Thursday, April 3, 2014

MAKALAH PELANGGARAN DALAM HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN




MAKALAH
PELANGGARAN DALAM HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN



Oleh :




FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011


1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan .Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar. 

Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini-sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa terancam kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari semakin terancamnya kehidupan biota biota dan lingkungan perairannya. Dengan demikian, sangat diperlukan upya untuk mengelola sumberdaya perairan secara bijak dan konsisten untuk menjaga kelestariannya. Hal ini terutama dalam menjaga keseimbangan antara biota dan abiota. Menurut Sujiran (1984) yang menyatakan bahwa pentingnya menjaga keseimbangan karena organisme perairan cenderung membutuhkan yang layak, organisme ini juga sangat terpengaruh dengan perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan ini yang meliputi temperatur air, salinitas atau kadar garam, PH, transparansi, gerakan air, kedalaman, topografi dasar perairan, kandungan dasar perairan, kandungan oksigen, kandungan nutrisi perairan dsb. Ikan-ikan juga cenderung bergerombol dalam jumlah yang sesuai dengan kondisi lingkungan dengan segala perubahannya (Subijakto,2010).

Kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang kritis. Tekanan penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin mempercepat penurunan stok sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan khususnya di pesisir pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan dan meningkatnya kompetisi antar alat penangkapan ikan yang tidak jarang menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan, nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modifikasi alat penangkapan ikan untuk menutupi biaya operasi penangkapannya. Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat harimau) secara illegal di beberapa wilayah peraiaran. 

Pemerintah (dalam hal ini DKP) sebenarnya tidak menutup mata atas semua kejadian pelanggaran itu. Penegakan hukum terhadap pelanggar memang sudah dilakukan. Namun, kesulitan mengontrol seluruh aktivitas nelayan khususnya di daerah terpencil dan perbatasan telah mendorong meningkatnya pelanggaran penangkapan ikan (illegal fishing).

2.2 Tujuan
  1. Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya  mengenai sumberdaya perikanan sehingga masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
  2. Memberikan gambaran tentang pentingnya sumberdaya perikanan
  3. Untuk memberikan solusi terhadap permasalan pelanggaran dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan Indonesia

2. Pembahasan
2.1 Perikanan
Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi dan berbagai avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.

2.2 Sumberdaya Perikanan
Dunia telah mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik ini, tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik. Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa indonesia) belum mampu menunjukan kerdiriannya sebagai bangsa bahari. Indikasinya sangat jelas, sampai hari ini masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Harusnya dengan potensi kekayaan bahari tersebut, sudah mampu membuat bangsa ini sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah kita dalam penegelolaan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus mengindikasikan perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah mata. 

Laut kita memiliki karakteristik yang sangat spesifik Dikatakan spesifik, karena memiliki keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004 tentang perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Sumber daya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk menambah devisa negara. Menurut Rohmin Dahuri, bahwa potensi pembangunan pesisir dan lautan kita terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) sumber daya dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3) jasa-jasa lingkungan (Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, akan menarik kiranya bila kita membeberkan ketiga kelompok potensi kelautan kita.

Sumberdaya dapat pulih terdiri dari ikan dan vegetasi lainnya. Namun yang menjadi primadona kita selama ini adalah pada sebatas ikan konsumsi seperti ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi. Sedangkan untuk vegetasinya adalah terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan hutan mangrove. Sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang dapat pulih sering kita salah tafsirkan sebagai sumber daya yang dapat eksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Dalam data Ditjen Perikanan, (1995), Potensi sumber daya perikanan laut di indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar dengan potensi produksi sebesar 451.830 ton/tahun dan pelagis kecil sebesar 2.423.000 ton/tahun sedangkan sumberdaya perikanan demersal memiliki potensi produksi sebesar 3.163.630 ton/tahun, udang sebesar 100.728 ton/tahun, ikan karangdengan potensi produksi sebesar 80.082 ton/tahun dan cumi-cumi sebesar 328.968 ton/tahun. Dengan demikian potensi lestari sumber daya perikanan laut dengan tingkat pemanfaatan baru sekitar 48%. 

Sementara itu, potensi vegetasi biota laut juga sangat besar. Salah satunya adalah terumbu karang. Dimana terumbu karang ini memilki fungsi yang sangat startegis bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yakni fungsi ekologis yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan kerang mutiara Data Ditjen Perikanan tahun 1991 menunjukan, potensi lestari sumber daya ikan pada terumbu karang di perairan indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas total terumbu karang 50.000 km2. Vegetasi lainnya adalah rumput laut. Rumput laut memiliki potensi lahan untuk budidaya sekitar 26.700 ha dengan kemampuan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991).

Disamping potensi sumber daya dapat pulih (renewable recources), wilayah pesisir dan laut kita juga memiliki potensi sumber daya tak terbaharukan (non-renewable recources). Potensi ini meliputi mineral dan bahan tambang diantaranya berupa minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit dan juga granit, kapur dan pasir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kawasan pesisir dan laut kita sangat potensial untuk pengelolaan jasa lingkungan (environmental service).yang dimaksud dengan jasa lingkungan adalah pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya. 

Potensi lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).

Gambaran potensi wilayah laut dan pesisir kita tersebut hanyalah sebahagian kecil yang dimanfaat secara optimal. Tentunya masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan guna kemakmuran rakyat. Namun sangat disayangkan potensi sumber daya pesisir dan lautan belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ditengah kebanggaan kita sebagai bangsa bahari, justru nelayan kitalah yang paling termarjinalkan. Suatu fenomena yang kontras. Rohmin Dahuri pernah mengatakan, seandainya saja potensi wilayah pesisir dan laut dikelola secara baik maka hasilnya akan mampu membayar utang luar negeri kita yang sampai hari ini belum bisa terbayarkan. Namun apa boleh buat, model pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini sangat berorientasi pada aspek eksploitasi. Hal ini terlihat jelas selama pemerintahan orde baru. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut hanya sebatas untuk pemenuhan pundi uang bagi negara. Sementara pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi penyedia primer bahan pangan. Tidak berlebihan kiranya, mengingat jumlah penduduk yang meningkat tiap tahunnya serta semakin kurangnya lahan pertanian akibat adanya aktivitas pembangunan perumahan dan jalan. Dengan demikian mau tidak mau, suka tidak suka potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan akan menjadi kiblat ekonomi indonesia masa depan. Jika potensi kekayaan ini dibiarkan merana tidak dikelola dengan baik, maka indonesia sebagai negara bahari bisa jadi hanya tinggal nama (Abidin, 2006).

2.3 Pelanggaran dalam hukum dan peraturan perikanan
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun. 

Maraknya pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9) menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain) (Abidin, 2006).

Seperti dijelaskan oleh Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa semakin menipisnya sumberdaya alam di wilayah daratan menyebabkan banyak program pembangunan yang bergeser ke wilayah pesisir dan lautan yang dinilai masih memiliki sumberdaya ber nilai ekonomis tinggi. Upaya untuk meningkatkan peran sumberdaya pesisir dan kelautan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata selama ini masih dihadapkan pada beberapa kendala. Antara lain kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir, keterbatasan peraturan, konflik penggunaan ruang, kerusakan lingkungan.Manurut Dahuri (2001), bahwa ada beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah: (1) pemanfatan berlebih (over exploitation) sumberdaya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam (Subijakto, 2010).

2.4 Konservasi sumberdaya ikan
Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan sumberdaya yang ujung-ujungnya tentusaja untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan dilakukan pada level ekosistem, jenis dan genetik.

Penetapan Kawasan konservasi perairan merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis.  Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Kata kunci pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP, yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Melalui pengaturan zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan.

Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang musti dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut DKP menginisiasi dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut + 5,4 juta hektar. Luasan 8,1 juta hektar tersebut terdiri dari sebuah taman nasional perairan laut sawu seluas 3,5 juta hektar dan 35 lokasi kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang luasnya mencapai 4,6 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen.

Pengelolaan kawasan konservasi tersebut dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Jadi, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Ditingkat pusat, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu  Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan di Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT daerah atau bahkan dapat ditingkatkan mengggynakan pola pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.

Sebagai upaya tindaklanjut pengembangan kawasan konservasi perairan (laut) dilakukan penguatan manajemen maupun keterkaitan ekologis antar kawasan konservasi dalam bentuk jejaring kawasan konservasi. Jejaring adalah Merupakan keterkaitan antara kawasan konservasi laut (KKL) yang mempresentasikan daya lenting spesies dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan bersama. Jejaring (network) antar KKP mempunyai peranan yang penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa alasan dalam membuat jejaring antar KKP diantaranya adalah untuk:  (1) menggambarkan, menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati; (2) memberikan model pemanfaatan KKP yang mendukung ekosistem setempat; (3) menjaga atau melindungi tempat biota laut yang dilindungi dari berbagai ancaman; (4) Menjaga keberadaan potensi sumberdaya perikanan laut, serta (5) upaya memperluas dan meningkatkan ketahanan KKP.

Keterkaitan (connectivity) merupakan kata kunci pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan. Adanya keterkaitan bioekologis merupakan pertimbangan dasar untuk mengelola beberapa KKP dalam satu sistem pengelolaan bersama untuk mewujudkan KKP yang tahan (resilient) terhadap ancaman dan dapat berfungsi efektif untuk mendukung perikanan berkelanjutan.

Jejaring KKP sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Pasal 19 dinyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Jejaring KKP tersebut dibentuk berdasarkan keterkaitan biofisik antar KKP disertai dengan bukti ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi perikanan, dan daya tahan lingkungan. Jejaring KKP pada tingkat lokal maupun nasional dilaksanakan melalui kerja sama antar unit organisasi pengelola, sedangkan di tingkat regional maupun global dilaksanakan melalui kerja sama antar negara. Yang dimaksud dengan jejaring KKP pada tingkat regional adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam suatu hamparan ekoregion yang mencakup dua atau lebih negara bertetangga serta memiliki keterkaitan ekosistem. Sedangkan jejaring KKP pada tingkat global adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam suatu hamparan beberapa ekoregion yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan ekosistem secara global dan mencakup beberapa negara.

Sampai saat ini keberadaan kawasan konservasi perairan (laut) belum terintegrasi antara KKP satu dengan KKP lainnya. Pada dasarnya diantara beberapa KKP tersebut terdapat suatu keterkaitan jejaring yang sangat kuat baik dalam aspek ekologis maupun pengelolaan. Penyusunan keterkaitan jejaring KKP berdasarkan 2 (dua) kriteria dasar yaitu;  (1) Kriteria Ekologis; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal ekologis (Ekoregion), keterkaitan (network) ini berupa secara fisik dan biologis. (2) Kriteria Pengelolaan; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal pengelolaan. Bentuk jejaring pengelolaan berupa sistem pengelolaan bersama terhadap KKP tersebut.

Dalam pengelolaan KKP secara bersama beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu: Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan bersama KKP sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholders mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Selain itu, dalam upaya pengelolaan KKP diperlukan suatu lembaga/badan/dinas pengelola yang akan menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian informasi. Selain itu tugasnya adalah melibatkan berbagai stakeholders lain dalam pengelolaan KKP. Guna pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan, pendanaan kawasan konservasi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan, oleh karena itu berbagai mekanisme pendanaan yang ada dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang dilakukan (Suraji, 2011).

Daftar Pustaka

Abidin, Ariyanto. 2006. Sumber Daya Perikanan, Kekayaan  Kita yang (masih) Merana. http://aryabimantara,wordpress.com. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2010 pukul 19.00 WIB
Subijakto, Achmad. 2010. Dilema dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. http://www.bbppbanyuangi.com. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2011 pukul 19.00 WIB.
Suraji. 2011. Membangun jejaring pengelolaan kawasan konservasi perairan. http://www2.bbppalembang.info. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2011 pukul 19.00 WIB.

        Semoga bermanfaat, Budayakan Membaca dan Menulis.

       #Go AHead Indonesia
       #Yang Penting Bagiku Adalah Dialoq
       Behind The Gun: @aliahsanID



No comments:

Post a Comment