Tuesday, December 8, 2015

Upacara Lelabuhan di Baron, Yogyakarta

MAKALAH
Upacara Lelabuhan di Baron, Yogyakarta



disusun untuk memenuhi tugas Sosial Budaya Pesisir
yang dibina oleh Bapak Dr. Ir. Ismadi, MS.



Oleh :
Selvi Aniati
Afrita Ayu Sri H.
M. Bagus K.
Anthon A.
Khoirotunnisa’
Siddiq Pratomo
Yusrina Rizqi A
Cahyo Agung S



PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN dan ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Desember 2012




KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya kepada kami semua sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Upacara Lelabuhan di baron, Yogyakarta”  ini dengan baik dan tepat waktu sebagai proses pemenuhan tugas Sosial Budaya Pesisir. Tak lupa shalawat serta salam selalu kami tujukan kepada junjungan kami, Nabi besar Muhammad SAW karena beliau-lah yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang sangat maju peradabannya.

            Makalah ini berisikan tentang penjelasan mengenai salah satu traidisi yang berkembang di Indonesia, yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan. Dan kemudian diharapkan pembaca dapat mengetahui mengenai upacara Lelabuhan tersebut serta dapat ikut melestarikan salah satu potensi budaya bangsa Indonesia tersebut.

            Dan tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan artikel ilmiah ini dari awal sampai akhir hingga terselesaikannya artikel ilmiah ini dengan baik.

            Kami menyadari bahwa artikel ilmiah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan artikel ilmiah ini.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1             Latar Belakang
Ketika terbentuk suatu komunitas, tumbuh pula adat dan tradisi yang mengiringinya. Tradisi ini kemudian menjadi ciri khas yang membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Ia tak sekedar berkembang dengan nilai-nilai yang melekat pada dirinya, namun acap kali dipengaruhi oleh nilai-nilai dari luar, baik atau buruk.

Di tengah kita banyak sekali tradisi yang berkembang misal “sedekah” laut, “sedekah” bumi dan lain-lain. Seperti halnya saja di Yogyakarta, sebagian masyarakatnya masih berkeyakinan animisme yakni kepercayaan pada peranan makhluk atau roh-roh halus (anima). Dalam mewujudkan keyakinan mereka, mereka melakukan ritual “lelabuh sesaji”. Yakni upacara yang dibuat untuk mempersembahkan uborampe (perlengkapan sesaji) kepada yang mbaurekso (penunggu). Dengan ini mereka berharap mendapat keselamatan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik. Mereka juga berharap agar yang mbaurekso tidak marah dan menimpakan musibah atau malapetaka kepada mereka.

Dalam pelaksanaan ritual ini, ternyata terdapat pratek-praktek yang menyelisihi agama. Misalnya saja meminta perlindungan atau pertolongan kepada makhluk halus yang diyakininya, hal ini sama saja berdo’a kepada selain Allah subhanahu wa ta’alla dan merupakan suatu kesyirikan. Dalam makalah ini kami mencoba mengenalkan tradisi lelabuhan yang telah melekat pada sebagian masyarakat Yogyakarta.

1.2             Rumusan Masalah
   a)     Apakah yang disebut dengan upacara Lelabuhan dan dimana upacara tersebut       dilaksanan?
    b)    Bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan?
    c)     Bagaimana pandangan masyarakat mengenai upacara lelabuhan?

1.3             Tujuan
Agar masyarakat mengetahui salah satu tradisi yang masih dilaksanakan di daerah Yogyakarta dan diharapkan dapat ikut menjaga serta melestarikan tradisi tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1            UPACARA LABUHAN PANTAI SELATAN
Salah satu bentuk upacara labuhan pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, Gunung Kidul. Upacara tradisional itu diberi nama upacara Tradisional Labuhan. Istilah Labuhan berasal dari kata labuh yang menurut kamus umum Indonesia berarti membuang atau mencampakan ke air. Arti ini hampir sama dengan kata labuh dalam bahasa Jawa yang berarti ngudunake. Dalam hubungannya dengan upacara tradisional, yaitu upacara tradisional labuhan di Pantai Baron, berarti memberi sesaji kepada penguasa Laut Selatan, yang menurut kepercayaan sebagian warga masyarakat setempat ialah Kanjeng Ratu Kidul.
Kegiatan upacara tradisional labuhan sudah lama dikenal dan dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Kemadang dan juga sebagian masyarakat dari daerah lain. Menurut informasi yang dikumpulkan, setiap upacara tradisional labuhan dilaksanakan, maka banyak pendatang dari daerah lain ikut menjadi pendukung upacara tersebut. Sebagian di antara mereka mempunyai kepentingan atau hajat tertentu, dan sebagian yang lain membayar nazar atau sebagai sarana mengucapkan terima kasih atas terkabulnya hajat mereka.
Upacara tradisional labuhan di pantai Baron tidak ada tahap-tahapnya. Dengan pengertian tidak dikenal adanya istilah-istilah khusus untuk menyebut tahap-tahap didalamnya. Apabila dilihat dari proses penyelenggaraannya, rangkaian upacara tradisional labuhan itu berlangsung dua tahap, yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan upacara.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan adalah kegiatan sebelum upacara dimulai. Ada dua macam kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa atau pejabat setampat, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh keluarga keturunan Ki Tirtasegara beserta warga masyarakat Upacara Labuhan. Kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa setempat, sebenarya cukup banyak. Akan tetapi kegiatan itu terlepas dari kegiatan Upacara Labuhan dan umumnya hanya terkait dengan masalah-masalah pengembangan wisata. Seperti kegiatan menyiapkan penampungan pengunjung, menyiapkan berbagai pertunjukan dan sebagainya.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh ahli waris keluarga keturunan Ki Tirtasegara beserta warga masyarakat setempat pendukung upacara, tidak terlalu banyak. Kegiatan awal yang mereka lakukan diantaranya mengadakan komunikasi antara satu dengan yang lain. Intinya saling mengingatkan bahwa upacara tradisional labuhan sudah semakin dekat. Disamping itu, mereka mulai mencatat siapa saja yang akan ikut berkorban dan jenis binatang apa yang akan dikorbankan. Kegiatan seperti ini pada umumnya mulai mereka lakukan awal bulan maulid atau dua minggu sebelum pelaksanaan upacara, dan berlangsung sampai malam tirakatan.
Setiap warga desa kemadang menyelenggarakan kegiatan upacara tradisional labuhan di pantai baron, belum pernah dibentuk satu kepanitiaan secara resmi. Dalam hubungan ini ahli waris keluarga keturunan Ki Tirtasegara secara turun temurun, sudah mendapat kepercayaan penuh dari warga masyarakat setempat untuk mengkoordinir dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara tradisional labuhan. Disisi lain, warga masyarakat sendiri, terutama pendukung upacara, secara sadar akan memenuhi tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Hal ini dapat dipahami, karena pada umumnya mereka mempunyai suatu kepercayaan, bahwa keterlibatannya dalam kegiatan upacara tradisional labuhan itu akan memberikan berkah.
Mengenai masalah pembiayaan, bahan-bahan sesaji, baik yang berupa hewan korban maupun bumbu masak,dan peralatan atau  perlengkapan untuk kegiatan upacara labuhan, sejak dulu sampai dengan penyelenggaraan taun ini, belum pernah ada masalah. Untuk keperluan ini, dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan penyelenggaraanupacara labuha. Ada yang membelikan seekor ayam, sejumplah bumbu, seekor kambing, seikat kayu bakar dan lain sebagainya.
Rangkaian dalam upacara tradisional labuhan dapat diperinci sabagai berikut. Pertama kegiatan malam tirakat, ke dua kegiatan masak dan mempersiapkan sesaji, ke tiga kegiatan melabuh sesaji d pantai baron, ke empat kegiatan selamatan penutup.
Kegiatan malam tirakatan
Menurut tradisi, malam hari sebelum siang harinya dilaksanakan upacara tradisional labuhan, maka terlebih dulu dilaksanakan malam tirakatan. Kegiatan ini dimulai pukul 00.01 tanggal 10 sura dan berlangsung hingga fajar menyingsing, kurang lebih pukul 04.30 pagi. Dalam upacara labuhan ini, kegiatan malem tirakatan diikuti hamper seluruh peserta upacara. Mereka bersama-sama kumpul di rumah peninggalan Ki Tirtasegara. Para peserta tirakatan dipompin sesepuh penanggung jawab upacara yaitu Ki Rejotambak, semalam suntuk tidak tidur disertai memanjatkkan do’a, memeohon kepada yang maha kuasa agar upacara labuhan yang akan dilaksanakan esok sorenya berjalan lancer dan tidak ada halangan.
Disamping itu, sebagian diantara peserta tirakatan, sudah ada yang mulai bekerja, khususnya memilah-milah bumbu dan menyiapkan perlengkapan untuk memasak esok harinya. Dalam upacara tradisional labuhan, kegiatan masak dalam mempersiapkan sesaji termasuk kegiatan yang cukup penting dan mempunyai rangkaian yang padat. Kegiatan-kegiatan itu, secara berurutan bias disebutkan sebagai berikut, pembakaran kemenyan dupa oleh pemimpin upacara. Pembakaran kemenyen dupa oleh pemimpin upacara adalah merupakan tanda dimulainya kegiatan memasak dan menyiapkan sesaji. Kegiatan ini dilaksanakan di lumbung peninggalan Ki Tirtasegara kurang lebih pukul 05.00, sebagai upaya untuk mengadakan kontak gaib dengan penguasa laut selatah, Kanjeng Ratu Kidul. Maksudnya untuk meminta restu, agar kegiatan memasak dan menyiapkan sesaji berjalan dengan lancer, tidak ada halangan.
