Thursday, December 31, 2020

Refleksi Selama Meresensi Buku di Tahun 2020

Pertama-tama, saya ucapkan syukur yang teramat besar ke Allah SWT, dengan memberikan saya waktu dan kesempatan untuk membeli ratusan buku-buku bagus, terlebih saya dapat berkesempatan untuk meresensinya.

“Aktifitas membaca tidak timbul dari banyaknya buku yang ada di rumahmu, melainkan banyaknya aktifitas membaca buku di rumahmu” – Iqbal Aji Daryono


Bapak saya sudah puluhan tahun menjadi Imam Musholla. Ada dan tidaknya jamaah yang hadir, Bapak akan senantiasa hadir; tidak ada Muadzin, ya di adzani sendiri. Entah hujan lebat dan ngamuk-ngamuknya, mau banjir bahkan saat ada tamu penting yang datang ke rumah, Bapak dengan santai meninggalkannya dan lari ke Musholla. Selama saya masih di kampung, Bapak tak hadir ke Musholla hanya saat listrik padam, ada acara ke luar kota dan sakit. Nah, sakit pun kadang Bapak masih memaksakan dirinya untuk datang ke Musholla. Sebagai Muadzin dan sebagai Imam. Los ora rewel. Babah enek jamaah opo ora pokok budal.

Dalam paragrap kedua, saya awali tulisan ini dengan apa yang dikatakan Mas Iqbal di atas. Mengapa? Hal tersebut yang membuat saya berminat untuk membaca buku. Selama dulu dikampung, Bapak menjadi pengaruh besar minat saya terhadap buku. Awalnya hanya membaca buku koleksi Bapak, seiring berjalannya waktu dan akses bacaan, saya dapat mengoleksi banyak buku yang saya sukai.


Secara sederhana, genre buku dibagi dua, Fiksi dan Non Fiksi. Aktifitas membaca selama dikampung halaman dulu, saya banyak melahap buku-buku Non Fiksi, saya tidak terlalu terlalu mengenal novel, roman atau drama. Aktifitas saya membaca buku juga tidak lama, terhitung sejak tahun 2008, sedangkan di tahun 2010 saya mulai getol mengoleksi buku.

Jika sekolah formal mengenal yang namanya kurikulum atau silabus pembelajaran yang bertujuan agar para guru dan anak didik terbantu dan tahu apa yang harus mereka pelajari. Aktifitas membaca buku idealnya juga seperti itu (menurut saya sih, slow aja), hal ini yang sebenarnya agak saya sesalkan. Mengapa? Saya menyadari jika bacaan saya cenderung serampangan, pemahaman dalam sebuah buku menjadi tidak utuh, parsial dan kurang paham dalam suatu tema yang dibahas. Kalau kata orang sekarang, banyak tahu tapi tidak mendetail. Lantas bagaimana? Harusnya jika ingin memahami sebuah tema, harus ada buku yang menjadi rujukan, kita membuat list nya terlebih dahulu, cari bukunya, kaji dan diskusikan.

Tahun 2013 saya mempraktekan hal ini, dengan membuat list buku apa saja yang banyak menjadi rujukan peristiwa 65, setelah terkumpul, perlahan saya baca dan pahami. Dirasa sudah cukup, saya ganti cari buku pembanding dengan tema yang serupa, tujuannya agar pemahaman yang masuk ada pada titik moderat dalam bercakap dan bertindak.

Apa kelemahannya? Tentu ini subjektif sekali. Saya banyak bosan, beberapa buku pembahasannya hanya berulang dan berputar-putar saja, referensinya sudah banyak dibahas yang sebelumnya saya baca.

Aktifitas membaca buku yang semakin meningkat membuat saya ingin belajar menulis, langkah besar itu saya awali di tahun 2012 dengan mulai meresensi buku. Langkah pertama dengan banyak membaca hasil resensi orang lain, namun semakin banyak membaca resensi orang lain malah membuat saya minder untuk menulis, tidak PD, malu karena tulisan saya jelek dan gak pantas dibaca banyak orang.

