ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI
PERTANIAN
Oleh :
ALI AHSAN
PROGRAM
STUDI AGR0BISNIS PERIKANAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
FAKULTAS
PERIKANAN
DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2012
A.
Pengertian Adopsi Inovasi
Adopsi inovasi mengandung pengertian
yang kompleks
dan dinamis. Hal ini
disebabkan
karena
proses
adopsi
inovasi
sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses
ini
banyak faktor yang mempengaruhinya. Berarti dalam hal ini adalah proses pengambilan keputusan untuk menerima ide-ide baru.
Karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi
yang cukup, maka calon adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari
sumber informasi yang relevan. Ada tiga
hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dalam proses adopsi
inovasi, yaitu:
. Adanya
pihak lain
yang telah melaksanakan adopsi
inovasi
dan
berhasil dengan sukses. Pihak yang tergolong kriteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang relevan.
. Adanya suatu proses adopsi inovasi
yang berjalan secara sistematis, sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon
adopter.
. Adanya hasil adopsi inovasi yang
sukses dalam artian telah memberikan keuntungan, sehingga dengan demikian
informasi seperti ini akan memberikan dorongan kepada calon adopter untuk
melaksanakan adopsi inovasi.
B. Tahapan Adopsi Inovasi
Ada empat tahapan dalam proses adopsi inovasi,
yaitu :
a.
Tahap Kesadaran
Pada tahapan ini petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dipunyai tentang teknologi baru yang akan di adopsi itu masih bersifat umum. Ia mengetahui sedikit
sekali bahkan informasi yang yang diketahui tersebut kadang-kadang tidak ada kaitannya dengan
kualitas khusus yang diperlukan untuk melakukan adopsi.
b.
Tahapan Menaruh Minat
Pada tahapan ini petani mulai
mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya
untuk adopsi inovasi. Ia mulai mempelajari secara lebih terperinci tentang ide
baru tersebut, bahkan tidak puas kalau
hanya mengetahui saja tetapi ingin berbuat yang lebih dari itu. Oleh karena itu,
pada tahapan ini, petani tersebut mulai mengumpulkan
informasi dari berbagai pihak, apakah itu dari media cetak ataupun dari media elektronik.
c.
Tahapan Evaluasi
Pada tahapan ini,
seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan
pada tahapan-tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide baru tersebut akan
diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang disebut evaluasi atau penilaian.
Maksudnya
tentu saja untuk mempertimbangkan
lebih lanjut apakah minat yang telah ditimbulkan tersebut perlu diteruskan atau
tidak. Hal ini berarti petani mulai menilai secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki.
d.
Tahapan Mencoba
Pada tahapan ini, petani
atau individu dihadapkan dengan suatu masalah yang nyata. Ia harus menuangkan
buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tersebut dalam suatu kenyataan yang
sebenarnya. Pemikiran itu harus
dituangkan dalam praktek, sesuai dengan apa yang disebut dengan tahapan mencoba
dari dari ide baru tersebut. hal ini
berarti bahwa ia harus belajar, apa yang disebut ide baru,
bagaimana melakukannya, mengapa harus ia lakukan, dengan siapa ia melakukan ide
baru tersebut, apakah dilakukan sendiri atau berkelompok dan dimana ia harus melakukan
percobaan tersebut.
e.
Tahapan Adopsi
Pada tahan ini, petani atau
individu telah memutuskan bahwa ide baru
yang ia pelajari adalah cukup baik untuk diterapkan dilahannya dalam skala yang
agak luas. Tahapan adopsi ini barang kali yang paling menentukan dalam proses kelanjutan pengambilan
keputusan lebih lanjut.
C.
Sifat Adopsi Inovasi
Sifat adopsi inovasi ini akan menentukan
kecepatan adposi inovasi. Berikut adalah sifat-sifat adopsi inovasi, yaitu :
a. Apakah
Memberi Keuntungan atau Tidak
Sejauh mana inovasi baru itu
akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila memang
benar bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar
dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi
akan berjalan lebih cepat.
b.
Kompabilitas
Seringkali teknologi baru
yang menggantikan teknologi lama tidak saling mendukung, namun banyak pula dijumpai
penggantian teknologi lama dengan teknologi baru yang merupakan kelanjutan saja.
Bila teknologi baru itu merupakan kelanjutan
dari teknologi yang lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses
adopsi inovasi akan berjalan relatif lebih cepat. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan petani yang sudah terbiasa untuk menerapkan teknologi lama yang tidak
banyak berbeda dengan teknologi baru tersebut.
c. Kompleksitas
Inovasi suatu ide baru atau
teknologi baru yang cukup rumit untuk diterapkan akan mempengaruhi kesepatan
proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru tersebut dapat dipraktekkan,
maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu,
agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih cepat maka penyajian inovasi
baru tersebut harus lebih sederhana.
d. Triabilitas
Triabilitas merupakan persamaan dari kata kemudahan.
Artinya makin mudah teknologi baru tersebut dilakukan maka relatif makin cepat
proses adopsi inovasi yang dilakukan petani.
e. Observabilitas
Observabilitas disini maksudnya
adalah dapat diamatinya suatu inovasi. Seringkali ditemukan bahwa banyak kalangan
petani yang cukup sulit untuk diajak mengerti
mengadopsi inovasi dari teknologi baru, walaupun teknologi baru tersebut telah
memberikan keuntungan karena telah dicoba di tempat lain.
D.
Faktor yang Mempengaruhi
Proses Adopsi Inovasi
a. Saluran
komunikasi
Peranan saluran komunikasi
ini sangat penting. Inovasi yang disampaikan
secara individual akan berjalan secara lebih cepat bila dibandingkan dengan inovasi
tersebut dilakukan secara masal. Walaupun pendapat demikian tidak selalu benar,
hal itu dikarenakan masih banyak faktor lain yang mempennaruhi kecepatan proses
adopsi inovasi. Para peneliti membagi saluran komunikasi menjadi (1) saluran interpersonal
dan media massa, dan (2) saluran lokal dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal
adalah saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber dan penerima) antara dua orang atau lebih.
b. Ciri sistem
sosial
Faktor selanjutnya adalah
ciri dari sistem sosial yang ada di masyarakat di mana calon adopter itu bertempat
tinggal. Masyarakat yang lebih modern akan relatif lebih cepat bila dibandingkan
dengan masyarakat yang tradisional. Di samping itu masyarakat dengan individu-individu
kosmoplitas akan relatif lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat
yang bersifat lokalitas.
c. Kegiatan
promosi penyuluh pertanian
Proses adopsi inovasi ini
juga dipengaruhi oleh peranan komunikator yang biasanya ditampilkan oleh penyuluh
pertanian. Semakin giat penyuluh pertanian melaksanakan promosi tentang adopsi inovasi,
maka semakin cepat pula adopsi inovasi
yang dilakukan oleh masyarakat tani.
d. Sumber
informasi
Sumber informasi juga sangat
berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber informasi dapat berasal dari
media masa, tetangga, teman, petugas penyuluh pertanian, pedagang, pejabat desa
atau dari informan yang lain.
e. Faktor-faktor
geografis
Faktor-faktor geografis juga
dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Kondisi alam dari suatu daerah
dapat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Wilayah yang memiliki
kondisi alam yang sulit akan berpengaruh juga terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Misalnya wilayah yang topografinya curam dan berbukit-bukit akan lebih sulit dibandingkan
dengan wilayah yang datar. Lokasi juga berpengaruh terhadap kecepatan adospi inovasi.
Lokasi ini tentu berhubungan dengan jarak dan keterjangkauan. Daerah yang memiliki
jarak yang jauh dengan sumber informasi
atau daerah yang terisolir akan cukup sulit dalam proses adopsi inovasi.
E.
Produktivitas Pertanian
Berdasarkan tinjauan Geografis, Sumaatmadja (1988:166),
mengemukakan bahwa:
Pertanian sebagai suatu
sistem keruangan, merupakan perpaduan subsistem fisis dengan subsistem manusia. Kedalam subsistem fisis
termasuk komponen-komponen tanah,
iklim,
hidrografi, topografi
dengan segala proses alamiahnya. Sedangkan dalam
subsistem manusia termasuk tenaga kerja, kemampuan teknologi, tradisi
yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat, kemampuan ekonomi, dan kondisi politik setempat.
Pendapat diatas mengemukakan bahwa dalam sistem
usaha pertanian akan banyak dipengaruhi faktor-faktor baik fisik maupun sosial,
adapun faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
usaha pertanian salah satunya adalah produktivitas pertanian.
Partadireja (1980: 7), mengatakan bahwa:
Produksi per hektar ditentukan oleh keadaan
dan kesuburan tanah, varietas tanaman, penggunaan pupuk organik, tersedianya air
dalam jumlah dalam yang cukup dan alat-alat pertanian yang semuanya itu tremasuk
modal, teknik bercocok tanam, teknologi yang didalamnya termasuk organisasi, manajemen
dan gagasan- gagasan serta tenaga kerja.
Pendapat di atas mengungkapkan bahwa, hasil produktifitas
dalam pertanian akan banyak dipengaruhi kondisi fisik lahan pertanian itu sendiri,
pengelolaan usaha tani yang baik pula, serta modal yang cukup.
Produksi lahan pertanian sangat dipengaruhi
tingkat kesuburan tanah dan bagaimana pengelolaannya, yang dimaksud “produktivitas
lahan pertanian adalah kemampuan lahan untuk memproduksi sesuatu spesies tanaman
atau suatu sistem penanaman pada suatu sistem pengelolaan tertentu. Aspek pengelolaan
yang dimaksud misalnya pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan pengairan.
F.
Tingkat Pendapatan
Petani
Perbedaan
kebijaksanaan antar sektor
pertanian dan industri dapat dilihat
dalam keperluan akan
kebijaksanaan yang berada
antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga
mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku lain-lainnya. Pendapatan
pada beberapa negara Asia penduduk desa jauh lebih rendah daripada penduduk
kota yang hampir dari setengahnya. Mubyarto (1995: 250)
mengemukakan ada tiga hal yang menyebabkan rata-rata pendapatan penduduk
kota lebih yaitu :
a.
Kestabilan dan kemantapan yang lebih besar dari pendapatan penduduk
kota.
b.
Lebih
banyaknya lembaga-lembaga ekonomi dan
keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi.
c.
Lebih banyaknya fasilitas pendidikan
dan
kesehatan
dikota yang memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.
Sasaran pertanian ada dua yaitu sasaran sebelum panen atau sasaran
pra panen dan sasaran pasca penen. Sasaran pra panen ialah hasil pertanian
setinggi-tingginya. Sasaran ini merupakan sasaran tahap pertama atau sasaran
tahap pertama atau sasaran fisik.
Sasaran tahap kedua yaitu sasaran ekonomis atau sasaran akhir ialah pendapatan atau
keuntungan yang sebanyak-banyaknya tiap satuan lahan yang diusahakan karena
hasil panen tinggi belum tentu memberikan keuntungan atau pendapatan tinggi
pula.
Tingkat pendapatan dapat menunjukkan tinggi rendahnya keadaan sosial ekonomi
masyarakat tertentu. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang timbul di Indonesia
yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar petani.
Usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dari
lahan pertaniannya merupakan salah satu tujuan usaha pertanian. Tinggi rendahnya
pendapatan petani ditentukan beberapa hal
diantaranya pengolahan lahan, pemupukan dan pengairan. Selain itu juga keadaan cuaca,
sifat-sifat tanah dan keadaan sosial budaya
petani akan ikut menentukan pula, seperti yang dikemukakan arsyad (1987: 25) sebagai
berikut :
Besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya
terutama ditentukan oleh luas lahan garapan. Kecuali itu, faktor lain yang menentukkan
diantaranya produktivitas dan kesuburan tanah. Jenis komoditas yang diusahakan serta
tingkat penerapan teknologi pertanian.
Pendapatan petani menurut Arsyad tersebut tergantung
pada modal dan pengolahan lahan. Kedua hal tersebut menentukan hasil jerih payah
petani. Semakin besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengolahan lahan
yang baik akan menentukan besarnya pendapatan yang diperoleh petani. Sebaliknya
modal yang dimiliki sedikit kurang didukung pengolahan lahan pertanian yang maksimal
hasilnya pun akan sedikit.
Pendapatan petani memiliki cirri khas sendiri
yaitu penerimaan penghasilan hanya setiap musim panen sekali. Kadangkala dalam setahun
penerimaan penghasilan tersebut bisa sampai dua atau tiga kali, tetapi ada juga
yang hanya satu kali. Sehingga terdapat perbedaan antara pola pengeluaran
dalam masyarakat petani. Pendapatan petani hanya diterima sekali panen, sedangkan
pengeluaran harus dilakukan setiap saat.
Pendapatan petani pada umumnya ditandai tidak adanya
surplus produksi pertanian, sehingga menyebabkan terbatasnya kemampuan mereka dalam investasi. Pendapatan per kapita yang sangat
rendah di bawah kebutuhan minimum menyebabkan produktivitasnya rendah dan membatasi
dirinya untuk kesepatan berusaha. Sehingga untuk menutupi kebutuhan yang tidak
terbatas petani mencari sumber pendapatan lain di luar sektor pertain.
Jumlah rumah tangga petani di Indonesia didominasi
petani kecil, sebagaimana diungkapakan Soekartawi (1986:6), bahwa karakteristik
petani kecil di Indonesia ialah sebagai berikut:
a.
Petani yang pendapatannya rendah, kurang dari 240 Kg beras perkapita pertahun.
b.
Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar
jawa
c.
Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan terbatas.
d.
Petani yang memiliki
pengetahuan
terbatas dan kurang
dinamis.
Tinggi rendahnya pendapatan petani ditentukan beberapa faktor, hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan Arsyad (1989: 2). Bahwa:
Besar
kecil pendapatan
petani dari
usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan
garapan. Kecuali ada faktor lain yang turut menentukan,
diantaranya
produktivitas dan
kesuburan tanah, jenis
komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.
Kedua pendapat di atas pada dasarnya memiliki
maksa yang sama bahwa semakin besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengelolaan
yang baik maka semakin besar pula pendapatan yang akan diperolah petani dari
hasil pertaniannya, tetapi yang menjadi masalah pada umumnya bagi petani yaitu pendapatan yang diperoleh petani
setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat dalam waktu
yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
G.
Studi Kasus
Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
ADOPSI TEKNOLOGI M-BIO (Pengajuan Terdaftar Paten nomor P
20000939) SEBAGAI
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN BERKELANJUTAN (Tindak lanjut KKN-PPM 2007)
Oleh : Rudi Priyadi dan Rina Nuryati
Adopsi Teknologi M-Bio sebagai
pupuk hayati yang merupakan kultur campuran dari berbagai mikroorganisme yang menguntungkan
bagi perbaikan tanah dan tanaman, dan dikembangkan di Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi pada usaha
budidaya tanaman padi dengan System Rice Intensification (SRI) merupakan
aplikasi teknologi pertanian ramah
lingkungan yang mendukung program pembangunan berkelanjutan, karena secara
teknis dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya setempat dan pemanfaatan
limbah ( sampah tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, sampah kota, sampah dapur,
dsb), serta dihindari sama sekali penggunaan bahan kimia baik berupa pupuk
maupun pestisida.
Pengujian di lapangan sejak tahun
1998 teknologi ini telah mampu memberikan peningkatan hasil pada beberapa
komoditas pertanian. Dan Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di
Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi teknologi ini
mampu menghasilkan 300 gram GKP per rumpun tanaman padi. Kemudian di PKBM
Al-Hidayah yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang telah mengadopsi
teknologi ini satu rumpun tanaman padi mampu memberikan hasil rata-rata sebesar
160 gram GKP. Sementara itu di lahan sawah satu rumpun tanaman padi hanya
menghasilkan rata-rata 80 gram GKP (Rina Nuryati dkk, 2008).
Sehubungan dengan hal tersebut
maka teknologi tersebut perlu segera disosialisasikan kepada para petani untuk
diadopsi pada usaha budidaya tanaman padi yang dilakukannya karena menurut
Wiraatmadja (1985) penemuan baru itu tidak akan banyak manfaatnya, apabila
tidak diketahui dan tidak digunakan oleh banyak orang. Sehubungan dengan hal
tersebut maka telah dilakukan sosialisasi teknologi tersebut melalui
penyelenggaraan KKN PPM 2007 yang ditindak lanjuti dengan Program Penerapan
Ipteks 2009.
Tujuan yang ingin dicapai dari
penyelenggaraan program ini adalah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
sekaligus efektivitas dan efisiensi usahatani yang dilakukan melalui
pemanfaatan bahan organik yang banyak tersedia di lingkungan sekitar petani,
mengurangi ketergantungan petani pada penggunaan pupuk anorganik yang sering kali
mengalami kelangkaan pada saat musim tanam tiba, dihasilkannya bahan pangan
pokok bagi masyarakat yang aman dan sehat serta bebas dari berbagai bahan kimia
yang berbahaya, menjamin keberlangsungan proses produksi dari usahatani yang
dilakukan sekaligus menjamin kelestarian lingkungan di mana proses produksi dilakukan
sehingga mendukung proses pembangunan pertanian yang berkelanjutan, kemudian
yang paling penting adalah meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani pada khususnya sekaligus meningkatkan
aktivitas perekonomian pada sektor lainnya.
Bahan dan Metode
Kegiatan dilakukan di Desa Setiawaras Kecamatan
Cibalong Kabupaten Tasikmalaya, yang pada Bulan Oktober 2007 desa ini telah
dijadikan lokasi pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata sebagai Pembelajaran
Pemberdayaan Masyarakat atau di kenal dengan KKN-PPM oleh Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas Siliwangi dengan
Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dan dalam
penyelenggaraannya mendapatkan dana hibah dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (DP2M) Dikti melalui Universitas Gajah Mada Yogyakarta
sebagai Koordinator KKN-PPM. Selanjutnya pada tahun 2009 diteruskan dengan pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 yang dalam
pelaksanaannya didanai dari APBN Ditjen Pendidikan Tinggi.
Desa Setiawaras terpilih sebagai lokasi
penyelenggaraan kegiatan KKN-PPM 2007 dan Program Penerapan Ipteks 2009 karena desa ini memiliki potensi desa yang cukup besar
bagi pengembangan tanaman budidaya, khususnya padi, dengan luas lahan sawah beririgasi seluas 915,4 ha
dan luas lahan sawah tadah hujan seluas 233.568 Ha. Sedangkan luas desa
keseluruhan seluas 1.829.418 Ha berupa lereng dan memiliki jumlah penduduk
sebanyak 4.365 penduduk dengan jumlah kelompok tani sebanyak 10 kelompok tani .
Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah Metoda
penyuluhan yang disertai dengan diskusi dan tanyajawab untuk meningkatkan mutu
pengetahuan dan pengalaman petani. Kemudian Metode pelatihan digunakan untuk membantu
petani dalam meningkatkan kemampuan teknis persiapan dan pelaksanaan aplikasi
teknologi M-Bio yang diteruskan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk
melihat perkembangan dari hasil adopsi Teknologi M-Biopada budidaya tanaman
padi.
Dalam upaya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan
keterampilan petani serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani sasaran
program terhadap Teknologi M-Bio sekaligus untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi
M-Bio, selama kegiatan monitoring danevaluasi dilakukan wawancara dengan petani
sasaran program yang dalam pelaksanaannya dipandu dengan bantuan daftar
pertanyaan atau kuesioner.
Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 26 petani
responden di sembilan Dusun yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara
acak supaya hasil yang diperoleh representative dan mewakili populasi yang
diamati. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis
Nilai Tertimbang (Rasyid, 1995) untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan
keterampilan petani, serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap Teknologi
M-Bio. Sementara itu untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan
keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio dilakukan analisis dengan
menggunakan Analisis Kendall-W.
Hasil dan Pembahasan
Sosialisasi Teknologi M-Bio yang telah dilaksanakan
melalui penyelenggaraan Program KKN PPM 2007 telah berhasil menggugah kesadaran
sebagian besar petani di Desa Setiawaras untuk melaksanakan budidaya tanaman padi
secara organik dengan memanfaatkan berbagai sumber bahan organik yang tersedia
di sekitar petani. Aplikasi Teknologi M-Bio ini sudah diterapkan pada usaha
pembuatan pupuk organik padat, pupuk organik cair dan pestisida nabati serta
pada teknis budidaya tanaman padi di lapangan
yang dalam pelaksanaannya dipadukan dengan system budidaya tanaman padi
SRI.
Pengembangan usaha pembuatan pupuk organik ini seiring
dengan program Departemen Pertanian yang telah mencanangkan dan memprogramkan
pengembangan pertanian organik, dan sejalan dengan program Revitalisasi Pertanian,
dengan aspek peningkatan mutu, nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran
utama.
Kondisi di atas ini diketahui berdasarkan hasil survey
pendahuluan yang dilakukan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Program
Penerapan Ipteks 2009 yang merupakan program tindak lanjut dari penyelenggaraan
KKN PPM 2007. Kesadaran petani dalam melaksanakan usaha budidaya tanaman padi
organik ini juga didukung oleh potensi sumber bahan organik di Desa Setiawaras
yang cukup berlimpah.
Potensi bahan organik lainnya juga tersedia dari luar
Desa Setiawaras yaitu bahan organic yang berasal dari limbah usaha
penggergajian kayu yang kapasitasnya dapat mencapai 18 ton/hari dan limbah dari
pabrik kapur berupa abu/kapur dolomite yang dapat ditambahkan pada pupuk
organik yang dibuat dengan aplikasi Teknologi M-Bio untuk meningkatkan kualitas
pupuk organik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono
Hardjowigeno (1992) yang menyatakan bahwa pemberian kapur dolomite berguna
untuk menaikkan pH tanah agar unsure-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman
dan keracunan Al dapat dihindarkan.
Budidaya tanaman padi organik dengan aplikasi
Teknologi M-Bio di Desa Setiawaras ini menurut hasil wawancara dengan petani
telah berhasil menaikkan produktivitas tanaman padi sebesar 10-15 persen.
Hal ini disebabkan karena pupuk organik dengan
aplikasi teknologi M-Bio mempunyai kandungan unsure hara yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kompos/pupuk kandang (tanpa fermentasi kultur mikroba),.
Diantaranya kandungan N dan K meningkat masing-masing 100 persen dan 30 persen
dengan C/N = 8, pupuk organik tersebut apabila diaplikasikan ke dalam tanah
maka bahan organiknya akan digunakan sebagai makanan bagi mikroorganisme efektif
untuk berkembang biak di dalam tanah, sehingga juga sekaligus sebagai penyedia
unsur hara/makanan bagi tanaman.
Oleh karena itu selain berguna untuk menambah komponen
bahan organik untuk perbaikan sifat fisika tanah dan menambah unsur-unsur hara,
juga mengandung antibiotik (menekan patogen/pembawa penyakit) dan
mikroorganisme yang bermanfaat yang diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi
tanah (Analisis Laboratorium Analis Kimia Bogor, 2007). Hal tersebut
menyebabkan kebutuhan unsur hara tanaman dapat terpenuhi sehingga dapat meningkatkan
produktivitas tanaman padi yang diusahakan.
Keberhasilan penyelenggaraan KKN PPM 2007 juga
mendapatkan apresiasi dan dukungan dari pemerintah,yaitu dengan dikucurkannya
bantuan ternak sapi sebanyak 50 ekor kepada kelompok tani di Desa Setiawaras.
Bantuan ternak sapi ini diterima oleh kelompok tani pada tahun 2007 yaitu
sekitar 2 bulan setelah penyelengaraan KKN PPM 2007 berakhir. Kondisi ini
semakin menggairahkan petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman padi dengan
aplikasi pupuk organik sekaligus melakukan usaha ternak sapi potong yang limbah
kandangnya dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan pupuk organik.
Hal yang lebih menggembirakan dari hasil survey
pendahuluan diketahui bahwa saat ini Kelompok Tani “Kalapa Herang” di Dusun
Cipigan yang merupakan salah satu kelompok tani sasaran program KKN PPM 2007
telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik dengan Aplikasi
Teknologi M-Bio dan produknya telah masuk ke perusahaan Pupuk Kujang di
Cikampek dengan kapasitas pemesanan sebanyak 100 – 200 ton/bulan.
Keadaan ini tentu saja menjadi peluang yang sangat
menjanjikan bagi peningkatan aktivitas perekonomian kelompok tani Kalapa Herang
pada khususnya dan masyarakat Desa Setiawaras pada umumnya. Akan tetapi kendala
yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut saat ini adalah terbatasnya kapasitas
produksi yang dapat dicapai sehubungan dengan keterbatasan alat dan peralatan
yang dimiliki untuk memenuhi stándar mutu yang telah ditetapkan oleh pihak
Pupuk Kujang.
Kondisi ini pada akhirnya mendorong kelompok tani
Kalapa Herang untuk menjalin kerjasama dengan kelompok tani lain dari Desa
Setiawaras yang telah menjadi sasaran program penyelenggaraan KKN PPM 2007
untuk mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik guna merespon peluang pasar
yang telah tersedia, dan ternyata mendapat tanggapan yang positif, meskipun
dalam pelaksanaannya masih memerlukan pembinaan lebih lanjut untuk mampu
menghasilkan pupuk organik seperti yang telah dihasilkan oleh Kelompok Tani
Kalapa Herang untuk mampu menembus pasar PT. Pupuk Kujang Cikampek. Hal ini
menyebabkan saat ini aktivitas perekonomian masyarakat di Desa Setiawaras lebih
hidup dan lebih maju.
Namun demikian keberhasilan tersebut belum dicapai
oleh seluruh petani yang ada di Desa Setiawaras karena proses adopsi terhadap
suatu teknologi dari setiap individu petani berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat
dari masih terdapatnya sebagian petani yang dalam proses pembuatan pupuk
organiknya belum melaksanakan proses pembuatan sesuai dengan prosedur yang
telah diberikan. Seperti tidak dilakukannya pengecekan suhu secara berkala
terhadap bahan pupuk organik padat yang dibuat, padahal ini penting dilakukan
agar proses fermentasi bahan organik berjalan sempurna guna menjamin kualitas
pupuk organik yang dihasilkan. Demikian juga dengan proses aplikasi di lapangan
masih terdapat beberapa tahapan yang tidak dilaksanakan oleh sebagian petani
sasaran program.
Menurut Rogers dalam Hanafi (1997), proses keputusan
terhadap suatu teknologi baru terdiri dari empat tahapan yaitu (1) tahap
pengenalan, di mana seseorang mengetahui adanya suatu inovasi baru dan
memperoleh beberapa keterangan tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi,
(2) tahap persuasi, yaitu dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak
terhadap inovasi tersebut, (3) Tahap Keputusan yaitu dimana seseorang terlibat dalam
kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi dan
(4) Tahap Konfirmasi yaitu di mana seseorang mencari penguat bagi keputusan
inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin seseorang mengubah
keputuannya apabila memperoleh informasi yang bertentangan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka setelah suatu
program kegiatan selesai dilaksanakan sebaiknya diteruskan dengan program
tindak lanjut yang sejalan dengan program yang telah dilakukan untuk memberikan
bimbingan dan pendampingan sekaligus pencerahan sebagai upaya penyegaran guna
menjamin keberlangsungan program yang telah disampaikan.
Selanjutnya dengan berpedoman pada hasil survey
pendahuluan maka pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 hanya ditujukan pada
petani atau kelompok tani tertentu saja yang masih menghadapi kendala tertentu
dalam adopsi Teknologi M-Bio. Sehubungan dengan hal tersebut maka kegiatan
penyuluhan dan pelatihan yang merupakan Metode yang digunakan dalam Program
Penerapan Ipteks 2009 pun disesuaikan dengan kondisi petani atau kelompok tani
tertentu, karena ternyata permasalahan yang dihadapi oleh petani maupun
kelompok tani sangat khusus dan bersifat lokal sehingga pemecahan masalah atau
solusinya pun hanya berlaku untuk petani atau kelompok tani tertentu.
Dalam pelaksanaannya, penyuluhan dan pelatihan ini
tidak selalu harus dilakukan secara bersamaan karena seringkali hanya dengan
memberikan penyuluhan saja petani sudah mengerti atau sudah paham tentang
materi yang semula ditanyakan tanpa harus diikuti dengan kegiatan pelatihan.
Meskipun pada keadaan tertentu memang kadang-kadang kedua kegiatan tersebut
harus dilakukan bersamaan karena petani merasa perlu untuk mendapat penjelasan lebih
detail lagi. Dengan demikian penyuluhan dan pelatihan yang dilaksanakan pada
kegiatan ini umumnya hanya bersifat tukar pikiran dan pendapat saja, karena
sebagian besar petani Di Desa Setiawaras sudah paham tentang Teknologi M-Bio
dan hanya perlu memberikan penekanan pada point-point tertentu saja untuk
menambah keyakinan akan keefektifan teknologi ini. Di samping itu guna menjamin
keberlangsungan program selanjutnya, sekaligus untuk membantu dalam memberikan
bimbingan teknis dalam aplikasi teknologi di lapangan telah ditunjuk kelompok
tani pembina yaitu kelompok tani Kalapa Herang yang ada di Dusun Cipigan.
Sebagai kegiatan selanjutnya dari Program Penerapan
Ipteks 2009 adalah kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat,
memantau sekaligus mengkaji progam Penerapan Ipteks yang telah dilaksanakan.
Monitoring dan evaluasi disertai dengan memberikan bimbingan dan pendampingan
kepada petani di lapangan secara langsung, serta melakukan kembali wawancara
disertai dengan menyebarkan kembali daftar pertanyaan atau kuesioner.
Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani tentang kegiatan yang dilaksanakan
sekaligus untuk mengetahui tingkat adopsi progam, setelah program Penerapan
Ipteks 2009 dikerjakan oleh petani sasaran program, juga ditujukan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan
tingkat adopsi Program Penerapan Ipteks 2009.
Hasil penyebaran kuesioner kepada 26 petani responden
di sembilan Dusun yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak dan
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis Kendall-W, dengan hasil
analisis dan pembahasan sebagai berikut :
1.
Tingkat Pengetahuan dan
Keterampilan Petani
Pengetahuan petani yang dianalisis pada program
Penerapan Ipteks ini meliputi pengetahuan petani tentang pupuk organik dan
tentang Teknologi M-Bio, sementara dari keterampilan petani dianalisis meliputi
keterampilan dalam menentukan sumber bahan organik, menentukan alat dan bahan
untuk proses pembuatan pupuk organik, keterampilan dalam proses pembuatan pupuk
organik pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan
aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio di lapangan.
Pengukuran tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu rendah (skor 20 – 33,3), sedang (skor
33,3 – 46,66), dan tinggi (46,66 – 60). Hasil analisis diketahui bahwa tingkat pengetahuan
dan keterampilan petani diperoleh skor 48,35 dengan skor ideal 60,00 sehingga
berada pada kategori tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Setiawaras
telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang pupuk organik termasuk tentang
sumber bahan organik yang dapat digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Demikian
juga dengan pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan penggunaan pupuk
organik serta tentang aplikasi pupuk organik di lapangan, petani di Desa
Setiawaras sudah memahaminya, sehingga pupuk organik sudah digunakan secara
umum pada usaha budidaya tanaman padi yang dilaksanakannya.
Demikian juga dalam hal pengetahuan petani tentang
maksud dan tujuan aplikasi Teknologi M-Bio, tentang aplikasi Teknologi M-Bio
pada teknis pembuatan pupuk organik padat, cair, pestisida nabati termasuk
aplikasinya di lapangan, petani sudah tahu dan sudah memahaminya. Selanjutnya
dari segi keterampilannya petani sudah memiliki keterampilan yang memadai untuk
menentukan sumber bahan organik guna dipakai dalam pembuatan pupuk organik,
sudah mampu menentukan alat dan bahan yang digunakan untuk proses pembuatan
pupuk organik. Demikian juga dengan keterampilan dalam melaksanakan proses pembuatan
pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi
pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio, secara umum tentang hal tersebut
sudah mampu dilaksanakan oleh petani Di Desa Setiawaras.
2. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi M-Bio
Variabel adopsi yang dianalisis
meliputi variabel adopsi Teknologi M-Bio dalam proses pembuatan pupuk organik
padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair, pada prose pembuatan
pestisida nabati dan pada proses aplikasinya di lapangan. Pengukuran tingkat
adopsi terhadap Program Penerapan Ipteks 2009 diklasifikasikan dalam 3 kategori
yaitu rendah (skor 22 – 36,67), sedang (skor 36,67 – 51,34) dan tinggi (51,34 –
66). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tingkat adopsi petani terhadap
teknologi M-Bio diperoleh skor 57,57 dengan skor ideal 66,00 sehingga berada
pada kategori tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa petani
Di Desa Setiawaras pada umumnya sudah menerapkan Teknologi M-Bio pada proses
pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair,
pada pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasi Teknologi tersebut di
lapangan. Dengan sudah diadopsinya teknologi ini maka dihasilkan pupuk organik
dan pestisida berkualitas sekaligus ramah lingkungan.
Salah satu indikator keberhasilan
dari aplikasi Teknologi M-Bio ini berdasarkan hasil wawancara dengan responden
diketahui bahwa saat ini telah terjadi peningkatan produktivitas tanaman padi
yang mencapai 5 sampai 10 persen.
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani dengan
Adopsi Teknologi M-Bio
Dalam upaya mengetahui hubungan
antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan adopsi Teknologi
M-Bio yang merupakan Program pokok Penerapan Ipteks 2009, dilakukan dengan
menggunakan Analisis Kendall-W.
Hasil analisis diperoleh nilai
level of significant sebesar 0,005 dengan nilai korelasi sebesar 0,415, selanjutnya
apabila dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,025 maka menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
dengan adopsi Teknologi M-Bio. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi
petani terhadap Teknologi M-Bio. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani maka semakin rendah pula tingkat adopsi
Teknologi M-Bio.
Dengan demikian dalam upaya untuk
meningkatkan adopsi Teknologi M-Bio di tingkat petani diperlukan upaya untuk
terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para petani. Karena dengan
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani, maka akan menjadikan petani
lebih produktif dalam menerapkan penemuan-penemuan baru baik berupa teknologi
maupun manajemen usahatani pada umumnya (Mubyarto, 1989).
Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan petani salah satunya dapat dilakukan melalui pelaksanaan progam
lanjutan dari program yang telah dilaksanakan seperti Program Penerapan Ipteks
ini. Karena suatu program yang akan dicoba untuk disosialisasikan kepada para
petani perlu dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan, sehubungan dengan
adanya keterbatasan kemampuan pada masing-masing individu petani untuk
mengadopsi suatu teknologi baru termasuk adanya berbagai perkembangan di
lapangan yang menyebabkan petani memerlukan bimbingan dan arahan yang lebih
lanjut.
Seperti yang terjadi saat ini pada
Kelompok Tani Kalapa Herang di Desa Setiawaras yang telah berhasil mengembangkan
usaha pembuatan pupuk organik sehingga terdapat permintaan dari PT. Pupuk
Kujang Cikampek sebanyak 100 – 200 ton/bulan. Hal ini memerlukan bimbingan dan
arahan termasuk pendampingan untuk menjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitas
produksi yang bisa dihasilkan guna mempertahankan kepercayaan pasar yang telah ada
bahkan untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Dengan demikian diharapkan setelah
program Penerapan Ipteks ini selesai dilaksanakan dapat diteruskan dengan
program berikutnya yang sejalan dengan program yang telah diselenggarakan
sehingga program pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Rina Nuryati, Betty Rofatin,
Tenten Tedjaningsih, Rudi Priyadi. 2008. Keragaan Usahatani Tanaman Padi Pada
Polybag. Jurnal Agribisnis Program
Pascasarjana Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Hanafi. 1997. Memasyarakatkan
Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi
tanggal 15 September 2008.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi
Pertanian. LP3S. Jakarta.
Rasyid. 1995. Prilaku Kepemimpinan
dan Dinamika Kelompok sebagai Determinan Penting bagi Peningkatan Produktivitas
Kerja Kelompok Karyawan. Disertasi Pascasarjana UNPAD. Bandung.
Sarwono Hardjowigeno. 1992. Ilmu
Tanah. PT. Melon Putra. Jakarta.
Wiraatmadja. 1983. Penyuluhan
Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah. Jakarta
No comments:
Post a Comment