RESENSI “CATATAN SEORANG DEMONSTRAN”
JUDUL : CATATAN
SEORANG DEMONSTRAN
PENULIS : SOE HOK GIE
PENERBIT : LP3ES, JAKARTA
TAHUN TERBIT
: APRIL 2011
TEBAL
: XXX + 385 HLM. ; 15,5 X 23 CM
ISBN : 978-979-3330-33-3
Dialek Hokkian
(Soe Hok Gie) yang lahir pada 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk
di Pasifik, adalah salah seorang aktivis Indonesia dan Mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Gie adalah seorang anak muda yang
berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan
perjalanan hidupnya dalam buku harianya. Lahir keempat dari lima bersaudara
keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan adik kandung Arief Budiman atau Soe
Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan
sekarang berdomisili di Australia. Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe
Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa
Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa
angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Hok Gie
meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, di puncak Gunung Semeru
akibat menghirup asap beracun gunung tersebut pada 16 Agustus 1969 tepat satu
hari sebelum hari ulang tahunya.
Belajar di
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Universitas tersebut menjadi ajang
pertarungan intelektual bagi yang mendukung serta membela Soekarno dan yang
menentang Soekarno. Sebagaimana galibnya pada universitas tahun-tahun 1960-an
menjadi mahasiswa sering disebut organisasi ekstra universiter, seperti HMI;
GMNI; CGMI. Akan tetapi Gie adalah seorang yang tidak berminat memasuki
organisasi berbau agama apa pun dan karena itu dia memilih menjadi anggota
Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis). Gie sadar sepenuhnya bahwa keadaan yang
dihadapinya adalah akibat perkembangan di masa lampau yang terus menerus
berlangsung, sekarang dan di masa yang
akan datang. Gie adalah seorang cendekiawan ulung yang terpikat pada ide,
pemikiran dan terus menerus menggunakan akal pikiranya untuk mengembangkan dan
menyajikan ide-ide yang menarik perhatianya. Tulisan-tulisanya menggugah hati
para pembaca, menjadikan mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang
dikemukakan atau membenci penulisnya yang berani mengatakan apa yang tidak
berani dinyatakan oleh orang lain. Kritikan-kritikanya sangat pedas terhadap
segala sesuatu yang menurut anggapanya tidak dapat dibenarkan, tidak wajar.
Gie mulai
menulis catatan harianya antara Desember 1959, Gie membuat catatan harianya
sehari dua kali, yakni pada pagi hari dan menjelang tidur sampai terakhir
tanggal 16 Desember 1969 ketika Gie tak dapat menulis lagi karena meninggal
dalam pendakian di atap pula Jawa (Gunung Semeru). Tepat sebelum kematianya Gie
sempat berbicara kepada kakak kandungnya Arief Budiman, Gie berkata: “Akhir-akhir ini saya selalu berfikir, apa
gunanya saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang
yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak
musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya
tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin
menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa
gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol?
Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian” keadaan seperti inilah
yang membuat Gie meninggalkan Jakarta untuk pergi ke Gunung Semeru sampai
kematian menyutubuhinya.
Banyak yang
tak percaya Gie meninggal secepat itu, di usia yang masih muda. Tukang kayu di
Malang yang sedang membuat peti matinyapun terkejut dan menangis karena yang
sedang dia buat adalah peti mati untuk Gie. Ketika ditanya mengapa menangis,
tukang kayu tersebut terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia meninggal”. Hal ini berlanjut saat
jenazah Gie dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang transit di Yogya dan
kemudian ke Yogyakarta. Pilot yang mengemudikan bertanya kepada Arief Budiman
apakah jenazah tersebut memang Soe Hok Gie dia membenarkan, pilot tersebut
kemudian berkata: “Saya kenal namanya.
Saya senang membaca karangan-karanganya. Sayang sekali dia meninggal. Dia
mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”.
Kritikan-kritikan
pedas Gie terhadap hal yang dia anggap benar membuat Gie dikenal keras, sifat
lain Gie bukan hanya Idealis, sejak berumur empat belas tahun dia sudah
berfilsafat cinta. Kemudian ketika umurnya makin meningkat menjadi sembilan
belas tahun kesimpulan yang sama diberikanya pula dengan ketandasan baru dan
kontan: “Cinta = Nafsu”, titik! Namun ini hanya berlangsung sementara, karena
lama-lama dia sendiri juga menjadi sangsi. Di catatan harianya dia sempat
menulis: “Aku kira ada yang disebut cinta
yang suci. Tapi itu cemar bila kawin. Akupun telah pernah merasa jatuh simpati
dengan orang-orang tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu”. Kisah
percintaan Gie terbilang rumit, buntut dari kritik-kritik pedasnya membuat
orangtua cewek yang Gie cintai berfikir dua kali akan menjodohkanya denganya,
semakin dia mengejar cinta maka semakin jauh pula larinya. Karena dalam rasa
putus asa dia sendiri berdendang dimabuk kerinduan dalam kehampaan, seperti
yang ada di buku catatanya: “...aku ingin
mati disisimu, manisku. Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu syetan pun tahu. Mari sisni sayangku. Kalian
yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku. Tegaklah ke langit luas
atau awan yang mendung. Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takan
kehilangan apa-apa”.
Catatan Seorang
Demonstran (CSD) terbagi menjadi delapan bagian, pertama “Soe Hok Gie: Sang Demonstran” yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kemudian bagian CSD kedua adalah “Masa
Anak Kecil”, pada masa ini Gie menghabiskan waktunya untuk bersekolah dan
bermain, kegemaranya membaca buku sastra dan sejarah mulai terlihat, wawasanya
yang luas membuat dia berbeda dengan teman-teman sejawadnya. Di CSD tertulis
pada Sabtu, 8 Februari dia sedang berdebat dengan gurunya tentang apa itu
karangan, pengetahuan Gie yang luas membuat dia lancar dan tajam dalam
menjawab. Kelas itupun riuh karena gurunya yang sebenarya kurang tahu masalah
karangan selalu menyangkal argumen Gie agar tidak malu di depan murid-muridnya
yang lain. Sifat kritis Gie terhadap suatu hal yang tak benar memang sudah
terasah sejak dini, sampai tanggal 27 September 1961 Gie mulai resmi diterima
menjadi mahasiswa dan mengikuti perploncoan, inilah lahirnya seorang aktivis
mahasiswa.
Selama menjadi
mahasiswa sifat kritis, pengalaman dan wawasan Gie semakin banyak. Keseharianya
disibukan dengan membaca buku, menonton film, berdiskusi, bermain dan mencatat
keseharianya dalam buku harianya. Kondisi politik nasional pada saat Gie
menjadi mahasiswa memang amat sangat kacau, dia mulai mengkritik
pejabat-pejabat yang tak pro-rakyat, mengkritik pemerintah yang korup dan memperjuangkan
lengsernya orde lama dengan terlibat langsung atau di belakang layar beberapa
aksi demonstrasi mahasiswa di Ibukota. Peranan Gie dalam beberapa aksi
demonstrasi ini terbilang vital, dia yang bertugas melobi para polisi untuk
menjaga para demonstran agar aman dari intervensi luar.
Kondisi
perpolitikan kampus pada zaman Gie terbilang kental, sebagai kampus terpandang
di Ibukota dan banyaknya organisasi-organisasi ekstra masuk kampus dia
menganggap ini bukanlah idealisme mahasiswa lagi melainkan
kepentingan-kepentingan yang membuat idealisme mahasiswa tergadaikan. Puncaknya
pada pemilihan senat fakultasnya, dia bersama teman-temanya sepakat untuk
mendaftar menjadi calon senat, meski bukan Gie yang menjadi calon senat akan
tetapi peran dia di balik layar sangat vital yang pada tahun selanjutnya Gie
menjabat sebagai senat.
Kesenangan dia
terhadap dunia sastra dan sejarah juga ditambah kecintaanya terhadap alam
membuat sosok Gie ini kuat, dikala libur dia sering menyempatkan waktunya untuk
mendaki gunung bahkan ketika telah menjadi dosen muda. Sebelum kematian
menjemputnya satu hal yang mungkin belum diketahui pembaca adalah Soe Hok Gie
yang akan berumur 28 tahun itu belum bisa menaiki sepeda motor.
Soe Hok Gie,
sosok pemuda yang Idealis dan pintar. Harus mati muda karena menghirup asap
beracun di gunung Semeru. Didalam catatan terakhirnya 8 Desember 1969 tertulis
bahwa Gie mulai teringat dengan kematian karena
matinya Kiang Fong, sebelum pergi ke semeru dia ingin membuat acara
intim bersama Sunarti yang akhirnya tak kesampaian karena Gie telah tiada, mati
muda.
“Saya tak mau menjadi
pohon bambu, saya ingin menjadi pohon oak yang menantang angin”
Bagaimana
Pendapat Sobat Bloger ?!
Ada Yang Mau
Menambahkan ?!
Behind The
Gun @aliahsanID
No comments:
Post a Comment