RESENSI BUKU “ORANG GAGAL” KARYA
OSAMU DAZAI
Diterjemahkan dari : No Longer Human
Terbitan :
A New Dirrection Book
Karya :
Osamu Dazai
Penerjemah :
Muhammad Al Mukhlishiddin
Editor :
Ama Achmad
Pemeriksa Aksara :
Aris Rahman P. Putra
Tata Sampul :
HOOK STUDIO
Tata Isi :
@Kulikata_
Pracetak :
Kiki
Cetakan :
Pertama, Januari 2020
Penerbit :
BASABASI
Jumlah Halaman :
116
ISBN :
978-623-7290-59-9
Harga :
37,500
Hello pembaca semua, salam hangat bagi kalian semua. Semoga
kalian selalu dalam limpahan sehat dan berkah. Amin. Tentu saya sangat senang
dalam beberapa bulan ini dapat membaca banyak buku terlebih dapat meresensinya
dan membagikannya ke pembaca semua. Meski saya sadari resensi yang saya buat
membosankan dan memakai sudut pandang yang terbilang simpel dan sederhana, saya
harap kekurangan saya ini dapat pembaca jadikan pengalaman untuk kemudian dapat
diperbaiki saat kalian mencoba untuk meresensi sebuah buku.
Kali ini saya selesai membaca penulis dari negeri Sakura,
Osamu Dazai. Mungkin nama tersebut sedikit asing di telinga kalian, pun bagi
saya pribadi pada awalnya. Hanya beberapa penulis dari Jepang yang terkenal di
Indonesia, seperti Murakami yang karyanya banyak kita temukan di pelbagai took
buku indie atau mayor. Saya mendapatkan buku ini di toko buku basabasi, awalnya
hanya ingin membeli Ernest Hemingway “Paris Yang Tak Berkesudahan”, saat saya
coba scroll kebawah kok dilalah nemu buku ini. Karena penasaran,
akhirnya saya beli juga. Praktis Osamu Dazai menjadi koleksi terbaru saya
penulis dari negeri Sakura itu.
Osamu Dazai, lahir di Prefektur Aomori, 19
Juni 1909 – meninggal di Mitaka, Tokyo, 13
Juni 1948 pada umur 38
tahun) adalah penulis dari zaman Showa di Jepang.
Nama aslinya Tsushima Shūji. Selain dikenal mengarang cerita
pendek dan novel dengan gaya autobiografi, Dazai juga
pernah menulis naskah sandiwara Shin Hamlet (The New Hamlet) dan
dongeng Otogizōshi (Fairy Tales).
Dimulai dari novel perdana pada tahun 1933,
novel Gyakkō (Regression) dicalonkan sebagai penerima Penghargaan
Akutagawa 1935. Tsugaru, Otogizōshi, Hashire
Merosu (Run, Melos!), Shayō (The Setting Sun), dan Ningen
Shikkaku (No Longer Human) termasuk di antara adikarya Osamu Dazai. Ketiga
karya yang disebut terakhir sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris pada pertengahan 1950-an.
Dazai menulis dengan penuh senda gurau, ironi, kesedihan,
hingga penghancuran diri, hingga dikelompokkan bersama Ango
Sakaguchi dan Jun Ishikawa sebagai penulis dekaden
"angkatan gesaku baru" dan buraiha. Sejak masih di bangku
kuliah, Dazai berulang kali mencoba bunuh diri atau bunuh diri bersama
(shinjū). Pada 13 Juni 1948, ia tewas bunuh diri bersama Tomie
Yamazaki kekasihnya, setelah menenggelamkan diri ke Sungai Tama.
Buku ini terdapat empat bagian, atau lebih tepatnya tiga bagian yang
terdiri dari Buku catatan pertama, Buku catatan kedua, Buku catatan ketiga
bagian satu dan Buku catatan kedua bagian kedua.
Sesuai dengan judulnya, Osamu Dazai di awal buku menceritakan tentang
sosok anggota keluarga yang penuh putus asa dan tidak percaya diri. Tapi jika
saya pahami lebih dalam lagi, Osamu Dazai seperti berfilsafat lewat tokoh utama
(AKU) dengan banyak mempertanyakan tujuan manusia bekerja apakah untuk hidup
atau untuk makan? Mengapa kita harus tersenyum saat bertemu dengan orang lain?
