Tuesday, April 15, 2014

RESENSI BUKU “TAN MALAKA (PAHLAWAN BESAR YANG DILUPAKAN SEJARAH)”


RESENSI BUKU “TAN MALAKA (PAHLAWAN BESAR YANG DILUPAKAN SEJARAH)”
Oleh: Ali Ahsan

PENULIS          : Masykur Arif Rahman
EDITOR            : Hanifah Fitriani
CETAKAN        : Pertama, November 2013
PENERBIT        : PALAPA
HARGA             : Rp. 36.000
ISBN                  : 978-602-279-083-9


“Ingatlah Bahwa Dari Dalam Kubur, Suara Saya Akan Lebih Keras Daripada Diatas Bumi”
-Datuk Tan Malaka (1897-1949)


            Buku karangan Masykur Arif Rahman ini menceritakan tentang sepak terjang Datuk Tan Malaka atau yang biasa kita kenal dengan Tan Malaka dengan sepak terjangnya di berbagai belahan dunia dalam kancah perpolitikan dunia, khususnya dalam membebaskan Indonesia dari jeratan imprealisme Belanda. Dengan bahasa yang bersahabat membuat buku karangan Masykur sangat mudah difahami oleh para pembaca yang mungkin baru mendalami kisah hidup pahlawan nasional yang hidupnya penuh kontroversial ini.

            Masykur menceritakan kisah hidup Tan Malaka mulai dari kelahiranya; masa pendidikan; sewaktu memimpin sekolah di Jawa; dibuangnya Tan Malaka ke Belanda sampai akhir perjuangan Tan Malaka.

            Ibrahim (nama kecil Tan Malaka) lahir pada tahun 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya bernama H.M Rasad, seorang pegawai pertanian, dan ibunya bernama Rangkyo Sinah, putri orang yang di segani di desanya. Oleh karena itu Tan Malaka termasuk seorang keturunan keluarga terpandang, paling tidak di daerah tempat tinggalnya.

            Pada usia 16 tahun, Tan Malaka mendapat desakan dari orang tua dan kaumnya untuk menerima dua tawaran. Pertama, di beri gelar Datuk, seperti yang telah saya singgung sebelumnya. Kedua, ditunangkan dengan seorang gadis yang dipilih dan telah di atur oleh keluarganya. Terhadap dua tawaran ini Tan Malaka lebih memilih gelar Datuk daripada harus di tunangkan.

            Tan Malaka mengenyam pendidikan pertama kali pada usia 6 sampai 10 tahun di sekolah Pemerintah kelas dua. Semasa sekolah, Tan Malaka terkenal dengan kecerdasanya, hal ini membuat para guru Tan Malaka menyarankanya untuk melanjutkan sekolah yang lebih berkualitas agar pemikiran Tan Malaka yang cemerlang dapat semakin luas dan tajam. Akhirnya, Tan Malaka melanjutkan sekolah di Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Bukit Tinggi.

            Sama halnya sewaktu menempuh pendidikan kelas dua di desanya, kecerdasan Tan Malaka yang gemilang membuat para guru banyak yang senang dan akrab padanya, hal inilah yang mendorong Horensma (Guru Tan Malaka) menyarankanya untuk melanjutkan studinya ke Eropa, yakni di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru negeri) di Belanda. Horensma menyadari kecerdasan Tan Malaka tidak boleh di sia-siakan, selain menganjurkan Tan Malaka untuk melanjutkan studinya, Horensma juga membantu pendanaan Tan Malaka selama kuliah di Belanda semala dua tiga tahun dengan menemui teman akrabnya yang bekerja di kontrolir untuk mendirikan sebuah yayasan yang bergerak mengumpulkan dana 50 ribu rupiah setiap bulan sebagai keperluan Tan Malaka menempuh studinya. Sedangkan yang dijadikan jaminan atas berdirinya yayasan itu adalah harta benda milik keluarga Tan Malaka.

Tan malaka tiba di Belanda pada tanggal 10 Januari 1914, kehidupan Tan Malaka pada mulanya mengalami kesulitan dalam adaptasi dengan lingkungan, masyarakat, iklim dan makanan. Namun, berkat Horensma yang ikut menemani Tan Malaka beberapa bulan di Belanda akhirnya Tan Malaka dapat beradaptasi dengan baik.

