Saturday, July 24, 2021

Mengupas Setiap Esai Pada Buku Istriku Seribu Karya Emah Ainun Nadjib

 

Koleksi Pribadi

Kumpulan esai ini memuat 20 judul yaitu Tiga Negeri Poligami, Takiran Berkat, Mata Meta-rahasia, Mana Ada Buku Membaca, Beri Ia Satu, Kukasih Kau Seribu, Tanah Lempung Arca Guru Sejati, RT Remeh RW Kerdil, Manajemen Kentrung, Berbaring Menangis di Tengah Jalan Raya, Sudrun dan Tuhan Tak Mau Diduakan, Malam Kemerdekaan di Alexandria, Jilati dan Telanlah Dunia, Dan Kepada Istri ar-Rahimku di Rumah, Istri Kepala Rumah Tangga, Tiga Skala Persuami-istrian dan Lupa kepada Syahwatmu Sendiri, Permaisurimu: Allah, Muhammad, atau Dunia?, Poligami di Dunia Katak, Satu Suami Ratusan Istri, Tuhan Mengajak Berdiskusi, dan Negeri Boleh Abstain dan Melarang Poligami.

Di bawah ini akan diuraikan bagian pendahuluan, isi dan penutup esai tiap-tiap judul.

1.            Tiga Negeri Poligami

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai lima. Pendahuluan berisi tentang tokoh aku (Emha) yang menjumpai ada tiga macam negeri di dunia dalam hal menyikapi poligami. Ada negeri yang membolehkan, ada yang tidak memberikan aturan pembolehan atau pelarangan dan ada yang dengan tegas melarang poligami. Dari data tersebut, Emha kemudian merefleksikannya pada kondisi Indonesia. 

Bagian isi terdapat pada paragraf enam sampai tiga belas. Pada bagian ini Emha menyoroti pola pikir masyarakat Indonesia dalam menghadapi suatu kasus, contohnya adalah kasus poligami. Seperti dalam kutipan di bawah ini.


“Penduduk negeriku malas belajar sejarah, ogah berpikir, tidak pernah merasa penting untuk mempelajari suatu persoalan melalui pertimbangan pemikiran yang saksama. Kalau ada buah busuk, mereka beramai-ramai sibuk mengutuknya, membuangnya, menghina buah itu, tanpa sedikitpun ingat pada pohonnya apalagi akarnya, terlebih lagi tanahnya- jangankan lagi pencipta tanah itu.

“Dalam hal poligami pun mereka tidak bergerak sedikit saja oleh apa pun untuk mempelajari kosmologi khazanah-khazanahnya.”

Kemudian Emha menginterpretasi bahwa pola pikir demikian terjadi karena masyarakat hanya sibuk memenuhi kepentingan individunya dan adanya simpanan rasa putus asa yang sangat mendalam akibat negara dan pemerintah yang tak kunjung mampu melayani dasar-dasar kebutuhan hidup rakyat sehingga tidak bisa membedakan mana yang primer dan mana yang sekunder.

Adapun bagian penutup terdapat pada paragraf empat belas sampai tujuh belas. Pada bagian ini Emha memberikan kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia dalam memperdebatkan masalah mendasar peradaban ibarat mempertimbangkan dalam mencari tempat makan. Emha juga menggunakan bahasa sastra di sini, yaitu pemberitahuan bahwa tokoh aku akan pergi jauh untuk waktu yang lama untuk menjumpai momentum-momentum lainnya.

2.            Takiran Berkat

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai dua. Tulisan ini diawali dengan konsep berkat dalam arti yang luas. Bukan diartikan sebagai takiran ataupun barokah yang berasal dari bahasa Arab. Berkat disini digambarkan ketika Yai Sudrun melempar berkas tulisan ke kepala tokoh aku.

Bagian isi terdapat pada paragraf tiga sampai lima. Pada bagian ini Emha menjelaskan konsep tentang berkat, kebaikan dan kejahatan.

“Andaikan melempar benda ke kepala orang lain adalah kejahatan, tindakan

tidak melemparkan adalah kebaikan. Maka, keadaan dilempar orang lain

adalah bukan hanya kebaikan, melainkan keuntungan. Investasi.

Konsep itu kemudian direfleksikan pada pengalaman istrinya pada hal yang selalu dialami suaminya yaitu difitnah terus-menerus. Saat ia ditanya bagaimana rasanya mempunyai suami yang terus-menerus difitnah, maka jawabanya adalah ia malah sangat senang dan bersyukur. Ia baru sedih jika suaminya yang memfitnah orang lain. Hal itu terlihat dari kutipan dialog di bawah.

Istriku menjawab, “sangat senang dan bersyukur. Aku baru akan sedih dan

tak bisa tidur kalau suamiku yang memfitnah orang”.

Rasa syukur di tengah cobaan besar seperti bisa terjadi karena didasari oleh pola pikir investasi, itu adalah penafsiran Emha seperti yang dalam dengan kutip sebagai berikut.

“Hanya karena difitnah orang deposito masa depan kami berkembang biak, sehingga akhirnya datang berduyun-duyun kepada kami segala kekayaan dan kegembiraan hidup- dalam berbagai bentuk dan aplikasi, materi maupun spirit- yang amat didambakan oleh para pemfitnah tanpa pernah mereka dapatkan”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf enam dan tujuh. Pada bagian ini Emha menutupnya dengan menyimpulkan bahwa berkat itu bisa berbentuk kepalanya dilempar sesuatu atau bahkan diludahi sekalipun. Hal ini menegaskan kembali kepada para pembaca terkait apa maksud dari berkat tersebut.

3.            Mata Meta-rahasia

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu dan dua. Sesuai dengan judul esainya, maka bagian ini Emha menekankan pada kata “sorot mata” milik Yai Sudrun.

Bagian isi terdapat pada paragraf tiga dan empat. Pada bagian ini Emha memberikan konsep bahwa mata adalah meta-rahasia. Mata mengandung semua makna dan kenyataan yang untuk menuliskannya dibutuhkan beribu-ribu huruf. Emha juga menegaskan bahwa mata adalah pintu ilmu sejati. Oleh karena itu hendaklah kita belajar memahami arti sorot mata.

“Barang siapa tidak belajar pada mata, akan tetap bodohlah kehidupannya”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf lima. Di sini dengan bantuan figur Yai Sudrun, khususnya matanya, Emha mengatakan bahwa mata itu hanya digunakan untuk menangis dan memancarkan ekspresi uringan-uringan. Di sini pembaca diajak untuk berpikir dan merefleksikan diri kembali, karena kemudian Emha menuliskan bahwa semua bidang kehidupan baik politik, ekonomi, budaya moral, lingkungan hidup atau apapun itu memang membuat kita menangis dan uring-uringan. Jadi apakah kita sudah menemukan ilmu dari sorot mata itu?

4.            Mana Ada Buku Membaca

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai empat. Dengan bantuan figur Yai Sudrun dan dialog antara yai Sudrun dan tokoh aku, Emha masih menitikberatkan pada usaha melihat sorot mata secara langsung. Meskipun biasanya saat melihat seorang guru murid akan menundukkan kepala, namun hal ini berbeda dengan tokoh aku. Ia masih tetap melihat mata yai Sudrun.

Bagian isi terdapat pada paragraf tujuh. Dalam ceritanya, tokoh aku menyerahkan naskah pada Yai Sudrun, namun yai Sudrun tidak membacanya tetapi malah melemparkan naskah itu ke kepala tokoh aku. Tokoh aku kemudian berpikir bahwa Yai Sudrun mustahil bisa membaca. Alasan-alasan yang dijelaskan Emha adalah:

“Mosok bacaan membaca? Dia kan buku yang halamannya tak terbatas. Mana ada buku membaca?” 

“Apa perlunya bagi Sudrun membaca huruf. Huruf, kata, dan kalimat mesti belajar kepadanya. Apalagi bacaan hanya kumpulan huruf-huruf yang dikumpulkan untuk merumuskan segala hal yang berasal dari masa silam. Sedangkan Sudrun sering kujumpai membaca masa depan secara demikian tepatnya

Tidak ada ceritanya Sudrun pernah sekolah. Rusaklah sekolah olehnya. Rusaklah segala tata tertib budaya persekolahan oleh perilakunya

Andaikan ada nabi atau rasul yang pernah menulis buku, barulah muncul kemungkinan Sudrun terpaksa membaca

Apakah ia tak pernah membaca Al Quran? Tak pernah aku menemukannya memegang kitab Allah itu, meskipun ribuan kali aku mendengar mulutnya mengucapkan kalimat-kalimat Al Quran seakan-akan kitab itu bersemayam dalam dadanya, disusun oleh kepalanya, dicetak dan dipublikasikan oleh lidahnya

Bagian penutup terdapat pada paragraf delapan dan sembilan. Bagian ini berisi alasan mengapa Yai Sudrun melemparkan kertas ke kepala tokoh aku. Tindakan itu adalah tindakan yang paling tepat karena Yai Sudrun tidak mungkin membacanya.

5.            Beri Ia Satu, Kukasih Kau Seribu

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai enam. Bagian ini memaparkan fenomena yang banyak terjadi di masyarakat, yaitu memperkatakan, mempergunjingkan, atau menikmati kekonyolan kekonyolan manusia di sekitar. Emha kemudian memberikan contohnya pada sikap menikmati, dalam artian menggunjingkan, orang yang berpoligami. Hal ini tentu bertolak belakang dengan sikap Yai Sudrun dalam menghadapi suatu masalah dengan orang lain.

“Jika ada sesuatu yang dibantahnya atau dimakinya, ia selalu datang kepada yang bersangkutan untuk melakukannya langsung di hadapannya”.

Bagian isi terdapat pada paragraf tujuh sampai sepuluh. Bagian ini diisi oleh Emha tentang kegiatan festival hadrah atau terbangan. Ia menggambarkan bahwa para penduduk yang mengikuti acara itu melantunkan melodi, memekikkan emosinya dan menggerakkan cinta pada Rasulullah dengan badan dan kedua tangan mereka. Mereka juga melakukannya dengan mandiri yang digambarkan dengan membawa nasi bungkus, lampu petromaks dan tikar sendiri. Ini semua dilakukan hanya untuk memohon kehadiran Rasulullah SAW

“Jiwa mereka semua menjadi satu, memohon kehadiran Rasulullah, suatu taktik kolusi yang dimaksudkan agar Allah menyayangi mereka dan keluarganya masing-masing. 

Emha menjelaskan bahwa dalam hal upacara pengabdian seperti shalat, Allah sendiri yang memerintah umatNya. Sedangkan dalam hal pernyataan dan perilaku cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW, Allah lah yang mempeloporinya. Allah memulai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu untuk memberi teladan kepada hamba-hambanya.

“Allah menyatakan barang siapa menyatakan satu cinta kepada Muhammad, kekasihNya, Ia akan membalasnya dengan seribu cinta”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf sebelas sampai delapan belas. Bagian ini berisi protes Yai Sudrun yang diekspresikan dengan berteriak-teriak dan marah terhadap terbangan tersebut. Ia mengatakan bahwa teriakannya kurang daya cinta, menabuh terbangnya loyo, sehingga mereka tidak bisa menerbitkan lelehan air mata ke pipi Kanjeng Nabi.

Emha kemudian menceritakan keajaiban Yai Sudrun yang mengangkat dan menabuh terbang tersebut satu kali. Dan plak matilah seluruh petromaks warga. Emha pada bagian ini mengajak pembaca untuk merenungkan kata-kata berikut.

“Kegelapan menjadi absolut pada momentum itu, dan hanya manusia penghimpun cahaya yang memiliki ketenangan untuk mengalami ekstremnya peristiwa cinta dan kelakuan ganas Sudrun”.

6.            Tanah Lempung Arca Guru Sejati

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai empat. Bagian ini masih ada kaitannya dengan esai sebelumnya. Setelah melihat keajaiban yang Yai Sudrun pamerkan ratusan kali dalam kehidupan, sejak saat itu tokoh aku tidak pernah kagum kepada siapa saja dan apa saja kecuali hanya kepada Allah. Jadi ketika melihat perilaku manusia yang mulia, yang dilakukan hanyalah sebatas rasa syukur kepada Tuhan dan kegembiraan terhadap sesama. Dan seburuk apapun perilaku manusia, tokoh aku tidak pernah menikmatinya, mengunyahnya atau menggunjingkannya.

Bagian isi terdapat pada paragraf lima sampai delapan. Sebagai keberlanjutan dari bagian pendahuluan, bagian ini menjelaskan tentang dasar budaya silaturahmi yang berupa tidak mengeluarkan kata-kata jika isinya adalah aib orang lain dengan tujuan untuk dinikmati. Namun lain halnya jika kata-kata tentang kebaikan dan kebodohan manusia yang bisa berbentuk peperangan, penindasan, atau yang lainnya, bertujuan untuk memperoleh pelajaran hidup agar waspada dan rendah diri, maka hal itu diperbolehkan dan malah dianjurkan.

“Tumpukan kebusukan bisa kau olah menjadi racikan kebaikan. Kau bisa

memperlakukannya sedemikian rupa sehingga menjadi ilmu dan hikmah”.

Manusia diberi mandat oleh Allah untuk menjadi makhluk paling cerdas dan penuh cakrawala imajinasi. Maka kegembiraan atau kesedihan, kekayaan atau kemiskinan, kebaikan atau keburukan, keindahan atau keburukan, dan kebenaran atau kebatilan hanyalah suku cadang ilmu yang jika dikelola manusia dengan baik akan bisa menjadi manusia sejati.

Bagian penutup terdapat pada paragraf sembilan. Paragraf ini menguatkan pembaca bahwa semua perlakuan yang kita terima apapun bentuknya, seperti makian Sudrun terhadap tokoh aku, adalah suku cadang yang harus kita ingat dan sadari agar kita bisa menjadi manusia sejati.

7.            RT Remeh RW Kerdil

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai empat. Bagian ini mengisahkan ejekan Yai Sudrun atas naskah tokoh aku. Yai Sudrun mengatakan remeh, namun Emha malah menjawab jika memang remeh maka baguslah.

Bagian isi terdapat pada paragraf lima sampai dua puluh lima. Di sini Emha menjelaskan alasan kenapa remeh bisa dikatakan bagus, yaitu karena terkadang dalam keremehan terdapat kebenaran. Berikut beberapa kutipan yang menguatkan alasan di atas.

“Aku mengalami kehidupan remeh yang dihuni penduduk kerdil

Aku rakyat suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh

Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh

Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka hebat oleh para pemuja kekerdilan

Bahkan, oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil dan perjuangan

yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan

atau keremehan

Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang

remeh-temeh. Dan, yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah

bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah

remeh. Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut

kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf dua puluh enam sampai dua puluh sembilan. Pada bagian ini Emha mengajak kita untuk berpikir lagi. Dengan paparan isi seperti di atas, ia kemudian mengingatkan pembaca bahwa akal di satu sisi sangat canggih dan hebat namun di sisi lain, akal jelas sangat remeh.

8.            Manajemen Kentrung

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai tiga. Bagian ini diantar dengan pertanyaan bukankah kearifan tertinggi adalah kesanggupan untuk ikhlas meremehkan diri sendiri, ikhlas untuk membuang diri dari kekayaan atau mencampakkan kebesaran lainnya?

Bagian isi terdapat pada paragraf empat sampai dua puluh lima. Bagian ini berisi penjelasan atas pertanyaan pada bagian pendahuluan. Di bawah adalah beberapa kutipan kalimat penjelasan.