Setelah pemimpin upacara selesai mengadakan konyak gaib dengan penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, maka segera menyusul kegiatan penyembelihan korban,memasak sekaligus menyiapkan sesaji. Di dalam pelaksanaannya, kegiatan ini termasuk unik dan sangat menarik untuk diperhatikan, karena semua kegiatan tersebut, termasuk memasak, ditangani kaum lelaki. Meski demikian mereka cukup trampil, penuh rasa tanggung jawab dan dapat bekerja secara gotong royong, sehingga segala kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yg telah ditentukan.
Adapun sesaji yang dihasilkan ada sua macam, yaitu sesaji yang dilabuh dan sesaji selamatan setelah acara labuhan. Sesaji yang dilabuh secara garis besar terdiri dari, kepala, wit, kaki, dan sedikit darah hewan yang dijadikan korban, nasi tumpeng beserta kelengkapannya, kinangan lengkap, bumbu masak lengkap, dan lain sebagainya. Sedangkan sesaji yang digunakan untuk selametan setelah upacara tradisional labuhan adalah nasi ambeng beserta lauk pauknya, dalam hal ini termasuk daging korban, baik dimasak sate maupun gulai.
2.2             PELAKSANAAN UPACARA
Pada awalnya, kegiatan melabuh sesaji di pantai baron ini cukup sederhana. Akan tetapi sejak tahun 1979, yaitu sejak pemerintah daerak tingkat II kabupaten gunungkidul ikut memanfaatkan untuk kepentingan wisata sampai saat ini, maka kegiatan melabuh sesaji di pantai baron mengalami pengembangan, meskipun belum mengurangi sifat sakralnya.
Salah satu kegiatan yang bersifat baru itu ialah acara penyambutan secara resmi oleh pemerintah daerah tingkat II kabupaten gunungkidul yang ditempatkan di pesanggrahan khusus. Dalam acara penyambutan ini, selain ada seorang dari bupati kepala daerah tingkat II kabupaten gunungkidul, juga dibacakan mengenai sejarah ringkas awal mulanya upacara labuhan dilaksanakan.
Selanjutnya setelah upacara penyambutan selesai, para peserta upacara dengan membawa sajian yang akan dilabuh, bersama-sama menuju kekaki gunung Komang untuk mengadakan upacara labuhan. Setelah mereka sampai di gunung komang, Ki Rejotambak sebagai pimpinan upacara, segera membakar kemenyan dan memenjatkan do’a atas nama pera peserta yang intinya memohon kepada Kanjeng Ratu Kidul agar korbannya diterima serta mereka diberi keselamatan dan murah rejeki.
Setelah pembacaen doa selesai, mulailah Ki Rejotambak mulai melabuh sesaji ke dalam laut yang diikuti oleh para peserta lainya, terutama yang ikut berkorban. Maka selesailah acara melabuh sesaji ke pantai baron. Kegiatan selamatan penutup pada dasar nya adalah merupakan suatu tanda, bahwa rangkaian kegiatan upacara tradisional labuhan selesai. Selamatan ini dilaksanakan setelah kegiatan melabuh di pantai, dan diikuti oleh semua peserta upacara labuhan. Bahkan ada jugga beberapa orang yang tidak mengikuti upacara labuhan  namun ikut hadirdalam selamatan penutup. Hal yang demikian itu  tentunya dipahami, karena dikalangan masyarakat desa kemandang dan di deberapa masyarakat lain telah tumbuh satu kepercayaan bahwa nasi berkat dan lauk-pauk, terutama tulang hasil selamatan ini memiliki khasiat yang cukup ampuh, diantara khasiat itu ialah dapat menambah rejeki, mengobati penyakit, menolak balak bagi pemiliknya. Oleh karena itu, nasi dan tulang hasil berkatan dari selamatan tersebut banyak yang di keringkan dan disimpan.
Ki Titrtasegara adalah merupakan tokoh pertama atau cakal bakal masyarakat desa kemadang. Mengenai siapa sebenarnya Ki Tirtasegara itu dan bagaimana ia dapat sampai di desa kemandang, juga belum dapat dijelaskan secara pasti, karena sampai saat ini, belum ditemukan keterangan yang meyakinkan.
Menurut keterangan dari beberapa warga masyarakat bahwa Ki Tirtasegara itu termasuk prajurit perang diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro ditipu dan ditangkap oleh Belanda, beliau tidak mau menyerah, tapi justru melarikan diri ke daerah jawa timur yaitu di desa kemandang sekarang. Di tempat inilah Beliau beserta ba=eberapa pangikutnya membuka hutan dan kemudian menetap, sehingga daerah ini makin lama semakin ramai.
Berselang beberapa lama setelah Ki Tirtasegara berserta pengikutnya menetap di daerah Kemadang, maka terjadi peristiwa yang tidak menyenangkan yaitu pageblug. Pada saat itu banyak orang menderita kelaparan, sakit dan selanjutnya meninggal dunia. Menurut istilah setempat esok loro sore mati, sore loro esok mati. Artinya pagi sakit, sore meninggal, sore sakit, pagi meninggal. Peristiwa ini terjadi kira-kira pada tahun 1844 H atau 1913 Masehi.
Mengetahui keadaan yang demikian itu, orang yang dikenal dengan sebutan Ki Tirtasegara tersebut melakukan semedi di Gunung Komang, untuk memohon kepada yang maha kuasa agar pageblug yang menimpa masyarakat desa kedungsatam segera hilang. Di dalam keadaan semedi, Ki Tirtasegara mandapat wangsit bahwa permohonannya dikabulkan, namun sebagai saranya agar ia beserta masyarakat setempat menyalenggarakan upacara labuhan. Sesuai dengan wangsit yang telah diterima, maka pada tanggal 14 bulan mauled tahun 1844, Ki Tirtasegara dan dibantu oleh sepupunnya yang menjabat sebagai kepala desa, yaitu Ki Abdul Kasan, mengkoordinir warga masyarakat desa kemadang untuk mengadakan upacara labuhan.
Terlepas dari kebenaran keterangan diatas, teryata sampai sekarang meskipun Ki Tirtasegara telah tiada, Beliau masih tetap dihormati dan upacara tradisional labuhan di pantai baron masih tetap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya setahun sekali. Adalah satu kenyataan yang tidak dapat di pungkiri lagi bahwa kepercayaan terhadap roh-roh halus dan tempat-tempat yang dianggap keramat masih merupakan bagian dalam kehidupan orang jawa termasuk orangjawa yang berada di desa kemadang. Upacara labuhan di pantai baron yang berlangsung selama ini, menurut sebagian masyarakat setempat mempunyai maksud untuk memuliakan Kanjeng Ratu Kidul yang bersemayam di laut selatan pantai baron gunung kombang, karena dianggap keramat. Tujuan upacaraitu, pada hakekatnya untuk mendapat keselamatan. Yanf dimaksud di sini adalah selamat dari gangguan makhluk halus, hidup tentram dan mudah mencari rejeki.
