Ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap adanya Covid-19, bisa karena matriks pengetahuannya, bisa juga karena ketidaktahuannya. Ada orang yang tidak percaya pada sesuatu karena pengetahuannya melampaui sesuatu yang ia tidak percayai, atau bisa juga karena ia tidak punya pengetahuan. Opsi lain karena silang sengkarut pemberitaan mengenai sesuatu hal, membuat ia memasang pertahanan dengan cara tidak mempercayainya. Fakta menunjukkan bahwa orang yang percaya adanya Covid-19 bisa terpapar atau bisa juga tidak terpapar Covid-19. Sementara orang yang tidak percaya pada adanya Covid-19 juga ada yang terpapar dan ada yang tidak terpapar. (Mbah Nun, 2021).
Saat Covid meledak di Wuhan, saya sempat meremehkan virus tersebut tidak akan sampai ke Indonesia, apalagi kok berani-beraninya masuk Malang. Bebal sekali kan. Perlahan, saya percaya kalau Covid itu nyata. Lha wong buktinya ada kok, yang mati banyak. Namun kepercayaan itu tidak berarti menjadikan saya parno. Ya tetap slow, bentuk ikhtiarnya agar tak terjangkit ya memakai masker dan minum vitamin.
Setahun lebih pandemi berlangsung, masyarakat kita muncul cluster baru. Kalau dulu Cebong dan Kampret. Sekarang percaya covid dan tidak.
Hal tersebut menarik dibahas karena bukti covid memang ada. Ribuan orang mati di pelbagai daerah, Faskes dan RS kewalahan dengan banyaknya kasus covid, dan masih banyak orang yang bilang covid itu konspirasi. Gini gini, kalau toh benar konspirasi, idealnya kita tak denial. Seng mati lho okeh, Cak. Dalih yang sering mereka gunakan: Covid hanya ada di RS, belum pernah ada orang mati karena covid di jalan, sawah atau pasar, matinya rata-rata di RS; dia mati karena dicovidkan oleh RS dll. Masyarakat terkesan dibenturkan dengan Nakes. Memang repot kalau berhadapan dengan orang bebal.
Skipp
Adanya cluster yang percaya dan tidak terhadap covid membuat saya penasaran akar masalahnya. Kok moro-moro gak percaya, padahal buktinya banyak. Analisis klinisnya dapat kita akses di google, eh kok … Hal beginian kadang bikin gemes, mau ngasih tahu orang lain kalau covid itu nyata ke cluster tak percaya covid, yang ada malah debat kusir. Tak berujung, emosi. Begitu juga dengan yang saya alami. Memilih menjalankan protkes sendiri daripada harus berlelah lelah menghimbau orang. Kesel, Cak.
Silahkan hidup berdaulat, tapi yo jangan lupa pertimbangan sosialnya. Sudah tahu zaman genting seperti ini, mbok ya kalau ke luar rumah; fasum; pasar dll pakai masker. Ora ndung nantang-nantang covid ngunu lah
No comments:
Post a Comment