Showing posts with label SOSIAL BUDAYA PESISIR. Show all posts
Showing posts with label SOSIAL BUDAYA PESISIR. Show all posts

Tuesday, December 8, 2015

Kearifan Lokal Pantai Watu Ulo



Makalah Sosial Budaya Pesisir
Kearifan Lokal Pantai Watu Ulo




Oleh :
Andaru Wiyogo
Dhe Ayu Batamia
Muhammad Fathoni Sya’bau
Fitria Ariyani
Nia Nurdiana
Rafaela Ronauli Gultom
Syakanov Murian Rizki




PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous psychology.

Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan lokal, kearifan tradisional, dan budaya yang didalamnya terkandung nilai-nilai etik dan moral, serta norma-norma yang sangat mengedepankan pelestarian fungsi lingkungan. Nilai-nilai tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat, menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam, memberi landasan yang kuat bagi pengelolaan lingkungan hidup, menjadikan hubungan antara manusia dengan alam menjadi lebih selaras dan harmoni sebagaimana di tunjukkan dalam pandangan manusia pada fase pertama evolusi hubungan manusia dengan alam. Pada saat itu kondisi alam dengan berbagai unsur sumberdayanya dapat terpelihara dan terjaga keseimbangannya, sehingga alam benar-benar berfungsi mendukung kehidupan manusia atau masyarakat di sekitarnya sebagian contoh kearifan lokal yang sangat ramah lingkungan dan berdampak positif bagi kehidupan warga masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan realitas sosial yang tidak saja membuktikan bentuk-bentuk tanggung jawab etika dan moral, wujud dari keserasian dan keselarasan hubungan antara manusia dengan alam, akan tetapi juga menunjukkan bahwa secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami lingkungannya, menjalin ikatan yang sedemikian dekat dengan alam.

Tradisi larung sesaji di pantai Watu Ulo Jember salah satu kearifan lokal yang merupakan kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan mampu mempertebal kepaduan sosial warga masyarakat, serta secara empiris mampu mencegah terjadinya kerusakan. Pantai Watu Ulo mungkin sudah menjadi maskot tujuan wisata, sehingga jika dalam acara-acara tertentu seperti tahun baru atau malam takbir menjelang Idul Fitri dan Idul Adha pantai ini selalu dipadati pengunjung. Biasanya, selama 10 hari sejak hari pertama Lebaran digelar berbagai hiburan dan penjualan produk kerajinan lokal.

Seiring dengan pandangan antroposentris yang mulai mewarnai sikap dan perilaku manusia, maka hubungan yang harmoni antara manusia dengan alam mulai berubah. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran, sedangkan pemikiran dan nilai-nilai tradisional yang tidak memiliki otoritas ilmiah tidak dianggap sebagai sumber kebenaran. Bahkan dengan gencarnya pembangunan yang menggunakan teknologi tinggi dan cenderung eksploitatif, dan kuatnya pengaruh budaya modernisme, seringkali mengakibatkan semakin pudarnya penghayatan nilai-nilai budaya tradisional disatu sisi, namun disisi lain diduga masih terdapat kearifan-kearifan lokal yang mampu mempertahankan eksistensinya, mampu memelihara, menjaga, dan melestarikan sumberdaya alam (baik lahan, hutan, maupun air) untuk mendukung kehidupan secara berkelanjutan.

1.2 Tujuan
·     Untuk lebih mengenal budaya-budaya yang ada di Indonesia
·     Untuk mengetahui sejarah tentang Pantai Watu Ulo, Jember
·     Untuk mengetahui tradisi budaya yang ada di Pantai Watu Ulo, Jember

1.3 Rumusan Masalah
·     Mengapa disebut Pantai Watu Ulo?
·     Apa saja tradisi yang dilaksanakan di Pantai Watu Ulo?
·     Bagaimana upacara Larung Sesaji berlangsung?


PEMBAHASAN

Pantai Watu Ulo adalah sebuah pantai yang terletak di pantai selatan Jawa Timur, tepatnya di desa Sumberejo, kecamatan Ambulu, Jember, kira-kira 40 km di sebelah selatan kota Jember. "Watu Ulo" berarti "batu ular" dalam bahasa Jawa. Nama ini mengacu pada rangkaian batu karang yang memanjang dari pesisir pantai ke laut.

Pada saat musim air pasang, ombak pantai Watu Ulo cenderung ganas dan pihak pengelola melarang pengunjung untuk mandi di pantai. Sebab, laut selatan Jawa ini terkenal ganas dan memiliki ketinggian ombak yang bisa mengancam keselamatan jiwa.