Mengapa manusia harus bersandiwara dengan kebahagiaan sedangkan aslinya dia
sedang merasa susah? Pertanyaan semacam itu dilemparkan Dazai kepada kita.
Keren banget.
Sebelum saya lanjut, saya menemukan ada halaman yang salah. Biasanya
daftar isi yang ada di awal halaman, di buku ini malah ada di halaman tujuh.
Apa karena saya membeli buku ini Pre Order lantas saya menerima buku reject?
Hehe.
Pada Buku Catatan Pertama, tokoh utama yang Osamu Dazai ceritakan ini
memiliki kecenderungan melucu, tapi bukan melucu yang biasa. Lahir di keluarga
mapan secara ekonomi, menjadikan semua akses kebutuhan keluarga terpenuhi.
Kalau kecukupan ekonomi terpenuhi, biasanya akan membuat seseorang tenang. Beda
kasus dengan tokoh utama dalam buku ini, apa yang ia rasakan malah sebaliknya.
Hobi Bapaknya yang gemar membelikan oleh-oleh untuk anggota keluarga dan
kerabat membuatnya bingung saat ditanya menginginkan hadiah apa. Kalau tokoh
utama kita ini tidak menjawab, dia khawatir Bapaknya akan marah besar
kepadanya. Padahal dia memang tidak menginginkan sesuatu, kalau pun dia
menyebut suatu hadiah, itu hanya sandiwaranya saja agar Bapak dan keluarganya
senang. Selain itu, tokoh utama kita ini adalah orang yang pendiam, tak ayal
dia sering merasa kesepian. Berbeda sekali dengan Abang dan adiknya yang gemar
bicara. Demi membuat keluarganya senang, dia sering membuat cerita lucu dan
berlaku konyol agar keluarganya tertawa atas ulahnya. Padahal, semua itu
lagi-lagi hanya sandiwaranya belaka agar semua orang senang dan dia masih di
terima dalam keluarga. Sandiwara tersebut ia lakukan juga di sekolah, banyak
guru dan temannya yang menyukainya karena tingkah lucunya itu. Selidik demi
selidik, bakat sandiwara itu ia dapatkan dari pelbagai majalah anak yang ia
baca.
Yang belum paham, karena sifatnya yang pendiam. Tokoh utama sempat
dinodai oleh para pembantunya. Konteks dinodai ini entah pelecehan seksual atau
menjadi korban perudungan juga masih belum saya temukan faktanya. Dari sini saya
juga mendapatkan pelajaran jika peran orangtua yang salah satunya mengajak
ngobrol anak-anaknya meski dalam keadaan sesibuk apapun harus tetap dilakukan.
Kalau tidak, si anak terkadang memilih diam karena ketakutan antara mengadukan
hal itu atau tidak.
Konflik mulai kentara pada Buku Catatan Kedua. Tokoh utama kita ini yang
sudah lulus SMA dan berencana masuk semacam akademi Seni Lukis. Naas
keinginannya itu kandas lantaran Bapaknya memaksanya untuk ke universitas
dengan harapan kelak ia akan menjadi pegawai negeri. Selama kuliah, tokoh utama
ini suka membolos kuliah dan mengikuti kelas seni di daerah setempat.
Kebiasannya itu mempertemukannya dengan Masao Horiki, seorang siswa kelas seni
yang doyan mabuk, main wanita dan berkunjung ke rumah gadai. Tokoh utama kita
yang semual pendiam, penakut jika dalam keramaian, dan suka khawatir berlebihan
perlahan hilang lantaran akrab dengan Masao Horiki yang selalu mengajaknya
mabuk dan main wanita. Bagi saya pribadi, Buku Catatan Kedua ini sungguh keren,
di mana kita diperlihatkan sisi kejam dan bengisnya manusia saat dalam keadaan
terjepit secara ekonomi tapi di sisi lain nurani manusia tetap menjadi nomor
wahid lantaran tidak tega melihat ketidakadilan.
Bagi pembaca yang belum paham, Osamu Dazai memakai gaya tulisan dalam
novel "Orang Gagal" layaknya menulis sebuah autobiografi. Kita serasa
di ajak menjadi tokoh "Aku" dalam karakter yang Osamu Dazai tuliskan.
Pada Bab Buku Catatan Ketiga Bagian Satu, tokoh utama kita ini
dikeluarkan dari Universitas berkat percobaan bunuh dirinya di Kamakura. Kini
ia tinggal dengan Hirame, kenalan Bapaknya dulu waktu menjabat di Parlemen, karena
Bapaknya sudah tidak menganggapnya sebagai anaknya lagi. Selama menginap di rumah
Hirame, ia bak manusia pesakitan yang aktifitasnya dari bangun sampai tidur
hanya di dalam kamar dengan ditemani buku dan majalah bekas.
Kondisinya tak banyak berubah, ia masih suka merokok dan mabuk-mabukan
meski tidak memiliki penghasilan. Untung saja kakak lelakinya diam-diam
mengirimkan uang bulanan ke Hirame tanpa sepengetahuan Bapaknya agar dapat
meringankan beban Hirame selama adiknya menumpang di rumahnya.
Sampai pada suatu kondisi ia bertemu dengan jurnalis perempuan bernama
Shizuko yang memiliki perawakan slim dan cantik. Shizuko menggawangi rubrik komik
untuk anak-anak di tempatnya bekerja, ia menawari ke tokoh utama untuk mencoba
mengirimkan gambar-gambarnya ke redaksi, siapa tahu tembus dan uangnya dapat
untuk membeli sake dan rokok. Pada titik inilah ia sudah memiliki penghasilan
sendiri, tapi karena sifatnya yang gampang depresi dan cemas itu, ia lampiaskan
ke mabuk-mabuk, merokok berat dan main perempuan yang membuat kehidupannya
tambah tidak terkontrol dan membuat ia semakin depresi.
Ia beberapa kali pindah rumah, atau lebih tepatnya kabur karena tidak
kuasa menahan depresinya. Yang paling lama tentu saat menginap di rumah pegawai
Bar, kalau di Bar ia ikut membantu pekerjaan perempuan yang ia tumpangi,
sedangkan kalau di rumah hubungan mereka bak suami istri saja. Tapi semua itu
hanya berlangsung selama setahun, setelah itu ia berpaling ke perempuan lain.
Babak baru di mulai, kini ia menikah dengan penjaga toko rokok bernama Yoshiko.
Kegembiraanya karena menikah tentu sangat besar, tapi kengeriannya jauh lebih
besar, tidak seperti yang ia bayangkan.
Awal pernikahan yang bahagia hanya berumur jagung, sampai pada suatu
siangYoshiko tertangkap sedang selingkuh dengan Horiko, kawannya sendiri. Titik
ini yang menjadikan tokoh utama semakin depresi, dia mulai tidak percaya ke
istrinya. Malam-malamnya banyak ia habiskan dengan menenggak miras di Bar dekat
Kota. Kecanduannya ke alkohol itu membuatnya batuk darah akut, ia sempat ingin
mengakhiri hidupnya dengan menelan sebotol penuh obat tidur. Karena kalakuannya
itu, ia tidur tiga hari tiga malam sampai istrinya membawanya ke Rumah Sakit.
Bukannya tobat berhenti mengkonsumsi miras, kali ini ia kecanduan morfin
yang ia dapatkan dari Apotik. Parahnya, ia juga memadu kasih dengan perempuan
tua pengidap polio penjaga apotik tersebut. Sepertinya Osamu Dazai memang
membuat karakter ini semakin kuat dengan kesan pemabuk, pecandu dan suka main
perempuan.
Akibat kecanduan morfin itu, ia lagi-lagi dilarikan ke Rumah Sakit.
Hirame dan Kakak kandungnya berkunjung, ia memberitahukan ke adiknya kalau
bapaknya sudah meninggal sebulan lalu karena masalah lambung. Kakaknya memohon
agar ia kembali ke kampung saja selama masa rehabilitasi, terbukti dengan ia
dibelikan rumah dekat pantai. Rumah baru yang berjarak empat jam dari
kampungnya itu, ia tempati dengan seorang pembantu perempuan berumur enam puluh
tahun utusan kakaknya. Tapi lagi-lagi, pembantu itu menodai si tokoh utama kita
entah berapa puluh kali banyaknya.
Hmm, jelas. Dendam dengan seorang Bapak. Pemabuk, pecandu morfin dan
suka main perempuan adalah karakter tokoh utama tokoh dalam buku ini. Ia gagal
menjadi seorang suami, gagal lulus dari Universitas, gagal menjadi pelukis dan
gagal menjadi manusia.
Sekian terimakasih.
Malang, 14 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment