Tuesday, April 20, 2021

Merayakan Buku dan Musik

 

Apa itu MocoSik?

Jika buku adalah teman paling loyal (Ernest Hemingway), musik adalah bahasa manusia paling universal (Henry Wadsworth). Jika buku memberikan makna, maka musik memberi jiwa pada alam semesta. Buku menuntun kita menemukan eksistensi, dan musik menerbangkan kita menjelajah imajinasi. Buku membawa kita kepada kebijaksanaan hidup, dan musik membawa kita kepada keindahan dan kegembiraan hidup.


Mocosik adalah festival tahunan yang dirancang untuk mempertemukan dalam satu panggung dua kultur yang berbeda, yakni buku dan musik. Kedua kultur yang masuk dalam ranah literasi budaya itu diringkus dalam satu ikatan akronim: Mocosik. Dalam bahasa Jawa, “maca” atau “moco” artinya baca, sementara “sik” berarti “musik”. Pada tahun ini, Bank BRI Mocosik Festival 2018 mengusung tagline besar "merayakan buku dan musik", Mocosik menampilkan dua budaya secara serentak dan kontinum. Buku yang sunyi disandingkan dengan musik yang bunyi lewat sebuah perayaan selama tiga hari yaitu tanggal 20, 21 dan 22 April 2018.

Di panggung Mocosik, baik buku maupun musik adalah sebuah percakapan kreatif. Panggung buku mewujud dalam obrolan dan bazar, sementara musik adalah dialog dalam bunyi dan lirik. Baik panggung buku dan musik, sukma utama yang ditumbuhkan adalah perjumpaan serta penciptaan kreatif dalam kereta literasi budaya yang panjang.

Baca juga: Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib

Ratusan penerbit dan pegiat buku diundang dalam bazar buku dan percakapan literasi di panggung Buku. Sementara itu, di panggung Musik, hadir musisi-musisi papan atas, baik grup maupun solo. Panitia memberikan panggung yang sama besar untuk buku & musik, Mocosik akan mempertemukan pembaca yang baru, yakni pecinta musik & buku. Panitia berharap antara penggerak budaya pop seperti musik bertemu menjadi satu arus kesadaran bahwa literasi penting untuk membangun peradaban di mana kita hidup sehari-hari.

Project Director Mocosik Festival, Bakkar Wibowo menyampaikan bahwa semua lapak buku digratiskan kepada seratus penerbit yang terseleksi, bersama ribuan judul buku di sana. “Silahkan pilih mana yang Anda suka dengan menukarkan tiket dengan buku. Jadi, beli tiket nonton konser musik dapat buku. Jika buku ingin disumbangkan, kita juga menyediakan tempat untuk menyumbangkan buku,” ungkap Bakkar yang dimuat di Republika. Panggung Galeri Seni Rupa, Bank BRI Mocosik Festival 2018 menampilkan pameran arsip dari Buldanul Khuri dengan tajuk “25 Tahun Buldanul Khuri Berkarya”. Pria kelahiran Kotagede Yogyakarta tersebut menurut Bakkar dikenal bukan hanya sebagai penggerak dunia penerbitan buku-buku humaniora di seantero Yogyakarta, namun juga sosok penting yang membawa karya seni rupa di sampul buku.

“Di panggung galeri seni rupa nanti juga akan dihadirkan pula karya seni dari perupa Titarubi & Ong Hari Wahyu,” lanjut Bakkar.

Bank BRI MocoSik Festival 2018 di selenggarakan di Jogja Expo Centre (JEC), Yogyakarta, MocoSik berlangsung selama tiga hari dengan 4 acara utama: (1) Pertunjukan Musik, (2) Bazar Buku, (3) Talkshow Buku dan Literasi, (4) Pameran Arsip dan Seni Rupa Buku. Di panggung pertunjukan musik, grup musik serta musisi yang akan tampil adalah Kahitna, Rio Febrian, Letto, Melancholic Bitch, Pure Saturday, Tulus, Tompi, Ten2Five, Frau, Neonomora, Slank, Glenn Fredly, dan Sirkus Barock. Di panggung buku dan literasi, para penampil bukan hanya dari sastrawan dan penulis, melainkan juga musisi, sutradara film, dan pegiat seni rupa.

