INDONESIA BUKAN NEGARA AGAMA
Banyak pihak
yang berpendapat bahwa Indonesia bukanlah Negara agama. Dengan alasan itu, maka
sering kali muncul pandangan, bahwa ajaran Islam tidak bisa diterapkan dalam
bidang kenegaraan. Bahkan, ada yang menganggap, penerapan Syariat Islam di
Indonesia, sebagai penyebab disentrigasi Bangsa. Ada juga yang beraksi menolak
campur tangan Negara dalam urusan agama, termasuk menolak UU No. 1/PNPS/1965
Tentang Penodaan Agama.
Bahkan, seorang tokoh Katolik,
Dr. Soedjati Djiwandono, pernah mengusulkan, agar Indonesia menjadi Negara
Sekuler dengan mengubah Mukaddimah UUD 1945. Gagasan ini ia tulis dalam sebuah
artikel yang berjudul “Mukaddimah UUD 1945 tidak Sakral” di Harian Suara Pembaruan,
(9 Februari 2004). Soedjati mengusulkan agar Indonesia secara terbuka menjadi
Negara sekular.
Cara pandang bahwa Indonesia
adalah Negara netral agama atau Negara sekular adalah sangat keliru. NKRI,
menurut pancasila dan UUD 1945 bukanlah negrara yang netral agama. Pancasila
dan UUD 1945 sangat erat dengan muatan Islamic Worldview (Pandangan
alam-Islam). Hilanganya tujuh kata dari UUD 1945, meskiput sangat disesalkan
umat Islam, sama sekali tidak membuang kerangka Islamic Worldview tersebut.
Itu bisa dibuktikan dengan
munculnya kata “Allah” dalam alinea ketiga pembukaan UUD 1945. Allah adalah
nama tuhan bagi umat Islam, dimanapun. Satu-satunya agama di Indonesia yang
kitab sucinya menyebut nama Tuhanya Allah adalah agama Islam. Karena itulah,
Sila Ketuhanan yang Maha Esa, bermakna pengakuan Allah sebagai satu-satunya
Tuhan. Munculnya istilah-istilah baku dalam Islam (Islam basic vocabulary),
seperti kata “adil”, “adab”, “musyawarah”, “hikmah”, “wakil” menunjukan, bahwa
UUD 1945 sama sekali tidak netral agama.
Karena itu, seyogyanya, pemahaman
terhadap Pancasila dan UUD 1945 tidak dilepaskan dari kerangka Islamic woldview
dan diseret ke kutub netral Agama. Pemahaman semacam ini, selain keliru, juga
akan berakhir dengan sia-sia, sebab kaum Muslim, secara umum, tidak mungkin bisa
dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam, baik secara Aqidah maupun Syariahnya. Guru
besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya,
Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cetke-6), menulis: “bahwa
yang dimaksud dengan Tuhan yang Maha Esa adalah Allah, dengan konsekuensi
(akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan
Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal.31) “Negara RI, wajib menjalankan Syariat
Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan Syariat Hindu
bagi orang Hindu, sekedar menjalankan Syariat tersebut memerlukan perantara
Negara”. (hal.34).
Argumentasi Prof. Hazairin
tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekedar pengakuan saja
terhadap Allah sebgai satu-satunya Tuhan belum memenuhi Konsep Tauhid yang
sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhanya, tetapi dalam Al-Quran
(Surah Al-Baqarah ayat 34), Iblis disebut Kafir. Seorang muslim yang baik
tentulah tidak mau statusnya disamakan dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan
Allah yang Maha Esa tetapi membangkang akan perintah-perintahnya.
Pemahaman sila Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai konsep Tauhid ditegaskan oleh NU dan Muhamadiyah. Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16
Rabiulawal 1404 menetapkan sejumlah keputusan diantaranya: Pertama Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negaea Indonesia pasal 29 ayat 1 UUD
1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan Tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam. Kedua, bagi Nahdlatul Ulama (NU), Islam adalah Akidah dan
Syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar
manusia. Ketiga, penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan
upaya umat Islam untuk menjalankan syariat Agamanya.
Jelas Indonesia adalah Negara
Tauhid! Karena itu, paham-paham syirik dan kemunkaran, seharusnya tidak
dikembangkan di negeri Muslim ini!
No comments:
Post a Comment