Monday, July 7, 2014

TATA KELOLA WILAYAH PESISIR DAN PULAU KECIL MENUJU KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


TATA KELOLA WILAYAH PESISIR DAN PULAU KECIL  MENUJU KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


Pada saat ini terdapat 319 kabupaten/kota yang berada di wilayah pesisir,kabupaten/kota tersebut mempunyai peranan yang strategis selain menjadi pusat konsentrasi penduduk, juga menjadi pusat pertumbuhan kegiatan ekonomi. Terjadinya pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi yang prospektif di kabupaten/kota pesisir, seperti: kegiatan perikanan, industri maritim, pariwisata bahari, perhubungan, jasa-jasa perdagangan, serta pemukiman. Menjadikan hampir sebagian besar ibukota Provinsi,  kabupaten/kota berada di wilayah pesisir. Dengan demikian, maka kota-kota pantai memiliki peranan penting sebagai pembentuk struktur ruang di wilayah kepulauan Indonesia. Sehingga perlu ditata secara harmonis dan bersinergis agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, degradasi lingkungan, dan penggunaan sumberdaya secara tidak efisien dan efektif. Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Sudirman Saad dalam acara Sosialisasi UU No. 1 tahun 2014, di Jakarta (18/6).

Perkembangan wilayah DKI Jakarta, tentunya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota-kota pantai lainnya yang berada di wilayah pantura Jawa atau bahkan kota-kota lain di Indonesia dan manca negara. Kebutuhan perkembangan kota Jakarta, baik sebagai ibukota negara, maupun sebagai pusat utama kegiatan sosial-budaya dan ekonomi, tentu saja memerlukan dukungan infrastruktur yang lengkap dan memadai. Di satu sisi, upaya pemenuhan kebutuhan lahan bagi pembangunan infrastruktur dan kegiatan kota, biasanya dihadapkan pada persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat kompleks. Di sisi lain, kota perlu memiliki luas lahan untuk ruang terbuka yang memadai, agar kenyamanan dan kesegaran lingkungan kota dapat terjamin, tambahnya.

Dalam menghadapi masalah keterbatasan lahan, kota-kota besar dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mengembangkan kota di dalam perut bumi, atau mengembangkan kota dengan mereklamasi pantai. Dengan mempertimbangkan segenap kendala dan tantangan, maka reklamasi pantai sering menjadi pilihan dalam mengatasi kebutuhan lahan bagi pengembangan kota ke depan. Sebagai contoh, kota-kota pantai di dunia yang telah melakukan reklamasi pantai antara lain Kawasan Palm Island di Dubai, Shenzen Area di Hongkong, Changi di Singapura,Thilafushi Island di Maldives, dan Amsterdam di Belanda. Dalam perkembangannya, kawasan baru hasil reklamasi pantai selain dapat menjadi sumber pendapatan dari aktivitas di dalamnya, juga dapat menjadi icon kunjungan wisata yang bernilai tinggi.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 joncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengamanatkan pada pasal 34, bahwa reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP-3-K), dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah WP-3-K ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial-ekonomi.

Untuk menghindari dampak negatif kegiatan reklamasi pantai, maka Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur ketentuan-ketentuan mulai dari aspek pertimbangan, ketentuan ijin lokasi reklamasi, hingga ketentuan ijin pelaksanaan reklamasi. Untuk menjamin agar kegiatan reklamasi pantai mampu memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi kesejahteraan masyarakat, baik masyarakat lokal, masyarakat tradisional, maupun masyarakat adat, maka Perpres Nomor 122 Tahun 2012 mengamanatkan untuk memperhatikan aspek-aspek teknis, aspek lingkungan hidup, dan aspeksosial-ekonomi. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalkan terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya, pesisir dan pulau-pulau kecil. 
          
Berbagai penguasaan atas perairan laut, seperti daerah lingkungan kerja pelabuhan, daerah konsesi pertambangan, kawasan konservasi perairan, alur pipa/kabel laut dan alurpelayaran/kapal, juga harus diperhatikan dalam pemberian ijin lokasi reklamasi pantai. Terkait dengan kompleksnya penguasaan dan penggunaan ruang di perairan laut tersebut, maka Perda RZWP-3-K menjadi sangat penting, karena didalam RZWP-3-K seluruh kegiatan diatur rencana alokasi ruangnya secara harmonis. Untuk itu, maka Perpres Nomor 122 Tahun 2012 mensyaratkan bahwa penerbitan ijin lokasi dan ijin pelaksanaan reklamasi, harus mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Dengan kata lain, bahwa ijin reklamasi di perairan pesisir tidak dapat diterbitkan sebelum provinsi dan atau kabupaten/kota belum menetapkan RZWP-3-K menjadi peraturan daerah. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jonctoUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah Daerah wajib menyusun RZWP-3-K, yang merupakan instrumen perijinan kegiatan di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.

          Dalam hal kewenangan pemberian ijin dan persyaratan serta tata cara pemberian ijin reklamasi dan ijin pelaksanaan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, telah diatur ketentuannya secara jelas didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor17/PERMEN-KP/2013 tentang Perijinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kewenangan pemberian ijin tersebut berada pada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan untuk pemberian ijin reklamasi dan ijin pelaksanaan reklamasi di Kawasan Strategis Nasional Tertentu, Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Lintas Provinsi, Kawasan Pelabuhan Perikanan yang dikelola Pemerintah, dan di lokasi obyek vital nasional menjadi kewenangan pemerintah.

Reklamasi pantai di Teluk Jakarta dapat kita lihat sebagai bagian dari upaya merevitalisasi Pantura Jawa. Di satu sisi, kita merasakan bahwa Pantura Jawa saat ini telah dihadapkan pada berbagai persoalan lingkungan, seperti penurunan permukaan tanah, kenaikan permukaan air laut,  proses pengasinan air tanah oleh air laut, abrasi dan erosi pantai akibat kerusakan hutan pantai, banjir di daerah muara sungai, dan sedimentasi secara intensif. Persoalan-persoalan tersebut sedikit banyak berpengaruh kepada kelancaran kegiatan produksi, koleksi, dan distribusi barang dan jasa pada wilayah-wilayah di Pantura Jawa. Di sisi lain, penguasaan lahan di wilayah Pantura Jawa sudah sangat komplek. Berbagai jenis kegiatan telah tumbuh dan berkembang di Pantura Jawa. Revitalisasi Pantura Jawa secara terpadu dalam satu pulau merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tata ruang wilayah sekaligus untuk mengoptimalkan fungsi pelayanan Pantura Jawa agar berkelanjutan, produktif, aman, dan nyaman.

Saat ini, rencana reklamasi pantai untuk kota-kota lainnya di Pantura Jawa sebagian besar sudah dipersiapkan, seperti Kota Tangerang, Cirebon, Semarang, Pekalongan, Surabaya dan sekitarnya. Secara keseluruhan rencana tersebut masih perlu kita serasikan, agar dapat menjadi satu kesatuan sistem revitalisasi Pantura Jawa yang terpadu, baik sistem lingkungan, sistem infrastruktur, maupun sistem sosial-ekonomi. Sistem jaringan prasarana, seperti kepelabuhanan, pipa atau kabel bawah laut, prasarana kebencanaan, dan sistem pusat-pusat kegiatan sosial-budaya maritim, ekonomi kelautan, serta jaringan ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, merupakan unsur-sunsur penting yang menghidupkan kota-kota pantai.Sebaliknya, reklamasi pantai akan menuai akibat negatif apabila diselenggarakan dengan tanpa prosedur yang benar, sebagaimana diatur di dalam ketentuan perundangan terkait reklamasi pantai.




1 comment: