Sastrawan Jalanan
Part. 4
Pembaca yang budiman, semoga
kesehatan dan keberkahan selalu memberkahi kita semua. Status saya dalam
tulisan ini hanya sebagai pihak kedua yang mempublikasi, saya hanya menambahi kalimat
pengantar semacam ini. Tujuanya agar pembaca dapat menerima secara perlahan dan
jelas siapa kiranya sosok penulis yang aku labeli Sastrawan Jalanan, agar tidak ada lagi yang mengira bahwa
puisi-puisi yang ada dalam postingan adalah karya saya.
Bagian awal saya lupa
menceritakan bagaimana penulis dapat mendarat di Kota Malang, padahal itu
bagian penting bagaimana karya-karyanya tercipta. Dari beberapa kawan yang
pernah dekat denganya dan penulis sendiri yang memang sengaja saya tanyai, ia
sampai di Malang dengan tujuan merantau untuk mencari kerja. Meski berasal dari
keluarga yang terbilang berkecukupan tak membuat penulis santai bersandar pada
saudara dan orangtuanya. Penulis memilih merantau berjualan es tebu ke
Yogyakarta, hasil jualan dari kota yang terkenal dengan segudang seniman dan
penerbit buku-buku terkenal itu, tak cukup untuk ia tabung. Penulis kembali ke
Madura, mulai dari sini saya mulai kehilangan sumber cerita mengingat beberapa
narasumber yang saya tanyai juga tak begitu faham apa saja yang penulis lakukan
selama kembali ke Madura.
Saat penulis kembali ke
Malang, ia bekerja di caffe yang biasa di buat nongkrong kaula-kaula muda. Sebagai
salah satu perintins caffe tentu si penulis menjadi orang penting dalam
manajemen.
Coba kita ingat-ingat, saat
kita nongkrong di caffe, bersama kawan-kawan atau pasangan kita. Beberapa kali
tentu pernah kita temui sisa makanan dan minuman yang jikalau kita lihat masih
layak sekali untuk di makan, sederhananya sayang untuk di lempar ke tong
sampah. Sisa-sisa makanan dan minuman itulah yang sering di makan oleh penulis,
bahkan ia sering membawanya pulang ke kos tempatnya menginap. Sebagai pelayan
caffe tentu hal semacam itu penulis alami bahkan menjadi kebiasaanya menyimpan
sisa-sisa makanan yang ia anggap masih layak untuk di makan.
Kebiasaan dari penulis itu
membuat lingkungan kerjanya megucilkanya, kawan-kawanya mengannggap bahwa apa
yang penulis lakukan adalah hal aneh dan cenderung menjijikan. Beda lagi dengan
penulis, ia sadari kalau para pelanggan caffe tempatnya bekerja selalu bermuka
dua, membeli makanan dengan harga ratusan ribu namun selalu menyisakan dengan
alasan yang tak jelas.
Begitulah sisi aneh dari
sang penulis puisi-puisi ini, ada hal yang sulit untuk kita nalar. Namun kita
akan sadar jika menerka itu semua dengan rendah hati dan rasa syukur. Bukan seperti
kasus tadi, sandiwara meja makan.
*******************************
Tuhan yang Bergemuruh
Di dalam
perburuan di dunia
Manusia mulai berubah jadi gerombolan
Gerombolan malaikat mati kutu
Yang mencakar cakar perasaan
Yang gagal mereka mengerti
Yang membatalkan doa doa
Yang dikira ada masa kadaluarsa
Tuhanpun mulai bergemuruh
Senja
macet di perapatan perapatan
Polusi
masuk dalam kendaraan
Juga ke dalam rumah rumah
Dan di ruas ruas jalan
Ribuan
kaki berderap
Seolah menantang gempa
Ribuan
tangan mengepal
Ribuan
telunjuk menuding
Ke lubang
langit yang malah sumbat
Jiwa jiwa lain dibuat gigil olehnya
Tuhanpun makin bergemuruh
Pada saat bersamaan dari seberang jalan
Terdengar derit rimbun bambu
Terdapat liang sempit di bawahnya
Di mana sudah terbujur sebuah kepastian
Bagi begitu angkuhnya setiap tuntutan
Tuhan pemilik setiap gemuruh
Setelah kasihmu sering dikhianati
Jangan lagi kau biarkan semua ini
Di dalam makin terkikisnya ketulusan
Saling berbagi apalagi mengasihi
Bukankah semua hanya karena inginkan_
Engkau
September 2015
No comments:
Post a Comment