Saturday, July 11, 2015

Negara, Kelas dan Formasi Sosial



Negara, Kelas dan Formasi Sosial

[ed] Ali Ahsan Al Haris

Berdasarkan teori liberal atau pluralis, negara dianggap sebagai suatu arena tempat kekuatan-kekuatan sosial berkelahi. Kalau di Indonesia katakanlah ada kekuatan Islam, Nasionalis dan ada kelompok lain, mereka mencoba saling mempengaruhi negara. Akhirnya kalau menurut pluralis, semua politik dan kebikjasanaan adalah hasil dari suatu kompromi masing-masing kekuatan sosial itu sendiri. Jadi hanya resultante dari kekuatan sosial yang ada. Keberadaan negara sebenarnya menjadi hal yang tidak penting. Yang penting adalah supaya negara memiliki mekanisme hukum; supaya ada keadilan, supaya bisa saling berkomunikasi. Itu lebih penting. Teori Marxis klasik juga mengalami kegagalan yang sama. Substansi negara juga tidak dipersoalkan. Negara menurut mereka adalah alat dari borjuasi. Jadi, akibatnya yang lebih penting dipelajari bukanya negara, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang ada. Negara dengan demikian tidak atau muncul. Tetapi Marxis memiliki kemajuan. Mereka beranggapan bahwa negara itu tidak netral. Negara dianggap sebagai kekuatan-kekuatan dari kelompok sosial tertentu. Nakh ini yang tidak di asumsikan oleh teori liberal. Teori liberal mengasumsikan negara itu netral. Karena itu setiap kebijakan dari negara merupakan hasil kompromi dari semua kekuatan masyarakat. Karena teori Marxis tidak masuk di Indonesia, maka yang berkembang disini adalah teori liberal yang menganggap negara itu netral. Jadi asumsi sosial inilah yang mendominir di negara kita. Maka kalau ada sesuatu yang salah, itu bukan masalah negaranya sendiri tetapi yang salah adalah mekanisme negara itu sendiri. Karena itu mekanisme negara perlu diperbaiki dan Rule of law ditegakan. Karena itu, menurut Arief Budiman (1985) negara ini dipelajari secara salah. Hanya aspek-aspek operasional dari negara saja yang dipelajari. Sebenanya apa sih negara itu? Mengabdi pada siapa negara itu? Mungkin pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus kita fahami jika ingin mempelajari negara. Kita melihat kebijakan negara dalam sebuah pertanyaan mendasar. Kenapa kebijakan itu dirumuskan? Kenapa tindakan itu diambil? Apa tidak ada alternative lain? Lebih menguntungkan siapa kebijakan tersebut? Kelompok mana yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? 

Arief, lebih jauh mengatakan bahwa dulu Marx mengatakan negara sebagai alat suatu kelas sosial sedangkan weber mnegatakan negara itu milik birokrat. Sementara Hamzah Alavi dalam The Post Colonial State mengatakan negara di atas kelas. Jadi, negara kolonial justru memperlemah segala macam kelas, baik kelas borjuasi, kelas petani, maupun kelas tuan tanah. Semuanya dilemahkan sehingga negara di atas kelas. Negara jauh lebih kuat dari semua kelas yang ada, seperti negara kolonial Belanda dulu yang biasa disebut beamtenstaat. Jadi borjuasi negara atau birokrat negara yang menguasai semuanya. Pedagang dipegang, industriawan dipegang, semuanya dipegang. Ketika itu negara hanya sebagai alat represi. Nah, itu kemudian di taransformir oleh Indonesia ketika merdeka. Zaman Soekarno tahun 1950-an, negara kita di anggap tidak berkuasa. Jadi partai-partai yang berkuasa pada negara. Negara tidak terbentuk tanpa komromi partai-partai, antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasioanalis Indonesia (PNI), Masyumi dengan Partai Komunis indoneisa (PKI) sebagai oposisi. Semua ini menimbulkan kekacauan. Pada saaat yang sama militer, terutama setelah dwifungsi masuk ke dalam kekuatan ekonomi karena ada proses nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan asing utamanya Belanda. Kemudian saaat konfrontasi dengan Malaysia, semua perusahaan Amerika di nasionalisir. Semua perusahaan itu kemudian dikelola oleh militer. Sebagai akibatnya, militer pada tahun 1965 menancapkan kukunya di dua tempat politik dan ekonomi. Ketika tahun 1965/1966 saatnya sudah matang untuk militer ke dalam system politik maupun ekonomi. Lalu militer menjadi di atas semua kekuatan sosial yang ada. Sehingga ketika itu beamtenstaat atau negara pejabat dengan amtenarnya ABRI. Kalau dalam teori Marxis tidak ada kelas sosial negara. Dick Robinson mengembangkan teori kapitalis birokratnya dimana suatu negara birokrat dalam konteks formasi sosial kapitalis. Negara di anggap kelompok baru yang menjadi alat dari kapitalisme untuk akumulasi modal.

Social formation  adalah penegertian tentang masyarakat kongkrit, dimana kita melihat didalam masyarakat itu bermacam-macam mode of production bekerja. Dan formasi sosial yang ada di Indonesia adalah formasi sosial yang kapitalis. Beamstenstatt yang ada didalam suatu system yang kapitalis yang sebenarnya menjadi suatu system kapitalis birokrat, negara kapitalis yang sangat kuat di atas segala kelas, tetapi dia sendiri merupakan suatu kelas yang melakukan proses pemekaran dari kapitalis itu sendiri. jadi kapitalisme bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing. Para birokrat modalnya bukan lagi uang tapi jabatan yang tinggi. Kalau dulu kita mau kaya maka harus mencari modal uang, maka sekarang fenomena tersebut berubah menjadi kalau mau kaya maka harus menjadi birokrat. Harus dibedakan antara mode of production dengan social formation. Mode of production adalah suatu pengertian yang abstrak tentang tata cara berproduksi. Jadi kadang-kadang yang berproduksi tidak menerima hasilnya. Misalnya dalam perbudakan yang bekerja budak tetapi hasilnya yang menikmati majikan. Pada system kapitalisme yang bekerja buruh, yang menikmati adalah majikan. Tetapi caranya tidak dengan militerisme atau idiologi, tetapi dengan cara mekanisme pasar bebas yang demokratis sekali. Tetapi posisi buruh amat lemah dalam tawar-menawar. Social formation dalam pengertian tentang masyarakat kongkrit, dimana kita melihat di dalam masyarakat itu sendiri bermacam-macam made of production bekerja. Jadi sitem-sistem yang mendominir system yang lain adalah sosial formation itu sendiri.

Salam hangat dari saya Ali Ahsan Al Haris
Behing the Gun @aliahsanID

No comments:

Post a Comment