RESENSI BUKU “TAN
MALAKA (PAHLAWAN BESAR YANG DILUPAKAN SEJARAH)”
Oleh: Ali Ahsan
PENULIS : Masykur Arif Rahman
EDITOR : Hanifah Fitriani
CETAKAN : Pertama, November 2013
PENERBIT : PALAPA
HARGA : Rp. 36.000
ISBN : 978-602-279-083-9
“Ingatlah Bahwa Dari Dalam Kubur, Suara Saya Akan
Lebih Keras Daripada Diatas Bumi”
-Datuk Tan Malaka
(1897-1949)
Buku
karangan Masykur Arif Rahman ini menceritakan tentang sepak terjang Datuk Tan
Malaka atau yang biasa kita kenal dengan Tan Malaka dengan sepak terjangnya di
berbagai belahan dunia dalam kancah perpolitikan dunia, khususnya dalam
membebaskan Indonesia dari jeratan imprealisme Belanda. Dengan bahasa yang bersahabat
membuat buku karangan Masykur sangat mudah difahami oleh para pembaca yang
mungkin baru mendalami kisah hidup pahlawan nasional yang hidupnya penuh kontroversial
ini.
Masykur
menceritakan kisah hidup Tan Malaka mulai dari kelahiranya; masa pendidikan;
sewaktu memimpin sekolah di Jawa; dibuangnya Tan Malaka ke Belanda sampai akhir
perjuangan Tan Malaka.
Ibrahim
(nama kecil Tan Malaka) lahir pada tahun 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki,
Lima puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya bernama H.M Rasad, seorang pegawai
pertanian, dan ibunya bernama Rangkyo Sinah, putri orang yang di segani di
desanya. Oleh karena itu Tan Malaka termasuk seorang keturunan keluarga
terpandang, paling tidak di daerah tempat tinggalnya.
Pada
usia 16 tahun, Tan Malaka mendapat desakan dari orang tua dan kaumnya untuk
menerima dua tawaran. Pertama, di beri gelar Datuk, seperti yang telah saya singgung sebelumnya. Kedua,
ditunangkan dengan seorang gadis yang dipilih dan telah di atur oleh keluarganya.
Terhadap dua tawaran ini Tan Malaka lebih memilih gelar Datuk daripada harus di
tunangkan.
Tan Malaka
mengenyam pendidikan pertama kali pada usia 6 sampai 10 tahun di sekolah Pemerintah
kelas dua. Semasa sekolah, Tan Malaka terkenal dengan kecerdasanya, hal ini
membuat para guru Tan Malaka menyarankanya untuk melanjutkan sekolah yang lebih
berkualitas agar pemikiran Tan Malaka yang cemerlang dapat semakin luas dan
tajam. Akhirnya, Tan Malaka melanjutkan sekolah di Kweekschool (Sekolah Guru
Negeri) di Bukit Tinggi.
Sama
halnya sewaktu menempuh pendidikan kelas dua di desanya, kecerdasan Tan Malaka
yang gemilang membuat para guru banyak yang senang dan akrab padanya, hal inilah
yang mendorong Horensma (Guru Tan Malaka) menyarankanya untuk melanjutkan
studinya ke Eropa, yakni di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru negeri)
di Belanda. Horensma menyadari kecerdasan Tan Malaka tidak boleh di sia-siakan,
selain menganjurkan Tan Malaka untuk melanjutkan studinya, Horensma juga
membantu pendanaan Tan Malaka selama kuliah di Belanda semala dua tiga tahun dengan
menemui teman akrabnya yang bekerja di kontrolir untuk mendirikan sebuah
yayasan yang bergerak mengumpulkan dana 50 ribu rupiah setiap bulan sebagai
keperluan Tan Malaka menempuh studinya. Sedangkan yang dijadikan jaminan atas
berdirinya yayasan itu adalah harta benda milik keluarga Tan Malaka.
Tan malaka tiba di Belanda
pada tanggal 10 Januari 1914, kehidupan Tan Malaka pada mulanya mengalami kesulitan
dalam adaptasi dengan lingkungan, masyarakat, iklim dan makanan. Namun, berkat Horensma
yang ikut menemani Tan Malaka beberapa bulan di Belanda akhirnya Tan Malaka dapat
beradaptasi dengan baik.
Dalam urusan pelajaran, Tan
Malaka hampir menguasai semua yang di ajarkan disana terlebih dalam Ilmu Bumi,
Ilmu Pendidikan dan Seni. Pemikiran Tan Malaka mulai terbentuk sewaktu
menempati kos barunya, Tan Malaka menempati kamar loteng yang sempit dan gelap,
hal ini Tan Malaka lakukan mengingat uangnya yang tak cukup untuk menyewa kamar
kos yang baik. Herman, tetangga kamar Tan Malaka adalah pemuda Belgia yang
meninggalkan negerinya karena negaranya di serbu oleh tentara Jerman. Dari Herman
inilah, Tan Malaka dapat membaca surat kabar Het Volk, sebuah surat yang ditebitkan oleh Partai Sosialis
Demokrat Netherland. Dari Herman pula, Tan Malaka dapat membaca majalah dan
brosur anti kapitalisme dan imprealisme yang tulisanya keras dan
pedas.
Sementara itu, anak ibu
kosnya, yakni Van der Mij muda yang besimpati pada sekutu (Inggris, Prancis,
Belgia) berlanganan surat kabar De
Telegraaf, sebuah surat kabar yang anti-Jerman. Dengan demikian, Tan Malaka
dapat membaca dua surat kabar yang penting. Dari Het Volk, ia bisa membaca
tentang faham Sosialisme-Komunisme,
sementara dari De Telegraaf, ia bisa membaca tentang kapitalisme-demokrasi.
Mungkin dari sinilah, pemikiran Tan Malaka mulai terbuka tentang percaturan politik
dunia.
Ketiga orang tersebut, yakni
Tan Malaka, Herman dan Van der Mij, sering melakukan diskusi tentang perang
dunia I yang terjadi pada saat itu. Sering kali, diskusi berlangsung cukup alot,
bahkan sesekali timbul kemarahan diantara mereka.
Tahun 1916, Tan malaka
mengikuti ujian akhir sekolah. Tan malaka lulus dengan predikat baik sehingga
langsung diangkat menjadi guru pada sekolah tersebut. Akan tetapi, kesehatan Tan
Malaka memburuk dikarenakan penyakit radang paru-paru yang di deritanya.
Di sela sela waktunya selama
menjadi pelajar di Belanda, Tan Malaka bergabung dalam Himpunan Hindia,
oraganisassi untuk pelajar Indonesia di Belanda yang kebetulan pada saat itu di
pimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dan Gunawan Mangunkusumo.
Setelah lulus Tan Malaka tidak
langsung kembali ke Indonesia, aktifitasnya di sibukan dengan aktif di
organisasi-organisasi pelajar yang berorientasi untuk melepaskan belenggu
penjajah dari tanah air yang di cintainya, Indonesia.
Tan malaka kembali ke
Indonesia pada akhir tahun 1919, dia mulai mengajar para anak-anak buruh di Deli
demi melunasi hutang-hutangnya semenjak studi di Belanda sembari diam-diam
membentuk sebuah perserikatan buruh agar terampil dan menyadarkan mereka untuk
melakukan aksi-aksi nyata untuk menyingkirkan penjajah dari tanah mereka.
Di akhir Februari 1921, Tan
Malaka pergi ke Jawa tepatnya di Batavia (sekarang Jakarta). Rupanya, gurunya,
Horensma, juga sudah pindah tugas ke Jakarta dan menjadi inspektur sekolah
rendah Indonesia. Kepada gurunya itulah Tan Malaka menyampaikan maksudnya untuk
mendirikan sekolah bagi anak-anak pribumi. Gurunya mendukung apa yang
dikerjakan oleh Tan Malaka tersebut.
Sekolah Islam (SI) didirikan
oleh Tan Malaka sebagai bentuk pergerakanya untuk mencerdaskan anak-anak pribumi
lewat pendidikan, Tan Malaka bekerjasama dengan organisasi Budi Utomo di
Yogyakarta.
Berdirinya sekolah SI
mendapat sambutan baik dari masyarakat luas sehingga membuat banyak tawaran
untuk Tan Malaka agar membuka sekolah SI di berbagai daerah lain seperti di
bukanya sekolah SI di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera.
Berdirinya sekolah SI juga
tak luput dari pantauan Pemerintah kolonial Belanda, perhatianya semakin lama
semakin menyudutkan keberlangsungan sekolah SI terbukti di tiadakanya sumbangan
dana dari pemerintah sehingga pendanaan SI bersumber dari bantuan sukarela para
orang tua pelajar, warga sekitar dan anggota organisasi.
Dalam perjalananya, profesi Tan
Malaka menjadi guru dalam beberapa pelajaranya juga menekankan arti penting dari kemerdekaan, para murid Tan
Malaka di ajarkan strategi bagaimana mengusir para penjajah yang sedang
menduduki tanah airnya kepada para murid-muridnya hingga kabar ini terendus
oleh Gubernur Jawa Barat yang mengakibatkan Tan Malaka harus di buang ke Belanda
karna tertuduh sebagai provokator Negara dan menjadi tahanan politik.
Tan malaka kembali ke Belanda,
bukan untuk belajar melainkan sebagai tahan politik bansanya sendiri. Tan
malaka sebelumnya berada di dua pilihan, antara di penjara atau diasingkan, Tan
Malaka lebih memilih di asingkan, pilihanya jatuh ke Belanda. Dalam
pembuanganya ke belanda Tan Malaka tidak terlalu khawatir di karenakan
mempunyai banyak kenalan sewaktu belajar dan aktif di berbagai organisasi yang
di ikutinya. Di Belanda Tan Malaka bekerja sebagai editor sebuah majalah
ternama di samping untuk memenuhi kebutuhnya sehari-hari. Kisah hidup Tan
Malaka selama pembuangan ini sangatlah berkesan, dimana Tan Malaka mengalami
beberapa konflik yang hampir merebut nyawanya entah kerena berbahanya dia di
mata Negara-negara sekutu Belanda yang terus mengejarnya dan karena penyakitnya
yang sering kambuh. Tan Malaka sering berpindah-pindah Negara antara lain
China, Filipina, Singapura, Rusia dan Inggris; ini dilakukan karena misi
organisasi dan terkadang menjadi tahanan politik bahkan karena sering diburunya
dia oleh agen-agen rahasia yang mengkahawatirkan keberadaan Tan Malaka yang
menjadi ancaman kemanan nasional.
Lama Tan Malaka kabur dari
buruan para agen-agen rahasia Negara akhirnya Tan Malaka kembali ke Indonesia
setelah dua puluh tahun berada di negeri buangan. Kembalinya Tan Malaka ke
Indonesia pada mulanya tidak ada yang tahu di karenakan dalam negeri banyak yang
mengabarkan bahwa Tan Malaka mati bunuh diri di tengah laut saat mencoba
melarikan diri.
Tan Malaka pertama kali
masuk ke Indonesia lewat selat Malaka kemudian mendarat di Medan, di sana Tan
Malaka mencari kenalanya untuk mencari tumpangan ke Jawa, dari kenalanya
tersebut Tan Malaka di kenalkan pada seorang cina yang mempunyai kapal hendak
mengirimkan barang ke Jakarta, melalui kapal tersebutlah Tan Malaka mendarat di
Jakarta. Sewaktu di Jakarta Tan Malaka mencari tempat tinggal sembari mengamati
keadaan sosial politik ekonomi negerinya yang telah lama ia tinggal selama
kurang lebih dua puluh tahun. Tan Malaka menyewa gubuk berpapan bambu selama di
Jakarta. Di rumah kecil itulah Tan Malaka mengarang buku yang sangat monumental
yakni MADILOG (Materialisme, Dialektika dan Logika).
“Sebagian besar dari Madilog
ialah semua yang berhubungan dengan tulianya Marx, Engels, Mehring, Plechanov
dan Lenin yang terpaksa saya catat di luar kepala saja. Yang sebagian
berhubungan dengan logika, sebagian (Russell) saya catat di luar kepala, dan
sebagian (Jevons dan Stuart!) dapat saya perkuat dengan pembacaan di
perpustakaan Gambir. Demikian pula dengan perkara yang berhubungan dengan Filsafat,
Ilmu Bintang, Ilmu Alam, Ilmu Kimia, Ilmu Hidup (Bilogi), Matematika dll,
sebagian saya catat dari ingatan dan sebagian dari buku yang didapat” diatas
adalah kutipan dari Tan Malaka.
Selanjutnya, apakah Madilog
itu?
Madiloq merupakan
kepanjangan dari Materialisme, Dialektika dan Logika. Menurut Franz
Magnis-Suseno, Madilog dapat mengerti sebagian imbauan dari seorang guru bangsa
Indonesia kepada bangsa Indonesia agar mau keluar dari kegelapan berpikir dan
kemudian memasuki cara berpikir baru, yaitu rasionalitas modern.
Selanjutnya, menurut Franz
Magnis-Suseno, Tan Malaka menilai Indonesia sebagai bangsa yang terbelakang
akibat cara berpikirnya yang terjebak pada logika mistika. Untuk keluar dari
jebakan logika mistika itu, diperlukan jalan logika madiloq (materialisme, dialektika,
logika). Logika inilah yang menjadi gagasan mendasar dari buku Madiloq itu.
Apakah yang dimaksud dengan
logika mistika?
Franz Magnis-Suseno
menjelaskan, logika mistika adalah logika gaib, yang tak lain adalah cara
berpikir yang tidak berdasarkan pada kenyataan, tidak mencari sebab-akibat
dalam dunia nyata, melainkan mengembalikan segala sesuatunya pada perbuatan
roh-roh di alam gaib yang dianggap berada di belakang alam nyata dan
mempengaruhi segala kejadian di dunia ini.
Akibatnya, orang yang terjebak
dengan logika gaib tersebut tidak akan pernah mengalami kemajuan. Sebab, ia
tidak mau tahu dengan keadaan sebenarnya yang terjadi dengan sebab-sebab yang
nyata di dunia ini. Ia malah mengharapkan anugrah kekuatan-kekuatan gaib yang
dianggap mempengaruhi kehidupan.
Untuk itu, apabila bangsa
Indonesia ingin maju, masyarakat harus melepaskan diri dari logika-logika gaib
dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk menganalisis segala sesuatu sesuai
dengan kenyataan-kenyataan yang ada, yang tampak nyata di dunia ini. Logika materialisme,
dialektika dan logika dapat membantu mereka untuk keluar dari logika mistika
itu.
Lalu, apakah yang dimaksud
dengan logika tesebut?
Pertama, yang di maksud dengan logika
materialisme adalah logika yang bertolak dari kenyataan atau materi dan bukan
berdasarkan takhayul-takhayul. Dengan kata lain, logika materialisme tak lain berupa ilmu pemgetahuan yang penelitianya
berdasarkan pada kenyatan, bukan mitos-mitos.
Kedua, yang dimaksud dengan logika
dialektika adalah cara berpikir berlainan atau cara berpikir timbal-balik.
Maksudnya, semua hal memiliki dua sudut. Orang tidak memakai logika dialektis
akan menganggap dua sudut itu sebagai bertentangan, namun bagi yang memakai
logika dialektika, pertentangan itu justru menjadi penggerak kemajuan. Memakai
logika materialis saja tidak cukup, meskipun berdasar pada kenyataan, lantaran
cenderung stagnan. Karena itu, logika dialektika dibutuhkan untuk melihat
potensi-potensi yang ada pada kenyataan sehinga dapat digunakan guna mencapai
kemajuan.
Ketiga, yang dimaksud logika adalah, tak
jauh beda dengan pengertian-pengertian pada umumnya, yaitu aturan tentang cara
berpikir yang masuk akal. Bagi Tan Malaka, berpikir materialis dan dialektis
saja tidak cukup tanpa diiringi dengan logika rasional. Logika rasional berguna
untuk meraih kemajuan yang pasti, bukan kemajuan yang semu. Oleh karena itu,
logika rasional akan menjadi resep terakhir untuk menyingkirkan logika mistika.
Buku Madilog ini menjadi
karya monumental Tan Malaka dikarenakan dikerjakan pada saat masa perang, tanpa
banyak literature yang di baca yang hanya berbekal dengan pengalamanya keliling
Eropa dan menjadi saksi hidup bahkan subjek percaturan politik dunia.
Pasca kemerdekaan, Tan
Malaka masih belum mengungkapkan identitas aslinya di karenakan banyaknya Tan
Malaka palsu serta keadaan sosio-politik di Indonesia sendiri yang masih rawan
terhadap kudeta.
Perananya dalam detik-detik kemerdekaan
di buktikanya dengan mengumpulkan para tokoh pemuda dan aktivis revolusioner
untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa harus menunggu hadiah
kemerdekaan dari Jepang. Banyak orang yang tidak setuju dengan cara Tan Malaka untuk
mendesak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia karena menganggap cara Tan
Malaka terlalu radikal meskipun akhirnya para pemuda tetap mendesak
Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dengan cara
menculiknya.
Di saat Sjahrir menjadi Perdana
Menteri, gerakan Tan Malaka sering di sorot karena menganggap Tan Malaka akan
melakukan kudeta terhadap Soekarno dengan mencari simpati rakyat, padahal Tan
Malaka sendiri mengadakan rapat ataupun pertemuan dengan para revolusioner
hanya untuk mencapai Indonesia merdeka 100%.
Gesekan antara Sjahrir dan Tan
Malaka inilah yang membuat Tan Malaka meringkuk di penjara negerinya sendiri
agar bungkam dan Sjahrir leluasa menjalankan agenda politiknya bahwa kudeta
dari negera bekas penjajah dapat di selesaikan dengan jalan diplomasi.
Pasca keluar penjara, Tan
Malaka tetap melakukan aktifitasnya dengan para tokoh revolusioner dan para
buruh untuk mencapai Indonesia merdeka 100%, akan tetapi hal lain terjadi, kekhawatiran
pemerintah terhadap pergerakan Tan Malaka membuat dia di buru yang akhirnya
tertangkap dan di eksekusi tembak mati di dekat sungai Brantas Kediri.
Tan malaka, mengorbankan
seluruh jiwa raganya demi kemerdekaan Indonesia harus meninggal di khianati oleh
negeri yang di cintainya, dia menjadi korban revolusi.
Akhirnya, pada tanggal 28
Maret 1963, melalui keputusan Presiden Soekarno no. 53 tahun 1963, Tan Malaka
diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sejak saat itulah, Tan Malaka dikenang oleh
rakyat Indonesia sebagai Pahlawan Nasional, bukan hanya sebagai pejuang
revolusioner yang tidak diakui oleh Negara.
Akan tetapi, ketika Orde Baru
berkuasa, nama Tan Malaka di hapus dalam sejarah. Ia tidak diperkenankan untuk
dimasukan dalam kurikulum pelajaran yang di ajarkan di sekolah. Memang, gelar
kepahlawananya tidak pernah di cabut, tetapi namanya tidak boleh disebutkan
dalam teks sejarah.
Akibatnya, sejarah perjuangan
Tan Malaka pun terlupakan. Tak heran jika anak-anak yang sekolah pada zaman
orde baru dan sekarang sudah dewasa tidak banyak yang tahu tentang pahlawan
nasional yang mati-matian membela kemerdekaan 100%, yakni Tan Malaka. Orang
yang paling populer pada masa Orde Baru sepertinya hanya Panglima Jenderal
Sudirman, padahal Tan Malaka dan Jenderal Sudirman sepemikiran dan pernah
berjuang bersama untuk menumpas para Negara bekas penjajah Indonesia yang ingin
melakukan kudeta.
Rezim Orde Baru menganggap
Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat dalam beberapa
pemberontakan, padahal Tan Malaka sama sekali tidak setuju dengan gerakan
pemberontakan. Contohnya, Tan Malaka menolak pemberontakan yang ingin dilakukan
oleh PKI pada tahun 1926-1927. Ia juga tidak terlibat dalam peristiwa Madiun
1948. Di samping itu, jika ia di katakan sebagai tokoh PKI nyatanya ia di
keluarkan PKI karena tidak cocok dengan semangat politik dan perjuanganya.
Sang penulis buku, Masykur-
memberikan pemahaman kepada kita semua bahwa perjuangan Tan Malaka sangatlah
penuh resiko dan perjuangan yang ekstra meskipun berakhir dengan sangat tragis.
Masykur juga menitikberatkan buku yang ia karang ini dari hasil penelitian Harry A Poeze yang telah meniliti
kehidupan Tan Malaka selama dua puluh tahun lamanya.
Semasa perjuanganya, Tan
Malaka juga menulis buku yang patut kita baca diantaranya Aksi Massa; Dari Penjara Ke Penjara Jilid I-III; Madiloq, Massa Aksi
dan Thesis. Mungkin buku-buku tersebut dapat memberikan pencerahan buat
kita semua untuk lebih tahu sejarah kemerdekaan Indonesia umumnya dan sepak
terjang Tan Malaka khususnya.
Sekian resensi dari saya
semoga bermanfaat, jangan lupa untuk membaca bukunya agar pemahaman yang sudah
ada makin lama makin padat dan bulat, agar tercapailah suatu gambaran diri yang
konsisten.
Jika ada yang kurang tepat
mari kita diskusikan, bukan hanya mencari kesalahan hanya untuk eksistensi diri
semata. Salam hangat dari saya, Budayakan
Membaca dan Menulis.
#Go AHead
Indonesia
#Yang Penting
Bagiku Adalah Dialoq
Behind
The Gun: @aliahsanID
Terimakasih sangat bermanfaat.. saya ingin lain kali ada postingan lain mengenai resensi buku karya Tan Malaka yg berjudul Semangat muda. Tentang kekurangan dan kelebihan bukunya.
ReplyDeleteSangat tertarik. Mau cari bukunya dari penjara ke penjara dan buku2 beliau lainnya.
ReplyDeleteSyang gk ada rangkumannya
ReplyDeleteHahahaha.
DeleteKok lucu ya.
Bukankah yang anda baca ini adalah resensi dari buku tersebut?
atau, rangkuman semacam apa yang anda maksut, Bung?
terimakasih, saya fans atas tulisan2 anda, Bung.
ReplyDelete