Pertama-tama, saya ucapkan syukur yang teramat besar ke Allah SWT, dengan memberikan saya waktu dan kesempatan untuk membeli ratusan buku-buku bagus, terlebih saya dapat berkesempatan untuk meresensinya.
“Aktifitas membaca tidak timbul dari banyaknya
buku yang ada di rumahmu, melainkan banyaknya aktifitas membaca buku di
rumahmu” – Iqbal Aji Daryono
Bapak saya sudah puluhan tahun menjadi Imam Musholla. Ada dan tidaknya jamaah yang hadir, Bapak akan senantiasa hadir; tidak ada Muadzin, ya di adzani sendiri. Entah hujan lebat dan ngamuk-ngamuknya, mau banjir bahkan saat ada tamu penting yang datang ke rumah, Bapak dengan santai meninggalkannya dan lari ke Musholla. Selama saya masih di kampung, Bapak tak hadir ke Musholla hanya saat listrik padam, ada acara ke luar kota dan sakit. Nah, sakit pun kadang Bapak masih memaksakan dirinya untuk datang ke Musholla. Sebagai Muadzin dan sebagai Imam. Los ora rewel. Babah enek jamaah opo ora pokok budal.
Dalam paragrap kedua, saya awali tulisan ini
dengan apa yang dikatakan Mas Iqbal di atas. Mengapa? Hal tersebut yang membuat
saya berminat untuk membaca buku. Selama dulu dikampung, Bapak menjadi pengaruh
besar minat saya terhadap buku. Awalnya hanya membaca buku koleksi Bapak,
seiring berjalannya waktu dan akses bacaan, saya dapat mengoleksi banyak buku
yang saya sukai.
Secara sederhana, genre buku dibagi dua, Fiksi
dan Non Fiksi. Aktifitas membaca selama dikampung halaman dulu, saya banyak
melahap buku-buku Non Fiksi, saya tidak terlalu terlalu mengenal novel, roman
atau drama. Aktifitas saya membaca buku juga tidak lama, terhitung sejak tahun
2008, sedangkan di tahun 2010 saya mulai getol mengoleksi buku.
Jika sekolah formal mengenal yang namanya
kurikulum atau silabus pembelajaran yang bertujuan agar para guru dan anak
didik terbantu dan tahu apa yang harus mereka pelajari. Aktifitas membaca buku idealnya
juga seperti itu (menurut saya sih, slow aja), hal ini yang sebenarnya agak saya
sesalkan. Mengapa? Saya menyadari jika bacaan saya cenderung serampangan,
pemahaman dalam sebuah buku menjadi tidak utuh, parsial dan kurang paham dalam
suatu tema yang dibahas. Kalau kata orang sekarang, banyak tahu tapi tidak
mendetail. Lantas bagaimana? Harusnya jika ingin memahami sebuah tema, harus
ada buku yang menjadi rujukan, kita membuat list nya terlebih dahulu, cari
bukunya, kaji dan diskusikan.
Tahun 2013 saya mempraktekan hal ini, dengan membuat
list buku apa saja yang banyak menjadi rujukan peristiwa 65, setelah terkumpul,
perlahan saya baca dan pahami. Dirasa sudah cukup, saya ganti cari buku
pembanding dengan tema yang serupa, tujuannya agar pemahaman yang masuk ada
pada titik moderat dalam bercakap dan bertindak.
Apa kelemahannya? Tentu ini subjektif sekali.
Saya banyak bosan, beberapa buku pembahasannya hanya berulang dan
berputar-putar saja, referensinya sudah banyak dibahas yang sebelumnya saya baca.
Aktifitas membaca buku yang semakin meningkat
membuat saya ingin belajar menulis, langkah besar itu saya awali di tahun 2012 dengan
mulai meresensi buku. Langkah pertama dengan banyak membaca hasil resensi orang
lain, namun semakin banyak membaca resensi orang lain malah membuat saya minder
untuk menulis, tidak PD, malu karena tulisan saya jelek dan gak pantas dibaca banyak
orang.
Nah, di tahun 2020 saya tantang diri sendiri
untuk meresensi semua buku yang saya baca. Tantangan ini jujur muncul saat Kang
Kafi rutin menulis di wall facebooknya yang beliau beri tajuk “Sinau
Nulis”. Selain itu, aktifitas meresensi buku yang pernah saya lakukan di tahun
2012 kandas di tengah jalan karena alasan klasik, MALAS. Seri sinau nulis yang
dilakukan Kang Kafi -belakanngan juga banyak di ikuti orang lain- cenderung
menuliskan apa yang beliau lakukan dan hikmahi sepanjang harinya. Perlu pembaca
tahu juga, itu bukan hal yang mudah, terkesan sepele, namun kenyataannya
sangatlah rumit. Proses kreatif di dalamnya menuntut seseorang untuk berfikir
apa yang perlu ia tulis dan kabarkan, tapi, ya tidak sesederhana itu juga. Nah,
lebih rumit lagi apa yang saya lakukan. Membaca buku saja sudah harus melawan
kemalasan, meluangkan waktu memilih buku, membayarnya dengan uang yang tidak
sedikit, kok malah saya tambahi dengan meresensi buku apa saja yang tandas di
baca.
Awalnya mentarget meresensi 48 buku, artinya
setiap bulan wajib meresensi dan membaca 4 buku, bagiku agak gila juga sih, alias
ora mungkin. Target dari 48 saya turunkan ke 40, cara agar memenuhi target
tersebut, banyak buku Fiksi yang saya baca.
Beberapa teman berkata kok bisa meresensi 40
buku dalam setahun, padahal banyak aktifitas lain seperti membagi waktu untuk
keluarga, pekerjaan dan bersosial. Awalnya saya juga menganggap hal tersebut
tidak mungkin, tapi silahkan tengok orangtua atau kerabat dekat kita.
Beliau-beliau juga memiliki pekerjaan utama, tapi mereka masih ada waktu untuk
lain kegiatan: bercocok tanam, musyawarah rutin keluarga, berternak dll. Mereka
melakukan hal itu bak tanpa beban dan memiliki semangat berlebih. Contoh
sederhana ini yang melecut diri saya berkata. Aku iso, cok.
Oh ya, bagi teman-teman yang sering membaca
resensi saya. Saran saya, beli bukunya dan baca sendiri, karena apa yang saya tulis
akan jauh berbeda dengan teman-teman membacanya secara langsung.
Saya masih membaca buku fisik, bukan file atau
dari kindle. Ibarat manusia sekarang tidak dapat lepas dari gawai,
saya juga tidak dapat lepas dari gawai dan buku. Saya sering membaca di
gerbong kereta, terminal sembari menunggu bus datang, di ruang tunggu klinik
atau tukang pangkas rambut. Sekiranya saya menemukan hal yang menarik, akan
saya catat di gawai. Begitu siklusnya, sederhana dan dapat teman-teman
coba.
Kendala Menulis Resensi
Hmmmm, bagaimana saya menuliskannya ya. Pertama
memang saya kurang PD dengan tulisan-tulisan saya, bahkan resensi yang selama
ini saya tulis. Hal ini karena kemampuan menulis yang dibawah rata-rata, tidak
elok dibaca karena banyak yang melanggar kaidah penulisan. Yah, hidup harus
berjalan, meski banyak hutang anak keluarga harus tetap makan. Mau dihujat
tulisan jelek dan tidak bermutu, proses meresensi juga harus jalan tanpa mau
tahu ada hambatan. Ckckck
Oke, buku Fiksi dan Non Fiksi saja sudah sangat
beda. Apalagi jika harus meresensinya, tentu akan banyak kerumitan di
sana-sini. Jelas-jelas yang Fiksi saja, reviewer tidak dapat dengan utuh
menceritakan kembali tanpa kehilangan nyawa dari buku yang ia baca. Apalagi kok
meresensi Non Fiksi, kira-kira begitulah titik kesulitannya.
Ada dua buku yang cukup rumit saya resensi di
tahun 2020. Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan dan Lelaki Malang,
Kenapa Lagi? Karya Hans Fallada. Selain kedua buku tersebut cukup tebal,
banyaknya nama tokoh, tempat, lokasi juga alurnya yang kudu sangat cermat untuk
di ingat agar keutuhan cerita dapat tersampaikan. Nah, bagian rumitnya ada pada
perasaan senang yang pembaca alami selepas menandaskan novel tersebut harus
difikirkan secara cermat dan matang pula agar resensi yang dibuat juga memiliki
kadar rasa yang kurang lebih sama untuk dituliskan ke pembaca.
