MAKALAH
HUKUM DAN PERATURAN KELAUTAN DAN
PERIKANAN
Hukum Sasi Laut: Hak Ulayat di
Kepulauan Maluku
Oleh:
ALI
AHSAN
PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini saya susun sebagai
salah satu pelengkap tugas dari mata kuliah Hukum dan Peraturan Kelautan dan
Perikanan.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun agar kedepan terdapat perbaikan ke
arah yang lebih baik.
Malang,
1 Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
1.
PENDAHULUAN
Hukum
yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan
Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para
penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih
mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak
sama artinya dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional.
Namun sebenarnya, selain hukum peninggalan Belanda, seperti Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari Wetboek
van Strafirecht, Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan
terjemahan dari Burgerlijk Wetboek,
Indonesia telah memiliki hukum sendiri, yaitu Hukum Adat (Arianto dan Talaohu,
2009).
Potensi
sumberdaya laut Indonesia tergolong sangat melimpah. Namum demikian potensi
tersebut belum mampu memberikan kesejahteraan yang memadai bagi seluruh
masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan sumberdaya hayati
laut (Sudirman, 2006).
Secara konstitusional masyarakat memiliki hak atas
sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir sebagaimana tertuang dalam Pasal
18B UUD 1945. Tetapi dalam pelaksanaan hak tersebut masyarakat adat
diperhadapkan dengan berbagai aturan perundang-undangan yang melemahkan
masyarakat adat. Lemahnya hak konstitusional masyarakat adat disebabkan adanya
berbagai peraturan perundang-undangan yang seolah-olah tidak mengakui
eksistensi masyarakat adat. Hal ini tentu tidaklah tepat karena bertentangan
dengan konstitusi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tersebut perlu di tinjau
ulang untuk di rubah, sehingga kedepannya peraturan perundang-undangan yang
dibuat dapat mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya
masyarakat hukum adat (Tjiptabudy, 2012).
- Apa
saja hukum yang berlaku di Indonesia?
- Apa
yang dimaksud hukum sasi laut?
- Apa
saja pelanggaran yang dilakukan masyarakat adat terhadap hukum sasi laut di wilayah Maluku?
Menurut van Vollenhoven dalam Nirahua (2012), ciri-ciri
atau tanda-tanda hak ulayat sebagai berikut:
1. Persekutuan
hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan, mengeyam
kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah persekutuan hukum tersebut;
2. Orang-orang
yang bukan anggota persekutuan hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari
Kepala Persekutuan dengan membayar ganti kerugian;
3. Dalam
menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi bagi orang
luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie);
4. Persekutuan
hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah persekutuan
hukumnya apabila si pelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal;
5. Persekutuan
tidak boleh memindahtangankan (menjual, memberi) untuk selama-lamanya kepada
siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu dan sangat khusus;
6. Persekutuan
hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu.
Dengan demikian hak ulayat
menunjukkan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subjek hak) dan
sumber daya alam serta wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat berisi
wewenang-wewenang yang menyatakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat
dengan sumber-sumber alam/wilayahnya adalah hubungan penguasaan, bukan hubungan
pemilikan.
Dalam
kehidupan masa Orde Baru sampai sekarang, salah satu yang dianggap sebagai
halangan potensial adalah hak ulayat. Oleh karena itu UUPA menganut konsep yang
bertujuan melemahkan hak ulayat yaitu pengaturan atau konsep mengenai
hak milik Negara; dan materi atau konsep mengenai pengakuan hak ulayat secara
bersyarat. Secara tidak langsung, selain kedua konsep di atas, ada konsep
ketiga yang juga mempermulus pelemahan hak ulayat. Konsep ketiga tersebut
adalah kesatuan atau unifikasi hukum nasional. Seperti nalar yang dikembangkan
oleh UUPA, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang
Pengairan dan Undang-Undang Perikanan juga menganggap bahwa kehadiran ‘hak
menguasai negara’ berkonsekuensi pada pengaturan mengenai hak ulayat. Sekalipun
formulasi kalimat eksplanatifnya tidak serupa dengan UUPA, namun redaksi
keempat undang-undang tersebut bermuatan serupa dengan muatan UUPA. Dikatakan
bahwa kekayaan alam di wilayah Indonesia merupakan kepunyaan atau milik seluruh
bangsa Indonesia yang telah menggabungkan diri ke dalam sebuah organisasi kekuasaan
bernama Negara. Oleh sebab itu pemanfaatan terhadap kekayaan alam tersebut
haruslah mensejahterakan atau memakmurkan sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia
(Nirahua, 2012).