Nah, di tahun 2020 saya tantang diri sendiri untuk meresensi semua buku yang saya baca. Tantangan ini jujur muncul saat Kang Kafi rutin menulis di wall facebooknya yang beliau beri tajuk “Sinau Nulis”. Selain itu, aktifitas meresensi buku yang pernah saya lakukan di tahun 2012 kandas di tengah jalan karena alasan klasik, MALAS. Seri sinau nulis yang dilakukan Kang Kafi -belakanngan juga banyak di ikuti orang lain- cenderung menuliskan apa yang beliau lakukan dan hikmahi sepanjang harinya. Perlu pembaca tahu juga, itu bukan hal yang mudah, terkesan sepele, namun kenyataannya sangatlah rumit. Proses kreatif di dalamnya menuntut seseorang untuk berfikir apa yang perlu ia tulis dan kabarkan, tapi, ya tidak sesederhana itu juga. Nah, lebih rumit lagi apa yang saya lakukan. Membaca buku saja sudah harus melawan kemalasan, meluangkan waktu memilih buku, membayarnya dengan uang yang tidak sedikit, kok malah saya tambahi dengan meresensi buku apa saja yang tandas di baca.

Awalnya mentarget meresensi 48 buku, artinya setiap bulan wajib meresensi dan membaca 4 buku, bagiku agak gila juga sih, alias ora mungkin. Target dari 48 saya turunkan ke 40, cara agar memenuhi target tersebut, banyak buku Fiksi yang saya baca.

Beberapa teman berkata kok bisa meresensi 40 buku dalam setahun, padahal banyak aktifitas lain seperti membagi waktu untuk keluarga, pekerjaan dan bersosial. Awalnya saya juga menganggap hal tersebut tidak mungkin, tapi silahkan tengok orangtua atau kerabat dekat kita. Beliau-beliau juga memiliki pekerjaan utama, tapi mereka masih ada waktu untuk lain kegiatan: bercocok tanam, musyawarah rutin keluarga, berternak dll. Mereka melakukan hal itu bak tanpa beban dan memiliki semangat berlebih. Contoh sederhana ini yang melecut diri saya berkata. Aku iso, cok.

Oh ya, bagi teman-teman yang sering membaca resensi saya. Saran saya, beli bukunya dan baca sendiri, karena apa yang saya tulis akan jauh berbeda dengan teman-teman membacanya secara langsung.

Saya masih membaca buku fisik, bukan file atau dari kindle. Ibarat manusia sekarang tidak dapat lepas dari gawai, saya juga tidak dapat lepas dari gawai dan buku. Saya sering membaca di gerbong kereta, terminal sembari menunggu bus datang, di ruang tunggu klinik atau tukang pangkas rambut. Sekiranya saya menemukan hal yang menarik, akan saya catat di gawai. Begitu siklusnya, sederhana dan dapat teman-teman coba.

Kendala Menulis Resensi

Hmmmm, bagaimana saya menuliskannya ya. Pertama memang saya kurang PD dengan tulisan-tulisan saya, bahkan resensi yang selama ini saya tulis. Hal ini karena kemampuan menulis yang dibawah rata-rata, tidak elok dibaca karena banyak yang melanggar kaidah penulisan. Yah, hidup harus berjalan, meski banyak hutang anak keluarga harus tetap makan. Mau dihujat tulisan jelek dan tidak bermutu, proses meresensi juga harus jalan tanpa mau tahu ada hambatan. Ckckck

Oke, buku Fiksi dan Non Fiksi saja sudah sangat beda. Apalagi jika harus meresensinya, tentu akan banyak kerumitan di sana-sini. Jelas-jelas yang Fiksi saja, reviewer tidak dapat dengan utuh menceritakan kembali tanpa kehilangan nyawa dari buku yang ia baca. Apalagi kok meresensi Non Fiksi, kira-kira begitulah titik kesulitannya.

Ada dua buku yang cukup rumit saya resensi di tahun 2020. Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan dan Lelaki Malang, Kenapa Lagi? Karya Hans Fallada. Selain kedua buku tersebut cukup tebal, banyaknya nama tokoh, tempat, lokasi juga alurnya yang kudu sangat cermat untuk di ingat agar keutuhan cerita dapat tersampaikan. Nah, bagian rumitnya ada pada perasaan senang yang pembaca alami selepas menandaskan novel tersebut harus difikirkan secara cermat dan matang pula agar resensi yang dibuat juga memiliki kadar rasa yang kurang lebih sama untuk dituliskan ke pembaca.

Buku yang Gagal di Resensi

Ada 75 buku yang saya baca selama tahun 2020. Dari puluhan buku itu yang berhasil di resensi hanya 40 buku. Ada 2 buku yang sebenarnya ingin sekali saya tuntaskan, yakni Homo Deus karya Yuval Noah Harari & Agama Jawa karangan Clifford Gertz. Kedua buku tersebut selain tebal dan berukuran besar, banyak teori yang bagi saya mencerahkan. Karena alasan tersebut, saya putuskan untuk meninggalkan kedua buku tersebut dalam list resensi. Tapi, saya tidak meninggalkan kedua buku tersebut begitu saja, sampai hari ini saya masih membacanya. Itung-itung sebagai penyegar dahaga bahan bacaan yang Fiksi-fiksi saja.

Buku yang Ingin Dibaca Tahun 2021

Selain menyelesaikan Homo Deus dan Agama Jawa. Tumpukan puluhan buku yang saya beli di tahun 2020 meraung-raung ingin dijamah dan ditelaah juga. Beberapa buku itu adalah Nyanyian Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer & Sejarah Masa Depan Manusia Yuval Noah Harari. Sebagai orang yang memang suka buku dengan genre Sejarah, sosial budaya dan sosial politik menjadikan saya merasa berdosa jika tak tandas membaca buku-buku tersebut.

Baca Buku Terus, Baca Al-Quran nya Kapan?

Saya tidak menganggap perkataan seperti itu sebagai sindiran. Tapi demi tulisan ini tuntas dan membahagiakan, anggap saja perkataan di atas sebagai sindirian. Dan, dari pelbagai sindiran selama proses meresensi di tahun 2020. Perkataan tersebut sangat membekas, tidak sampai melukai. Slow.

Apakah saya akan menuliskan pembelaan? Tidak. Klarifikasi? Hmm, mungkin saja.

Pertama. Selama tahun 2020, saya hatam Al-Quran empat kali. Apakah ini patut saya syukuri? Tidak. Kenapa? Target saya adalah hatam Al-Quran melebihi buku yang saya resensi.

Kedua. Selama tahun 2020 tidak pernah terfikirkan jikalau Al-Quran saya pergunakan sebagai konten. Jelas-jelas saya tidak paham tafsir, bisa di demo berjilid-jilid jika saya salah menafsirkan. Slow, saya masih ingin hidup tenang.

Ketiga. Saya memiliki alasan idiologis mengapa bersedekah, shalat, membaca Al-Quran dan amal-amal lainnya tidak perlu dipertontonkan. Buat apa? Memotifasi orang? Bisa juga. Tapi, saya tidak memiliki basic keilmuwan di bidang tersebut.

Keempat. Kita masih saja sibuk dengan urusan orang lain -bagaimana ia shalat, apakah bacaan Al-Quran nya sesuai tajwid, shalat subuhnya membaca qunut tidak?, bahkan urusan selangkangan orang lain juga di urusi- sibuk tanpa mau mengkoreksi dirinya sendiri.

Kelima. Wes ya, cium manja saja dari saya.

Tidak Pernah Memiliki Cita-Cita Menjadi Penulis, Tapi …

Beberapa teman mendaku saya adalah penulis produktif. Saya jawab: tangio cok, wes awan, ojok bacot ae. Kawan yang lain menanti kapan buku saya terbit. Saya jawab juga: edan po piye aku isok nulis buku.

Saya lahir dari keluarga yang pas-pasan. Sehingga apa yang sekarang saya capai sudah sangat cukup dan bersyukur, tapi kalau Allah SWT menambahi rezeki juga tidak akan saya tolak. Hehe. Eh tapi, ada pesan mendalam dari Mbah Nun perihal babakan ini, begini “Setiap Rezeki Memiliki Ujian, dan Setiap Ujian Memiliki Rezeki”. Jadi, jika Allah SWT menambah nikmat, sebenarnya kita sedang di tes, kon ileng ora karo pengeran.

Sampai sekarang saya masih berkeinginan dapat menulis secara baik dan benar. Tulisan yang saya tulis dapat dengan ringan, renyah dan berbobot dibaca para pembaca. Jelas dan ber esensi, ora mbulet koyo taek. Hanya itu saja, dan ini masih terus sinau.

Menulis buku? Ingin, itu goal besar yang saya tuju. Kapan?

Menulis, Like & Share

Kadang saya juga bertanya-tanya, masyarakat kita sebenarnya minat membacanya sangat tinggi, namun minat untuk membelli buku masih rendah. Hemat saya, buku belum menjadi kebutuhan primer. Lantas, proses saya membaca dan menulis apakah dapat memberi kebermanfaatan untuk manusia? Minimal lingkungan terdekat saya dulu. Entahlah. Meskipun demikian, keraguan itu tak pernah mematahkan semangat saya untuk membaca dan menulis. Seperti hal nya Bapak saya yang tak pernah ragu sedikitpun ke Musholla. Bahkan proses membaca dan menulis tetap saya lakukan ketika mencari nafkah yang terlampau banyak menyita waktu.

Jika saya pikir secara mendalam, keadaanku dapat lebih buruk dibandingkan tanpa membaca buku. Dengan membaca buku, saya lebih konformis, tidak mudah resah, dan semangat kritis akan selalu menyala. Membaca buku bukan sekedar hiburan, pelarian, lebih dari olah intelektual yang mempertajam kepekaan seseorang dalam membangkitkan semangat kritis. Agar hidup tidak terisolir dan agar hidup tidak tereduksi menuju pragmatisme.

Berbicara buku sebagai hiburan. Masyarakat kita hari ini telah menempatkan hiburan, bersenang-senang, lari dari kesuntukan menjadi hasrat universal, ia di junjung tinggi sebagai apa yang Mario Vargas LIosa katakan sebagai Peradaban Tontonan. Tentu tidak salah jika seseorang hanya menyukai karya Fiksi. Sadar atau tidak, pembaca zaman sekarang menginginkan buku-buku ringan, menghibur, dan tuntutan ini menghadirkan tekanan yang menjadi insentif kuat bagi para pengarang.

Sastra ringan, seperti film ringan dan seni ringan, memberi kesan menentramkan pada pembaca dan penonton bahwa mereka berbudaya, revolusioner, modern, garda terdepan, dengan upaya intelektual yang minimum. Dengan demikian, budaya yang meyakini dirinya sendiri maju dan menghadirkan gebrakan, sesungguhnya menyebarkan konformisme melalui manifestasi terburuknya: rasa gembira dan puas diri.

Ruang kosong yang ditinggalkan oleh menghilangnya kritisme telah diisi, secara tidak sadar, oleh iklan, membuat periklanan pada zaman kita ini bukan cuma sebagai komponen pembentuk kehidupan budaya, melainkan juga vektor penentunya.

Semangat yang saya yakini ini menjadikan like, share, komentar dan apresiasi tidak sedikitpun mengganjal saya berhenti membaca dan menulis.

Penutup

Saya ucapkan terimakasih banyak kepada Allah SWT, kedua orangtua saya, istri dan anak saya serta semua yang teribat dalam proses membaca, meresensi proses kreatif yang saya lakukan selama tahun 2020.

Apakah kita memiliki buku di rumah? Apakah ada buku di samping rak TV kita? Apakah ada buku yang dapat dengan mudah diambil anak-anak kita sehingga membuat ia terbiasa dengan buku? Apakah setiap hari kita sudah membacakan sebuah buku/cerita ke anak-anak kita? Apakah tugas mendidik anak kita kira hanya kepada Ibu? Dan Ayah hanya mencari nafkah saja? Kita butuh orangtua yang mendidik. -Nadiem Makarim.

Terimakasih

Malang, 31 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris

 

No comments:

Post a Comment