Sastrawan Jalanan
Part. II
Penulis biasa aku sapa dengan panggilan, Bung. Aku sendiri juga tak
terlalu faham mengapa panggilan tersebut serasa akrab dengan dirinya, mungkin
karena dia lebih senior dari saya dan terlebih lagi penulis sering berpindah
pindah kota dan tempat ngopi hanya demi mencari jati diri.
Pernah memang aku berfikiran kalau penulis sedikit gila, memiliki obsesi
menjadi idealis sejati di zaman entah berantah seperti ini. Tapi, itu semua
bisa saja terjadi, cita-cita besarnya memiliki komunitas yang berisikan para
pemuda-pemuda yang ingin mengangkat harkat martabat petani di desanya menjadi
tujuan utama si penulis berjejaring dan banyak-banyak silaturahmi.
Sekarang, dengan pekerjaan menjadi juru parkir dia masih berharap suatu
saat komunitas yang selama ini dia idam-idakan akan cepat terbentuk dan
berkontribusi bagi masyarakat.
Ini adalah puisi kedua yang saya upload, aku tak mengedit naskahnya sama
sekali. Aku hanya berhak membaca dan mempublikasi lewat blog sederhanaku ini.
semoga kalian yang membaca, dan tentu si penulis semoga Tuhan memberi
kesempatan untukmu memberi akses membaca tulisanmu sendiri, dari ratusan
puisimu yang sebenarnya enggan untuk kau publikasi.
Salam hormat dariku, Bung.
Ular Polos
Yang
Berkenaan
Dengan
Jalan bawah
tanah
Desis
Malam hari
Guyur
Yang belajar
Memasuki sunyi hujan
Di antara
Kuyup
Dan hawa dingin
Yang rimbun
Waktu
Menjadi racun
Racun
Licin-licin
Di lipatan keinginan
Kebenaran berjelma
Perutmu yang memanjang
Di dalam perutmu
Terdapat kisah
Yang dibalut kulit berbuku
Tersusun dekatdekat
Apakah sejarah
Apakah darah
Dengan bergeriap
Tubuh menjalar
Di kaki mimpi
Yang
Bersangkutan
Dengan
Suhu
Yang
Setiap saat berubah
Dalam dirimu
Ucapkanlah
Rapat-rapat karena;
Suara
Terlanjur gemar melangkah
Di siang hari
Dan memeriksa
Imunitas
Ke malammu
Bagian atas tubuhmu
Terlihat penyok
Menjelang subuh
Sudahkah setiap pawang memaku kepalamu
Di tengah jalan raya kelam aspal
Di telantar tengah malam
Dengan
Ekormu yang jerih
Akan
Kamu
Lilit sendiri
Segala luka
sebagaimana
julurmu
melingkari darah
lidahmu mengecap sejarah
Patuklah
Maret 2014
No comments:
Post a Comment