“Kubuang diriku dari peta kesenian dan kebudayaan

Kutelingsutkan diriku sesudah segala sepak terjang kunci dalam perpolitikan, konstelasi kesejarahan bangsa, peran kependidikan, serta segala simbolisme sakit jiwa yang melanda teman-temanku

Tak kupakai simbol-simbol kebesaran yang dibaliknya tersimpan alat-alat

pengerdilan”.

Emha kemudian menjelaskan konsep manajemen yang sangat unik. Yaitu bagaimana caranya kita berhasil mencapai tujuan meski kita tidak memiliki bekal yang normalnya dibutuhkan dalam perjalanan dalam mencapai tujuan. Emha lantas memberikan contoh dari konsep manajemennya tersebut, yaitu ia bersama teman-teman Kiai Kanjeng yang telah mengelilingi dunia sebagai tukang kentrung. Di bawah adalah kutipan kutipan penjelasan tentang manajemen.

“Manajemen bukanlah kita punya sayur-sayuran lantas kita memasak sayur. Manajemen adalah tidak punya apa-apa, tetapi sanggup menyuguhkan sayur kepada yang memerlukan.

Manajemen adalah kaki diborgol kemudian memenangkan lomba lari melawan orang yang memborgol”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf dua puluh enam. Emha menegaskan kembali, bahwa ia dan teman-teman Kiai Kanjeng telah mengelilingi Finlandia, Italia, Skotlandia, dan negara-negara lainnya hanya berbekal sebagai tukang kentrung. Di sinilah rupanya ia mengajak kita untuk merenungkan bagaimana konsep manajemennya tersebut.

9.            Berbaring Menangis di Tengah Jalan Raya

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu dan dua. Emha mengantar tulisan ini dengan menuturkan kebiasaan Sudrun yang tukang tidur.

Bagian isi terdapat pada paragraf tiga sampai enam. Emha menjelaskan bagaimana hubungannya dengan Sudrun. Ia menganggap Sudrun sebagai suami atau istri. Hubungan diantara mereka berdua diwarnai dengan keanehan, keasyikan, absurdnya yang parah, cinta dan bencinya, pertengkaran-pertengkaran mesra, dan segi-segi yang lainnya membuat Emha menamakan hubungan mereka dengan nama polimonogami.

Meski hubungan ini hanya dijalani oleh dua orang, yaitu tokoh aku (Emha) dan Yai Sudrun hingga disebut monogami, namun hubungan monogami tersebut memiliki makna poligami karena adanya beragam kemungkinan perkawinan nilai dengan segala dinamikanya. Kita bisa mengibaratkannya dengan kalimat walaupun jumlah istri hanya satu tetapi rasanya sudah seperti ratusan istri. Hingga yang menjadi patokan bukanlah jumlah jasadnya istri, namun rasa atas kualitas pencampuran nilai yang dinamis antara suami dan istri.

“Dari sisi lain kalau melihat betapa beragamnya karakter Sudrun, sifat sifatnya, kejutan-kejutan perilakunya, ekstremitas kelakuan-kelakuannya, bahkan sering kali anarkisme cara berpikir dan sikap hidupnya- secara sangat nyata dan empiris sesungguhnya, sebagai istri, Sudrun itu tak hanya empat orang, tetapi beratus-ratus orang”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf tujuh. Sebagai penutup Emha menggambarkan sikap Sudrun yang absurd, yaitu tidur telentang di tengah jalan. Namun sebenarnya tingkah tersebut adalah reaksi atas pola pikirnya ketika dihadapkan dengan realita masyarakat. Kutipan di bawah adalah isi pikiran Sudrun yang mengajak pembaca untuk mengoreksi diri sendiri.

“Kalian makhluk yang jasadnya penuh gaya, tetapi jiwa kalian kerdil. Mata kalian buta kecuali untuk melihat uang dan benda-benda bodoh, dan telinga kalian tuli kecuali untuk mendengar suara-suara yang berisi kerendahan budi. Dari tadi pagi Kanjeng Nabi Muhammad datang dan mengunjungi kalian di sini. Tetapi dasar kalian dungu, buta, tuli! Bukan hanya tak menyapa beliau, tetapi menghina beliau dengan penyembahan kalian yang tak henti-hentinya kepada uang... uang... uang... uang... uang... kalian membuat beliau menangis dan bersedih hati sangat mendalam!”.

10.          Sudrun dan Tuhan tak Mau Diduakan

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu dan dua. Tulisan ini diawali dengan betapa besarnya rasa sayang Rasul kepada umatnya, sehingga saat sakaratul maut, yang beliau sebut bukanlah Aisyah atau Fatimah melainkan ummatii.

Bagian isi terdapat pada paragraf tiga sampai enam. Emha pada bagian ini menjelaskan tentang konsep istri ar rahim dan istri ar rahman. Penamaan istri tersebut berasal sifat Allah. Istri ar rahim adalah istri yang juga sebagai ibunya anak-anak yang mendapatkan cinta secara personal, cinta ke dalam dari suami. Istri ar rahim Rasul adalah Khadijah. Setelah Khadijah wafat istri ar rahim Rasul adalah Aisyah.