Upacara taradisional labuhan di pantai baron yang diselenggarakan setahun sekali itu, penyelenggarakannya berdasarkan kalender jawa, yaitu setiap tanggal 14 maulid. Penetapan tanggal dan bulan ini, menurut para sesepuh masyarakat setempat yangberhasil diwawancarai, atas dasar petunjuk almarhum Ki Tirtasegara. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat setempat dan sekaligus cikal bakal desa kemadang yang telah menerima wisik tentang upacara labuhan ketika sedang semedi. Oleh karena itu, sejak pertamakali upacara labuhan diselenggarakan sampai saat ini, tanggal dan bulan penyelenggaraannya belum ada perubahan.
Adapun mengenai jamnya penyelenggaraan upacara, sejak dulu sampai sekarang, pada prinsipnya tidak ada perubahan. Akan tetapi, sejak penyelenggaraan upacara labuhan dikaitkan dengan usaha pengembangan wisata oleh pemerintah aerah tingkat II kabupaten gunungkidul, da kegiatan yang jam pelaksanaannya sering berubah-ubah yaitu kegiatan melabuh dan kegiatan selametan penutup. Meski demikian, perubahan tersebut tidak terlalu bergeser jauh. Artinya, perubahan pelaksanaan nya hanya bergeser sekitar 30 menit sampai 60 menit.
Waktu pelaksanaan kegiatan-kegiatannya biasanya dapat disebutkan sebagai berikut: malam tirakatan pelaksanaannya pukul 00.01 sampai pukul 05.00 tanggal 13 malam tanggal 10 sura, kegiyatan masak, yaitu mulai pemotongan korban hingga selesainya mampersiapkan sesaji pelaksanaannya pukul 05.00 sampai dengan pukul 14.00, kegiatan melabuh sesaji di gunung kombang, pelaksanaannya pikul 16.00. selamatan penutup, palaksanaannya pukul 18.30.
Seluruh rangkaian kegiatan upacara tradisional labuhan penyelenggaraannya bertempat di wilayah desa kemadang kecamatan tanjungsari kabupatan gunungkidul. Secara terperinci, tempat-tempat kegiatan penyelenggaraan upacara itu dapat disebutkan satu persatu sebagai berikut. Sejakpertamakali upacara labuhan dilaksanakan sampai dengan upacara tahun ini, sudah dua tempat yang pernah digunakan untuk kegiatan tirakatan. Pertama, ditengah hutan yaitu 12km dari tepi pantai gunung kombang kea rah timur laut. Tempat ini digunakan untuk malam tirakatan sewaktu upacara labuhan dipimpin oleh Ki Tirtasegara dan penggantinya yaitu cucu beliau Ki Ajipraya.
Kedua, dirumah peninggalan KiTirtasegara yang terletak didusun banjarsari. Perpinfahan dari tengah hutan ke rumah peninggalan Ki Tirtasegara ini berlangsung sejak pemimpin upacara dipegang oleh Ki Rejotambak sampai saat ini. Adapun alasannya, bahwa ditengah hutan itu banyak gangguannya, baik gangguan muhluk halus maupun dari penonton upacara. Oleh karena itu, beliau menganggap lebih aman jika malam tirakatan dilaksanakan dirumah peninggalan Ki Tirtasegara.
Untuk tempat memasak dalam hal ini termasuk memotong hewan korban dan mempersiapkan sesaji, sejak pertamakali upacara labuhan dilaksanakan sampai dengan upacara tahun ini, adalah sama dengan tampat tirakatan. Pertama, sewaktu upacara dipimpin oleh Ki Tirtasegara dan penggantinya Ki Ajipraya, tepat di tengah hutan yaitu 1,5km dari tepi panttai gunung kombang kearah timur laut. Kedua, sejak upacara di pimpin oleh Ki Rejotambak sampai dengan saat ini, tempat kegiatan memasak di pindah kerumah peninggalan Ki Tirtasegara di dusun banjarsari desa kemadang.
Berbeda dengan tirakatan dan tempat memasak, untuk tempat melabuh ssaji, sejak pertama kali upacara labuhan diselenggarakan sampai saat ini, belum pernah terjadi perubahan yaitu di laut selatan dekat pantai gunugng kombang. Dipilihnya pantai gunung kombang sebagai tempat untuk melabuh sesaji, menurut keterangan para sesepuh masyarakat setempat, adalah atas dasar petunjuk Ki Tirtasegara. Tempat ini sangat dikramatkan oleh masyarakat setempat, karena menurut kepercayaan merreka, didasar laut dekat gunung kombang terdapat lorong atau terowongan yang disebut Watu Lawang yang dapat menghubungkan atau sebagai pintu pertama untuk manuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul.
Upacara tradisional labuhan ini sejak dulu sampai sekarang, penyelenggaraannya selalu dilaksanakan bersama-sama oleh keluarga keturunan Ki Tirtasegara dengan sebagian warga masyarakat kemadang. Hal ini karena mereka semuanya merasa mempunyai tenggung jawab dan berkepentingn atas lestarinya upacara labuhan.
Adapun penyelenggaraan tknis dalam rangkaian kegiatan pelaksanaan upacara labuhan itu dapat disebut sebagai berikut, yang dimaksud pemimpin dan penanggung jawab upacara labuhan ialaah orang yang bertanggung jawab, memimpin dan mengatur seluruh rangkaian upacara tersebut. Seperti yang telah teruraikan dibangian terdahulu. Oleh karena itu menurut tradisi, orang yang dipercaya memimpin upacara selalu salah satu diantara keluarga keturunan Ki Tirtasegara. Untuk upacara tahun-tahun ini orang yang dipercaya adalah Ki Rejotambak.
Perlu diperjelaskan disini, bahwa secara teknis, pemimpin dan penanggung jawab upacara, selain bertugas memimpin dan mengatur seluruh rangkaian kegiatan upacara labuhan, juga berkewajiban melaksanakan tugas-tugas lain yang sangat penting. Misalnya, member petunjuk pembuatan sesaji, mengikrarkan setiap kegiatan upacara dan lain sebagainya. Tentusaja dalam tugas ini beliau selalu dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya.
Jalannya Upacara
Jalannya upacara labuhan di pantai baron sejak pertama kali dilaksanakan oleh Ki Tirtasegara hingga sekarang mempunyai urutan-urutan tetap. Adapun jalanya upacara labuhan pantai baron dapat dituturkan sebagai berikut: pelaksanaan upacara labuhan dip anti baron diawali dengan adanya malam tirakatan. Pada pelaksanaan upacara labuhan 1981, malam tirakatan dilaksanakan pada tanggal 9 malam hingga tanggal 10 juli. Malam tirakatan tersebut mulai dilaksanakan sitengah hutan pantai baron. Tapi sejak sepeninggal Ki Ajipraya tidak dilakukan di hutan lagi.
Pada tanggal 9 malam hingga tanggal 10 suro, sejak sore hari rumah Ki Rejotambak telah dipenuhi oleh keluarganya dan tamu yang ngalap berkah. Sebagian besar peserta upacara tersebut dating dari luar desa kemadang. Pada malam hari para perserta upacara, khususnya para sesepuh yang merasa bertanggung jawab pada pelaksanaan upacara mengadakan malam tirakatan. Mereka tidak tidur semalam suntuk, untuk memohon kepada yang maha kuasa agar upacara brjalan lancer. Para perserta malam tirakatan harus dalam keadaan suci lahir maupun batin.
Pada pagihari kurang lebih pukul 05.00 malam tirakatan berakhir dan dilanjutkan dengan upacara memasak sesaji. Padasaat itu para wanita di rumah Ki Rejotambak dipersilahkan menginggalkan tekpat. Mereka baru diperbolehkan setelah upacara memasak telah selesai.
Sebelum melakukan kegiatan memasak, Ki Rejotambak mselaku pemimpin upacara melakukan suguh untuk Knjeng Ratu Kidul. Suguh tersebut dilakukan di dalam lumbung yang terletak di samping rumah. Adapun sajian suguh tersebut berupa kinangan lengkap. Maksud dantujuan suguh adalah memohon doa restu kepada Kanjeng Ratu Kidul agar kegiatan memasak sesaji dapat berjalan lancar.
Lebih kurang pukul 12.00 semua masakan telah matang, kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sajian untuk upacara labuhan, sajian untuk leluhur, dan sajian untuk selamatan setelah upacara selesai. Setelah pembagian sesaji telah selesai, semua wanita sudah diperbolehkan untuk kembali pulang. Saji-sajian untuk upacara labuhan dimasukan salam joli, sedangkan binatang korban dimasukan kedalam panjang ilang. Kemudian Ki Rejotambak sekeluarga beserta peserta upacara khusus yang laki-laki ganti pakaian untuk upacara yaitu pakaian adat Yogyakarta yang berupa baju surjan.
Kuranglebih pada pukul 14.00, setelah semua persiapan selesai, Ki Rejotambak sekeluarga beserta para peserta upacara yang lain naik kendaraan yang telah disediakan dihalaman rumah. Selanjutnya joli-joli yang berisi sesajian segara dinaikan ke dalam kendaraan khusus.
Lebih kurang pukul 14.30 rombongan sampai di pantai baron. Kedatangan disambut oleh pemerintahan tingkat II kabupaten gunungkidul. Kemudian pada pukul 15.30 semua peserta upacara yang telah membentuk barisan bersama-sama berangkat dari pesanggrahan munuju gunung kombang dengan membawa sesaji. Setibanya ditempat upacara tersebut Ki Rejotambak membakar kemenyan, kemudian para peserta upacara mengikutinnya. Saji-saji dibawa diletakan di dekatnya. Maksud pembakaran kemenyan tersebut adalah memberitahu kepada Kanjeng Ratu Kidul bahwa upacara labuhan segera dimulai, disamping itu juga agar korban yang dipersembahkan diterima serta mereka diberi ketentraman, keselamatan dan murah rezeki. Selanjutnya Ki Rejotambak melabuh sesaji ke laut yang diikuti oleh para peserta upacara yang lain.
Lebuh kurang pukul 17.00 sesaji yang dilabuhkan telah habis, dengan demikian upacara labuhan berakhir. Kemudian Ki Rejotambak beserta para peserta upacara yang lain segera menuruni gunung kombang menuju ke pesanggrahan. Setelah sampai di pesanggrahan rombongan Ki Rejotambak segera pulang untuk melaksanakan selamatan yang menutup semua rangkaian kegiatan upacara labuhan.
2.3 PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA LELABUHAN
Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Herskovits mamandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide (gagasan) yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari bersifat abstrak. Adapun perwujudannya berupa perilaku dan benda-benda bersifat nyata, misalnya perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, seni dan lain-lain. Yang semuanya untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat tak bisa lepas dari kebudayaan. Dalam kehidupanya akan selalu beriring dengan tradisi dan adat istiadat yang selalu mengiringinya. Sebagian masyarakat ada yang sudah berpikir modern dan tidak lagi terikat dengan hal-hal yang berbau mistis. Namun ada sebagiannya yang masih menaruh perhatian terhadap laku spiritual serta dipengaruhi hal-hal mistis. Mereka berkeyakinan akan adanya makhluk halus atau roh-roh disekitar yang dapat mempengaruhi kehidupannya.
Sebagaimana diketahui seseorang tidak ingin mendapatkan gangguan dalam kehidupannya. Maka untuk menggapai kabahagiaan yang mereka inginkan mereka melakukan laku spiritual sesaji. Hal ini sebagaimana apa yang diyakini oleh masyarakat Yogyakarta. Untuk mewujudkan harapan mereka, mereka melakukan sesajen. Sajen, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah makanan (bunga-bungaan dan sebagainya)yang disajikan untuk mahkluk halus. Dalam melakukan ritual tersebut mereka memiliki latar dan tujuan yang berbeda, dengan perbedaan dan ragam nama istilah tentumya.
Di antaranya di Laut Selatan, di sana terdapat prosesi adat laut yang dinamakan hajat laut. Pada acara itu seekor kerbau atau kepalanya beserta sesajian lainnya diantarkan kelaut. Upacara itu selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis menjelang Selasa atau Jumat kliwon pada bulan Muharrm (Sura). Selasa dan jumat dianggap sebagai hari nahas sehingga nelayan tidak boleh melaut. seperahunya dan menyerbu sesaji. Mereka berebut menciduk air laut di bawah dan itu di sekitar sesaji untuk disiramkan ke perahu masing-masing. Mereka percaya bahwa menyiram perahu dengan air akan mendatangkan berkah berupa hasil tangkapan ikan yang berlimpah dan dijauhkan dari malapetaka saat melaut. Uba rampe (materi isi) sesaji ternyata juga dicari orang. Konon,itu juga menjadi perlambang murahnya rezeki bagi yang mendapatkannya. Itulah pemuncak acara hajat laut yang ditunggu-tunggu para nelayan di kawasan itu.
Sementara itu, sekelompok lain melakukan upacara sedekah laut atau dikenal dengan acara “larung”, memberikan persembahan atau sesembelihan untuk “Nyai Roro Kidul”. Konon, dia adalah penguasa pantai selatan. Mereka bertujuan melestarikan hubungan raja Yogyakarta terdahulu dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Hal yang serupa itupun dilakukan di lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.

BAB III
PENUTUP

   3.1                          Kesimpulan
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Dalam kehidupannya masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan, tradisi, dan adat-istiadat. Nilai-nilai yang berkembang acap kali dipengaruhi dari luar, baik atau buruk. Hal inilah yang membuat kita harus selektip dalam mempratekkan tradisi dan melestarikannya.
Salah satu bentuk upacara labuhan pantai selatan yang terkenal adalah labuhan di Pantai Baron, Gunung Kidul. Kegiatan upacara tradisional labuhan sudah lama dikenal dan dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat Kemadang dan juga sebagian masyarakat dari daerah lain. Upacara taradisional labuhan di pantai baron yang diselenggarakan setahun sekali itu, penyelenggarakannya berdasarkan kalender jawa, yaitu setiap tanggal 14 maulid.

Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.  Masyarakat tak bisa lepas dari kebudayaan. Dalam kehidupannya akan selalu beriring dengan tradisi dan adat istiadat yang selalu mengiringinya. Mereka bertujuan melestarikan hubungan raja Yogyakarta terdahulu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Hal yang serupa itupun dilakukan di lereng merapi. Sesaji dipersembahkan kepada roh-roh leluhur yang diyakini bertempat tinggal di sekitar merapi. Dalam upacara tersebut banyak orang yang datang berbondong-bondong guna ngalap berkah. Mereka menyakini akan adanya kebarokahan pada benda-benda yang digunakan sebagai sesaji.
3.2    Saran
Secara umum pelaksanaan sudah cukup bagus, rakyat sangat antusias menyelenggarkan upacara ini dan Pemerintah juga sangat mendukung upacara ini. Hanya saja diperlukan antusias yang lebih dari para anak – anak muda setempat agar upacara ini dapat terus dilaksanakan dan tidak punah atau menghilang.
DAFTAR PUSTAKA
Bager. 2010. http://bager[dot]blog[dot]ugm[dot]ac[dot]id/ Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.50 WIB

Jogja Trip, 2012. http://www.jogjatrip.com/id/493/labuhan-di-ngrenehan. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.45 WIB

Mbah Karno, 2011. http://mbahkarno.blogspot.com/2011/11/upacara-labuhan-keraton-yogyakarta.html. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 pukul 09.30 WIB

Purwadi M. 2005. Upacara Tradisional Jawa:Menggali Untaian Kearifan Lokal. Pustaka Pelajar. Jakarta.

Rohmah, K. 2011. http://khozainu-rohmah.blog.ugm.ac.id/2011/11/10/tradisi-lelabuh-sesaji-dan-nilai-nilai-keimanan-pada-masyarakat-yogyakarta/


Pelanggaran Hukum Peraturan Perikanan (Ilegal Fishing)

MAKALAH
PELANGGARAN HUKUM PERATURAN PERIKANAN
(Ilegal Fishing)


Kondisi Sumberdaya Perikanan
Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini (sebagai sumber protein yang sehat dan murah) bisa terancam kelestariannya. Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO) memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995. Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan. Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya.

Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur dan plankton. Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transpalasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam.

Karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti. Dengan Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.

Pengertian Ilegal Fishing
llegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab Illegal fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem perairan akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional. Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang karang.

Pengertian illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktifitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang tersedia/berwenang. Dapat terjadi di semua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target species, alat tangkap yang digunakan dan exploitasi serta dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona jurisdiksi nasional maupun internasional.

Ilegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi jurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. yang bertentangan dengan peraturan nasinal yang berlaku atau kewajiban internasional.Yang dilakukan oleh kapal mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Pengertian Illegal Fishing merujuk kepada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Resposible Fisheries (CCRF).

