Saturday, August 12, 2017

Tuhan yang Bergemuruh (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part. 4


Pembaca yang budiman, semoga kesehatan dan keberkahan selalu memberkahi kita semua. Status saya dalam tulisan ini hanya sebagai pihak kedua yang mempublikasi, saya hanya menambahi kalimat pengantar semacam ini. Tujuanya agar pembaca dapat menerima secara perlahan dan jelas siapa kiranya sosok penulis yang aku labeli Sastrawan Jalanan, agar tidak ada lagi yang mengira bahwa puisi-puisi yang ada dalam postingan adalah karya saya.

Bagian awal saya lupa menceritakan bagaimana penulis dapat mendarat di Kota Malang, padahal itu bagian penting bagaimana karya-karyanya tercipta. Dari beberapa kawan yang pernah dekat denganya dan penulis sendiri yang memang sengaja saya tanyai, ia sampai di Malang dengan tujuan merantau untuk mencari kerja. Meski berasal dari keluarga yang terbilang berkecukupan tak membuat penulis santai bersandar pada saudara dan orangtuanya. Penulis memilih merantau berjualan es tebu ke Yogyakarta, hasil jualan dari kota yang terkenal dengan segudang seniman dan penerbit buku-buku terkenal itu, tak cukup untuk ia tabung. Penulis kembali ke Madura, mulai dari sini saya mulai kehilangan sumber cerita mengingat beberapa narasumber yang saya tanyai juga tak begitu faham apa saja yang penulis lakukan selama kembali ke Madura.

Saat penulis kembali ke Malang, ia bekerja di caffe yang biasa di buat nongkrong kaula-kaula muda. Sebagai salah satu perintins caffe tentu si penulis menjadi orang penting dalam manajemen.

Coba kita ingat-ingat, saat kita nongkrong di caffe, bersama kawan-kawan atau pasangan kita. Beberapa kali tentu pernah kita temui sisa makanan dan minuman yang jikalau kita lihat masih layak sekali untuk di makan, sederhananya sayang untuk di lempar ke tong sampah. Sisa-sisa makanan dan minuman itulah yang sering di makan oleh penulis, bahkan ia sering membawanya pulang ke kos tempatnya menginap. Sebagai pelayan caffe tentu hal semacam itu penulis alami bahkan menjadi kebiasaanya menyimpan sisa-sisa makanan yang ia anggap masih layak untuk di makan.

Kebiasaan dari penulis itu membuat lingkungan kerjanya megucilkanya, kawan-kawanya mengannggap bahwa apa yang penulis lakukan adalah hal aneh dan cenderung menjijikan. Beda lagi dengan penulis, ia sadari kalau para pelanggan caffe tempatnya bekerja selalu bermuka dua, membeli makanan dengan harga ratusan ribu namun selalu menyisakan dengan alasan yang tak jelas.
Begitulah sisi aneh dari sang penulis puisi-puisi ini, ada hal yang sulit untuk kita nalar. Namun kita akan sadar jika menerka itu semua dengan rendah hati dan rasa syukur. Bukan seperti kasus tadi, sandiwara meja makan.


*******************************
Tuhan yang Bergemuruh

Di dalam perburuan di dunia
Manusia mulai berubah jadi gerombolan
Gerombolan malaikat mati kutu
Yang mencakar cakar perasaan
Yang gagal mereka mengerti
Yang membatalkan doa doa
Yang dikira ada masa kadaluarsa

Tuhanpun mulai bergemuruh
Senja macet di perapatan perapatan
Polusi masuk dalam kendaraan
Juga ke dalam rumah rumah

Dan di ruas ruas jalan  
Ribuan kaki berderap
Seolah menantang gempa
Ribuan tangan mengepal
Ribuan telunjuk menuding
Ke lubang langit yang malah sumbat
Jiwa jiwa lain dibuat gigil olehnya

Tuhanpun makin bergemuruh
Pada saat bersamaan dari seberang jalan
Terdengar derit rimbun bambu

Terdapat liang sempit di bawahnya
Di mana sudah terbujur sebuah kepastian
Bagi begitu angkuhnya setiap tuntutan

Tuhan pemilik setiap gemuruh
Setelah kasihmu sering dikhianati
Jangan lagi kau biarkan semua ini  
Di dalam makin terkikisnya ketulusan
Saling berbagi apalagi mengasihi

Bukankah semua hanya karena inginkan_
Engkau

September  2015 

No comments:

Post a Comment