Thursday, January 14, 2021

Budaya Baca Naik, Apakah Hal Serupa Kemudian Terjadi di Budaya Tulis?

Questioning Everything! Spesial Puthut EA, Kepala Suku Mojok

Menyenangkan rasanya bisa membaca kumpulan wawancara mengenai proses kreatif karya yang dihasilkan oleh penulis, perupa dan musisi yang terdapat di dalam buku ini. Banyak hal yang dapat diambil, terutama motivasi untuk terus produktif dan kreatif dalam berkarya.



Jika Yoris Sebastian menganggap dirinya kreatif dan menulis buku degan judul 101 Creative Notes dan orang-orang membacanya agar mengikutinya dan menjadi kreatif, percayalah, itu sia-sia. Saya mendapatkan banyak ide-ide segar dalam Questioning Everything ini, lewat kerja kreatif beberapa tokoh yang dilansir dalam wawancaranya dan ini lebih bermanfaat daripada catatan Yoris, tentu saja.

Baca tulisan yang lain: Refleksi Selama Meresensi Buku di Tahun 2020

Ini adalah buku kumpulan wawancara dari majalah Magazine hasil wawancara duo jurnalis muda berpengalaman; Tomi Wibisono & Soni Triantoro. Dalam buku ini banyak tokoh yang mungkin pembaca tidak kenal secara pribadi namun dijamin karya-karya mereka, lewat berbagai cara dan media pernah mampir di riuhnya kehidupan kita, dengan santainya (atau tergesa-gesa) berbagai obrolan menarik disini. Keliaran perspektif, cerdasnya arogansi, bukan provakasi pemikiran ketat tersirat lewat buku milik kolektif literasi nekat asal Yogya ini. Walaupun diantarkan dalam gaya sastrawi namun buku ini tak membuat kening berkerut, cepat saji dan pastinya tidak kehilangan taji. Dan, dari banyak tokoh yang di wawancarai, berikut adalah resensi wawancara dengan salah satu maestro Cerpenis Indonesia, Puthut EA.


Tidak Ingin di Sebut Sastrawan

Masyarakat kita pada umumnya terjebak dalam definisi bahwa setiap orang yang sering menulis karya Fiksi sering disebut sebagai sastrawan. Julukan itu pula melekat ke Mas Puthut. Dalam wawancaranya, Mas Puthut mengelak pelabelan sastrawan pada dirinya karena ia juga menulis karya Non Fiksi lain seperti esai, jurnal dan ensiklopedia.

Baca Tulisan Lain: Apa Yang Membuat Sebuah Tulisan Bagus?

"Kalau sastrawan kan hanya menulis sastra. Itu bukan berarti nggak bagus. Tapi sejak dulu saya bukan hanya menulis sastra. Cuman karena saya menulis sastranya itu di Kompas, jadi lebih dikenal sebagai sastrawan. Saya itu sebenarnya peneliti sosial dan menulis esai juga. Dan tentu tantangannya beda ya antara penulis dengan sastrawan."


Kelahiran Mojok.co


Medio 2014 pun menjadi tonggak kelahiran Mojok.co. lewat slogan "Sedikit Nakal Banyak Akal", yang bergegas mencuri perhatian insan dunia maya. Ide awal pembuatan situs tersebut berawal sederhana. Dari bagaimana Mas Puthut mengamati status-status facebook teman-temannya. Timbul sebuah gagasan untuk mendokumentasikan dan mengembangkan budaya penulisan status-status tersebut ke dalam ruang tulis yang berporsi lebih. Banyak penulis-penulis hebat di masa awal pendirian Mojok.co, sebut saja Edwards S. Kennedy, Agus Mulyadi, Arman Dhani, Iqbal Aji Daryono, Gus Chandra Malik hingga Muhidin M Dahlan.

Baca Tulisan Lain; Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar

Menjadi situs yang sensitif. Mojok.co hampir tak pernah telat dalam merespon isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat. Konsekuensinya, banyak dari tulisan Mojok.co yang potensi los nya tinggi. Hal ini yang kemudian posisi Mas Puthut sebagai kepala suku memiliki andil besar (politically correct). Ia harus jeli dalam melihat mana tulisan yang berpotensi bermasalah, sara, menyudutkan kelompok atau elit tertentu atau kadar pembahasan tulisan tersebut masih sebatas kulitnya saja.


Naskah Susah Masuk

Banyaknya animo masyarakat membaca Mojok.co, membuat para kontributor berlomba-lomba mengirimkan naskahnya. Hal ini selaras dengan naskah yang masuk ke redaksi, biasanya sehari hanya dua sampai tiga tulisan, sekarang dapat mencapai lima belas sampai tiga puluh tulisan setiap harinya. Mas Puthut menuturkan, "Kurasi ketat karena yang mengirim itu banyak. Sekarang orang yang mau mengirim ke Mojok saja berpikir. Itu jeleknya. Saya sering ketemu orang yang tanya, 'Susah ya diterima oleh Mojok?' Ya mungkin susah. Tapi saya sering tanya juga, 'Sudah pernah ngirim?' Dijawab, 'Belum". Ia melanjutkan, "Mereka sering menyensor dirinya sendiri. Karena dianggap sudah banyak penulis (Mojok) yang tenar. Padahal itu gak ada jaminan ..."

Baca Tulisan Lain: Hans Fallada - Lelaki Malang, Kenapa Lagi?

Media Digital & Buku

Semakin majunya teknologi informasi menjadikan pembaca memiliki banyak pilihan dalam memilih bacaannya. Salah satunya media digital, dengan bermodal gawai, bahan bacaan dapat kita akses secara gratis, bisa lewat twitter, facebook atau aplikasi lainnya. Namun, hal ini bukan berarti media digital buku fisik juga tergantikan. Kedua media tersebut tentu memiliki perbedaan, selain dari sisi fisik, buku fisik memiliki nilai tawar kedalaman tema dan konsep yang media digital belum bisa tawarkan hari ini. Untuk di Indonesia sendiri, umur buku masih panjang, meski sudah ada digital books. Tapi untuk surat kabar, sepertinya memang sudah mulai kalah pamor.


Engagement Media Alternative & Media Cetak

Zaman sudah berbeda, ini hanya masalah waktu saja. Para penulis jika kita amati semakin banyak yang menggunakan media alternatif seperti Mojok dll daripada mengejar tulisannya dapat dimuat di Kompas, Jawapos, Tempo dan lainnya. Respon yang didapat tentu sudah berbeda, kalau engagement sosial Mojok.co sangat tinggi jika tulisan kita dapat di muat, hal itu yang tidak didapatkan di media cetak lainnya. Menjamurnya media alternatif seperti Mojok.co menjadikan banyak bermunculan penulis-penulis muda yang karyanya patut diperhitungkan.


Budaya tulis yang semakin bagus ini jika kita teliti lebih lanjut, berawal dari maraknya tulisan-tulisan yang tersebar di sosial media seperti Facebook, Twitter & Instagram. Masyarakat kita sudah dapat menulis. Tidak seperti zaman dahulu, kalau tidak bisa menulis ya tidak bisa beneran. Nah kalau sekarang kan ngakunya gak bisa nulis, kalau di suruh nulis ya bisa saja. Titik masalahnya di sini. Mereka menganggap statusnya berharga? Penting atau nggak? Itu harus ditanamkan pada mereka semua bahwa "statusmu itu penting".

Baca Tulisan Lain: Pertikaian Suami Istri di Era Cyber

Masyarakat kita (termasuk saya sendiri, sih) suka underestimating diri sendiri. Merasa diri kita bukan penulis, intelektual, pemikir, sehingga status atau tulisannya sendiri dianggap tidak penting. Kita menjadi misleading, keliru dalam melihat persoalan. Di sisi lain, hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa produsen tulisan itu sedikit. Orang terpaku hanya produsen buku itu hanya buku dan majalah. Tapi coba kita lihat media digital, kita amati status-status Facebook dan blog. Tulisan itu diproduksi, disebarkan dan terdokumentasi. Perkembangannya sangatlah luar biasa. Masalahnya, kita menganggap hal itu penting atau tidak? Kita jadi memiliki jalan pemikiran sendiri, tidak harus membeo pemikiran orang lain.


Terakhir. Pandangan Mas Puthut pada aktifitas menulis dijadikan sebagai 'Hobi' atau 'Pegangan Hidup' juga sangat menarik. Tentu yang pertama soal mindset kita bahwa yang berhak menulis bukanlah seorang penulis saja. Kita juga bisa, dan memang berhak. Jika menulis dijadikan sebagai pegangan hidup, kita kudu yakin bahwa saya bisa hidup dari menulis. Profesionalitasnya ditingkatkan, mulai siap deadline, kualitas tulisan dan banyak hal yang harus ditingkatkan juga. Jika menulis hanya dijadikan hobi, ya cukup seperlunya. Jangan lupa bahagia. Karena menulis harus bahagia, sekalipun yang kita tulis menyakiti orang lain.


Terimakasih

Malang, 14 Januari 2021

Ali Ahsan Al Haris

 

No comments:

Post a Comment