Adapun istri ar rahman adalah istri sosial, yang mendapatkan cinta secara meluas dan bersifat keluar. Istri ar rahman Rasul adalah istri-istri Rasul selain Khadijah dan Aisyah, yang dinikahi karena pertimbangan sosial seperti banyaknya janda peperangan, wanita teraniaya atau jumlah yang tak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Kanjeng Nabi setiap malam selalu bersujud dan menangis. Yang ditangisi bukanlah Khadijah ataupun Aisyah sebagai istri ar rahimnya, melainkan istri ar rahmannya, yaitu umat Islam. Emha kemudian menginterpretasikan apa alasan Rasul menangis, yaitu karena kaum muslim yang menjadi istri utama rasul tidak pernah benar-benar meletakkan Rasul sebagai istri atau suami yang utama. Dalam sejarahnya, umat Islam malah mem permaisuri harta benda, kekuasaan, dan kepentingan pribadi lainnya. Ibarat kata rasa cinta Rasul kepada umatnya bertepuk sebelah tangan.

“Allah dan Kanjeng Nabi hanya instrumen bagi kaum Muslim yang dipakai

untuk memperbanyak modal, deposit materi, kekuasaan atau popularitas”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf tujuh dan delapan. Bagian ini menyuguhkan kita kembali akan sosok Sudrun dengan tingkah anehnya berupa membentak-bentak orang yang sedang sholat, menghentikan kendaraan di jalan raya atau berteriak di tengah pasar. Sudrun hendak mengingatkan kita bahwa Allah dan Muhammad tidak mau dinomorduakan. Allah Maha Pencemburu. Dan hal itu sangat rasional mengingat semua saham alam semesta ini berasal dari kemurahanNya.

11.          Malam Kemerdekaan di Alexandria

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai tiga. Bagian ini menceritakan bahwa pada suatu malam Emha dan Kiai Kanjeng bertamu di Masjid Imam Busyiri, Alexandria. Imam Busyiri adalah imam yang menciptakan syair-syair burdah yang rata-rata umat Islam tradisional Indonesia mengetahuinya. Kemudian seorang syekh membukakan pintu gerbang dan langsung melantunkan lagu annabi shollu alaih sambil tangannya melambai menyuruh mereka masuk dan tidak mempersilahkan mereka masuk dengan kalimat budaya apapun.

Bagian isi terdapat pada paragraf empat sampai delapan. Bagian ini menceritakan kisah Emha dan teman-teman saat di dalam masjid. Saat syekh tersebut selesai melantunkan satu bait, Emha berteriak untuk mengikuti lagu tersebut bersama teman-teman Kiai Kanjeng. Pada saat itu syekh tersebut kaget karena Emha dkk bisa melantunkan lagu tersebut.

Lantunan terus berlangsung dan selama itu tak terucap kalimat basa-basi apapun. Pada satu bagian lagu, syekh tersebut terlihat memukul mukul meja hingga Emha meminta izin untuk menabuh rebana. Hingga akhirnya malam itu menjadi begitu tak tertandingi karena lantunan cinta kepada Allah dan Rasulullah, meneriakkan shalawat, serta menabuh terbang dan rebana kerinduan. Bagi Emha kenikmatan seperti malam itu sudah sangat indah dan tak tertandingi oleh kebesaran apapun yang ada di dunia.

“Hatiku berkata, Wahai manusia, ambillah dunia ini, jilatlah sepuasmu, telanlah uang korupsimu, kekuasaan hasil karier serakahmu, harta benda curian kapitalisme maniakmu, kemasyuhuran tanpa martabatmu, jabatan yang mencampakkanmu setelah beberapa waktu, jam-jam tayang kekonyolan dangkalmu, apa saja yang dirakusi oleh hati kalian. Ambil. Ambil. Telah kudapatkan kenikmatan yang satu baris syairnya tak kuizinkan kalian ganti dengan jumlah uang berapapun dari hasil korupsi yang jumlahnya bisa dipakai untuk mendirikan negara baru”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf sembilan dan sepuluh. Bagian ini menceritakan kisah setelah pembacaan shalawat tersebut. Mereka semua menangis dan syekh memeluk salah satu teman Kiai Kanjeng yang bernama Islamiyanto. Kemudian mereka berpamitan dan masih tetap tidak ada kata basi basi sekalipun. Karena bagi mereka sedu sedan itu sudah cukup tanpa harus tahu nama-nama itu.

12.          Jilati dan Telanlah Dunia

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu. Paragraf ini mengawali tulisannya dengan peristiwa malam itu di Alexandria, yang bagi Emha itu adalah malam paling demokratis dan merdeka karena berisi ungkapan cinta kepada Kanjeng Nabi sebagai perwujudan cinta kepada Allah.

Bagian isi terdapat pada paragraf dua sampai enam. Pada bagian ini Emha akan memaparkan dampak dari rasa yang ia alami seperti pada malam di Alexandria. Karena hidupnya sudah penuh oleh luapan cinta kepada Allah dan kanjeng Nabi, maka Emha sudah tidak punya ruang dan waktu untuk mengurusi hal-hal lain, seperti perdebatan tentang poligami, demokrasi atau otoriterisme, perencanaan peperangan dan lain sebagainya. Silahkan saja dunia menertawakannya karena keputusan yang ia pilih, namun sekali lagi dunia tidak akan mengubah sejengkalpun dari pijakan cinta yang Emha pilih.

“Diriku penuh dengan muatan cinta. Dalam diriku telah tertata siapakah yang

utama dan siapakah penyerta, siapakah Rahman, siapakah Rahim. Cintaku

tak bisa kalian lukai dengan kebencian. Cintaku tak bisa kalian kurangi

dengan kecurangan dan kelaliman atasku”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf tujuh. Pada bagian ini Emha kembali menegaskan prioritasnya akan cinta Rahimnya. Demi cinta rahimnya itu ia rela dibuang atau diusir oleh istri rahmannya. Dan hal itu tidak masalah karena setiap daerah pembuangan adalah wilayah teritorial cintanya.

13.          Dan Kepada Istri ar-Rahimku di Rumah

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai sepuluh. Bagian ini berisikan pesan untuk istri ar rahim Emha, lebih khususnya Emha memberitahu istri ar rahimnya tentang deskripsi istri ar rahmannya.

Bagian isi terdapat pada paragraf sebelas sampai dua puluh enam. Bagian ini berisi dialog Emha pada istri ar rahimnya. Emha menyuarakan isi hatinya tentang istri ar rahmannya yang berada di desa, kabupaten, provinsi, atau negara manapun yang menuntut hak untuk digilir dan diperhatikan. Namun Emha juga menegaskan bahwa Novia Kolopakinglah satu-satunya yang berhak atas cinta rahimnya.

Ia juga memberitahu Novia bahwa sebenarnya Novia juga suami bagi mereka. Bahkan Novia yang mengatur jadwal di dalam dan luar negeri untuk menggilir mereka terus menerus hampir tanpa henti. Hingga hampir tak ada sela waktu untuk mereka berdua menghabiskan waktu atas nama cinta rahimnya.

“Wahai Novia Rahimah Kolopaking Mamah (gedang)ku Mamih (Slamet)ku, rasanya tak cukup sisa usia kita ini untuk memenuhi kewajiban menggilir cinta kita kepada ribuan istri kita”. 

Bagian penutup terdapat pada paragraf dua puluh tujuh dan dua puluh delapan. Di akhir tulisan ini Emha membuat kita berpikir kenapa basmalah berbunyi “Bismillahirrahmanirrahim” bukan “Bismillahirrahmanirrahim”, karena bereskan cinta sosial dulu, barulah cinta pribadi akan tentram.

14.          Istri Kepala Rumah Tangga

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu dan dua. Emha mengawali tulisan ini dengan pernyataan bahwa hubungannya dengan istri ar rahimnya, Novia, sudah menjadi satu pihak sebagai posisi suami atas istri-istri ar rahman di luar sana.

Bagian isi terdapat pada paragraf tiga sampai lima. Bagian ini berisi penjelasan bahwa yang namanya suami-istri adalah satuan manajemen dalam menjalankan aplikasi nilai Tuhan dalam kehidupan. Bagi Emha, kepala rumah tangga adalah Novia, karena Novia-lah yang lebih paham dan terampil dalam mengerjakan urusan rumah tangga. Namun dalam hukum dan moral, tetap Emha yang bertugas untuk bertanggung jawab atas apapun dalam keluarga.

“Kalau anak kurang makan, kalau bohlam mati, kalau kamar mandi tak ada airnya, akkulah yang bertanggung jawab, meskipun engkaulah yang lebih terampil mengurusinya”.

Emha juga menceritakan bagaimana manajemen uang dalam keluarganya. Bahwa seorang istri tidak wajib menafkahi keluarga, namun semua uang suami adalah milik keluarga.

“Maka kalau uangku habis, aku pinjam kepadamu. Sebab kalu kuminta paksa, atas nama moral kesatuan keluarga atau apa pun, itu namanya penganiayaan. Aku berhutang kepadamu, dan bahwa akhirnya engkau akan memerdekakanku dari utang, itu karena inisiatif cintamu… Dan engkau merdeka untuk memerdekakanku atau menagihku, itulah batas konteks antara hak dan kewajiban dengan kemurahan moral dalam berumah tangga”.

Maksud dari hak dan kewajiban adalah masalah nafkah keluarga yang menjadi kewajiban suami. Sedangkan kemurahan sosial yaitu ketika istri memerdekakan hutang suami atas uang yang digunakan untuk menafkahi keluarga.

Bagian penutup terdapat pada paragraf enam. Pada bagian ini, Emha kembali menegaskan bahwa dalam kehidupan institusi atau komunitas yang terkait dengan Emha, seperti Kiai Kanjeng atau Progress, aturan yang berlaku bagi mereka adalah sistem nilai. Tak ada bos dan setiap orang bekerja serta digaji atas dasar sistem nilai tersebut. Tulisan ini memberikan inisiatif bagi para pembaca tentang manajemen yang berbasis pada sistem nilai.

15.          Tiga Skala Persuami-istrian dan Lupa kepada Syahwatmu Sendiri

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu dan dua. Emha mengawali tulisan ini dengan pola hubungan suami istri yang pertama, yaitu antara Tuhan dengan makhluknya. Tuhan sebagai suami dan makhluknya sebagai istri. Oleh karena itu ibadah adalah upacara pernyataan cinta kepada Tuhan.

Bagian isi terdapat pada paragraf tiga sampai delapan. Pada paragraf ini Emha memberi tahu pola hubungan suami istri yang kedua, yaitu manusia yang merupakan khalifah di bumi sebagai suami dan istrinya adalah alam semesta. Bentuk cinta pada hubungan ini adalah manusia sebagai suami mendayagunakan istri tersebut berdasarkan garis besar haluan Tuhan, yang nantinya manusia akan dimintai pertanggungjawaban. 

Dan pola hubungan suami istri yang ketiga adalah antara raja atau pemerintah dengan rakyatnya. Yang menjadi suami adalah raja atau pemerintah dan rakyat adalah istrinya. Hubungan yang berlangsung dalam cinta ini dipedomani oleh prinsip tanggung jawab dan cinta kesuamian Tuhan atas makhlukNya.

Dalam usaha berpikir yang dinamis ternyata banyak masalah sosial di dunia yang menggunakan skala suami-istri, sehingga kita tak punya waktu untuk memanjakan diri sendiri karena sibuk memikirkannya.

“Silahkan engkau meluangkan waktu sendiri untuk merenunginya, menyelami kerangka prinsip persuami-istrian makro-mikro itu”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf sembilan. Pada bagian ini Emha menyimpulkan, ketika seseorang telah melayani istri ar rahmannya, maka percayalah kata Emha, pasti kita akan lupa pada syahwat kita sendiri.

16.          Permaisurimu: Allah, Muhammad, atau Dunia?

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu. Tulisan ini dimulai dengan pertanyaan jika kita sibuk terhadap masalah sosial apakah itu tidak berarti penindasan terhadap istri dan keluarga? Ataupun jika kita mencintai Allah berarti menomorduakan Muhammad atau sebaliknya?

Bagian isi terdapat pada paragraf dua sampai enam. Emha memberikan satu istilah unik yaitu Cinta Segi Tiga dalam merumuskan cinta seorang manusia kepada Allah dan Muhammad. Mencintai artinya memperlakukannya sesuai posisi yang benar. Mencintai Allah itu dengan cara mencintai Muhammad, yakni memosisikan Muhammad sebagai Rasul, bukan sebagai Tuhan. Mencintai Allah juga berarti mencintai uang, harta benda, jabatan dan segala isi dunia dengan memposisikan dunia pada titik dan level yang Allah kehendaki.

“Jika engkau membenci dunia berarti engkau tak mencintai Allah. Dunia ini diciptakan Allah justru karena dimandatkan kepadamu untuk mengelolanya. Bagaimana mungkin engkau mengelola sesuatu yang kau benci?”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf tujuh. Pada akhir tulisan Emha kembali mengingatkan bahwa kita tidak bisa meninggalkan dunia demi cinta kepada Allah, karena tak ada tempat bagi jasad kita berpijak selain di dunia.

17.          Poligami di Dunia Katak

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu sampai tiga. Pada bagian ini kita akan menjumpai tokoh aku dan Sudrun yang kembali melakukan tindakan aneh. Saat tokoh aku membaca naskahnya, tiba-tiba Sudrun sudah berdiri bertolak pinggang di hadapannya.

Bagian isi terdapat pada paragraf empat sampai dua puluh. Pada bagian ini lebih banyak diisi oleh dialog antara tokoh aku dengan Sudrun. Sudrun memberikan pertanyaan, apakah Emha mau berlagak seperti kiai. Jawaban Emha malah terserah. Hingga akhirnya Emha disamakan dengan katak.

“Sebagai seekor katak, aku hanya menjalankan tugas alamiahku untuk melompat-melompat dan berbunyi kang kung kang kung”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf dua puluh satu. Pada bagian ini Emha menjelaskan banyak hal dan masih terkait dengan poligami. Bahwa katak menunggangi siapa saja dan ditunggangi siapa saja. Jika ada manusia yang menunggangi katak, maka katak tidak akan demo karena kehidupan katak sangat kuat sehingga tidak memerlukan hukum atau prinsip hak asasi. Sebenarnya katak di sini berfungsi sebagai ibarat.

18.          Satu Suami Ratusan Istri

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu. Tulisan ini diawali dengan pertanyaan apakah katak jantan bisa mengawini ratusan katak betina?

Bagian isi terdapat pada paragraf dua sampai enam. Disinilah kemudian Emha memakai ibarat katak untuk menggambarkan lelaki sebelum Islam yang bisa mengawini ratusan wanita. Pada saat itu wanita direndahkan derajatnya, dieksploitasi seksnya juga harta bendanya. Dalam keadaan seperti itu Allah melakukan revolusi, dari fakta ratusan istri kemudian diradikalkan menjadi paling banyak empat istri. Itupun dengan peringatan keras untuk tidak mengeksploitasi para istri dalam hal apapun.

Bagian penutup terdapat pada paragraf tujuh. Paragraf ini mengingatkan kita bahwa hukum untuk poligami dalam ayatnya harus kita pahami betul-betul. Apa maksud Tuhan menurunkan ayat itu, bagaimana latar sosial pada saat itu dan batasan apa yang harus kita perhatikan. Di bawah adalah kutipan Emha yang seharusnya pembaca renungkan.

“Dari ratusan istri diradikalkan menjadi empat istri adalah suatu tahap. Dan tahap inilah yang dipergunakan oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam Islam untuk dipakai sebagai dasar hukum bahwa lelaki boleh beristri empat. Segala sesuatunya disetop di sini dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah-olah tidak ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan. Maka, seluruh dunia pada abad 21 ini beranggapan seperti itu, stagnan dalam justifikasi bahwa Islam membolehkan lelaki kawin empat”.

19.          Tuhan Mengajak Berdiskusi

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu. Tulisan ini diawali dengan kalimat bahwa Tuhan sangat perhatian terhadap proses internal individu tiap manusia atau proses eksternal dalam kehidupan sosial.

Bagian isi terdapat pada paragraf dua sampai tujuh. Tuhan sangat perhatian terhadap proses internal dan eksternal manusia, maka Tuhan tidak hanya memberi batasan dan perintah, tetapi juga menyikapi manusia sebagai makhluk yang sudah dibekali akal. Maka dalam banyak hal, sebenarnya Tuhan mengajak manusia untuk berdiskusi agar manusia berpikir dan mengambil keputusannya sendiri. Keputusan inilah yang akan menyesuaikan kondisi internal dan eksternal manusia. Ini pulalah yang menunjukkan bahwa Allah sangat perhatian pada manusia.

“Kalau dalam pemetaan pernyataan-pernyataan Tuhan, Ia hanya memberi

dogma sekitar 3.5%, yang 96.5% adalah diskusi dan demokrasi”.

Hal ini bisa kita refleksikan untuk ayat yang membicarakan tentang poligami. Tuhan telah meradikalkan dari ratusan istri menjadi empat istri. Tuhan juga memancing kedewasaan akal manusia pada ayat: Kalau engkau takut tidak akan bisa berbuat adil, maka satu istri saja. Selain itu dalam ayat poligami, yang menyebut istri satu atau dua atau tiga atau empat, dimulai dengan kata ‘maka’. Artinya pasti ada anak kalimat sebelumnya. Maksudnya adalah prasyarat sosial yang kita himpun dari paparan Tuhan, sejarah dan aktivitas akal kita sendiri.

“Kawin empat, menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan, tidak

pantas dilakukan atas pertimbangan individu. Ia memiliki konteks sosial. Ia

bukan merupakan hak individu, melainkan kewajiban sosial. Kewajiban

adalah sesuatu yang terpaksa atau wajib kita lakukan, senang atau tidak

senang. Karena masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau

kemauan pribadi, melainkan pada kemaslahatan bersama”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf delapan. Pada paragraf ini Emha mengusik mata pembaca dengan memberikan interpretasinya dengan menuliskan betapa tidak tahu dirinya kita meski Tuhan berkata, kalau engkau takut tak bisa berbuat adil..., lantas kita tetap sombong menjawab ‘bisa’ kepada Tuhan dan ingin memberi contoh poligami yang baik. Emha kembali mengingatkan bahwa kita mempunyai akal dan kalbu kemanusiaan dalam memikirkan masalah poligami.

20.          Negeri Boleh Abstain dan Melarang Poligami

Bagian pendahuluan terdapat pada paragraf satu. Tulisan ini masih ada kaitannya dengan tulisan sebelumnya. Lalu bagaimana jika pemimpin atau anggota parlemen ingin menelurkan pasal-pasal tentang poligami? Pada paragraf ini dituturkan bahwa ada suatu negeri yang membuat pasal diperbolehkannya poligami dengan landasan dalil “satu atau dua atau tiga atau empat”. Negara ini bisa berargumentasi toh Tuhan hanya mengatakan kalau tidak bisa berbuat adil, berarti ada kemungkinan berbuat adil.

Bagian isi terdapat pada paragraf dua sampai enam. Pada bagian ini Emha menceritakan ada pula negeri yang abstain (tidak memberikan keputusan diperbolehkan atau dilarang) dengan argumentasi pernyataan Tuhan, “kalau engkau takut tak bisa berbuat adil”, yang berarti ini menyangkut pribadi lelaki sehingga negara tidak ikut campur. Dan ada pula negeri yang tegas melarang poligami, dengan argumentasi pernyataan Tuhan, “tidaklah engkau (wahai laki-laki) sesekali akan pernah mampu berbuat adil”.

Dari paparan ketiga model negara di atas, Emha hendak mengajak kita untuk berpikir dan menggunakan hati kita dalam menyikapi poligami. Karena semua pilihan adalah tanggung jawab kita sendiri, maka keputusan kita juga harus disesuaikan dengan kondisi internal dan eksternal masing masing individu.

“Di dalam Islam, setiap orang berhak menafsirkan dan bertanggung jawab atas keputusan yang ia ambil berdasarkan tafsirnya itu. Dan, tafsir seseorang boleh menghasilkan prinsip yang berbeda dengan hasil tafsir orang lain. Juga tidak ada hak sama sekali bagi siapa saja untuk memaksa orang lain untuk mengikuti tafsirnya”.

Bagian penutup terdapat pada paragraf tujuh sampai sembilan. Paragraf ini ditutup dengan kehadiran tokoh aku dan Sudrun. Emha menceritakan bahwa saking fokusnya Emha akan tulisan di naskahnya tentang tiga model negara dalam memperbolehkan atau melarang poligami, tokoh aku sampai berteriak, “Silahkan engkau membantahnya!” dengan suara keras hingga Sudrun Pun terbangun.

Penulis            : Latifatul Fajriyah

  Sumber Tulisan          : Skripsi Nilai Nilai Pendidikan Islam Dalam Kumpulan Esai Istriku Seribu Karya Emha Ainun Nadjib

 

No comments:

Post a Comment