Thursday, August 12, 2021

Kyai Sobirin dan Kesetiaannya Dengan Al-Quran

Ia biasa dipanggil Si Kutu, hidup menggelandang dari satu kota ke kota lainnya demi menyambung hidup. Ia bekerja sebagai tukang foto kopi, ngekos di pinggir sebuah lembah, kamarnya kecil dan berada di lingkungan yang kumuh. Hanya ada tiga gubuk dan satu mushola kecil di sekitar ia tinggal, dihuni beberapa mahasiswa dan tukang rombeng. Maklum, sewa kamarnya murah.


Si Kutu sering bermasalah dengan tidur malamnya, terutama menjelang subuh. Ia terganggu suara bacaan Al-Quran yang berasal dari mushola kecil di ujung jalan gubuknya. Ia berencana mencekik leher orang yang membaca Al-Quran malam-malam itu, menyumpel mulutnya dengan serbet, memukul kepalanya dengan benda tumpul sampai ia mampus. Namun, berkali-berkali ia berencana, berkali-kali ia gagal. 



Sebenarnya suara orang yang membaca Al-Quran itu sangat bagus, yang mendengar hatinya pasti terbuai senang. Bagai pasangan muda-mudi yang sedang pertama kali jatuh cinta. Tak ingin lama berpisah, pun dengan siapa pun yang mendengar suara dari Mushola kecil itu. Lantas, mengapa Si Kutu tidak terbuai hatinya? 


Terlanjur tidak dapat tidur, setiap malam Si Kutu datang ke Mushola, merebahkan badan sembari merokok, jika sudah selesai, orang yang membaca Al-Quran tadi akan menghampiri Si Kutu, meminta rokok padanya dan mengajaknya mengobrol.


Kyai Sobirin, begitu ia dikenal para warga. Hidup sendirian di Mushola kecil dekat lembah. Lingkungan disekitarnya kumuh, kontras sekali dengan Mushola yang sejak muda ia tempati itu. Terkadang beberapa jamaah memberinya beras, minyak dan jaket. Jika ada panitia zakat datang memberikan jatah zakat padanya, yang ia lakukan malah memberikan jatah zakat itu pada orang lain. Rasa-rasanya, yang ia butuhkan hanya makan minum dan membaca Al-Quran di tengah malam sampai menjemput subuh. 


Kedua matanya yang buta membuat Kyai Sobirin tidak bebas kemana saja. Langkahnya terbatas, garis edarnya hanya Mushola dan Masjid untuk shalat Jumat. Beruntung ada Kyai Muhtarom, sahabat kecil Kyai Sobirin dan Imam shalat Jumat itu senantiasa menjemput dan memberikan bantuan untuk Kyai Sobirin.


Kyai Muhtarom tahu jika Si Kutu selalu menemani sahabatnya membaca Al-Quran. Pernah ia bertanya apakah Si Kutu terganggu tidurnya dengan suara sahabatnya. Si Kutu tentunya terganggu, namun ia sendiri tidak bisa menjelaskan alasannya jika ia menjawab terganggu. Tahu gelagat dari Si Kutu, Kyai Muhtarom akhirnya cerita sejarah hidup sahabatnya itu.


Sobirin, pemuda tampan dan haus ilmu itu sudah keliling Jawa untuk menjadi santri. Mushola kecil yang ditinggali sekarang, dulunya adalah pondok pesantren, muridnya banyak, salah satunya Sobirin dan Muhtarom. 


Sobirin dari kecil memang sudah pandai membaca Al-Quran, bahkan ia sudah hafal diluar kepala semua ayat dari kitab suci umat Islam itu. Demi menjaga hafalannya, setiap malam ia melantunkan ayat demi ayat. Angin dengan leluasa membawa suara Sobirin yang merdu dan indah itu ke pelosok kampung, siapapun yang mendengar akan dibuai kangen, ingin terus mendengar dan mendengar. Termasuk perempuan bernama Sri Astuti anak juragan kain batik.

Penasaran dengan suara tersebut, Sri Astuti mengutus pembantunya untuk mencari tahu siapa sosok dibalik suara merdu itu. Esoknya, ia melapor ke juragannya bahwa ada Mushola kecil di ujung jalan dekat lembah. Disana banyak murid yang belajar agama, sedangkan lantunan ayat Al-Quran setiap malam itu keluar dari bibir seorang murid bernama Sobirin. Mendengar laporan dari pembantunya, lantas ia bicara ke ayahnya ingin belajar mengaji dan meminta gurunya didatangkan saja dari Mushola kecil di dekat lembah sana. Tentu ayah Sri Astuti sangat kegirangan melihat anaknya yang mulai mau belajar agama.


Setiap malam kamis Sri Astuti belajar mengaji dengan Sobirin. Waktu berlalu, dua sejoli ini dilanda cinta. Pak Kyai tahu kalau Sobirin memiliki kebiasaan membaca Al-Quran di malam hari. Namun, dari ayat-ayat yang ia baca, Sobirin sepertinya sengaja memilih ayat yang mengisahkan tentang percintaan, terlebih Sobirin membacanya dengan nyaring. Ayah Sri Astuti juga menaruh curiga pada anaknya, kemudian ia pergi ke Mushola, bilang ke Kyai agar guru ngaji anaknya diganti saja. Permintaannya ke Kyai tanpa alasan. Pak Kyai kemudian mengutus Muhtarom menggantikan Sobirin temannya itu mengajari anak juragan batik mengaji. Sri Astuti hanya diam, bibirnya tetiba lupa huruf-huruf Al-Quran yang selama ini diajarkan Sobirin padanya. Semangat ngajinya hilang. 


Geliat Sri Astuti diketahui oleh Muhtarom, ia kemudian memperkenalkan diri bahwa ia teman dekatnya Sobirin, jika ada pesan untuk Sobirin, ia dengan senang hati akan menyampaikannya. Wajah Sri Astuti tampak mulai berseri, senyum di wajahnya mulai merekah. 


Melihat anak muridnya jatuh hati, Pak Kyai berencana melamarkan anak muridnya itu selepas ia pulang dari Haji. Kabar tersebut membuat Sobirin sangat senang.


Naas, Ayahnya dalam waktu dekat akan menikahkan Sri Astuti dengan seorang duda kaya raya. Mengetahui hal tersebut, Sobirin berlari menuju rumah juragan batik. Terjadi pertengkaran di dapur produksi antara si ayah dan Sobirin. Melihat ada wajan panas berisi malam, si ayah melemparkannya ke wajah Sobirin. Hal tersebut bukan saja membuat wajahnya terluka, melainkan juga membuatnya buta seumur hidup.


Sri Astuti terus menangis. Ia berpesan ke Sobirin agar terus mengaji. “Kekasihku, teruslah mengaji. Allah akan membuka jalan untuk kita.”


Demikianlah, selama bertahun-tahun, bahkan kini sudah puluhan tahun Kyai Sobirin melantunkan ayat-ayat suci sepanjang malam.


Suatu siang, Si Kutu yang sedang bekerja dikejutkan dengan kabar Kyai Sobirin sedang berduaan dengan perempuan gila, mereka berdua tertawa bahagia di Mushola. Saat Si Kutu sampai sana, sudah ada Kyai Muhtarom berdiri di depan Mushola. Si Kutu menyalakan rokok, melihat dua sosok aneh di dalam Mushola. Perempuan gila setengah telanjang dan laki-laki tua buta sedang tertawa.


Kyai Muhtarom kemudian berbicara ke Si Kutu bahwa perempuan itu adalah Sri Astuti. Cinta pertamanya Sobirin. Jelas sekali bahwa ini adalah kuasa Allah. Mereka berdua kembali dipertemukan karena Sobirin senantiasa konsisten menepati janjinya akan selalu mengaji setiap malam. Keanehan Si Kutu yang menganggap perempuan itu gila luntur tatkala melihat mereka berdua bergandengan tangan, saling berbicara dan tertawa. Tidak tampak sama sekali perempuan itu gangguan jiwa.


Esoknya, Kyai Muhtarom menjadi penghulu pernikahan mereka berdua. 



Disclaimer: 

Cerita ini berangkat dari penggalan novel berjudul "O" karya Eka Kurniawan. Saya sedikit menambahkan beberapa alur cerita.


Malang, 12 Agustus 2021

Ali Ahsan Al Haris

Terimakasih


No comments:

Post a Comment