Padahal
masyarakat ulayat itu sendiri telah memiliki hak tersebut dan telah
melekat lama, itu berarti terjadi pengabaian terhadap hukum adat. Dari
hal tersebut diharapkan pengambilan kebijakan kedepan dapat
bersama-sama untuk membuat suatu format yang lebih mengarah kepada masyarakat
ulayat khususnya daerah pesisir mengingat lingkup pesisir dalam pengembangan
kewilayahan dari berbagai aspek memberikan dampak yang baik seperti wilayah
pertahanan juga basis pertumbuhan sumber daya perikanan laut dalam hal
ini eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional.
Namun
demikian, meskipun aturan adat ini sudah berlaku di masyarakat, tetapi sampai
saat ini keberadaan hukum adat tersebut belum diakui oleh hukum
formal yang ada di Indonesia. Sehingga tak jarang apabila masyarakat adat akan
melakukan hukuman terhadap para pelanggar hukum adat tersebut. Mereka
sering dihadapkan pada hukum formal yang berlaku. Padahal, seperti kita
ketahui, keberadaan hak ulayat laut tersebut sangat efektif dalam pengelolaan
sumberdaya laut dan perikanan yang ada di wilayahnya. Dalam prinsisip-prinsip
penerapan hak ulayat di masyarakat dapat memberikan dampak positif bagi
pemerintah maupun lingkungan, karena didukung oleh model perencanaan yang
bersifat partisipasif dan bottom-up,
selain itu dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, hak ulayat laut sangat
efektif karena masyarakat adat atau lokal merasa memiliki dan bertanggung jawab
terhadap masa depan sumberdayanya.
Jika
dicermati ternyata masyarakat adat di wilayah-wilayah pesisir, pengelolaan
potensi kelautan secara umum dilakukan secara tradisional yang dikenal dengan
hak adat kelautan. Dibandingkan dengan hak ulayat atas tanah, maka tampak bahwa
hak ulayat atas laut sebagai tradisi adat yang sudah berlangsung secara turun
temurun dan dihormati oleh masyarakat adat.
Penguasaan
riil atas wilayah laut dan pesisir, oleh masyarakat adat sangat berkaitan
dengan hubungan-hubungan atau relasi yang mereka lakukan untuk memenuhi
kebutuhannya di atas wilayah tersebut, secara merupakan sesuatu yang bersifat turun-temurun
dari para leluhurnya. Di dalam wilayah ini sebenarnya secara de yure, terdapat
wewenang dari komunitas masyarakat adat. Wewenang yang dimaksudkan disini
terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, menurut
prinsip-prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-masing.
Dengan
demikian maka secara teoritis dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hak
adat kelautan (hak ulayat laut) adalah seperangkat aturan atau praktek
pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumber daya di dalamnya berdasarkan
adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pada desa. Perangkat
aturan atau hak adat kelautan (hak ulayat laut) ini menyangkut siapa yang
memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan
teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan yang ada dalam suatu
wilayah laut.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan budaya (dalam
Kertas Posisi Hak masyarakat hukum Adat, 2006) disebutkan bahwa hak-hak
masyarakat hukum adat terdiri dari:
1. Hak
Perseorangan sebagai warga Negara, yakni sebagai warga negara, warga masyarakat
hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya;
2. Hak
Kolektif sebagai masyarakat hukum adat yakni suatu komunitas, masyarakat hukum
mempunyai kolektif, yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan
identitas kulturnya naupun untuk membangun dan mengembangkan potensi
kemanusiaan warganya.
3. Hak
atas Pembangunan, yang terdiri dari berbagai macam hak.
3. PEMBAHASAN
Maluku,
yang dikenal dengan sebutan Seribu
Pulau dan dikategorikan sebagai Provinsi Kepulauan (Archipelagic Province) karena kondisi geografis Maluku yang terdiri dari 812 pulau yang
sebagian besarnya terdiri dari pulau kecil dengan luas laut 92,4 % dan darat
7,5 % dari total luas wilayahnya. Dengan kata lain luas laut Maluku sekitar 12
kali luas daratannya ternyata memiliki sistem hukum adat tersendiri dalam
bidang kelautan yang dikenal dengan Hukum Sasi Laut (Nendissa, 2010).
Bagi masyarakat adat pesisir di Kepulauan Lease,
Maluku Tengah, sejak dahulu telah dikenal tradisi dan kebiasaan dalam bentuk
tata cara untuk melindungi, mengelola dan memanfaatkan lingkungan laut dan
pesisir pantai sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Tradisi tersebut
dikenal dengan bentuk sasi laut, yang didukung oleh kelembagaan
dan perangkat hukum sasi.
Berdasarkan tempat dan jenis, ada dua jenis sasi,
yaitu sasi darat dan sasi laut. Semata-mata pelaksanaan
sasi merupakan tindakan perlindungan agar persediaan bahan makanan untuk
desa (negeri) cukup terjamin, yang didasarkan pada pengertian tertentu tentang
proses berkelanjutan keturunan makhluk yang hidup di laut dan siklus
pertumbuhan di darat. Sedangkan berdasarkan pelaksana sasi tersebut ada
dua jenis yaitu Sasi Kewang (petugas
keamanan desa) dan Sasi Gereja.
Tradisi sasi laut difungsikan melalui seperangkat aturan hukum selain
aturan-aturan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan fungsi laut
dan pesisir juga terhadap fungsi lingkungan darat.
Menurut Judge dan Nurizka (2008), peranan sasi
memungkinkan sumberdaya alam terus menerus tumbuh dan berkembang. Dengan kata
lain, sumberdaya alam hayati dan nabati perlu dilestarikan dalam suatu periode
tertentu untuk memulihkan pertumbuhan dan perkembangan demi tercapainya hasil
yang memuaskan.
Hukum adat sasi sangat efektif dalam menjaga
lingkungan terutama laut karena masyarakat tidak berani mengambil sumberdaya
alam sebelum waktu buat sasi. Setelah ditetapkan periode pelaksanaan sasi,
zona sasi juga memberlakukan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran sasi.
Zona sasi adalah sepanjang pantai yang merupakan hak desa tersebut dan
ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 meter.
Dengan demikian, sebuah zona merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan
sumberdaya alam yang sepenuhnya diatur melalui peraturan adat sasi laut.
Sasi
merupakan hasil titah (keputusan) raja dan mendapat kesepakatan seluruh warga
yang tentunya mengikat seluruh warga, dan ada sanksi jika warga mencoba untuk
melanggar. Selama ini sasi bisa
berjalan baik karena adanya kelompok orang yang menjaga kesepakatan sasi (kewang) dan ada keyakinan dalam masyarakat jika kesepakatan
tersebut dilanggar, maka akan menimbulkan kualat
(dampak buruk) bagi yang melanggar sasi (Judge
dan Nurizka, 2006).
Kedudukan hukum adat sasi laut terhadap hukum positif di
Indonesia khususnya terkait dalam masalah lingkungan. Hukum itu ada kaitannya
dengan lingkungan karena secara tidak langsung hukum itu dapat memberikan
perlindungan terhadap sumberdaya alam yang ada guna menjaga kelestarian di
daerah tersebut.
Hukum positif adalah hukum yang
mengatur tentang perlindungan terhadap sumberdaya alam. Hukum positif di
Indonesia yang terkait dalam masalah lingkungan seperti UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan hukum adat sasi laut dan kewang berisi:
a. Larangan
menangkap atau mengambil jenis ikan tertentu, teripang, lola, dan hasil laut
lainnya dengan alat tangkap jenis tertentu.
b. Larangan
menangkap ikan dengan menggunaka racun atau akar bore atau bahan kimia lain yang merusak.
c. Larangan
merusak terumbu karang dan biota laut lainnya.
d. Larangan
menebang atau memotong, mengambil serta merusak hutan bakau serta tanaman di
sekitar wilayah pesisir.
e. Larangan
mengambil pasir, batu, karang dan kerikil tanpa izin pemerintah negeri.
f.
Larangan mengotori daerah pesisir,
muara kali atau sungai dan lautan dengan cara apapun.
Sama
halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan oleh penguasa negeri
dan arwah leluhur. Sanksi yang paling berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu
adalah sanksi yang diberikan oleh arwah leluhur. Oleh karena itu orang sangat
takut melanggar sasi. Bilamana ada
orang yang melanggar sasi yaitu
melakukan pengambilan tanaman atau hasil laut pada masa tutup sasi maka hukuman yang diberikan oleh
pemerintah negeri yaitu raja dan perangkat negeri kepada si pelanggar adalah
ditangkap, dipertontonkan di hadapan masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik
lainnya seperti dicambuk, dikenakan denda, kerja paksa dan dikucilkan dari
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hukuman itu itu tidak terlalu berat seperti
hukuman yang akan diberikan oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang (leluhur) antara lain seperti anak yang
sakit-sakitan secara terus-menerus dan akhirnya meninggal dunia sehingga
keluarga itu tidak memiliki seorang keturunanpun. Istilah lokalnya adalah tutup
mataruma.
Pada
masa tutup sasi masing-masing orang
harus menjaga atau mewaspadai dirinya sehingga tidak membuat hal-hal yang
bertentangan hingga pada akhirnya mendapat teguran dan hukuman dari kewang serta anak-anak kewang. Sementara itu suasana di sekitar hutan maupun
labuhan (lautan) menjadi tenang dan sunyi. Kewang
dan anak-anak kewang akan terus
berjalan memeriksa apakah ada yang melanggar sasi atau tidak. Penduduk negeri tetap diperbolehkan ke hutan atau
laut untuk mengambil makanan tetapi semua itu berlangsung secara tenang dan
hanya mendatangi tempat-tempat yang tidak menjadi daerah sasi. Makanan isi kebun dan ikan hanya diambil untuk keperluan
makan saja dan tidak boleh lebih.
Hukum
sasi adalah sejumlah peraturan yang
mengandung larangan dengan pidana denda. Hukum sasi terbagi menjadi hukum sasi
materiil yaitu pokok perbuatan yang dapat dipidana, jenis pidana apa yang
dapat diterapkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Reglement sasi. Sedangkan
hukum sasi formil yaitu sejumlah
peraturan yang mengandung cara-cara kewang
mepergunakan wewenangnya untuk menerapkan pidana, selain itu juga sasi bertujuan untuk melindungi alam
dengan segala sesuatu yang ada di atasnya dari pengrusakan yang terjadi oleh
tindakan-tindakan manusia.
4. PENUTUP
Dari penyusunan Makalah ini, dapat
ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
- Persengketaan
yang terjadi antar nelayan lokal pada umumnya adalah karena ketidakjelasan
batas wilayah yang dimiliki oleh masing-masing warga masyarakat.
- Masyarakat
Hukum Adat yang berada di Maluku Tengah secara yuridis memiliki kewenangan
untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut yang terletak pada petuanan
mereka.
- Berdasarkan
kewenangan yang dimiliki oleh lembaga adat maka secara tidak langsung
eksistensi masyarakat adat (dalam hal ini pemilik otonomi asli) dapat
memberikan kontribusi bagi pembangunan Nasional khususnya dalam upaya
pengolahan, pemeliharaan, dan upaya pelestarian lingkungan hidup sebagai bagian
yang akan dinikmati oleh generasi seterusnya.
- Sasi merupakan
larangan untuk memanen suberdaya tertentu (hayati laut maupun darat) dalam
jangka waktu yang ditetapkan. Sasi
bertujuan untuk mengatur semua hasil bumi yang ada di wilayah negeri, baik
pekarangan sendiri maupun areal perkebunan atau ladang (komersial).
- Dengan
adanya Hukum sasi laut, maka
sumberdaya laut yang ada di wilayah Maluku Tengah akan melimpah karena sasi laut berfungsi sebagai penjaga
sumberdaya laut yang ada di laut dan juga dilindungi oleh Pemerintah.
Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Pusat sebaiknya menghargai, melestarikan, meningkatkan dan memperhatikan
eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisional yang dimiliki
sesuai dengan pengakuan konstitusional dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sehingga tidak terjadi benturan diantara peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, H. dan Sapiah Talaohu. 2009. Peranan Lembaga Peradatan Negeri dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku Tengah. Lex
Jurnalica, Volume 6, Nomor 3, Halaman 157-173
Badan Pengelola Kapet Seram. 2011. Hak Ulayat dalam Perspektif Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. http://info.kapetseram.com/?p =127
Diakses tanggal 15 Mei 2012
Judge, Zulfikar dan Marissa Nurizka. 2006.
Peranan Hukum Adat Sasi Laut dalam Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa
Eti Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat. Lex Jurnalica Volume 6,
Nomor 1, Halaman 30-61
Nendissa, Renny H. 2010. Eksistensi Lembaga Adat dalam Pelaksanaan Hukum Sasi Laut di Maluku Tengah. Jurnal Sasi Volume 16,
Nomor 4, Halaman 1-6
Nirahua, Salmon E. M. 2012. Hak-Hak Suku Nuaulu Atas Pengelolaan Sumber
Daya Hutan di Pulau Seram Provinsi Maluku. Universitas Pattimura
Sudirman. 2006. Potensi Sumberdaya Laut Perairan Indonesia Timur dan Tingkat
Pemanfaatannya ke Depan oleh Masyarakat Pantai dan Nelayan Setempat.
Makassar: Universitas Hasanuddin
Solihin, A. dan Arif Satria. 2007. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah
Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awig-awig di Lombok
Barat. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia,
Volume 01, Nomor 01, Halaman 67-86
Tjiptabudy, Jantje. 2012. Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Wilayah
Laut dan Pesisir
Semoga bermanfaat, Budayakan Membaca dan Menulis.
#Go AHead Indonesia
#Yang Penting Bagiku Adalah Dialoq
Behind The Gun: @aliahsanID
No comments:
Post a Comment