Dalam urusan pelajaran, Tan Malaka hampir menguasai semua yang di ajarkan disana terlebih dalam Ilmu Bumi, Ilmu Pendidikan dan Seni. Pemikiran Tan Malaka mulai terbentuk sewaktu menempati kos barunya, Tan Malaka menempati kamar loteng yang sempit dan gelap, hal ini Tan Malaka lakukan mengingat uangnya yang tak cukup untuk menyewa kamar kos yang baik. Herman, tetangga kamar Tan Malaka adalah pemuda Belgia yang meninggalkan negerinya karena negaranya di serbu oleh tentara Jerman. Dari Herman inilah, Tan Malaka dapat membaca surat kabar Het Volk, sebuah surat yang ditebitkan oleh Partai Sosialis Demokrat Netherland. Dari Herman pula, Tan Malaka dapat membaca majalah dan brosur anti kapitalisme dan imprealisme yang tulisanya keras dan pedas.

Sementara itu, anak ibu kosnya, yakni Van der Mij muda yang besimpati pada sekutu (Inggris, Prancis, Belgia) berlanganan surat kabar De Telegraaf, sebuah surat kabar yang anti-Jerman. Dengan demikian, Tan Malaka dapat membaca dua surat kabar yang penting. Dari Het Volk, ia bisa membaca tentang faham Sosialisme-Komunisme, sementara dari De Telegraaf, ia bisa membaca tentang kapitalisme-demokrasi. Mungkin dari sinilah, pemikiran Tan Malaka mulai terbuka tentang percaturan politik dunia.

Ketiga orang tersebut, yakni Tan Malaka, Herman dan Van der Mij, sering melakukan diskusi tentang perang dunia I yang terjadi pada saat itu. Sering kali, diskusi berlangsung cukup alot, bahkan sesekali timbul kemarahan diantara mereka.

Tahun 1916, Tan malaka mengikuti ujian akhir sekolah. Tan malaka lulus dengan predikat baik sehingga langsung diangkat menjadi guru pada sekolah tersebut. Akan tetapi, kesehatan Tan Malaka memburuk dikarenakan penyakit radang paru-paru yang di deritanya.

Di sela sela waktunya selama menjadi pelajar di Belanda, Tan Malaka bergabung dalam Himpunan Hindia, oraganisassi untuk pelajar Indonesia di Belanda yang kebetulan pada saat itu di pimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dan Gunawan Mangunkusumo.

Setelah lulus Tan Malaka tidak langsung kembali ke Indonesia, aktifitasnya di sibukan dengan aktif di organisasi-organisasi pelajar yang berorientasi untuk melepaskan belenggu penjajah dari tanah air yang di cintainya, Indonesia.

Tan malaka kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1919, dia mulai mengajar para anak-anak buruh di Deli demi melunasi hutang-hutangnya semenjak studi di Belanda sembari diam-diam membentuk sebuah perserikatan buruh agar terampil dan menyadarkan mereka untuk melakukan aksi-aksi nyata untuk menyingkirkan penjajah dari tanah mereka.

Di akhir Februari 1921, Tan Malaka pergi ke Jawa tepatnya di Batavia (sekarang Jakarta). Rupanya, gurunya, Horensma, juga sudah pindah tugas ke Jakarta dan menjadi inspektur sekolah rendah Indonesia. Kepada gurunya itulah Tan Malaka menyampaikan maksudnya untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak pribumi. Gurunya mendukung apa yang dikerjakan oleh Tan Malaka tersebut.

Sekolah Islam (SI) didirikan oleh Tan Malaka sebagai bentuk pergerakanya untuk mencerdaskan anak-anak pribumi lewat pendidikan, Tan Malaka bekerjasama dengan organisasi Budi Utomo di Yogyakarta.

Berdirinya sekolah SI mendapat sambutan baik dari masyarakat luas sehingga membuat banyak tawaran untuk Tan Malaka agar membuka sekolah SI di berbagai daerah lain seperti di bukanya sekolah SI di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera.

Berdirinya sekolah SI juga tak luput dari pantauan Pemerintah kolonial Belanda, perhatianya semakin lama semakin menyudutkan keberlangsungan sekolah SI terbukti di tiadakanya sumbangan dana dari pemerintah sehingga pendanaan SI bersumber dari bantuan sukarela para orang tua pelajar, warga sekitar dan anggota organisasi.

Dalam perjalananya, profesi Tan Malaka menjadi guru dalam beberapa pelajaranya juga menekankan arti  penting dari kemerdekaan, para murid Tan Malaka di ajarkan strategi bagaimana mengusir para penjajah yang sedang menduduki tanah airnya kepada para murid-muridnya hingga kabar ini terendus oleh Gubernur Jawa Barat yang mengakibatkan Tan Malaka harus di buang ke Belanda karna tertuduh sebagai provokator Negara dan menjadi tahanan politik.

Tan malaka kembali ke Belanda, bukan untuk belajar melainkan sebagai tahan politik bansanya sendiri. Tan malaka sebelumnya berada di dua pilihan, antara di penjara atau diasingkan, Tan Malaka lebih memilih di asingkan, pilihanya jatuh ke Belanda. Dalam pembuanganya ke belanda Tan Malaka tidak terlalu khawatir di karenakan mempunyai banyak kenalan sewaktu belajar dan aktif di berbagai organisasi yang di ikutinya. Di Belanda Tan Malaka bekerja sebagai editor sebuah majalah ternama di samping untuk memenuhi kebutuhnya sehari-hari. Kisah hidup Tan Malaka selama pembuangan ini sangatlah berkesan, dimana Tan Malaka mengalami beberapa konflik yang hampir merebut nyawanya entah kerena berbahanya dia di mata Negara-negara sekutu Belanda yang terus mengejarnya dan karena penyakitnya yang sering kambuh. Tan Malaka sering berpindah-pindah Negara antara lain China, Filipina, Singapura, Rusia dan Inggris; ini dilakukan karena misi organisasi dan terkadang menjadi tahanan politik bahkan karena sering diburunya dia oleh agen-agen rahasia yang mengkahawatirkan keberadaan Tan Malaka yang menjadi ancaman kemanan nasional.

Lama Tan Malaka kabur dari buruan para agen-agen rahasia Negara akhirnya Tan Malaka kembali ke Indonesia setelah dua puluh tahun berada di negeri buangan. Kembalinya Tan Malaka ke Indonesia pada mulanya tidak ada yang tahu di karenakan dalam negeri banyak yang mengabarkan bahwa Tan Malaka mati bunuh diri di tengah laut saat mencoba melarikan diri.

Tan Malaka pertama kali masuk ke Indonesia lewat selat Malaka kemudian mendarat di Medan, di sana Tan Malaka mencari kenalanya untuk mencari tumpangan ke Jawa, dari kenalanya tersebut Tan Malaka di kenalkan pada seorang cina yang mempunyai kapal hendak mengirimkan barang ke Jakarta, melalui kapal tersebutlah Tan Malaka mendarat di Jakarta. Sewaktu di Jakarta Tan Malaka mencari tempat tinggal sembari mengamati keadaan sosial politik ekonomi negerinya yang telah lama ia tinggal selama kurang lebih dua puluh tahun. Tan Malaka menyewa gubuk berpapan bambu selama di Jakarta. Di rumah kecil itulah Tan Malaka mengarang buku yang sangat monumental yakni MADILOG (Materialisme, Dialektika dan Logika).

“Sebagian besar dari Madilog ialah semua yang berhubungan dengan tulianya Marx, Engels, Mehring, Plechanov dan Lenin yang terpaksa saya catat di luar kepala saja. Yang sebagian berhubungan dengan logika, sebagian (Russell) saya catat di luar kepala, dan sebagian (Jevons dan Stuart!) dapat saya perkuat dengan pembacaan di perpustakaan Gambir. Demikian pula dengan perkara yang berhubungan dengan Filsafat, Ilmu Bintang, Ilmu Alam, Ilmu Kimia, Ilmu Hidup (Bilogi), Matematika dll, sebagian saya catat dari ingatan dan sebagian dari buku yang didapat” diatas adalah kutipan dari Tan Malaka.

Selanjutnya, apakah Madilog itu?
Madiloq merupakan kepanjangan dari Materialisme, Dialektika dan Logika. Menurut Franz Magnis-Suseno, Madilog dapat mengerti sebagian imbauan dari seorang guru bangsa Indonesia kepada bangsa Indonesia agar mau keluar dari kegelapan berpikir dan kemudian memasuki cara berpikir baru, yaitu rasionalitas modern.

Selanjutnya, menurut Franz Magnis-Suseno, Tan Malaka menilai Indonesia sebagai bangsa yang terbelakang akibat cara berpikirnya yang terjebak pada logika mistika. Untuk keluar dari jebakan logika mistika itu, diperlukan jalan logika madiloq (materialisme, dialektika, logika). Logika inilah yang menjadi gagasan mendasar dari buku Madiloq itu.

Apakah yang dimaksud dengan logika mistika?
Franz Magnis-Suseno menjelaskan, logika mistika adalah logika gaib, yang tak lain adalah cara berpikir yang tidak berdasarkan pada kenyataan, tidak mencari sebab-akibat dalam dunia nyata, melainkan mengembalikan segala sesuatunya pada perbuatan roh-roh di alam gaib yang dianggap berada di belakang alam nyata dan mempengaruhi segala kejadian di dunia ini.

Akibatnya, orang yang terjebak dengan logika gaib tersebut tidak akan pernah mengalami kemajuan. Sebab, ia tidak mau tahu dengan keadaan sebenarnya yang terjadi dengan sebab-sebab yang nyata di dunia ini. Ia malah mengharapkan anugrah kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap mempengaruhi kehidupan.

Untuk itu, apabila bangsa Indonesia ingin maju, masyarakat harus melepaskan diri dari logika-logika gaib dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk menganalisis segala sesuatu sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, yang tampak nyata di dunia ini. Logika materialisme, dialektika dan logika dapat membantu mereka untuk keluar dari logika mistika itu.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan logika tesebut?
Pertama, yang di maksud dengan logika materialisme adalah logika yang bertolak dari kenyataan atau materi dan bukan berdasarkan takhayul-takhayul. Dengan kata lain, logika materialisme  tak lain berupa ilmu pemgetahuan yang penelitianya berdasarkan pada kenyatan, bukan mitos-mitos.

Kedua, yang dimaksud dengan logika dialektika adalah cara berpikir berlainan atau cara berpikir timbal-balik. Maksudnya, semua hal memiliki dua sudut. Orang tidak memakai logika dialektis akan menganggap dua sudut itu sebagai bertentangan, namun bagi yang memakai logika dialektika, pertentangan itu justru menjadi penggerak kemajuan. Memakai logika materialis saja tidak cukup, meskipun berdasar pada kenyataan, lantaran cenderung stagnan. Karena itu, logika dialektika dibutuhkan untuk melihat potensi-potensi yang ada pada kenyataan sehinga dapat digunakan guna mencapai kemajuan.

Ketiga, yang dimaksud logika adalah, tak jauh beda dengan pengertian-pengertian pada umumnya, yaitu aturan tentang cara berpikir yang masuk akal. Bagi Tan Malaka, berpikir materialis dan dialektis saja tidak cukup tanpa diiringi dengan logika rasional. Logika rasional berguna untuk meraih kemajuan yang pasti, bukan kemajuan yang semu. Oleh karena itu, logika rasional akan menjadi resep terakhir untuk menyingkirkan logika mistika.

Buku Madilog ini menjadi karya monumental Tan Malaka dikarenakan dikerjakan pada saat masa perang, tanpa banyak literature yang di baca yang hanya berbekal dengan pengalamanya keliling Eropa dan menjadi saksi hidup bahkan subjek percaturan politik dunia.

Pasca kemerdekaan, Tan Malaka masih belum mengungkapkan identitas aslinya di karenakan banyaknya Tan Malaka palsu serta keadaan sosio-politik di Indonesia sendiri yang masih rawan terhadap kudeta.

Perananya dalam detik-detik kemerdekaan di buktikanya dengan mengumpulkan para tokoh pemuda dan aktivis revolusioner untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa harus menunggu hadiah kemerdekaan dari Jepang. Banyak orang yang tidak setuju dengan cara Tan Malaka untuk mendesak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia karena menganggap cara Tan Malaka terlalu radikal meskipun akhirnya para pemuda tetap mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dengan cara menculiknya.

Di saat Sjahrir menjadi Perdana Menteri, gerakan Tan Malaka sering di sorot karena menganggap Tan Malaka akan melakukan kudeta terhadap Soekarno dengan mencari simpati rakyat, padahal Tan Malaka sendiri mengadakan rapat ataupun pertemuan dengan para revolusioner hanya untuk mencapai Indonesia merdeka 100%.

Gesekan antara Sjahrir dan Tan Malaka inilah yang membuat Tan Malaka meringkuk di penjara negerinya sendiri agar bungkam dan Sjahrir leluasa menjalankan agenda politiknya bahwa kudeta dari negera bekas penjajah dapat di selesaikan dengan jalan diplomasi.

Pasca keluar penjara, Tan Malaka tetap melakukan aktifitasnya dengan para tokoh revolusioner dan para buruh untuk mencapai Indonesia merdeka 100%, akan tetapi hal lain terjadi, kekhawatiran pemerintah terhadap pergerakan Tan Malaka membuat dia di buru yang akhirnya tertangkap dan di eksekusi tembak mati di dekat sungai Brantas Kediri.

Tan malaka, mengorbankan seluruh jiwa raganya demi kemerdekaan Indonesia harus meninggal di khianati oleh negeri yang di cintainya, dia menjadi korban revolusi.

Akhirnya, pada tanggal 28 Maret 1963, melalui keputusan Presiden Soekarno no. 53 tahun 1963, Tan Malaka diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sejak saat itulah, Tan Malaka dikenang oleh rakyat Indonesia sebagai Pahlawan Nasional, bukan hanya sebagai pejuang revolusioner yang tidak diakui oleh Negara.

Akan tetapi, ketika Orde Baru berkuasa, nama Tan Malaka di hapus dalam sejarah. Ia tidak diperkenankan untuk dimasukan dalam kurikulum pelajaran yang di ajarkan di sekolah. Memang, gelar kepahlawananya tidak pernah di cabut, tetapi namanya tidak boleh disebutkan dalam teks sejarah.

Akibatnya, sejarah perjuangan Tan Malaka pun terlupakan. Tak heran jika anak-anak yang sekolah pada zaman orde baru dan sekarang sudah dewasa tidak banyak yang tahu tentang pahlawan nasional yang mati-matian membela kemerdekaan 100%, yakni Tan Malaka. Orang yang paling populer pada masa Orde Baru sepertinya hanya Panglima Jenderal Sudirman, padahal Tan Malaka dan Jenderal Sudirman sepemikiran dan pernah berjuang bersama untuk menumpas para Negara bekas penjajah Indonesia yang ingin melakukan kudeta.

Rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat dalam beberapa pemberontakan, padahal Tan Malaka sama sekali tidak setuju dengan gerakan pemberontakan. Contohnya, Tan Malaka menolak pemberontakan yang ingin dilakukan oleh PKI pada tahun 1926-1927. Ia juga tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Di samping itu, jika ia di katakan sebagai tokoh PKI nyatanya ia di keluarkan PKI karena tidak cocok dengan semangat politik dan perjuanganya.

Sang penulis buku, Masykur- memberikan pemahaman kepada kita semua bahwa perjuangan Tan Malaka sangatlah penuh resiko dan perjuangan yang ekstra meskipun berakhir dengan sangat tragis. Masykur juga menitikberatkan buku yang ia karang ini dari hasil penelitian Harry A Poeze yang telah meniliti kehidupan Tan Malaka selama dua puluh tahun lamanya.

Semasa perjuanganya, Tan Malaka juga menulis buku yang patut kita baca diantaranya Aksi Massa; Dari Penjara Ke Penjara Jilid I-III; Madiloq, Massa Aksi dan Thesis. Mungkin buku-buku tersebut dapat memberikan pencerahan buat kita semua untuk lebih tahu sejarah kemerdekaan Indonesia umumnya dan sepak terjang Tan Malaka khususnya.

Sekian resensi dari saya semoga bermanfaat, jangan lupa untuk membaca bukunya agar pemahaman yang sudah ada makin lama makin padat dan bulat, agar tercapailah suatu gambaran diri yang konsisten.

Jika ada yang kurang tepat mari kita diskusikan, bukan hanya mencari kesalahan hanya untuk eksistensi diri semata. Salam hangat dari saya, Budayakan Membaca dan Menulis.
#Go AHead Indonesia
#Yang Penting Bagiku Adalah Dialoq

Behind The Gun: @aliahsanID

5 comments:

  1. Terimakasih sangat bermanfaat.. saya ingin lain kali ada postingan lain mengenai resensi buku karya Tan Malaka yg berjudul Semangat muda. Tentang kekurangan dan kelebihan bukunya.

    ReplyDelete
  2. Sangat tertarik. Mau cari bukunya dari penjara ke penjara dan buku2 beliau lainnya.

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Hahahaha.

      Kok lucu ya.

      Bukankah yang anda baca ini adalah resensi dari buku tersebut?

      atau, rangkuman semacam apa yang anda maksut, Bung?

      Delete
  4. terimakasih, saya fans atas tulisan2 anda, Bung.

    ReplyDelete