tan Malaka, Pahlawan Besar Yang Dilupakan
Momen
yang tidak mungkin dilupakan oleh Pak Ong dan penikmat karyanya adalah saat Mbah
Pramoedya Ananta Toer berkunjung ke rumahnya untuk mengecek kover Gadis Pantai. Keusilan Pak Ong
yang suka “nyemayani” pelanggan, akhirnya kena batunya di momen tersebut. Kover
Gadis Pantai belum
selesai, penulis yang sangat ia hormati betandang ke rumah yang membuat ia kaget dan
“gopoh”sampai-sampai suguhan sirop yang lumrahnya menggunakan air dingin keliru
di service menggunakan air panas.
Begitulah
Pak Ong. Usianya memang semakin menua. Tapi spiritnya tak lekang ditelan zaman.
Masih banyak tokoh yang dibahas, mulai dari seniman, pemusik dan ada
juga yang dari dunia film. Membaca buku ini, seperti halnya membaca reportase.
Awalnya, saya mengira nama-nama yang tertera pada daftar isi berkontribusi
dalam bentuk tulisan. Ternyata, mereka berada di panggung dan apa yang mereka
obrolkan diresensi oleh penulis-penulis yang ditunjuk oleh panitia. Luar biasa,
kerja kesenian seperti ini memang perlu diapresiasi betul. Buku ini terbilang
tebal, dari sisi halaman dan ketebalan kertas. Namun, harganya tidak begitu
mahal, hanya Rp. 65.000 saja, kita dapat membaca buku dengan layout yang sangat
ciamik diselingi gambar tokoh-tokoh music
dan perbukuan.
Baca juga: Resensi Novel Filsafat Dunia Sophie
Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca ke semua khalayak. Salam
literasi.
Terima kasih
Malang, 20 April 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment