Tuesday, April 20, 2021

Bali Kiri: Sepilihan Esai Kajian Budaya

 


Dalam PutCast Mojok, Mas Sabrang menyukai matematika dan fisika karena malas belajar saja. Lha kok bisa? Menurutnya, matematika, fisika dan ilmu pasti lainnya, update nya  sangat lama. Ia tak perlu harus belajar terus menerus. Hehe. Berbeda dengan saya, dan memang tidak perlu diperbandingkan juga ya, yang lebih menyukai ilmu-ilmu sosial. Apa yang Mas Sabrang utarakan memang betul, apa yang saya baca dan ketahui hari ini, besok sudah berubah lagi, updat lagi pun kena revisi lagi.

Buku yang saya baca ini adalah edisi kedua. Judul edisi pertama adalah Bali Pascakolonial, Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (Yogyakarta, Kepel Press, 2009). Sedangkan pada edisi kedua menjadi Kiri Bali, Sepilihan Essay Kajian Budaya. Judul Kiri Bali dipilih karena sebagian besar narasi yang menjadi dasar buku adalah kesaksian hidup manusia-manusia Bali yang tersisih dalam pergolakan politik dan sejarah di daerah kelahirannya sendiri. “Orang-Orang Kiri Bali” sering menjadi istilah yang disebutkan khayalak umum di Bali untuk menunjuk kepada manusia-manusia Bali yang tersangkut kene garis, berhubungan (dihubungkan) dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Buku ini hadir untuk memperluas pemaknaan bahwa Kiri Bali tidak hanya diasosiasikan kepada manusia Bali yang menjadi korban dan survivor tragedi pembantaian massal 1965 di Bali, tetapi juga mereka yang tersingkirkan dalam pentas politik kebudayaan dan pembangunan di Pulau Seribu Pura ini.

Dalam melakukan studi kekerasan, penulis mengembangkan fokus kajian kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan, para subaltren yang berasa di tepi pasang surut pergolakan politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Penulis ingin membongkar pemahaman tentang relasi kuasa konstruksi terhadap citra eksotika Bali hingga terwarisi seperti sekarang.

Kesaksian dan studi tentang mereka kelompok subaltren sekaligus juga sebagai resistensi dan gugatan terhadap dominasi sang kuasa sekaligus juga tunduknya ilmu-ilmu sosial terhadap kepentingan kekuasaan, khususnya dalam studi ilmu sosial positivistik.

Bagi saya, penulis cukup keren karena ingin menghadirkan “pemahaman bersama” tentang politik kajian budaya Bali dengan melepaskan sekat-sekat disiplin ilmu yang justru menjadi titik sasaran pembongkaran kajian budaya.

Saya yang tidak pernah menekuni studi ilmu sosial, membaca buku ini cukup dibuat decak kagum oleh penulis. Mungkin akan berbeda jikalau pembacanya adalah orang yang memang pernah atau fokus menelateni kajian budaya, tentu akan banyak catatan kritis, sangat berbeda dengan ulasan yang saya tulis. Hehe.

Sebagai penutup, buku berisi delapan essai ini sangat saya rekomendasikan untuk kalian yang senang membaca babakan budaya, lingkungan dan sosial politik. Seperti halnya saya, baru “ngeh” jika Bali yang kita kenal sebagai destinasi wisata, menurut penulis adalah proyek Balinisasi kolonial yang terwariskan ke Pemerintah Indonesia. Yaps, sengaja dibuat, di tradisionalkan, dibuat seolah-olah romantik tanpa tahu jika kepentingan kolonial adalah mengeksploitasi sumber daya alam dan manusianya.

 

Terimakasih

Malang, 20 April 2021

Ali Ahsan Al Haris

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment