MAKALAH
PELANGGARAN
DALAM HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN
Oleh
:
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2011
1.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan .Indonesia memiliki
laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang
81.000 km, dengan berbagai potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang
cukup besar.
Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi
dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis
lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini-sebagai sumber
protein yang sehat dan murah-bisa terancam kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari semakin terancamnya
kehidupan biota biota dan lingkungan perairannya. Dengan demikian, sangat
diperlukan upya untuk mengelola sumberdaya perairan secara bijak dan konsisten
untuk menjaga kelestariannya. Hal ini terutama dalam menjaga keseimbangan
antara biota dan abiota. Menurut Sujiran (1984) yang menyatakan bahwa
pentingnya menjaga keseimbangan karena organisme perairan cenderung membutuhkan
yang layak, organisme ini juga sangat terpengaruh dengan perubahan kondisi lingkungan.
Perubahan kondisi lingkungan ini yang meliputi temperatur air, salinitas atau
kadar garam, PH, transparansi, gerakan air, kedalaman, topografi dasar
perairan, kandungan dasar perairan, kandungan oksigen, kandungan nutrisi
perairan dsb. Ikan-ikan juga cenderung bergerombol dalam jumlah yang sesuai
dengan kondisi lingkungan dengan segala perubahannya (Subijakto,2010).
Kegiatan
penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang
kritis. Tekanan penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin
mempercepat penurunan stok sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan
khususnya di pesisir pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan
dan meningkatnya kompetisi antar alat penangkapan ikan yang tidak jarang
menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya
pendapatan, nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modifikasi alat
penangkapan ikan untuk menutupi biaya operasi penangkapannya. Pelanggaran
penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi
dalam kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran
penggunaan trawl (pukat
harimau) secara illegal di beberapa wilayah peraiaran.
Pemerintah (dalam
hal ini DKP) sebenarnya tidak menutup mata atas semua kejadian pelanggaran itu.
Penegakan hukum terhadap pelanggar memang sudah dilakukan. Namun, kesulitan
mengontrol seluruh aktivitas nelayan khususnya di daerah terpencil dan
perbatasan telah mendorong meningkatnya pelanggaran penangkapan ikan (illegal
fishing).
2.2 Tujuan
- Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya mengenai sumberdaya perikanan sehingga masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
- Memberikan gambaran tentang pentingnya sumberdaya perikanan
- Untuk memberikan solusi terhadap permasalan pelanggaran dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan Indonesia
2.
Pembahasan
2.1
Perikanan
Perikanan
adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara
tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi
dan berbagai avertebrata
penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di
Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang
termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai
dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan
demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
2.2
Sumberdaya Perikanan
Dunia
telah mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia,
dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km.
Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70%
dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik ini, tentunya kita
harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik.
Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa indonesia) belum
mampu menunjukan kerdiriannya sebagai bangsa bahari. Indikasinya sangat jelas,
sampai hari ini masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih hidup di
bawah garis kemiskinan. Harusnya dengan potensi kekayaan bahari tersebut, sudah
mampu membuat bangsa ini sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah
kita dalam penegelolaan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus
mengindikasikan perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah
mata.
Laut kita
memiliki karakteristik yang sangat spesifik Dikatakan spesifik, karena memiliki
keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti
kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004 tentang
perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Sumber daya
perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk
menambah devisa negara. Menurut Rohmin Dahuri, bahwa potensi pembangunan
pesisir dan lautan kita terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) sumber daya
dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable
recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3) jasa-jasa lingkungan
(Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Oleh karena itu, akan menarik kiranya bila kita membeberkan
ketiga kelompok potensi kelautan kita.
Sumberdaya
dapat pulih terdiri dari ikan dan vegetasi lainnya. Namun yang menjadi
primadona kita selama ini adalah pada sebatas ikan konsumsi seperti ikan
pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi. Sedangkan untuk
vegetasinya adalah terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan hutan mangrove.
Sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang dapat pulih sering kita
salah tafsirkan sebagai sumber daya yang dapat eksploitasi secara terus menerus
tanpa batas. Dalam data Ditjen Perikanan, (1995), Potensi sumber daya perikanan
laut di indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar dengan
potensi produksi sebesar 451.830 ton/tahun dan pelagis kecil sebesar 2.423.000
ton/tahun sedangkan sumberdaya perikanan demersal memiliki potensi produksi
sebesar 3.163.630 ton/tahun, udang sebesar 100.728 ton/tahun, ikan karangdengan
potensi produksi sebesar 80.082 ton/tahun dan cumi-cumi sebesar 328.968
ton/tahun. Dengan demikian potensi lestari sumber daya perikanan laut dengan
tingkat pemanfaatan baru sekitar 48%.
Sementara
itu, potensi vegetasi biota laut juga sangat besar. Salah satunya adalah
terumbu karang. Dimana terumbu karang ini memilki fungsi yang sangat startegis
bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yakni fungsi ekologis yaitu sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat
bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan produk yang
memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang
karang, alga, teripang dan kerang mutiara Data Ditjen Perikanan tahun 1991
menunjukan, potensi lestari sumber daya ikan pada terumbu karang di perairan
indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas
total terumbu karang 50.000 km2. Vegetasi lainnya adalah rumput
laut. Rumput laut memiliki potensi lahan untuk budidaya sekitar 26.700 ha
dengan kemampuan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun (Ditjen Perikanan,
1991).
Disamping
potensi sumber daya dapat pulih (renewable recources), wilayah pesisir
dan laut kita juga memiliki potensi sumber daya tak terbaharukan (non-renewable
recources). Potensi ini meliputi mineral dan bahan tambang diantaranya
berupa minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit dan juga granit,
kapur dan pasir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kawasan
pesisir dan laut kita sangat potensial untuk pengelolaan jasa lingkungan (environmental
service).yang dimaksud dengan jasa lingkungan adalah pemanfaatan kawasan
pesisir dan lautan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, media transportasi
dan komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan
perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Potensi
lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal
wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang
sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain
berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan
pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam
perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).
Gambaran
potensi wilayah laut dan pesisir kita tersebut hanyalah sebahagian kecil yang
dimanfaat secara optimal. Tentunya masih banyak potensi lain yang dapat
dikembangkan guna kemakmuran rakyat. Namun sangat disayangkan potensi sumber
daya pesisir dan lautan belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat
khususnya nelayan. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ditengah kebanggaan kita
sebagai bangsa bahari, justru nelayan kitalah yang paling termarjinalkan. Suatu
fenomena yang kontras. Rohmin Dahuri pernah mengatakan, seandainya saja potensi
wilayah pesisir dan laut dikelola secara baik maka hasilnya akan mampu membayar
utang luar negeri kita yang sampai hari ini belum bisa terbayarkan. Namun apa
boleh buat, model pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini sangat
berorientasi pada aspek eksploitasi. Hal ini terlihat jelas selama pemerintahan
orde baru. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut hanya sebatas untuk
pemenuhan pundi uang bagi negara. Sementara pengelolaan secara terpadu dan
berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi
penyedia primer bahan pangan. Tidak berlebihan kiranya, mengingat jumlah
penduduk yang meningkat tiap tahunnya serta semakin kurangnya lahan pertanian
akibat adanya aktivitas pembangunan perumahan dan jalan. Dengan demikian mau
tidak mau, suka tidak suka potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan akan
menjadi kiblat ekonomi indonesia masa depan. Jika potensi kekayaan ini
dibiarkan merana tidak dikelola dengan baik, maka indonesia sebagai negara
bahari bisa jadi hanya tinggal nama (Abidin, 2006).
2.3
Pelanggaran dalam hukum dan peraturan perikanan
Sudah
bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing)
di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara
ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi
beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung
sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal
nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu.
Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar,
sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita.
Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi
sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu: (1)
Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang
menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5)
Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas,
26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta
penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka
kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian
dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya
pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan
fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak
kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara
nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9)
menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal
penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit.
Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand
mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540
ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton
merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa
langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil
kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak.
Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung
menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama
dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis
dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya
mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian
juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan
pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun,
untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT),
alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54
dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan
dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2
miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4
miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas,
27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih
mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur
oleh kapal asing (negara lain) (Abidin, 2006).
Seperti dijelaskan oleh Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa semakin
menipisnya sumberdaya alam di wilayah daratan menyebabkan banyak program pembangunan
yang bergeser ke wilayah pesisir dan lautan yang dinilai masih memiliki
sumberdaya ber nilai ekonomis tinggi. Upaya untuk meningkatkan peran sumberdaya
pesisir dan kelautan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata selama ini masih dihadapkan pada
beberapa kendala. Antara lain kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir, keterbatasan
peraturan, konflik penggunaan ruang, kerusakan lingkungan.Manurut
Dahuri (2001), bahwa ada beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian
sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah: (1) pemanfatan berlebih (over exploitation)
sumberdaya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang
merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran,
(5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan
pembangunan lainnya, dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam
(Subijakto, 2010).
2.4 Konservasi sumberdaya ikan
Pengertian
konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem,
jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman sumber daya ikan. Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya
perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan
berkelanjutan sumberdaya yang ujung-ujungnya tentusaja untuk kesejahteraan
masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan dilakukan pada level ekosistem,
jenis dan genetik.
Penetapan Kawasan
konservasi perairan merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat
dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe
ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, sosial
budaya dan ekonomis. Kawasan Konservasi Perairan
didefinisikan sebagai kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber
daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Kata kunci
pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI
dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Paling tidak, ada 4 (empat)
pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP, yaitu zona inti, zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Melalui pengaturan
zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi,
ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran
akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat
tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam
pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk
perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona
pemanfaatan maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah
lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini
dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum
banyak dilakukan.
Konservasi saat
ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang musti dipenuhi sebagai
harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus
melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat Konservasi
dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat
seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Jumlah
ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia
yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar
kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut DKP menginisiasi
dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut +
5,4 juta hektar. Luasan 8,1 juta hektar tersebut terdiri dari sebuah taman
nasional perairan laut sawu seluas 3,5 juta hektar dan 35 lokasi kawasan
konservasi laut daerah (KKLD) yang luasnya mencapai 4,6 juta hektar. Pada
dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama,
Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara
efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan
masyarakat.
Kawasan konservasi
perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam
melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang
seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya
dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia,
diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk
perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan
yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan
ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen.
Pengelolaan
kawasan konservasi tersebut dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui
kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau
masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian,
maupun perguruan tinggi. Jadi, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten sesuai kewenangannya. Ditingkat pusat, DKP telah membentuk Unit
Pelaksana Teknis, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang
berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di
Pekan Baru. Sedangkan di Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT
daerah atau bahkan dapat ditingkatkan mengggynakan pola pengelolaan Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut
cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.
Sebagai upaya
tindaklanjut pengembangan kawasan konservasi perairan (laut) dilakukan
penguatan manajemen maupun keterkaitan ekologis antar kawasan konservasi dalam
bentuk jejaring kawasan konservasi. Jejaring adalah Merupakan keterkaitan
antara kawasan konservasi laut (KKL) yang mempresentasikan daya lenting spesies
dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan
bersama. Jejaring (network) antar KKP mempunyai peranan yang penting dalam
mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa alasan dalam
membuat jejaring antar KKP diantaranya adalah untuk: (1) menggambarkan,
menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati; (2) memberikan model pemanfaatan
KKP yang mendukung ekosistem setempat; (3) menjaga atau melindungi tempat biota
laut yang dilindungi dari berbagai ancaman; (4) Menjaga keberadaan potensi
sumberdaya perikanan laut, serta (5) upaya memperluas dan meningkatkan ketahanan
KKP.
Keterkaitan (connectivity)
merupakan kata kunci pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan. Adanya
keterkaitan bioekologis merupakan pertimbangan dasar untuk mengelola beberapa
KKP dalam satu sistem pengelolaan bersama untuk mewujudkan KKP yang tahan (resilient)
terhadap ancaman dan dapat berfungsi efektif untuk mendukung perikanan
berkelanjutan.
Jejaring KKP
sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan, Pasal 19 dinyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi
perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan, baik pada tingkat
lokal, nasional, regional, maupun global. Jejaring KKP tersebut dibentuk
berdasarkan keterkaitan biofisik antar KKP disertai dengan bukti ilmiah yang
meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi perikanan, dan daya tahan
lingkungan. Jejaring KKP pada tingkat lokal maupun nasional dilaksanakan
melalui kerja sama antar unit organisasi pengelola, sedangkan di tingkat
regional maupun global dilaksanakan melalui kerja sama antar negara. Yang
dimaksud dengan jejaring KKP pada tingkat regional adalah kawasan konservasi
perairan yang terdapat dalam suatu hamparan ekoregion yang mencakup dua atau
lebih negara bertetangga serta memiliki keterkaitan ekosistem. Sedangkan jejaring
KKP pada tingkat global adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam
suatu hamparan beberapa ekoregion yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan
ekosistem secara global dan mencakup beberapa negara.
Sampai saat ini
keberadaan kawasan konservasi perairan (laut) belum terintegrasi antara KKP
satu dengan KKP lainnya. Pada dasarnya diantara beberapa KKP tersebut terdapat
suatu keterkaitan jejaring yang sangat kuat baik dalam aspek ekologis maupun
pengelolaan. Penyusunan keterkaitan jejaring KKP berdasarkan 2 (dua) kriteria
dasar yaitu; (1) Kriteria Ekologis; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara
KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal ekologis (Ekoregion),
keterkaitan (network)
ini berupa secara fisik dan biologis. (2) Kriteria Pengelolaan; Kriteria ini
menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal
pengelolaan. Bentuk jejaring pengelolaan berupa sistem pengelolaan bersama
terhadap KKP tersebut.
Dalam pengelolaan
KKP secara bersama beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu:
Keterlibatan stakeholders
dalam pengelolaan bersama KKP sangat penting dalam mendukung
terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholders mempunyai
peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Selain itu, dalam upaya pengelolaan
KKP diperlukan suatu lembaga/badan/dinas pengelola yang akan menyusun program
dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian
informasi. Selain itu tugasnya adalah melibatkan berbagai stakeholders lain
dalam pengelolaan KKP. Guna pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan,
pendanaan kawasan konservasi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan, oleh
karena itu berbagai mekanisme pendanaan yang ada dapat digunakan sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang dilakukan (Suraji,
2011).
Daftar
Pustaka
Abidin, Ariyanto. 2006. Sumber Daya Perikanan, Kekayaan Kita
yang (masih) Merana. http://aryabimantara,wordpress.com. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2010 pukul 19.00 WIB
Subijakto, Achmad. 2010. Dilema dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan. http://www.bbppbanyuangi.com.
Diakses pada tanggal 27 Oktober 2011 pukul 19.00 WIB.
Suraji. 2011. Membangun jejaring pengelolaan
kawasan konservasi perairan. http://www2.bbppalembang.info.
Diakses pada tanggal 27 Oktober 2011 pukul 19.00 WIB.
Semoga bermanfaat, Budayakan Membaca dan Menulis.
#Go AHead Indonesia
#Yang Penting Bagiku Adalah Dialoq
Behind The Gun: @aliahsanID
No comments:
Post a Comment