Konon, pantai ini memiliki legenda tersendiri. Menurut Kepala Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember, Arief Tjahjono SE, justru legenda itulah yang bisa menjual bersamaan dengan potensi alamnya itu sendiri. Wisata pantai Watu Ulo, berasal dari suatu legenda besar Indonesia, yaitu seekor ular besar yang menguasai bumi Mataram dulu. Karena mengganggu, maka ular itu dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga, kepala ada di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), badannya ada di Parangtritis (Jogjakarta) dan ekornya di Jember. Ekor ini seakan berupa ekor ular naga yang menjorok ke laut dan seperti ada sisiknya.

Keunggulan lain Watu Ulo adalah dari segi fisiknya karena punya nuansa mistis dengan Nyi Roro Kidul-nya. Tidak ada legenda pantai utara, tetapi yang ada adalah legenda pantai selatan. Ini adalah daya tarik sendiri, karena laut selatan Jawa memiliki banyak cerita rakyat. Lantaran punya predikat legenda pantai selatan, konon pengunjung tidak boleh memakai pakaian warna hijau jika bermain di pantai Watu Ulo. Pakaian hijau akan menarik perhatian penguasa laut selatan bernama Nyi Roro Kidul, dan akan disambar ombak yang diyakini akan dijadikan salah satu pelayan penguasa pantai selatan tersebut. Bahkan, penduduk yang tinggal di pesisir selatan Jawa sebagian percaya tahayul tersebut. Nyi Roro Kidul adalah sosok yang dipercaya memberikan rezeki di laut  selatan. Larung sesaji menjadi bagian ritual untuk menghormati sang penguasa laut itu.

Panorama alam keindahan pantai dengan gugusan karang di tengah laut yang merupakan ciri khas Pantai Watu Ulo. Acara tradisi yang dilakukan disini adalah pada setiap 1 Syawal sampai dengan 10 Syawal yang merupakan acara tradisi dalam rangka memberikan hiburan bagi masyarakat Jember pada umumnya yang disebut dengan Pekan Raya Watu Ulo. Ada lagi acara lainnya yaitu Larung Sesaji Pantai Watu Ulo, yang diselenggarakan pada tanggal 7 Syawal atau pada saat hari raya ketupat, ditujukan sebagai maksud untuk melampiaskan rasa syukur bagi penduduk Sumberrejo sendiri. Dalam upacara ini masyarakat nelayan setempat melemparkan sesaji ke laut. Setelah agama Islam masuk, budaya larung sesaji mendapat sentuhan warna agama.
Pada zaman kependudukan Jepang, pegunungan di sekitar pantai ini dijadikan benteng pertahanan dan pengintaian bala serdadi sekutu yang mau menyusup ke daratan melalui pantai. Benteng Jepang yang berjumlah lima buah demikian disebut dengan Goa Jepang dan sekarang dijadikan obyek wisata juga yang banyak dikunjungi di sekitar Pantai Watu Ulo. Di samping Goa Jepang sendiri, sebelahnya Pantai watu Ulo juga terdapat Goa Lowo yang dihuni ratusan ribu kelelawar. Goa ini bisa dimasuki oleh wisatawan dengan menyusuri dan melewati pantai berpasir karena tempatnya yang sunyi dari keramaian, apalagi mengingat goa ini mempunyai kedalaman 100meter.
Obyek wisata Watu Ulo dapat ditempuh dengan menggunakan segala jenis transportasi, kendaraan pribadi roda dua dan roda empat pun juga bisa, karena jalan menuju kolasi ini sudah beraspal semua. Banyak fasilitas yang disediakan disini, seperti area berkemah, taman bermain, kios souvenir, kamar mandi, musholla, tempat parkir, warung makan, dan juga tempat penginapan mulai dari penginapan yang disediakan penduduk sekitar ataupun hotel-hotel.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil makalah ini adalah kearifan lokal dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik di dalam suatu masyarakat dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu, serta memiliki nilai-nilai tradisi atau ciri lokalitas. Sebagai contoh mitos pantai Watu Ulo di Jember yang juga memiliki legenda tersendiri. Menurut legenda besar Indonesia, mitos itu dimulai dengan seekor ular besar yang menguasai bumi Mataram dulu. Karena mengganggu, maka ular itu dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga, kepala ada di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), badannya ada di Parangtritis (Jogjakarta) dan ekornya di Jember. Ekor ini seakan berupa ekor ular naga yang menjorok ke laut dan seperti ada sisiknya. Keunggulan lain Watu Ulo adalah dari segi fisiknya karena punya nuansa mistis dengan Nyi Roro Kidul-nya.

Selain dari mitos legenda pantai Watu Ulo tersebut, terdapat juga acara tradisi yang biasa disebut Larung Sesaji dimana memiliki arti untuk melampiaskan rasa syukur bagi penduduk setempat. Dalam upacara ini masyarakat nelayan setempat melemparkan sesaji ke laut.

DAFTAR PUSTAKA

http://jawatimuran.wordpress.com/2012/03/27/pantai-watu-ulo-di-jember/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Watu_Ulo
Eprints.undip.ac.id/28459/1/BAB1_SISWADI.pdf
http://www.1001wisata.com/watu-ulo-jember/





Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia

Makalah Sosial Budaya Pesisir
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
Di Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai bangsa. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.

Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat Orang Dayak di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.

Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di Indonesia.

1.2            Rumusan Masalah
   a.     Bagaimanakan cara pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat ?
   b.     Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal ?
   c.      Bagaimana karakteristik sosial dan sistem pengetahuan masyarakat pesisir?

1.3            Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui cara pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat, kearifan lokal masyarakat pesisir serta karakteristik sosial dan sistem pengetahuan masyarakat pesisir.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM)
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini tidak efektif pelaksanaannya. Beberapa kelemahan ini adalah bahwa PSPBM ini tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas. bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi, serta tingginya biaya institusionalisasinya. Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat, namun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cenderung makin berkurang, interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah alasan terjadinya kegagalan pengelolaan perikanan yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya serta adanya kemiskinan.

Meskipun demikian, saling berinteraksi antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri.

2.2 KearifanLokal/Tradisional
Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Etika yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat.

Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhlukintegral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme.

Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.

2.3 Karakteristik Sosial dan Sistem Pengetahuan Masyarakat Pesisir
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan sumberdaya yang mereka hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun relatif kecil.

Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibanding dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini berarti jenis-jenis matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja. Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.

2.4 Mengenal Kearifan Lokal di Beberapa Daerah
Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:

1.       Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan meliputi:
a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya.
b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya.
c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu.

2. Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan
Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai yang secara berkala atau terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat bibit ikan atau biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan hak pengelolaan perairan umum (lebak lebung).

3.  Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan
Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan modal (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasa berorientasi pada skala usaha perikanan); sedangkan Sawi, bekerja pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma sosial dan kesepakatan kerja. Pada sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk menyerahkan atau menjual hasil tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan mekanisme pembayaran pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi mempunyai pinjaman.

4. Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara
Kearifan tradisional Pamali Mamanci Ikang dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (pesisir dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan cumi-cumi menyangkut pada beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri. Pengaturan Pamali Mamanci Ikang merupakan suatu kebijakan yang arif walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah di tingkat desa. Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan musim cengkeh, dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan pertanian dan perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari), sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat dalam panen tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut.

Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya masyarakat petani juga ikut merasa dibantu

5. Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui kesepakatan-kesepakatan lokal.

6. Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.

a.       Dasar Hukum & Kelembagaan Sasi
Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri’a Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan peraturan sasi tersebut. Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang Kepala Kewang Darat;
2. Seorang Kepala Kewang Laut;
3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5. Seorang Sekretaris
6. Seorang Bendahara
7. Beberapa orang Anggota.

Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a) mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar; (b) melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya; (c) menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi; (d) memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta (e) menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

b.Jenis - Jenis Sasi
Di negeri Haruku, dikenal empat jenis sasi, yaitu Sasi Laut, Sasi Kali, Sasi Hutan, Sasi Dalam Negeri.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa point sebagai berikut:
1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini tidak efektif pelaksanaannya
2. Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam
3. Masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak.
4. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah antara lain; (1) Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam, (2) Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan, (3) Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan, (4) Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara, (5) Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB (6) Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku.

3.2 Saran
Diharapkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari kewenangan pemerintah, namuntidak berarti masyarakat tidak memiliki kontribusi dan partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.



DAFTAR PUSTAKA

Bono. B. P. dan Pulungun. M. S., 2010, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang, http://dte.gn.org…/makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.
Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Memuliskan,
UNDIP, Semarang.
 http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2012/02…
 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct…
 http://www.kewang-haruku.org/sasi.html
 http://pusaka.info/artikel/13-kearifan-l…
 http://www.ulayat.or.id/publication/arti…