Sunday, November 15, 2015

Memaknai Pagi

Memaknai Pagi



*Ali Ahsan Al-Haris



Sumber Gambar : Pixabay
Pernah aku membayangkan dalam sebuah pagi yang kucumbu sembari memandang sebuah mawar merah mekar meleok ke ke segala arah bak tak memiliki kepastian mengarah kemana karena angin pagi [lagi-lagi] angin pagi sedang mencoba mengajaknya menari namun sayang mawar tak tahu maksut yang di bawa oleh angin sepoi tersebut.

Aku sendiri tak mampu berkata saat kau membisiskan kata-kata penuh tafsir dalam kegelapan yang sebetulnya adalah terang bagiku, terkesan aneh memang, namun apa daya manusia ini hanya dapat mengangguk saja. Derita dan cerita yang pernah kita lalui tiba-tiba merunjak menusuk ke sanubariku mengingatkan bahawasanya perjuangan kita belum berakhir. Sikap angkuh yang selama ini kita alami membuat pribadi kita secara langsung memang kuat dan tak kenal yang namanya akan kekalahan. Namun sayang sekali karena hal itu membuatmu tak sadar kapan kita harus mengakhiri ini semua.

Aku ingin kembali seperti dulu, maaf bukan berarti aku bersikap ke kanak-kanakan dengan mengatakan hal seperti ini. Namun di saat aku jauh darimu aku sangat sedih, cita-cita yang telah lama kita bangun bersama seakan malas kembali datang untuk memotivasi kita. Kita harusnya sadar, bahwa keangkuhan yang kita alami ini cepatnya kita akhiri. Mana mungkin kita hanya berorientasi pada hal yang itu adalah kerapuhan semata, aku yakin sebenarnya kamu tahu dengan apa yang kita lakukan selama ini, menyadari bahwa semua ini rapuh.

Keangkuhan, kesombongan serta percaya diri yang tak berdasar adalah salah satu dari sekian kegilaan yang sering kita alami, bahkan hari ini. Namun kamu tahu, itu menyenangkan bukan !! seiring jalanya waktu kenapa aku menjadi asing dimatamu, aku merasa kamu jauh dariku karena aku berfikir bahwa untuk menuju yang biasa dinamakan sebagai proses pendewasaan adalah hal yang mahal.


-beberapa kali aku mulai memejamkan mata lurus di depan mawar yang meleok-leok terbawa angin tadi. Aku selalu berdo’a semoga Tuhan mengampuni kita dengan kegilaan-kegilaan yang selama ini kita lalui. Ini bukanlah persoalan eksistensi kita di depan mereka, namun ini masalah seonggok daging bernyawa namun dalam perjalanan hidupnya hatinya sering menderita karena selalu di hantui kesalahan komunikasi kepada junior-juniornya . kita hanya manusia [Apa adanya].

No comments:

Post a Comment