Sumber Gambar: pixabay |
Kemajuan teknologi membawa manfaat dan mudharat (ancaman) seperti kasus pembobolan uang, internet dan pornografi. Namun kesempatan juga banyak datang beriringan dengan datangnya ancaman itu sendiri.
Sembari bersila, Mas Patub melempar pertanyaan ke Mas Sabrang “Dalam sebuah kemajuan, perkembangan zaman, kesempatan apa saja yang belum dan dapat kita manfaatkan yang selama ini kita tidak mengerti?”
Sudah menjadi gayanya Mas Sabrang, yang tidak akan menjawab pertanyaan langsung ke poinnya, melainkan ia akan memberi latar belakang terlebih dahulu ke konteks pertanyaan tersebut. Saya menilai, Mas Sabrang sengaja melakukan itu karena ingin setiap penannya atau pendengar dapat mengolah informasi yang ia terima menjadi sebuah kebulatan ide dari pemikiran yang mendalam.
“...yang membedakan manusia dan hewan adalah kemampuan untuk memilih evolusinya ke arah mana … sains dan segala macam dibuat agar kita tidak terlalu random evolusinya…” jawab Mas Sabrang dengan analogi yang menarik.
Manusia dapat melakukan berbagai simulasi untuk mencari dan memecahkan sesuatu. Untuk sampai di titik itu, manusia perlu banyak informasi/ilmu, sedangkan untuk memperbanyak informasi/ilmu, diciptakanlah institusi pendidikan bernama sekolah. Hari ini, mudahnya mengakses informasi di internet memiliki potensi yang sangat luar biasa untuk me-replace institusi pendidikan.
Untuk memperjelas hal itu, Mas Sabrang melempar pernyataan yang cukup unik.
“Mengapa kereta dan mobil memakai satuan tenaga kuda? ... karena dia me-replace kuda…dulu narik pakai kuda…teknologi baru selalu me-replace hal yang lama untuk memecahkan masalah yang sama secara lebih efektif. Kalau sekolah gunanya adalah untuk menambah pengetahuan sang anak, ini bisa ke-replace lho sama yang namanya Internet…sama seperti kuda“
Sembari tertawa, Mas Patub mengangguk membenarkan pernyataan Mas Sabrang.
“... Sekolah itu adalah gudang ilmu, internet juga gudang ilmu…yang mudah diakses dan tidak membayar SPP.” Mas Patub menambahi.
Kembali ke contoh di atas: kuda, transportasi, Internet dan Sekolah adalah masalah fungsi, manakah diantara mereka yang lebih efektif. Terlebih di era banjirnya informasi kita cenderung telat melakukan transformasi. Ringkasnya, sekolah sebagai pusat ilmu seharusnya menjadi institusi yang paling bisa beradaptasi karena mereka punya bahan dasar yang paling banyak untuk melakukan adaptasi terhadap situasi dan perubahan lingkungan. Faktanya, sekolah adalah institusi yang paling lambat untuk beradaptasi. Karena memang disadari, tidak mudah beradaptasi dalam membuat sistem baru.
Di sisi lain, sekolah tidak hanya bicara urusan ilmu, sekolah juga mengurusi practical, hal ini berguna mengukur kemampuan pelajar saat masuk ke ruang publik agar memiliki tempat yang lumayan tepat sesuai dengan ilmu yang mereka miliki. Namun jika kita hanya belajar dari internet, kita akan kehilangan fungsi practical tadi, kita tidak memiliki standar sudah belajar sampai level mana, tentang apa dan untuk peran apa ketika di masyarakat.
Dari sini, Institusi pendidikan juga diperlukan untuk memberi standarisasi ke para pelajar agar kemampuan yang mereka miliki, berdekatan dengan yang dibutuhkan masyarakat.
Sampai sini, apakah Internet sudah cukup untuk me-replace institusi pendidikan? masih terlalu dini untuk dijawab. Mas Sabrang berujar, "Itu bukan masalah yang mudah, dan kalau kita mau ngomong apakah ini pernah dipecahkan sebelumnya ide ini? Lha wong sebelumnya belum ada internet kok, ini masalah baru dan kita harus cari ide baru caranya seperti apa. Ada yang sudah memberi tolak ukur. Facebook, Twitter memberi tolak ukur. Populer tolak ukurnya … pertanyaannya kemudian dibandingkan sama sekolah. Apakah popularitas memberi dia tempat yang akurat pada society untuk kontribusinya dia? Kalau itu gak akurat, bisa dangerous …"
"Berarti sekolah-sekolah zaman sekarang eksklusif, ndak inklusif to, Brang?" tanya Mas Patub dengan serius.
Mas Sabrang terdiam, mungkin ia tidak mengira bakal mendapat pertanyaan seperti itu dari, Mas Patub.
"Aku ngeliatnya gak ngunu...kenapa susah berubah karena banyak kepentingan yang terlibat" Mas Sabrang menjawab.
"Sudah bukan murni institusi pendidikan, maksudmu?" Mas Patub mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental.
Mas Sabrang melanjutkan, "misalnya institusi pendidikan pun, butuh yang namanya kurikulum, sistem insentif kurikulum gimana? semakin lama kurikulum dipakai, yang bikin kurikulum semakin dapet apa namanya, royalti. Berarti sebisa mungkin jangan ganti kurikulumnya, dong … saya selalu mengatakan sistem, struktur itu pasti mendorong pola manusianya akan berlaku seperti apa …".
Diskusi semakin seru, sembari memperbaiki posisi duduknya, Mas Patub kembali bertanya dengan antusias, "Terus bagaimana? padahal sekarang ini kita mau gak mau harus sekolah". Pertanyaan ini persis dengan apa yang saya pikirkan.
Tawa Mas Sabrang pecah. "Lho gpp sekolah itu, itu ndak masalah" jawabnya.
Mas Sabrang, menghimbau agar kita tidak memiliki mindset "membubarkan sekolah". Institusi pendidikan pasti ada gunanya, terbukti sekolah sudah berdiri sejak lama dan banyak membantu kita. "Kamu identifikasi limitasi-mu, kalau dia tidak membantu anakmu untuk berpikir kreatif, tumpuk di tempat lain yang non sekolah" Mas Sabrang memberi justifikasi bahwa sekolah masih memiliki manfaat.
Sekolah pun jika terlalu disiplin untuk memfilter si anak/pelajar, akan ada output yang kemungkinan mengganggu psikologis kita tidak kuat. Bayangkan saja sekolah-sekolah yang ada sekarang menerapkan standarisasi kelulusan, jika tidak mencapai standar tersebut maka dinyatakan tidak lulus sekolah. Hal itu memang baik, namun yang terjadi banyak pelajar yang tidak lulus. Gangguan psikologis itu berupa tekanan dari masyarakat ke institusi pendidikan yang menganggap kejam dan tidak punya kasih sayang.
Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki banyak manfaat dan masih ada kekurangan. Internet, sebagai bentuk dari kemajuan teknologi yang lahir dari sekolah juga masih memiliki banyak kekurangan. Kita tidak perlu terbelah pendapat model pendidikan manakah yang bagus untuk anak-anak kita. Mas Sabrang, berpendapat kegunaan pendidikan adalah "agar kamu bebas membebaskan manusia, agar dia bisa memilih tempat kontribusinya pada society itu di mana".
Ketika sudah lulus sekolah dan bekerja, semua tidak harus menjadi Presiden, Direktur atau wirausaha. Apapun profesinya jika dilakukan dengan bahagia, hasilnya akan maksimal.
"Pekerja yang efisien adalah pekerja yang bahagia" ujar Mas Sabrang. Hal ini linier dengan apa yang saya alami di tempat kerja. Ketika kami mendapatkan banyak pekerjaan dan kebetulan tim kami kompak menjalaninya dengan bahagia, rasanya pekerjaan itu sangat enteng.
Obrolan dua personil Letto ini dapat kalian saksikan di channel Youtube mereka, selain berisi video music, kalian akan mendapati diskusi-diskusi menarik yang dinahkodai langsung oleh gitaris sekaligus sang manager.
No comments:
Post a Comment