HENTIKAN PENGKAPLINGAN DAN PRIVATISASI PESISIR DANPULAU-PULAU KECIL
Jakarta, 18 Desember 2013. Pengesahan Perubahan atas
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil akan dilakukan hari ini dalam rapat paripurna DPR RI.
Berdasarkan draft Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diterima dan akan
disahkan ternyata tidak banyak berubah dari draft versi 16 September 2013.
Berdasarkan draft yang diterima terdapat beberapa hal yaitu: pertama, revisi
sangat pro asing untuk mengekploitasi pulau-pulau kecil dan perairan
disekitarnya; kedua tetap akan mengkapling dan memprivatisasi sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil; ketiga, tidak memastikan bagaimana hak nelayan
tradisional untuk mengakses sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk mengingatkan kembali bahwa pada 16 Juni 2011,
Mahkamah Konstitusi telah memutus uji materil terhadap UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui Putusan MK
Nomor 3/PUU-VIII/2010. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi
dilakukan oleh 27 Nelayan Tradisional bersama KIARA, IHCS, dan KPA serta 5
organisasi masyarakat sipil lainnya. Terdapat dua bagian penting dalam putusan
tersebut, yakni pertama, membatalkan keseluruhan pasal-pasal yang terkait
dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3); dan kedua, menilai Pasal 14
ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007 yang meniadakan partisipasi masyarakat pesisir
dalam penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan
dinyatakan telah melanggar UUD 1945.
Pertama, dalam Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil sangat jelas pro terhadap investasi asing dilihat dari
pasal 26A bagaimana pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya harus
mendapat izin menteri. Izin tersebut dikamuflase dengan
persyaratan-persyaratan. Namun tidak memastikan tidak akan melakukan
peminggiran/penggusuran terhadap akses nelayan tradisional terhadap sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagaimana banyak terjadi resort-resort milik
asing di pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai dan menutup akses penghidupan nelayan
tradisional.
Kedua, tetap memprivatisasi dan mengkapling sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pengubahan skema hak menjadi
perizinan. Skema perizinan akan melalui dua tahap perizinan yaitu izin lokasi
dan izin pengelolaan yang tetap akan mengekploitasi sumber daya pesisir pesisir
dan pulau-pulau kecil. Dalam revisi UU Pesisir, skema tersebut tidak memastikan
hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan
sumber daya pesisir. Tanpa hak tersebut skema tersebut dapat dipastikan akan
tetap melanggar UUD 1945 yang memandatkan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dimanfaatkan untuk ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketiga, hak asasi nelayan tradisional kembali tidak
diakui dan tidak dilindungi dalam revisi UU Pesisir. Hal ini terlihat dari
tidak dijadikannya Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 sebagai rujukan revisi UU
Pesisir. Terlebih dalam Pasal 17 ayat (2) Draft Revisi UU Pesisir, nelayan
tradisional dan masyarakat pesisir hanya menjadi pertimbangan dalam memberikan
izin lokasi. Ditambah lagi dalam Pasal 20 masyarakat pesisir tetap wajib untuk
memiliki ijin dalam mengelola sumber daya pesisir walaupun difasilitasi oleh
pemerintah. Padahal Putusan MK telah menyatakan bahwa pembiaran persaingan antara
nelayan tradisional dengan pengusaha merupakan pelanggaran UUD 1945 karena
kondisi yang berbeda atas akses modal, teknologi dan pengetahuan. Hal ini
sangat jelas DPR RI tidak merujuk UUD 1945 sebagai dasar melakukan perubahan.
Untuk itu kami kami menolak pengesahan revisi UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atas nama nelayan tradisional
dan masyarakat adat dan seluruh masyarakat pesisir sebagai rakyat Indonesia.
Kesatuan
Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA), Institute for Human Rights Commite for Social Justice (IHCS), Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI Nasional).
No comments:
Post a Comment