Kegiatan Ilegal Fishing di Indonesia
Kegiatan Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan mengestimasi tingkat illegal fishing yang terjadi di WPP-RI, namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, (2005-2010) dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE (Exlusive Economic Zone) dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya, Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl.Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII).

Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.

Faktor Penyebab Terjadinya Ilegal Fishing
Yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini:

·      Pertama, Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.

·      Kedua, Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.

·      Ketiga, Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.

·      Keempat, Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.

·      Kelima, Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.

·      Keenam, Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah Kapal) Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.

·      Ketujuh, Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.

Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya dengan baik.

Penyebab Ilegal Fishing di Indonesia
Mengatur tentang perikanan dan segala tindak pidananya bagi yang melanggar, para pelaku illegal fishing masih terus melanjukan aksinya. Jika ditinjau kembali, ada banyak factor yang menyebabkan hal itu tejadi.

Salah satu diantaranya adalah kurang jelas dan tegasnya isi dari UU nomor 31 Tahun 2004 yang mengatur tentang Perikanan. Dapat dilihat pada Pasal 8 dan 9 dimana pelanggaran alat tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam kategori pelanggaran dengan denda hanya Rp 250 juta. Hal semacam itu, seharusnya masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat. Penguatan aspek legal itu terkait dengan tingginya tingkat pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing.

Beberapa pasal yang dianggap “abu-abu” menyangkut pidana dan pelanggran pada penggunaan alat tangkap dari UU Perikanan seperti pasal 85 dan 100. Pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan tersebut disebutkan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Sementara dalam ayat (2) disebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pasal 29 UU Perikanan tersebut dapat menimbulkan persaingan internal (perang) antar para nelayan Indonesia sendiri, karena semakin sedikitnya wilayah mereka untuk mencari ikan.

Selain factor perundang-undangan, ada beberapa factor lain yang menyebabkan para pelaku IF terus beraksi. Diantaranya :

1. Minimnya sarana, prasarana dan biaya operasional penyidik perikanan  dalam menangani kasus-kasus illegal fishing.
2. Tidak adanya dermaga yang disediakan khusus untuk tambat labuh Kapal Ikan Asing yang ditangkap, sehingga mereka ditempatkan di dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang ada sehingga mempengaruhi aktivitas rutin pangkalan/dermaga tersebut.
3. Belum tersedianya tempat yang secara khusus untuk menampung Anak Buah Kapal asing non yustisia selama menunggu pelaksanaan deportasi, sehingga mereka ditempatkan di lokasi yang terbuka dan kondisi ini dapat mengakibatkan larinya mereka karena sulitnya pengawasan.
4. Lamanya penahanan Anak Buah Kapal asing menimbulkan masalah sosial di kalangan masyarakat setempat dan petugas, seperti kekhawatiran akan terjangkitnya penyakit berbahaya yang dapat ditularkan oleh mereka
5. Daerah tidak memiliki dana yang cukup untuk biaya jatah hidup mereka selama penahanan dan tidak memiliki biaya untuk mendeportasikan mereka asing ke negara asal.
6. Pelaksanaan deportasi Anak Buah Kapal warga negara asing sampai saat ini belum sepenuhnya dilakukan oleh kantor Imigrasi selaku instansi yang berwenang, sehingga menjadi tanggung jawab instansi yang menangani kasus (Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Kalbar, LANAL pontianak POL AIR POLDA Kalbar dan PPN Pemangkat).

Signal berupa rambu hukum yang ada ternyata tidak menyurutkan langkah pelaku illegal fishing dan berusaha menghindari jeratan hukum dan segera menerbitkan perturan yang dapat dipedomani dalam penyelesaian masalah yang bersinggungan dengan illegal fishing. Oleh karena itu perlu bagi pemerintah untuk merubah isi undang-undang perikanan tersebut dan mulai menetapkan hukum yang tegas agar para nelayan Indonesia tidak menderita.

Kebijakan Nasional masalah Ilegal Fishing
Perikanan merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Indonesia yang sebagian tinggal di pesisir pantai. Sehingga banyak orang yang bergantung pada bidang ini. UU nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dibuat demi pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan dan dapat memberikan kejelasan dan kepastian atas segala tindak pidana dan untuk mendorong percepatan dinamika pembangunan yang menganut azas pengelolaan perikanan bertanggung jawab.

Bab XIII Pengadilan Perikanan, pasal 71 ayat (1) menyatakan : “ Dengan Undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan” merupakan indikator keseriusan pemerintah menangani pelanggaran perikanan. Hal ini menuntut kesiapan penegak hukum Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Perwira TNI AL, dan Pejabat PORLI bekoordinasi lebih intens lagi menangani tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan perikanan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan tindak pidana perikanan oleh majelis hakim. Semua sudah tercantum dalam Bab XV Ketentuan Pidana , termasuk denda seperti tercantum pada pasal 84-105, bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan RI melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/cara yang dapat merugikan/membahayakan kelestarian sumber daya ikan atau lingkungannya, pidana dengan hukuman penjara maupun didenda. Termasuk nahkoda kapal, ahli penangkapan, dan anak buah kapal, demikian pula dengan pemilik kapal perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan maupun operator kapal.

Meskipun sudah ada sanksi hukumnya, masih saja ada orang ataupun sekelompok orang yang menyalahi aturan hukum itu sendiri. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa Kawasan Negara Asia Pasifik juga terjadi hal yang sama. Illegal Fishing aau Unregulaed Fishing (IUU Fishing) merupakan salah satu bentuk penyalahan aturan terhadap UU perikanan yang marak terjadi di Indonesia dan beberapa negara di Asia-Pasifik. Merupakan kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. IUU Fishing dapat terjadi di semua kegiaan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan dan eksploitasi, serta dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional. Di tiap tahunnya Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat kerugian 31 M per tahunnya.

Pasal 26 ayat (1): Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.

Pasal 26 ayat (2): Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil.

Pasal 27ayat (1): Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kappa lpenangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untu kmelakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.

Pasal 27ayat (2): Setiap orang yang memiliki dan/atau pengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikananRepublik Indonesia wajib memiliki SIPI.

Pasal 27ayat (3): SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
Pasal 27ayat (4): Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.

Pasal 93 ayat (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikandi wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 104 ayat (2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.

Kerugian Ilegal Fishing

Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya dengan baik.

Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY(maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang dicuri dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 trilyun.

Langkah-langkah untuk mengatasi illegal fishing di antaranya:
1. Perbaikan regulasi atau pengaturan terhadap kapal-kapal asing. Diupayakan ada penegakan hukum yang lebih baik sehingga dapat  menimbulkan efek jera terhadap kapal illegal fishing.

2. Patroli oleh penegak hukum di Indonesia dengan serius dan secara terus menerus. Apabila hal ini dilakukan maka kesejateraan nelayan kecil akan meningkat. Menurut pengalaman, kata sekjen DKP : dengan adanya operasi di laut Natuna , pendapatan nelayan kita mejadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum adanya operasi. Ikan –ikan besar yang ditangkap nelayan asing sebelum adanya operasi, sekarang bisa ditangkap oleh nelayan kita.

3. Harus ada penguatan terhadap armada penangkapan ikan nasional. Terutama di bidang pengadaan kapal yang lebih besar dan teknologi yang lebih maju. Lemahnya nelayan di bidang permodalan menyebabkan nelayan tidak bisa berkembang. Diharapkan ada bank yang mau membantu nelayan dalam bidang permodalan. Tentunya dalam hal ini pemerintah bisa membantu dengan mengeluarkan peraturan kepada bank untuk mau terjun ke sector nelayan.

4. Mencukupi kebutuhan dasar nelayan di antaranya BBM.

5. Sarana dan prasarana : adanya tempat pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, cold storage . Apabila kebutuhan nelayan dapat dipenuhi dengan mudah secara otomatis kesejahteraan nelayan akan meningkat, sehingga bisa mengadakan ekspansi usahanya.

6. Diadakan upaya penyadaran terhadap nelayan kita agar tidak menggunakan alat-alat tangkap ikan yang bisa merusak ekologi dan bisa merusak siklus kehidupan ikan, sehingga sumber penghidupan nelayan bisa tetap terjaga.

Pencegahan
Berdasarkan permasalah yang ada maka dalam perumusan kebijakan  mengenai Ilegal Fishing hendaklah memasukkan empat langkah yang bisa digunakan untuk menanggulangi pencurian ikan oleh kapal asing (illegal fishing) yaitu dengan mengatur masalah perizinan, pengawasan, penegakan hukum di laut dan peningkatan ekonomi nelayan. Selain itu juga konsep kebijakan yang baru harus melihat secara komprehensif dari berbagai aspek antara lain masalah kedaulatan, keamanan, ekonomi dan citra sebagai bangsa yang besar. Ada beberapa solusi yang dapat diajukan sebagai alternatif dalam pemuatan perumusan kebijakan model Normatif yaitu perlunya penguatan sistem penegak hukum dengan membentuk semacam Badan Keamanan Laut yang merupakan gabungan dari berbagai instansi digabung menjadi satu, dibawah satu organisasi dan satu komando pengendalian. Badan ini menangani keamanan laut non militer, sedangkan fungsi pertahanan di laut tetap menjadi tugas pokok TNI AL. Perlu juga mengadakan pemutihan kapal-kapal ilegal untuk diberikan ijin, terutama pada kapal-kapal yang jelas identitasnya. Dengan pemberian ijin secara sah, maka semua kegiatannya akan termonitor dan terkendalikan serta dapat diketahui stok ikan sebenarnya. Pemerintah juga memperbaiki manajemen perikanan dengan menerapkan pengaturan musim penangkapan untuk jenis-jenis tertentu dan menetapkan daerah-daerah “sanctuary” untuk menjamin kelestarian. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan regulasi dan kebijakan yang semula pendekatannya “input restriction” atau pembatasan input menjadi “output restriction” atau pendekatan output, terutama untuk jenis Tuna dan Udang. Dengan pendekatan tersebut mekanisme perijinan lebih sederhana dan mudah pengawasannya.


DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar. 2012.  Pengertian Ilegan fishing. http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html

Astekita. 2012. Sejarah Ilegan Fishing http://astekita.wordpress.com/2011/04/06/illegal-fishing/

Fiqrin. 2012. Pengertian alat tangkap. http://fiqrin.wordpress.com/artikel-tentang-ikan/alat-tangkap-trawl/

Coremap. 2012. Solusi Ilegal Fishing http://regional.coremap.or.id/downloads/Materi_Illegal-fishing&solusinya.pdf
Zahudin K. 2012. Alat tangkap http://alattangkap.blogspot.com/2010/10/trawl.html

Adi P. 2012. Dampak Alat tangkap. http://sentikoadipermana-pelaut.blogspot.com/2010/11/alat-tangkap-trawl.html

Baharudin. 2012 Solusi alat tangkap. http://desasejahtera.org/artikel/131-legalisasi-trawl-di-perbatasan-kalimantan-timur-bagian-utara-merugikan-nelayan-dan-lingkungan.html