Saksi Mata adalah buku pertama terbitan
Yayasan Bentang Budaya semenjak Pak Buldanul Khuri memutuskan berpisah dari perusahaan
lamanya yang beliau bangun, PT. Bentang Intervisi Utama. Menurut penuturannya
di Put Cast Mojok bersama Kepala Sukunya, Mas Puthut; waktu itu tidak ada
penerbit yang berani menerbitkan kumpulan cerita Saksi Mata karangan Pak Seno
karena sedang maraknya pemberitaan terkait Timor-timor.
Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma menampilkan kekejaman seakan sesuatu yang normal. Kumpulan cerpen ini
ingatan kolektif tentang catatan kelam negara. Lantas, mengapa manusia bisa
sekeji itu terhadap sesamanya?
APA yang akan terjadi seandainya seorang saksi tiba di ruang pengadilan tanpa sepasang mata, dengan kedua lubang matanya masih menganga, dan darinya mengucur darah yang membasahi pakaian, mengaliri lantai hingga bahkan menggenangi jalanan di luar gedung?
Semua orang bisa dipastikan bakal
lari tunggang langgang menyaksikan pemandangan horor itu. Hakim mungkin tak
akan sempat mengetuk palu untuk menghentikan persidangan. Dan petugas
pengadilan mungkin bakal segera membawa saksi itu keluar.
Tapi, itu tak terjadi dalam
cerpen “Saksi Mata”, satu dari 16 cerpen dalam Saksi Mata karya Seno
Gumira Ajidarma. Pengunjung pengadilan memang gempar, tapi itu tak berlangsung
lama. Hakim segera menguasai keadaan dan melanjutkan pemeriksaan si saksi. Semua
berjalan normal, seperti lazimnya persidangan.
Sungguh bukan gambaran riil
tentang dunia manusia!
Begitulah pilihan estetika Seno
dalam cerpen ini. Dia tak sedang mengaburkan batas antara gambaran dunia nyata
dan fantasi dalam fiksi. Bukan itu! Keadaan tak masuk akal itu memang
digambarkan “terjadi” dalam setting dunia riil manusia; suasana
persidangan.
Bahkan, si saksi kemudian
bersaksi bahwa kedua matanya dicongkel dengan sendok dalam mimpi oleh
segerombolan orang. Di sini, Seno menciptakan lapisan fantasi di atas fantasi.
Dia melakukan itu tanpa menjelaskan mengapa semua itu bisa terhubung dengan
gambaran kenyataan. Dan memang tak perlu dijelaskan karena realisme
magis—pilihan estetika itu—menganggap apa yang tak masuk akal itu adalah sebuah
kenormalan atau kelaziman, dan sama pentingnya dengan apa yang dianggap masuk
akal.
Realisme magis—yang kerap
dihubungkan dengan kesusastraan di Amerika Latin, terutama dengan pengarang
seperti Gabriel Garcia Marquez atau Jorge Luis Borges—mengajak pembaca mencari
tahu apa yang ada di balik fiksi dan fakta. Dengan pilihan estetika ini, Seno
seakan ingin mengatakan kekejaman yang terjadi secara faktual bisa sama—atau
bahkan lebih—sadis dengan gambaran fiktifnya. Atau bahwa kekejaman faktual itu
bisa begitu lazimnya terjadi seperti begitu normalnya semua orang di
persidangan saat melihat saksi tanpa mata itu.
Perbedaannya, jika di dunia nyata
coba ditutupi, kekejaman dalam fiksi tak bisa dibendung. Ia mengucur deras
seperti darah yang mengaliri seluruh lantai dan jalanan di luar gedung
pengadilan.
Lihat pula cerpen “Telinga” dalam
kumpulan cerpen ini. Bagaimana seorang serdadu mengirim telinga mata-mata musuh
ke pacarnya sebagai suvenir. Bukan cuma satu tapi ratusan telinga. Bukannya
syok, sang pacar malah menjadikan telinga-telinga itu hiasan rumah, gantungan
kunci, dan bahkan anting-anting. Betapa kekejaman berlangsung normal, dan
bahkan dianggap cendera mata—sesuatu yang bisa dikenang atau diglorifikasi.
Banalitas kekejaman
atau banality of evil merupakan istilah yang diciptakan Hanna Arendt
dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963).
Itulah yang digambarkan Seno dalam Saksi Mata. Sepanjang buku, Seno
melukiskan kengerian demi kegerian. Selain mata yang dicongkel (“Saksi Mata”)
dan telinga yang dipotong (“Telinga”), ada wajah yang tak lagi berbentuk
setelah didera penyiksaan hebat (“Maria”); mayat yang diseret kuda di atas
jalan berdebu (“Salvador”); dan kepala yang ditancapkan di pagar rumah (“Kepala
di Pagar Da Silva”).
Semua diceritakan dengan acuh tak
acuh; dingin. Bahkan, dalam “Listrik”, Seno masih sempat-sempatnya mengisahkan
sejarah penemuan setrum yang ternyata tak cuma berguna untuk menyalakan lampu
tapi juga menyiksa tawanan. Di sini, Ia juga menyelipkan humor tentang
kedunguan serdadu yang cuma bisa bilang “siap” kepada komandannya.
Tanpa membaca catatan pengarang
di awal buku, generasi yang lahir setelah Orde Baru mungkin agak sulit
mendeteksi latar peristiwa dan tempat segala kengerian itu terjadi. Seno memang
sengaja menyembunyikannya demi meloloskan cerpen-cerpennya ke media massa pada
sekitar 1993.
Tapi, dia memberi petunjuk dalam
nama-nama khas Portugis pada tokoh-tokoh cerpennya. Ya, kumpulan cerpen ini
memang tentang kekejaman tentara Indonesia selama pendudukan Timor Leste, dan
terutama setelah insiden Pembantaian Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991.
Cerpen-cerpen ini, bagi Seno,
bentuk sublimasi setelah laporan jurnalistik majalah Jakarta
Jakarta tentang insiden Dili membuat murka tentara dan penguasa.
Perusahaan media itu kemudian mengeluarkan Seno dan dua redaktur lain dari
redaksi Jakarta Jakarta pada 1992. Dia lalu memutuskan menuangkan
laporan-laporan reporternya dari Dili, termasuk yang tercecer karena sensornya
sendiri menjadi 12 cerpen yang terbit di sejumlah media massa dalam periode dua
tahun.
Seno mengatakan, ini bentuk
perlawanan rendah hatinya. “Cacing diinjak pun menggeliat, apalagi manusia,”
katanya.
Saksi Mata—yang kemudian
diterbitkan sebagai kumpulan cerpen oleh Bentang Budaya pada 1994—justru
menggema lebih keras dan luas daripada laporan jurnalistiknya. Buku ini telah
diterjemahkan ke sejumlah bahasa asing, dibacakan di Taman Ismail Marzuki oleh
sejumlah seniman pada 1994, dan dibuatkan buku audio pada 2014 dengan narator
para selebritas.
Sebagai ingatan tentang
kekejaman, Saksi Mata layak dijadikan bacaan bagi anak-anak
sekolahan. Sebab, buku-buku sejarah mereka hanya menyinggung Timor Leste pada
saat jajak pendapat 1999. Tak ada bab atau catatan singkat sekalipun tentang
dampak pendudukan Indonesia di sana—yang kabarnya menewaskan ratusan ribu warga
sipil.
Mengapa ini harus diketahui?
Bukankah ini sejarah kelam negara ini yang memalukan?
Ini bukan soal membuka borok
negara sendiri. Ini tentang keadilan sejarah, bukan hanya bagi korban—yang
ironisnya hingga kini belum mendapatkan keadilan hukum—tapi juga bagi generasi
muda bangsa ini. Kita pasti malu dengan catatan ini. Tapi dengan mengakuinya,
kita akan mampu melewatinya dan tak mengulanginya—terlebih di hari-hari ketika
kita masih mendengar kabar tentang kekejaman serupa terjadi di Papua.
Kembali ke Saksi
Mata. Ada pertanyaan di balik banalitas kekejaman. Mengapa manusia bisa
sampai sekeji itu terhadap sesamanya? Mengapa kekejaman itu berlangsung “biasa”
dan bahkan diglorifikasi (pelakunya tak jarang disanjung bak pahlawan)?
Immanuel Kant percaya bahwa
manusia pada dasarnya cenderung memilih perbuatan yang secara moral baik.
Kalaupun pada akhirnya memilih perbuatan jahat, manusia dikendalikan oleh apa
yang ia sebut cinta-diri (self-love). Karena itu, Kant tak percaya ada manusia
yang berbuat jahat karena perbuatan itu an sich jahat. Hukum moral
dan cinta-dirilah yang bertarung dalam diri manusia, dan pemenangnya akan
menentukan pilihan moralitas manusia.
Arendt kurang lebihnya sependapat
dengan Kant ketika menyimpulkan observasinya atas pengadilan Adolf Eichmann, di
Yerusalem. Menurut Arendt, penjahat perang Nazi Jerman itu tak menunjukkan
tanda psikopatik, atau dengan kata lain dia layaknya orang “normal”. Karenanya,
Arendt berpandangan bahwa kekejaman terjadi karena ada insentif, dan dalam
kasus Eichmann berupa iming-iming kenaikan pangkat dan kondisi totalitarian
rezim Nazi. Tapi, Arendt buru-buru menegaskan bahwa manusia—bahkan yang paling
lemah sekalipun—tetaplah memiliki pilihan moral meski berada di bawah kondisi
yang memaksa.
Tak semua sependapat dengan Kant
dan Arendt. Mereka memandang bahwa ada manusia yang sirkuit empati di otaknya
sejak awal tak berkembang, alias tak mampu menempatkan diri dalam kondisi orang
lain. Seiring waktu dan dipengaruhi sejumlah faktor, ia mengalami fenomena yang
disebut “erosi empati”. Hasilnya, ia memandang orang lain sebagai bukan
sepenuhnya manusia. Pendapat ini merujuk kepada tragedi-tragedi genosida yang
mendehumanisasi para korbannya dengan sebutan-sebutan merendahkan, seperti
“monyet”, “kecoa”, dan “cacing”.
Ahli psikologi Paul Bloom menilai
pendapat “kekurangan empati” di atas tak bisa menjelaskan sepenuhnya akar dari
kekejaman manusia. Dia bertanya, bagaimana mungkin seseorang mendehumanisasi
orang lain jika tak menganggap korbannya sebagai manusia? Justru karena
memandang korbannya sebagai manusia, ia menghinakannya. Sebab, ia tahu
penghinaan itu akan membuat si korban menderita.
Singkatnya, Bloom menyimpulkan
bahwa manusia bisa brutal terhadap sesamanya karena memandang yang lain sebagai
ancaman bagi status dan cara hidupnya. Pelaku memandang para korban tak
berperilaku sesuai apa yang dia inginkan. Mereka bahkan dia anggap bertindak
lebih daripada apa yang sepatutnya. Dengan kata lain, kekejaman datang dari
hasrat pelaku menghegemoni para korbannya.
Dalam “Darah Itu Merah,
Jenderal”, Seno menghadirkan kisah dari kaca mata seorang pensiunan jenderal.
Sang jenderal bangga dengan statusnya sebagai seorang prajurit. Bagi dia,
tentara adalah pekerjaan termulia karena telah menjanjikan pengorbanan nyawa.
Dia tak ingin apa yang telah diraih oleh kebanggaan ini diusik oleh berita
wartawan, unjuk rasa mahasiswa, dan tuntutan merdeka.
“Mereka tahu apa? Bisanya cuma
ngomong doang!” katanya. “Daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu
nyawa, apa sekarang kita harus menyerahkannya kembali?”
Dalam teks keagamaan,
iblis—makhluk supranatural yang kerap jadi “kambing hitam” kekejaman
manusia—dikisahkan menolak penciptaan manusia karena statusnya terancam terusik
oleh kehadiran makhluk baru itu. Dia merasa makhluk termulia karena dicipta
dari api sedangkan manusia dari tanah.
Ketakutan tampaknya melahirkan
kesombongan—sebagai upaya untuk menutupi kelemahan. Karena sombong, seseorang
bisa kehilangan empati. Kesombongan juga tak lain adalah cinta-diri (self-love)
yang tanpa sadar menjadi kekuatan pendorong (insentif) kepada kekejaman atas
sesama manusia.
Referensi: https://kutukata.id/2020/03/09/fiksi/saksi-mata-banalitas-kekejaman/
No comments:
Post a Comment