Questioning Everything! Spesial Puthut EA, Kepala Suku Mojok
Menyenangkan rasanya bisa membaca
kumpulan wawancara mengenai proses kreatif karya yang dihasilkan oleh penulis,
perupa dan musisi yang terdapat di dalam buku ini. Banyak hal yang dapat
diambil, terutama motivasi untuk terus produktif dan kreatif dalam berkarya.
Jika Yoris Sebastian menganggap dirinya kreatif dan menulis buku degan judul 101 Creative Notes dan orang-orang membacanya agar mengikutinya dan menjadi kreatif, percayalah, itu sia-sia. Saya mendapatkan banyak ide-ide segar dalam Questioning Everything ini, lewat kerja kreatif beberapa tokoh yang dilansir dalam wawancaranya dan ini lebih bermanfaat daripada catatan Yoris, tentu saja.
Baca tulisan yang lain: Refleksi Selama Meresensi Buku di Tahun 2020
Ini adalah buku kumpulan
wawancara dari majalah Magazine hasil wawancara duo jurnalis muda berpengalaman;
Tomi Wibisono & Soni Triantoro. Dalam buku ini banyak tokoh yang mungkin
pembaca tidak kenal secara pribadi namun dijamin karya-karya mereka, lewat
berbagai cara dan media pernah mampir di riuhnya kehidupan kita, dengan santainya
(atau tergesa-gesa) berbagai obrolan menarik disini. Keliaran perspektif,
cerdasnya arogansi, bukan provakasi pemikiran ketat tersirat lewat buku milik
kolektif literasi nekat asal Yogya ini. Walaupun diantarkan dalam gaya sastrawi
namun buku ini tak membuat kening berkerut, cepat saji dan pastinya tidak
kehilangan taji. Dan, dari banyak tokoh yang di wawancarai, berikut adalah
resensi wawancara dengan salah satu maestro Cerpenis Indonesia, Puthut EA.
Tidak Ingin di Sebut Sastrawan
Masyarakat kita pada umumnya terjebak dalam definisi bahwa setiap orang yang sering menulis karya Fiksi sering disebut sebagai sastrawan. Julukan itu pula melekat ke Mas Puthut. Dalam wawancaranya, Mas Puthut mengelak pelabelan sastrawan pada dirinya karena ia juga menulis karya Non Fiksi lain seperti esai, jurnal dan ensiklopedia.
Baca Tulisan Lain: Apa Yang Membuat Sebuah Tulisan Bagus?
"Kalau sastrawan kan hanya
menulis sastra. Itu bukan berarti nggak bagus. Tapi sejak dulu saya bukan hanya
menulis sastra. Cuman karena saya menulis sastranya itu di Kompas, jadi lebih
dikenal sebagai sastrawan. Saya itu sebenarnya peneliti sosial dan menulis esai
juga. Dan tentu tantangannya beda ya antara penulis dengan sastrawan."
Kelahiran Mojok.co
Medio 2014 pun menjadi tonggak kelahiran Mojok.co. lewat slogan "Sedikit Nakal Banyak Akal", yang bergegas mencuri perhatian insan dunia maya. Ide awal pembuatan situs tersebut berawal sederhana. Dari bagaimana Mas Puthut mengamati status-status facebook teman-temannya. Timbul sebuah gagasan untuk mendokumentasikan dan mengembangkan budaya penulisan status-status tersebut ke dalam ruang tulis yang berporsi lebih. Banyak penulis-penulis hebat di masa awal pendirian Mojok.co, sebut saja Edwards S. Kennedy, Agus Mulyadi, Arman Dhani, Iqbal Aji Daryono, Gus Chandra Malik hingga Muhidin M Dahlan.
Baca Tulisan Lain; Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar
Menjadi situs yang sensitif. Mojok.co
hampir tak pernah telat dalam merespon isu-isu yang tengah berkembang di
masyarakat. Konsekuensinya, banyak dari tulisan Mojok.co yang potensi
los nya tinggi. Hal ini yang kemudian posisi Mas Puthut sebagai kepala suku
memiliki andil besar (politically correct). Ia harus jeli dalam melihat
mana tulisan yang berpotensi bermasalah, sara, menyudutkan kelompok atau elit
tertentu atau kadar pembahasan tulisan tersebut masih sebatas kulitnya saja.
Naskah Susah Masuk
Banyaknya animo masyarakat membaca Mojok.co, membuat para kontributor berlomba-lomba mengirimkan naskahnya. Hal ini selaras dengan naskah yang masuk ke redaksi, biasanya sehari hanya dua sampai tiga tulisan, sekarang dapat mencapai lima belas sampai tiga puluh tulisan setiap harinya. Mas Puthut menuturkan, "Kurasi ketat karena yang mengirim itu banyak. Sekarang orang yang mau mengirim ke Mojok saja berpikir. Itu jeleknya. Saya sering ketemu orang yang tanya, 'Susah ya diterima oleh Mojok?' Ya mungkin susah. Tapi saya sering tanya juga, 'Sudah pernah ngirim?' Dijawab, 'Belum". Ia melanjutkan, "Mereka sering menyensor dirinya sendiri. Karena dianggap sudah banyak penulis (Mojok) yang tenar. Padahal itu gak ada jaminan ..."
Baca Tulisan Lain: Hans Fallada - Lelaki Malang, Kenapa Lagi?
Media Digital & Buku
Semakin majunya teknologi
informasi menjadikan pembaca memiliki banyak pilihan dalam memilih bacaannya.
Salah satunya media digital, dengan bermodal gawai, bahan bacaan dapat kita
akses secara gratis, bisa lewat twitter, facebook atau aplikasi lainnya. Namun,
hal ini bukan berarti media digital buku fisik juga tergantikan. Kedua media
tersebut tentu memiliki perbedaan, selain dari sisi fisik, buku fisik
memiliki nilai tawar kedalaman tema dan konsep yang media digital belum bisa
tawarkan hari ini. Untuk di Indonesia sendiri, umur buku masih panjang,
meski sudah ada digital books. Tapi untuk surat kabar, sepertinya memang sudah
mulai kalah pamor.
Engagement Media Alternative
& Media Cetak
Zaman sudah berbeda, ini hanya
masalah waktu saja. Para penulis jika kita amati semakin banyak yang
menggunakan media alternatif seperti Mojok dll daripada mengejar tulisannya
dapat dimuat di Kompas, Jawapos, Tempo dan lainnya. Respon yang didapat tentu
sudah berbeda, kalau engagement sosial Mojok.co sangat tinggi jika
tulisan kita dapat di muat, hal itu yang tidak didapatkan di media cetak lainnya.
Menjamurnya media alternatif seperti Mojok.co menjadikan banyak
bermunculan penulis-penulis muda yang karyanya patut diperhitungkan.
Budaya tulis yang semakin bagus
ini jika kita teliti lebih lanjut, berawal dari maraknya tulisan-tulisan yang
tersebar di sosial media seperti Facebook, Twitter & Instagram. Masyarakat
kita sudah dapat menulis. Tidak seperti zaman dahulu, kalau tidak bisa menulis
ya tidak bisa beneran. Nah kalau sekarang kan ngakunya gak bisa nulis, kalau di
suruh nulis ya bisa saja. Titik masalahnya di sini. Mereka menganggap statusnya
berharga? Penting atau nggak? Itu harus ditanamkan pada mereka semua bahwa
"statusmu itu penting".
Baca Tulisan Lain: Pertikaian Suami Istri di Era Cyber
Masyarakat kita (termasuk saya
sendiri, sih) suka underestimating diri sendiri. Merasa diri kita bukan
penulis, intelektual, pemikir, sehingga status atau tulisannya sendiri dianggap
tidak penting. Kita menjadi misleading, keliru dalam melihat persoalan. Di sisi
lain, hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa produsen tulisan itu
sedikit. Orang terpaku hanya produsen buku itu hanya buku dan majalah. Tapi
coba kita lihat media digital, kita amati status-status Facebook dan blog.
Tulisan itu diproduksi, disebarkan dan terdokumentasi. Perkembangannya
sangatlah luar biasa. Masalahnya, kita menganggap hal itu penting atau tidak?
Kita jadi memiliki jalan pemikiran sendiri, tidak harus membeo pemikiran orang
lain.
Terakhir. Pandangan Mas Puthut
pada aktifitas menulis dijadikan sebagai 'Hobi' atau 'Pegangan Hidup' juga
sangat menarik. Tentu yang pertama soal mindset kita bahwa yang berhak menulis
bukanlah seorang penulis saja. Kita juga bisa, dan memang berhak. Jika menulis
dijadikan sebagai pegangan hidup, kita kudu yakin bahwa saya bisa hidup dari
menulis. Profesionalitasnya ditingkatkan, mulai siap deadline, kualitas tulisan
dan banyak hal yang harus ditingkatkan juga. Jika menulis hanya dijadikan hobi,
ya cukup seperlunya. Jangan lupa bahagia. Karena menulis harus bahagia,
sekalipun yang kita tulis menyakiti orang lain.
Terimakasih
Malang, 14 Januari 2021
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment