Negara, Kelas dan Formasi Sosial
[ed] Ali Ahsan Al Haris
Berdasarkan teori liberal atau pluralis, negara
dianggap sebagai suatu arena tempat kekuatan-kekuatan sosial berkelahi. Kalau di
Indonesia katakanlah ada kekuatan Islam, Nasionalis dan ada kelompok lain,
mereka mencoba saling mempengaruhi negara. Akhirnya kalau menurut pluralis, semua
politik dan kebikjasanaan adalah hasil dari suatu kompromi masing-masing
kekuatan sosial itu sendiri. Jadi hanya resultante dari kekuatan sosial yang
ada. Keberadaan negara sebenarnya menjadi hal yang tidak penting. Yang penting
adalah supaya negara memiliki mekanisme hukum; supaya ada keadilan, supaya bisa
saling berkomunikasi. Itu lebih penting. Teori Marxis klasik juga mengalami
kegagalan yang sama. Substansi negara juga tidak dipersoalkan. Negara menurut
mereka adalah alat dari borjuasi. Jadi, akibatnya yang lebih penting dipelajari
bukanya negara, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang ada. Negara dengan
demikian tidak atau muncul. Tetapi Marxis memiliki kemajuan. Mereka beranggapan
bahwa negara itu tidak netral. Negara dianggap sebagai kekuatan-kekuatan dari kelompok
sosial tertentu. Nakh ini yang tidak di asumsikan oleh teori liberal. Teori
liberal mengasumsikan negara itu netral. Karena itu setiap kebijakan dari
negara merupakan hasil kompromi dari semua kekuatan masyarakat. Karena teori
Marxis tidak masuk di Indonesia, maka yang berkembang disini adalah teori
liberal yang menganggap negara itu netral. Jadi asumsi sosial inilah yang
mendominir di negara kita. Maka kalau ada sesuatu yang salah, itu bukan masalah
negaranya sendiri tetapi yang salah adalah mekanisme negara itu sendiri. Karena
itu mekanisme negara perlu diperbaiki dan Rule
of law ditegakan. Karena itu, menurut Arief Budiman (1985) negara ini dipelajari
secara salah. Hanya aspek-aspek operasional dari negara saja yang dipelajari.
Sebenanya apa sih negara itu? Mengabdi pada siapa negara itu? Mungkin pertanyaan-pertanyaan
inilah yang harus kita fahami jika ingin mempelajari negara. Kita melihat
kebijakan negara dalam sebuah pertanyaan mendasar. Kenapa kebijakan itu
dirumuskan? Kenapa tindakan itu diambil? Apa tidak ada alternative lain? Lebih
menguntungkan siapa kebijakan tersebut? Kelompok mana yang diuntungkan? Siapa
yang dirugikan?
Arief, lebih jauh mengatakan bahwa dulu Marx
mengatakan negara sebagai alat suatu kelas sosial sedangkan weber mnegatakan
negara itu milik birokrat. Sementara Hamzah Alavi dalam The Post Colonial State mengatakan negara di atas kelas. Jadi, negara
kolonial justru memperlemah segala macam kelas, baik kelas borjuasi, kelas
petani, maupun kelas tuan tanah. Semuanya dilemahkan sehingga negara di atas
kelas. Negara jauh lebih kuat dari semua kelas yang ada, seperti negara kolonial
Belanda dulu yang biasa disebut beamtenstaat.
Jadi borjuasi negara atau birokrat negara yang menguasai semuanya. Pedagang dipegang,
industriawan dipegang, semuanya dipegang. Ketika itu negara hanya sebagai alat
represi. Nah, itu kemudian di taransformir oleh Indonesia ketika merdeka. Zaman
Soekarno tahun 1950-an, negara kita di anggap tidak berkuasa. Jadi
partai-partai yang berkuasa pada negara. Negara tidak terbentuk tanpa komromi
partai-partai, antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasioanalis Indonesia
(PNI), Masyumi dengan Partai Komunis indoneisa (PKI) sebagai oposisi. Semua ini
menimbulkan kekacauan. Pada saaat yang sama militer, terutama setelah dwifungsi
masuk ke dalam kekuatan ekonomi karena ada proses nasionalisasi dari
perusahaan-perusahaan asing utamanya Belanda. Kemudian saaat konfrontasi dengan
Malaysia, semua perusahaan Amerika di nasionalisir. Semua perusahaan itu
kemudian dikelola oleh militer. Sebagai akibatnya, militer pada tahun 1965
menancapkan kukunya di dua tempat politik dan ekonomi. Ketika tahun 1965/1966 saatnya
sudah matang untuk militer ke dalam system politik maupun ekonomi. Lalu militer
menjadi di atas semua kekuatan sosial yang ada. Sehingga ketika itu beamtenstaat atau negara pejabat dengan
amtenarnya ABRI. Kalau dalam teori Marxis tidak ada kelas sosial negara. Dick
Robinson mengembangkan teori kapitalis birokratnya dimana suatu negara birokrat
dalam konteks formasi sosial kapitalis. Negara di anggap kelompok baru yang
menjadi alat dari kapitalisme untuk akumulasi modal.
Social
formation adalah penegertian tentang masyarakat
kongkrit, dimana kita melihat didalam masyarakat itu bermacam-macam mode of production bekerja. Dan formasi
sosial yang ada di Indonesia adalah formasi sosial yang kapitalis. Beamstenstatt yang ada didalam suatu
system yang kapitalis yang sebenarnya menjadi suatu system kapitalis birokrat,
negara kapitalis yang sangat kuat di atas segala kelas, tetapi dia sendiri
merupakan suatu kelas yang melakukan proses pemekaran dari kapitalis itu
sendiri. jadi kapitalisme bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing. Para
birokrat modalnya bukan lagi uang tapi jabatan yang tinggi. Kalau dulu kita mau
kaya maka harus mencari modal uang, maka sekarang fenomena tersebut berubah
menjadi kalau mau kaya maka harus menjadi birokrat. Harus dibedakan antara mode of production dengan social formation. Mode of production adalah suatu pengertian yang abstrak tentang
tata cara berproduksi. Jadi kadang-kadang yang berproduksi tidak menerima
hasilnya. Misalnya dalam perbudakan yang bekerja budak tetapi hasilnya yang menikmati
majikan. Pada system kapitalisme yang bekerja buruh, yang menikmati adalah
majikan. Tetapi caranya tidak dengan militerisme atau idiologi, tetapi dengan
cara mekanisme pasar bebas yang demokratis sekali. Tetapi posisi buruh amat
lemah dalam tawar-menawar. Social
formation dalam pengertian tentang masyarakat kongkrit, dimana kita melihat
di dalam masyarakat itu sendiri bermacam-macam made of production bekerja. Jadi sitem-sistem yang mendominir
system yang lain adalah sosial formation
itu sendiri.
Salam hangat dari saya Ali
Ahsan Al Haris
Behing the Gun @aliahsanID
No comments:
Post a Comment