Baca juga: Saksi Mata, Buku Pertama Terbitan Yayasan Bentang Budaya

Di antaranya yang dihadirkan adalah Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, Aan Mansyur, Alia Swastika, Yovie Widianto, Kamila Andini, Garin Nugroho, dan Adib Hidayat. Selain itu, ada pula nama-nama yang tak asing di publik sastra dan perbukuan Yogyakarta, seperti Afrizal Malna, Edy AH Iyubenu, Muhidin M. Dahlan, Mahfud Ikhwan, Iqbal Aji Daryono, dan Irwan Bajang. Tak kalah serunya dengan penampilan yang siap disajikan Bank BRI MocoSik Festival 2018 lainnya, ada juga Jubing-Reda, Yovie Widianto, Semendelic dan Sri Krisna siap menggempar panggung talkshow untuk menampilkan kebolehan mereka dalam bermusikalisasi.

Penasaran

Pengalaman saya membaca buku tidak cukup panjang. Saat masih SMP, buku yang saya baca seputar ensiklopedia di perpustakaan dan buku-buku tasawuf koleksi Ayah. Kesukaan terhadap tema Humaniora terbentuk saat menginjak SMK, sepulang sekolah saya dan teman-teman biasa mampir ke Perpustakaan Daerah. Dari tempat itu, akses buku-buku sejarah dengan mudah di dapatkan.

Kegilaan terhadap buku tambah subur saat kuliah, pergaulan dan iklim akademik yang mengelilingi saya membuat buku menjadi jajanan wajib bulanan. Rela tidak makan asal dapat membeli buku. Karena hal tersebut, tugas-tugas kuliah yang memerlukan uang sering luput tidak dikerjakan. Alhasil, perpustakaan dan klub baca menjadi rumah saya selama kuliah.

Baca juga: Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur

Pengalaman membaca buku, menonton film dan menghadiri pameran-pameran membuat saya penasaran dengan sosok dibalik penerbit Yayasan Bentang Budaya. Entah sebuah kewajaran atau tidak, dulu saya sering luput untuk mengetahui lebih detil siapa yang mendesain kover, menerjemahkan dan penerbit dari buku yang saya baca. Pokok baca dan baca terus. Ternyata, hal tersebut kurang baik juga.

Mungkin sama dengan para pembaca yang lain, kesukaan saya terhadap buku terbitan Bentang Budaya berawal dari kover bukunya. Artistik, ciamik dan layak koleksi. Tidak kalah keren juga, di Facebook ada grup khusus jual beli buku terbitan Bentang Budaya. Jaminan bukunya original, tapi harganya kadang bikin geleng-geleng kepala. Novel Seratus Tahun Kesunyian saja dijual 600 ribu. Hadehhh.

Baca juga: Babad Kopi Parahyangan

Banyak pemilik penerbitan yang juga berprofesi sebagai penulis. Sama halnya dengan Pak Bul. Khusus tulisan-tulisana Pak Bul, saya kesulitan mencarinya. Beberapa tulisan yg dapat saya kumpulkan berasal dari kompilasi atau orang lain yang menulis tentang beliau. Hal ini juga yang membuat saya membeli buku “Merayakan Buku & Musik”, selain ada tulisan yang membahas Pak Bul, ada juga Pak Ong yang tidak kalah kerennya.

Pak Buldanul Khuri

Dijuluki sebagai legenda perbukuan Yogyakarta. Tahun 2004 bangkrut, aset-aset berharganya berupa komputer berisi soft file kover-kover, rumah dan buku kurang lebih 600 judul ludes. Nasib membawanya bertemu temannya seorang dokumentator ulet. Di rumah temannya itu, hampir semua buku terbitan Bentang Budaya dikoleksi. Ini menjadi titik awal 13-14 tahun Pak Bul mencari semua buku yang pernah ia terbitkan untuk ia beli dan koleksi lagi. Saat acara MocoSik berlangsung, ia mengaku sudah 95% buku-bukunya dulu berhasil ia kumpulkan.

Bagi Pak Bul, dunia penerbitan memang tak asing lagi. Saat kelas tiga SMP, ia sudah menerbitkan buku sendiri. Mulai dari mengetik, desain sampul, kover, layout isi sampai format buku dikerjakannya seorang diri.

Baca juga: Lelaki Malang, Kenapa Lagi?

Selepas SMA, Pak Bul bergabung di majalah Gelanggang terbitan Shalahuddin Press UGM. Di tahun 1992 Pak Bul bersama dengan kawan-kawannya mendirikan PT. Bentang Intervisi Utama. Namun tak lama Pak Bul keluar dari perusahaan yang ia dirikan karena tidak cocok dengan model perusahaan yang hanya mencari keuntungan semata. Tidak berselang lama, Pak Bul mendirikan penerbitan baru dengan format Yayasan yang ia beri nama, Yayasan Bentang Budaya. Kumpulan Cerita Pendek Saksi Mata karangan Pak Seno menjadi buku pertama yang beliau terbitkan.

Kebangkrutan Bentang Budaya membuat Pak Bul menerima tawaran dari Pak Haidar Bagir untuk bergabung dengan Mizan-tawaran yang pernah ia terima di tahun 2002. Kedua legenda perbukuan ini sepakat untuk membentuk perusahaan baru bernama Bentang Pustaka, Pak Buldan menjadi Direktur di perusahaan tersebut. Posisi tersebut tidak membuat nyaman karena rutinitas kantor, tidak mempunyai hak penuh atas naskah yang diproduksi, dan Pak Bul juga tidak diizinkan untuk membuat penerbitan baru.

Baca juga: Negeri Para Bedebah

Pada tahun 2007, Pak Bul keluar dari Bentang Pustaka. Tak lama kemudian, buku Laskar Pelangi meledak di pasaran, Bentang Pustaka untung besar. Namun Pak Bul sudah mengambil sikap, mustahil juga untuk kembali.

Kini bersama MataBangsa, penerbit yang ia lahirkan dulu di tahun 2000 berangsur-angsur ia besarkan kembali. “Saya memang pernah bangkrut secara ekonomi, tapi tidak secara spirit.”- Buldanul Khuri

Ong Hari Wahyu & Kover Buku

Jangan nilai buku dari kovernya, atau jangan nilai seseorang dari penampilannya. Begitulah kalimat yang sering kita dengar.

Rekomendasi dalam membeli buku ada karena pelbagai alasan. Bisa karena si penulis sendiri, judul, trend, diskon, arahan dari teman dan kover. Untuk yang terakhir, saya sering kedapatan membeli buku karena kepincut dengan kover buku yang ciamik dan menggoda untuk dibaca. Beberapa rumah penerbitan memang dengan sengaja membuat judul yang marketable agar laris di pasaran, saat di baca, hmmm, kadang bikin menyesal.

Berbeda dengan kover, sisi ini lebih banyak kepada target marketing saja. Namun belakangan, terutama karya-karya fiksi getol-getolnya membuat kover buku yang bagus dan filosofis.

Ong Hari Wahyu, dikenal luas sebagai seniman gaek penghasil kover-kover buku di era 2000-an. Jika menyebut namanya, otomatis tidak dapat dipisahkan dengan sosok Buldanul Khuri, penerbit Bentang Budaya, film Daun Di Atas Bantal & Habibie Ainun. Kover buku adalah pintu yang saya masuki menjadi fans dari Pak Ong.

Baca juga: Tan Malaka, Pahlawan Besar Yang Dilupakan

Momen yang tidak mungkin dilupakan oleh Pak Ong dan penikmat karyanya adalah saat Mbah Pramoedya Ananta Toer berkunjung ke rumahnya untuk mengecek kover Gadis Pantai. Keusilan Pak Ong yang suka “nyemayani” pelanggan, akhirnya kena batunya di momen tersebut. Kover Gadis Pantai belum selesai, penulis yang sangat ia hormati betandang ke rumah yang membuat ia kaget dan “gopoh”sampai-sampai suguhan sirop yang lumrahnya menggunakan air dingin keliru di service menggunakan air panas.

Begitulah Pak Ong. Usianya memang semakin menua. Tapi spiritnya tak lekang ditelan zaman.

Masih banyak tokoh yang dibahas, mulai dari seniman, pemusik dan ada juga yang dari dunia film. Membaca buku ini, seperti halnya membaca reportase. Awalnya, saya mengira nama-nama yang tertera pada daftar isi berkontribusi dalam bentuk tulisan. Ternyata, mereka berada di panggung dan apa yang mereka obrolkan diresensi oleh penulis-penulis yang ditunjuk oleh panitia. Luar biasa, kerja kesenian seperti ini memang perlu diapresiasi betul. Buku ini terbilang tebal, dari sisi halaman dan ketebalan kertas. Namun, harganya tidak begitu mahal, hanya Rp. 65.000 saja, kita dapat membaca buku dengan layout yang sangat ciamik diselingi gambar tokoh-tokoh music dan perbukuan.

Baca juga: Resensi Novel Filsafat Dunia Sophie

Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca ke semua khalayak. Salam literasi.

 

Terima kasih

Malang, 20 April 2021

Ali Ahsan Al Haris

 

No comments:

Post a Comment