Buku yang Gagal di Resensi
Ada 75 buku yang saya baca selama tahun 2020.
Dari puluhan buku itu yang berhasil di resensi hanya 40 buku. Ada 2 buku yang
sebenarnya ingin sekali saya tuntaskan, yakni Homo Deus karya Yuval Noah
Harari & Agama Jawa karangan Clifford Gertz. Kedua buku tersebut selain
tebal dan berukuran besar, banyak teori yang bagi saya mencerahkan. Karena
alasan tersebut, saya putuskan untuk meninggalkan kedua buku tersebut dalam
list resensi. Tapi, saya tidak meninggalkan kedua buku tersebut begitu saja,
sampai hari ini saya masih membacanya. Itung-itung sebagai penyegar dahaga
bahan bacaan yang Fiksi-fiksi saja.
Buku yang Ingin Dibaca Tahun 2021
Selain menyelesaikan Homo Deus dan Agama
Jawa. Tumpukan puluhan buku yang saya beli di tahun 2020 meraung-raung
ingin dijamah dan ditelaah juga. Beberapa buku itu adalah Nyanyian Seorang
Bisu karya Pramoedya Ananta Toer & Sejarah Masa Depan Manusia
Yuval Noah Harari. Sebagai orang yang memang suka buku dengan genre Sejarah, sosial
budaya dan sosial politik menjadikan saya merasa berdosa jika tak tandas
membaca buku-buku tersebut.
Baca Buku Terus, Baca Al-Quran nya Kapan?
Saya tidak menganggap perkataan seperti itu
sebagai sindiran. Tapi demi tulisan ini tuntas dan membahagiakan, anggap saja
perkataan di atas sebagai sindirian. Dan, dari pelbagai sindiran selama proses
meresensi di tahun 2020. Perkataan tersebut sangat membekas, tidak sampai
melukai. Slow.
Apakah saya akan menuliskan pembelaan? Tidak.
Klarifikasi? Hmm, mungkin saja.
Pertama. Selama tahun 2020, saya hatam Al-Quran
empat kali. Apakah ini patut saya syukuri? Tidak. Kenapa? Target saya adalah
hatam Al-Quran melebihi buku yang saya resensi.
Kedua. Selama tahun 2020 tidak pernah
terfikirkan jikalau Al-Quran saya pergunakan sebagai konten. Jelas-jelas saya
tidak paham tafsir, bisa di demo berjilid-jilid jika saya salah menafsirkan. Slow,
saya masih ingin hidup tenang.
Ketiga. Saya memiliki alasan idiologis mengapa
bersedekah, shalat, membaca Al-Quran dan amal-amal lainnya tidak perlu
dipertontonkan. Buat apa? Memotifasi orang? Bisa juga. Tapi, saya tidak
memiliki basic keilmuwan di bidang tersebut.
Keempat. Kita masih saja sibuk dengan urusan
orang lain -bagaimana ia shalat, apakah bacaan Al-Quran nya sesuai tajwid,
shalat subuhnya membaca qunut tidak?, bahkan urusan selangkangan orang
lain juga di urusi- sibuk tanpa mau mengkoreksi dirinya sendiri.
Kelima. Wes ya, cium manja saja dari saya.
Tidak Pernah Memiliki Cita-Cita Menjadi
Penulis, Tapi …
Beberapa teman mendaku saya adalah penulis
produktif. Saya jawab: tangio cok, wes awan, ojok bacot ae. Kawan yang
lain menanti kapan buku saya terbit. Saya jawab juga: edan po piye aku isok
nulis buku.
Saya lahir dari keluarga yang pas-pasan.
Sehingga apa yang sekarang saya capai sudah sangat cukup dan bersyukur, tapi
kalau Allah SWT menambahi rezeki juga tidak akan saya tolak. Hehe. Eh tapi, ada
pesan mendalam dari Mbah Nun perihal babakan ini, begini “Setiap Rezeki
Memiliki Ujian, dan Setiap Ujian Memiliki Rezeki”. Jadi, jika Allah SWT
menambah nikmat, sebenarnya kita sedang di tes, kon ileng ora karo pengeran.
