DEMOKRASI DAN
KEKECEWAAN
Penulis : Goenawan Mohamad, dkk.
Penyunting : Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad), Yayasan Paramadina, 2009
Tebal : XVI + 100 halaman
KETIKA politik jatuh menjadi
semata-mata persaingan rutin mengejar kuasa dengan berbagai cara, demokrasi
jadi nasib buruk yang tak dapat ditampik. Ulah para anggota DPR yang korup,
politikus yang hanya berkhidmat kursi, dan partai-partai yang terlampau
egoistis mengejar kepentingannya membuat harapan pada demokrasi jadi retak.
Demokrasi
dan bagaimana kekecewaan terhadapnya dirumuskan, itulah yang muncul dalam buku
Demokrasi dan Kekecewaan. Sampul buku ini menegaskan kekecewaan itu sembari
mengejek: memajang poster kampanye sejumlah calon anggota legislatif dengan
aneka gaya, dari superman sampai rocker. Itukah hasil demokrasi kita?
Demokrasi dan Kekecewaan bermula
dari orasi ilmiah budayawan Goenawan Mohamad dalam acara Nurcholish Madjid
Memorial Lecture (NMML), di Universitas Paramadina, Jakarta, 23 Oktober 2008.
Orasi yang kemudian mendapat tanggapan dari sejumlah intelektual: R. William
Liddle, Rocky Gerung, Samsu Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan
Ihsan Ali-Fauzi.
Dalam orasi ”Demokrasi dan
Disilusi”, Goenawan seperti mengumandangkan kekecewaan banyak orang terhadap
demokrasi yang: (1) tak mungkin mewakili semua aspirasi karena berdasar pada
konsensus, dan (2) tak membuka peluang alternatif-alternat if baru. Apa yang
masih tersisa lantas?
Goenawan mendakwahkan untuk
selalu setia mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique—Robet
menerjemahkannya sebagai ”yang politis”, yang muncul dalam peristiwa-peristiwa
besar, seperti Reformasi), melalui perundang-undangan dan partai atau justru
melawannya. Sedangkan Rocky menganjurkan untuk terus-menerus meradikalisasi
demokrasi, agar toleransi, keadilan, dan civil liberties dapat terpenuhi.
Goenawan menunjuk biang
kemandulan demokrasi itu pada ”kurva lonceng”: bahwa sebagian besar orang tak
menggandrungi perubahan yang radikal dan ekstrem. Pada titik ini, ia seperti
menyuarakan kritik kaum kiri tentang cacat bawaan demokrasi: ketakcukupannya
untuk menghasilkan perubahan radikal.
Syukurlah, tak semua penulis
dalam buku ini kecewa pada demokrasi. Liddle, Indonesianis paling berpengaruh saat
ini, menyabarkan kita lewat sabda Weber: ”Politik adalah pengeboran kayu keras
yang sulit dan lama.” Ia memberikan amsal pengalaman panjang Amerika Serikat
berdemokrasi, sehingga seorang Obama, warga Afro-Amerika, dapat terpilih
menjadi presiden. Liddle yakin, bangsa Indonesia bisa belajar dari sejarah
Amerika, dengan mengoptimalkan aktor-aktor politik di dalam sistem: pemerintah
pusat, partai, anggota legislatif, dan terpenting pemerintah daerah.
Optimisme yang terus terang
diperlihatkan oleh Rizal Panggabean, dengan menunjuk tampilnya Indonesia
sebagai kampiun demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Indikasinya: kekerasan
agama dan etnis yang muncul menyusul jatuhnya Orde Baru teratasi, hak-hak
politik dan kebebasan sipil terpenuhi. Meski, harus diakui masih terdapat
sejumlah ancaman, seperti fundamentalisme keagamaan, ekstremisme, dan
separatisme. Rizal membujuk kita merayakan demokrasi sekaligus menerima
kekurangannya.
Sedangkan Ihsan, setelah melihat pengalaman
munculnya partai-partai libertarian- kiri (”partai gerakan”) di Eropa, sampai
pada kesimpulan setengah provokatif tentang perlunya membentuk ”partai gerakan”
sebagai alternatif dari partai-partai lama sekaligus pendobrak bagi kebuntuan
demokrasi.
Buku ini mengisi perdebatan
intelektual di ranah politik yang selama sepuluh tahun terakhir jarang kita
dapati. Sayang, beberapa artikel yang disajikan terasa bagai minum beberapa
teguk air namun harus berhenti sebab gelas telah kosong. Kita berharap
perdebatan itu hadir dengan argumentasi dan elaborasi yang lebih dalam.
Boleh jadi, buku ini sekadar
pembuka bagi perdebatan lebih jauh. Yang jelas, buku ini telah mengingatkan
kita untuk terus mengikhtiarkan substansi demokrasi, dan tak hanya berhenti
pada prosedur.
No comments:
Post a Comment