- Anti Sambat-Sambat Club –
*Ali Ahsan
Al Haris
Sudah hidup tujuh tahun lebih di
perantauan, jauh dari hangatnya kopi buatan ibu saya yang setiap pagi dibuat
oleh Ibunda, jauh dari obrolan tentang masa muda Ayah saya sewaktu muda, dan
kangen tentang harumnya deterjen mesin cuci rumah yang hampir tiap sore saya ubek-ubek
untuk mencui pakaian seisi rumah.
Hidup dirantau, bertemu keluarga
baru, pengalaman dan cerita-cerita baru yg tiap hari silih berganti, dari mulai
omelan istri, ribetnya anak yang bengal, tagihan awal bulan yang mencekik
leher, partner kerja yg munafik dan sejuta cerita kehidupan keluar dari
mulut-mulut manusia yg anti di sebut sebagai "Geng Anti Sambat-Sambat
Club".
Lokasi di Maksimal Coffee, dengan Cak Anjas dan Cak Hadi |
Perbedaan umur, pengalaman dan
pergaulan menjadikan diri saya di tempa pengalaman yg sangat berarti. Baik
buruknya hidup berefek pada nasib di kemudian hari, namun perjuangan tak akan
terhenti hanya masalah, perut.
Jika meja dan kursi bisa bicara,
mungkin mereka lelah dengan keluhan demi keluhan yg kami obrolkan, jika gelas
kopi ini bersaksi di akhirat kelak, saya yakin gelas tersebut akan lantang
bicara di hadapan Tuhan jika saya adalah manusia sampah yg suka sambat. Hehe
Tapi beginilah hidup.
Kudu dibawa bercanda.
Kudu dibawa bercanda.
Kalau kata Mbah Nun, "Masio lunyu eo tetep di penek,
Rek".
Oleh karenanya juga, saya sebagai salah satu masyarakat
Maiyah tenar dengan filosofi pohon Belimbing.
"Penekno belimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno"
Padahal sambat tidak menyelesaikan masalah, kok ya iseh
sambat ae, Rek.
Hehe
No comments:
Post a Comment