Sampai sekarang saya masih berkeinginan dapat
menulis secara baik dan benar. Tulisan yang saya tulis dapat dengan ringan,
renyah dan berbobot dibaca para pembaca. Jelas dan ber esensi, ora mbulet
koyo taek. Hanya itu saja, dan ini masih terus sinau.
Menulis buku? Ingin, itu goal besar yang
saya tuju. Kapan?
Menulis, Like & Share
Kadang saya juga bertanya-tanya, masyarakat
kita sebenarnya minat membacanya sangat tinggi, namun minat untuk membelli buku
masih rendah. Hemat saya, buku belum menjadi kebutuhan primer. Lantas, proses
saya membaca dan menulis apakah dapat memberi kebermanfaatan untuk manusia?
Minimal lingkungan terdekat saya dulu. Entahlah. Meskipun demikian, keraguan
itu tak pernah mematahkan semangat saya untuk membaca dan menulis. Seperti hal
nya Bapak saya yang tak pernah ragu sedikitpun ke Musholla. Bahkan proses
membaca dan menulis tetap saya lakukan ketika mencari nafkah yang terlampau
banyak menyita waktu.
Jika saya pikir secara mendalam, keadaanku
dapat lebih buruk dibandingkan tanpa membaca buku. Dengan membaca buku, saya
lebih konformis, tidak mudah resah, dan semangat kritis akan selalu menyala.
Membaca buku bukan sekedar hiburan, pelarian, lebih dari olah intelektual yang
mempertajam kepekaan seseorang dalam membangkitkan semangat kritis. Agar hidup
tidak terisolir dan agar hidup tidak tereduksi menuju pragmatisme.
Berbicara buku sebagai hiburan. Masyarakat kita
hari ini telah menempatkan hiburan, bersenang-senang, lari dari kesuntukan
menjadi hasrat universal, ia di junjung tinggi sebagai apa yang Mario Vargas
LIosa katakan sebagai Peradaban Tontonan. Tentu tidak salah jika seseorang
hanya menyukai karya Fiksi. Sadar atau tidak, pembaca zaman sekarang
menginginkan buku-buku ringan, menghibur, dan tuntutan ini menghadirkan tekanan
yang menjadi insentif kuat bagi para pengarang.
Sastra ringan, seperti film ringan dan seni
ringan, memberi kesan menentramkan pada pembaca dan penonton bahwa mereka
berbudaya, revolusioner, modern, garda terdepan, dengan upaya intelektual yang
minimum. Dengan demikian, budaya yang meyakini dirinya sendiri maju dan
menghadirkan gebrakan, sesungguhnya menyebarkan konformisme melalui manifestasi
terburuknya: rasa gembira dan puas diri.
Ruang kosong yang ditinggalkan oleh
menghilangnya kritisme telah diisi, secara tidak sadar, oleh iklan, membuat
periklanan pada zaman kita ini bukan cuma sebagai komponen pembentuk kehidupan
budaya, melainkan juga vektor penentunya.
Semangat yang saya yakini ini menjadikan like,
share, komentar dan apresiasi tidak sedikitpun mengganjal saya berhenti membaca
dan menulis.
Penutup
Saya ucapkan terimakasih banyak kepada Allah
SWT, kedua orangtua saya, istri dan anak saya serta semua yang teribat dalam
proses membaca, meresensi proses kreatif yang saya lakukan selama tahun 2020.
Apakah kita memiliki buku di rumah? Apakah ada
buku di samping rak TV kita? Apakah ada buku yang dapat dengan mudah diambil
anak-anak kita sehingga membuat ia terbiasa dengan buku? Apakah setiap hari
kita sudah membacakan sebuah buku/cerita ke anak-anak kita? Apakah tugas
mendidik anak kita kira hanya kepada Ibu? Dan Ayah hanya mencari nafkah saja?
Kita butuh orangtua yang mendidik. -Nadiem Makarim.
Terimakasih
Malang, 31 Desember 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment