Resensi Buku
Menjerat Gus Dur
Judul Buku : Menjerat
Gus Dur
Penulis : Virdika Rizky Utama
Penerbit : NUmedia Digital Indonesia
Tahun terbit : Desember 2019
Tebal : xxi+376 hlm.
Ukuran kertas : 17,6 × 25 cm.
Penulis : Virdika Rizky Utama
Penerbit : NUmedia Digital Indonesia
Tahun terbit : Desember 2019
Tebal : xxi+376 hlm.
Ukuran kertas : 17,6 × 25 cm.
Sepak terjang Gus Dur ada di
beberapa titik. Untuk itu, tidak aneh apabila Gus Dur lebih sering menjadi
sumber kontroversial di tengah-tengah kita. Hal tersebut tidak lain karena yang
dijadikan pertimbangannya begitu kompleks. Di sini mengapa Gus Dur terlihat
melangkah lebih maju dari yang lainnya.
Buku bisa di beli di Instagram "Pedagang Kampung" |
Buku “Menjerat Gus Dur” yang
ditulis oleh Virdika Rizky Utama adalah serpihan sejarah, terlebih yang
berkaitan dengan pelengseran Gus Dur dari kursi presiden. Di samping itu, dalam
buku tersebut terlebih digambarkan bagaimana kondisi negara dan pemerintahan
pra-Gus Dur. Hal tersebut sangatlah penting, supaya dalam membaca kita tidak
terputus dari variabel utamanya.
Pelengseran Gus Dur, dalam paparan
Virdi, dibidik tidak hanya dalam satu sisi. Ketika Soekarno dan Soeharto
dilengserkan dengan pertimbangan dekadensi legitimasi, yakni politik, ekonomi,
dan moral, hal yang sama juga yang menjadi bidikan pembicaraan dalam buku ini
dalam upaya pelengseran Gus Dur pada waktu itu. Yang menguatkan kualitas
sebagai buku sejarah, buku ini didasarkan atas sebuah dokumen penting yang
berhasil ditemukan Virdi dengan tidak sengaja alias kebetulan.
Buloggate dan Bruneigate digoreng
untuk menurunkan reputasi Gus Dur dari sisi moral. Untuk itu dibangunlah narasi
pada waktu itu, “bagaimana bisa seorang presiden ingin membersihkan KKN, namun
terindikasi atau terlibat dugaan korupsi” (h. 9). Tuduhan bahwa Gus Dur tidak
berpihak kepada umat Islam juga menambah tumpukan serangan bahwa Gus Dur sudah
mengalami dekadensi legitimasi.
Pada bab I, dijelaskan bagaimana
Orde Baru dan kondisi masyarakat pada masa kepemimpinan Soeharto. Sebagai titik
balik dari kebijakan Soekarno, Soeharto dalam memimpin Indonesia menggunakan
paradigma “ekonomi sebagai panglima” dari yang sebelumnya “politik sebagai
panglima” (h. 11).
Karena Soeharto membuat sistem
ekonomi ditangan pasar dengan mekanisme favoritisme, blokade pasar dengan
kekuasaan serta mekanisme pasar yang digunakan oleh pengusaha dan penguasa demi
keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga bukan pemerataan ekonomi yang
terjadi melainkan oligarki yang semakin menguat dan membumi. Selanjutnya dapat
diperhatikan bagaimana bisnis Soeharto dan keluarganya berkembang pada masa
itu.
Sementara Islam politik pada masa
Orba mengalami pasang surut, meskipun pada akhirnya dibentuklah ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) sebagai simbol kepedulian pemerintah kepada
Islam. Dalam hal ini, Gus Dur menolak untuk bergabung dan menjadi bagian dari
organisasi ini.
Bab I, diakhiri dengan lengsernya
Soeharto pada 21 Mei 1998 dengan kekacauan dan gonjang-ganjingnya. Namun yang
menarik, dalam buku ini justru disebutkan, bahwa turunnya Soeharto pada waktu
itu bukan karena mendengar suara mahasiswa, melainkan koalisi yang dibangunnya
menarik dukungannya pada 20 Mei 1998 (h. 48).
Pada bab 2 dijelaskan
pemerintahan pada masa BJ Habibie dengan susunan kabinet dan polemik serta
usaha-usahanya.
Sedangkan pada bab 3 mengulas
tentang sejarah penting bagaimana Indonesia melakukan pesta demokrasi yang
pertama sebagai bagian dari buah reformasi 1998. Yang menjadi permasalah utama
pada pemilu 1999 adalah kebutuhan UU yang memberi jaminan bagi keberlangsungan
pemilu yang demokratis dan pelaksanaan pemilu yang diagendakan oleh MPR
maksimal pada bulan Juni 1999.
Dengan berbagai lika-liku yang
panas dan tidak mudah yang dipaparkan oleh Virdi, akhirnya Gus Dur berhasil
memenangi pemilu dengan perolehan suara 374, sementara Megawati 313. Hasil ini
membuat megawati berdiam seribu bahasa karena merasa dipermalukan. “Pokoknya
saya tidak mau dipermalukan”, begitulah komentar Megawati ketika Saifullah
Yusuf menanyakan kesediaan Megawati untuk menjadi Wakil presiden (103).
“Kita harus mempertahankan
keutuhan negara kita dihadapan negara lain yang terkadang menganggap ringan
perasaan dan harga diri kita. Ini bukan tugas ringan, ini tugas berat. Apalagi
karena kita sedang didera oleh perbedaan paham yang besar oleh longgarnya
ikatan-ikatan bangsa”, begitu komentar Gus Dur setelah mengucapkan sumpah
presiden (h. 107). Pembahasan ini masuk dalam bab 4 dalam buku Menjerat Gus
Dur.
Menurut Virdi langkah reformasi
belum terjadi pada masa pemerintahan Habibie. Gus Dur melakukan langkah-langkah
reformasi pertama kali dengan membina orang-orang yang dipercaya untuk
mengawasi reformasi dan pengelolaan negara (h. 145). Departemen yang dinilai
merugikan masyarakat dan menjadi lumbung korupsi satu demi satu dibubarkan.
Diantara yang dibubarkan adalah Departemen Penerangan (Deppen), Departemen Sosial
(Depsos), dan mengurangi kekuasaan Setneg.
Meskipun ia akhirnya mendapat
serangan, Gus Dur tetap kekeh dengan pandangannya bahwa pemerintah sebaiknya
tidak terlalu banyak campur tangan dalam urusan masyarakat (h. 146).
Menjalankan amanat reformasi tidaklah mudah. Gus Dur bahkan ketika berkeinginan
untuk membubarkan TAP MPR No. XXV/1966 tentang pelarangan ajaran
Marxisme-Leninisme, Gus Dur sampai dituduh sebagai bagian dari persekongkolan
dengan komunisme (h. 146).
Awal kegaduhan hingga
dilengserkannya Gus Dur bermula dari pemecatannya terhadap Jusuf Kalla (Menteri
Perdagangan dan Perindustrian) dari Partai Golkar dan Laksamana Sukardi
(Menteri BUMN) dari PDI-P. Bahkan Gus Dur menyodorkan bukti korupsi Jusuf Kalla
kepada Akbar Tandjung setebal 400 halaman (h. 149).
Akibat pemecatan ini dan
berlanjut dengan pembahasan munculnya 40 nama-nama musuh Gus Dur dengan
tugasnya masing-masing membuat buku Virdi ini tambah menarik untuk ditelusuri
lebih lanjut. Mereka diantaranya adalah Fuad Bawazier (mantan Menteri
keuangan), Arifin Panigoro (Ketua Fraksi PDI-P di DPR), M. Jusuf Kalla
(Bukaka), Amien Rais (Partai Amanat Nasional), Akbar Tandjung (Golkar), Eggi
Sudjana (Ketua Umum PPMI), Dawam Rahardjo (Rektor Unisma, Bekasi), Wiranto
(mantan Menko Polkam), Feisal Tanjung (mantan Panglima ABRI), dll.
Kurang lebih, dalam analisis
Virdi, ada empat kelompok yang menurunkan reputasi kepresidenan Gus Dur, yakni
kelompok yang kecewa karena kalah dalam pemilihan presiden, sisa-sisa Orba,
Poros Tengah, dan TNI (h. 155).
Pada bab 5, Buloggate dan
Bruneigate menjadi pembahasan yang menarik dan menjelaskan bukti sejarah yang
semestinya. Kedua isu ini, sebagaimana kita ketahui, menjadi senjata untuk
menurunkan reputasi Gus Dur. Kata kunci untuk mengurai masalah Buloggate ada
dalam sosok Suwondo, mantan tukang pijat Soeharto dan pernah memijat Gus Dur
juga. Virdi menyebut, “tidak ada indikasi bahwa ada hubungan antara Gus Dur
atau keluarganya dengan Suwondo. Namun, musuh politik Gus Dur bersikeras
menuduh Gus Dur terlibat dalam masalah ini” (h. 160).
Dalam sub bab tentang Dokumen
Perencanaan, Virdi menyebutkan bahwa para elit politik melakukan rapat yang
dilatarbelakangi dipecatnya Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla. Bahkan rapat
tersebut membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk menjatuhkan Gus Dur,
mengangkat Megawati menjadi presiden, dan kemungkinan serangan para pendukung
Gus Dur.
Dalam upaya pelengseran Gus Dur,
dari berbagai lini melakukan tugasnya masing-masing. Dalam buku ini, sangat
mencengangkan memang membacanya, sebab tercatat nama-nama yang sepertinya tidak
mungkin. Nama-nama itu ditulis dengan jelas.
Desakan agar Gus Dur mundur,
sebagaimana disampaikan oleh Akbar Tandjung, adalah sesuatu yang wajar dalam
negara demokrasi, selama masih dalam koridor demokrasi (h. 203).
Yang menyayangkan adalah konflik
pada waktu itu tidak mempunyai manfaat sama sekali bagi negara dan demokrasi.
Virdi menyebutkan bahwa konflik mereka hanya antagonis semata dan tidak ada
manfaatnya, khususnya bagi peningkatan kualitas demokrasi (h. 212).
Pada bab 6 dibahas tentang
penuntutan kepada Soeharto dan keluarganya. Habibie gagal untuk mengusut
Soeharto. Inpres (Instruksi Presiden) No. 30 tahun 1998 hanya berfungsi untuk
mengulur-ngulur waktu pengadilan Soeharto. Akhirnya, tugas itu jatuh ke tangan
Gus Dur.
Pada 1 November 1999, Gus Dur
meminta Jaksa Agung, Marzuki Darusman, untuk membuka kembali kasus Soeharto.
Pada 6 Desember 1999, SP3 kasus suharto dicabut. Ini menunjukan penyelidikan
terhadap Soeharto berlanjut. Tujuh yayasan yang dibidani Soeharto adalah
Dharmais, Supersemar, Dakap, Gotong Royong, Amal Bhakti, Muslim Pancasila, Trikora,
dan Dana Sejahtera Mandiri.
Ketika Kapolri Rusdihardjo
menolak untuk menangkap Tommy Soeharto yang buron, akhirnya Gus Dur
memberhentikan Rusdihardjo. Namun, apa yang dilakukan oleh Gus Dur justru
memicu amarah para lawan politiknya. Apa yang dilakukan oleh Gus Dur dibenarkan
oleh Jaksa agung Marzuki Darusman. Menurutnya, di samping ada dorongan publik,
adanya alasan keamanan yang melatar belakangi pemberhentian tersebut.
Akhirnya, pada bab terakhir,
disebutkan oleh penulis buku bahwa “setelah Gus Dur lengser, politik kekuasaan
hanya sekedar bagi-bagi jabatan. Politik sudah tidak menyentuh substansinya,
sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dengan cara-cara
demokratis. Tidak ada lagi keberanian untuk mendobrak kelaziman yang sebenarnya
keliru dalam praktik demokrasi. Dan Gus Dur merupakan aktor sekaligus korban
dari praktik politik yang demikian keliru tersebut” (h. 332).
Dalam sepekan terakhir, sebelum
peringatan satu dasawarsa meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, buku ‘Menjerat Gus
Dur’ sudah ludes di pasaran. Buku terbitan Numedia Digital Indonesia itu
menjadi polemik sekaligus perbincangan luas di kalangan masyarakat. Penyebabnya
tak lain karena investigasi yang dipaparkan penulis memuat
keterlibatan tokoh-tokoh besar yang turut dalam proses penjatuhan Gus Dur.
Salah satu bagian terpenting dari
karya Virdika Rizky Utama ini adalah dilampirkannya dokumen rahasia yang ditulis
Fuad Bawazier. Dokumen empat halaman tersebut berupa surat laporan terkait
rencana-rencana yang sudah dilakukan untuk menjatuhkan Gus Dur.
Surat yang dikirim ke Akbar
Tandjung pada 29 Januari 2001 itu, mengungkap pelaksanaan rencana yang diberi
nama ‘Sekenario Semut Merah’. Di dalamnya terdapat nama-nama dengan tugas
masing-masing orang yang sudah dilaksanakan.
Fuad Bawazier, Menteri Keuangan
Kabinet Pembangunan VII itu menjadi ‘kepala operasi’ dan membagi tugas kepada
beberapa pihak untuk penggalangan opini, menjaring dukungan masyarakat,
propaganda media, termasuk merekrut preman, cendekiawan, dan pengusaha.
Tujuannya jelas; menjatuhkan kredibilitas Presiden Gus Dur melalui kasus
Buloggate dan Bruneigate yang dinilai telah berjalan sesuai skenario.
Fuad, dalam surat yang ditulis,
meyakini kekuatan dan efek operasi tahap pertama sudah sesuai ekspektasi,
sehingga menurut pandangannya harus ditingkatkan kepada pelaksanaan operasi
jilid kedua yakni; memaksa Gus Dur mundur dan mendorong Megawati menjadi presiden
sekaligus menjadikan Amien Rais sebagai wakilnya. Kenapa Fuad
merekomendasikan Ketum PDI P sebagai pengganti? Baginya, Megawati bisa
dikendalikan dan pada akhirnya akan disingkirkan melalui penggembosan dari
dalam lewat isu ketidakbecusan dalam mengatasi krisis ekonomi dan penyelesaian
disintegrasi bangsa. Tugas itu dipercayakan kepada Amien Rais yang dinilai
lincah karena berada di lingkar kekuasaan.
Dokumen tugas yang dikirim ke
Akbar Tandjung itu memuat tujuh garis besar laporan sekaligus rekomendasi yang
dihasilkan dari pelaksanaan skenario tahap pertama. Berikut ini kutipan
langsungnya.
BEM PTN (Badan Eksekutif
Mahasiswa Perguruan Tinggi Nasional) dan BEM Perguruan Tinggi Swasta yang
selama kita telah koordinir di Cilosari dan Diponegoro (PB HMI) serta kelompok
kanan ormas Islam yang tersentral di tiga titik lainnya yakni; Masjid Sunda
Kelapa, Istiqlal dan Al Azhar mulai bergerak masif, bergelombang, dan bersamaan
hampir di seluruh Indonesia dengan satu komando isu menuntut Gus Dur Mundur. Khusus
untuk pengepungan senayan dan rangka mem-pressure DPR agar menerima hasil kerja
pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahkan kekuasaan (abuse of power)
secara langsung dipelopori oleh para alumni ILUNI pro-kita, para rektor serta
BEM UI dan UMJ. Mereka ini bergerak di bawah komando langsung Ketua Umum PB
HMI, Fakhruddin CS.
Pada saat sidang paripurna
digelar, adik-adik mahasiswa ini akan bergabung langsung dengan seluruh massa
aksi rekan-rekan Pemuda Partai Keadilan yang langsung di bawah komando saudara
Hidayat Nur Wahid, Gerakan Pemuda Ka'bah yang dimobilisir oleh saudara Ali
Marwan Hanan, massa PBB di bawah saudara Hamdan Zoelva, massa PAN di bawah
saudara Patrialis Akbar, dan massa rakyat dan preman yang diorganisir oleh
saudara Yapto dan DPP Pemuda Pancasila. Pada saat itulah komando akan saya
pegang langsung, sedangkan operator lapangan akan dipimpin oleh Ketua Umum
KAMMI, AMPI, GPK, BM PAN, PB HMI, HAMAS, dan IMM.
Gerakan ini Insya Allah akan
memperoleh dukungan penuh dari Zoelva Lindan dan Julius Usma yang telah mampu
mempengaruhi beberapa kantong massa PDIP untuk bergabung melakukan demonstrasi
menyikat Gus Dur di Sidang Parlemen.
Kita juga telah melakukan aksi
borong dollar di pasar Valuta asing dan bursa efek-untuk menjatuhkan nilai
tukar rupiah-di dalam dan luar negeri (terutama di Hongkong, dan Singapura)
secara langsung di bawah kendali Bendahara Umum DPP Golkar (Fadel
Muhammad-pen). Aksi borong dollar ini juga didukung oleh Bambang Tri Atmojo,
dan Liem Sioe Liong, Arifin Panigoro.
Seluruh kerja media massa (cetak
dan elektronik) yang bertugas mem-blow up secara kolosal dan provokatif semua
pemberitaan berkaitan dengan tuntutan mundur terhadap Gus Dur sudah di-arrange
langsung oleh saudara Parni Hadi dan Surya Paloh, sedangkan operator teknis di
lapangan saya telah menyiapkan banyak kaki terutama di parlemen.
Penggiringan opini publik oleh
para tokoh dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur lewat tulisan di
media massa yang dimobilisir langsung oleh Azumardi Azrha, Dr. Syahrir, dan
rekan-rekan KAHMI telah mampu meyakinkan publik bahwa Gus Dur memang
benar-benar gagal mengemban amanat reformasi.
Tugas saudara Din Syamsuddin
untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto telah berhasil memaksa para ulama
dan tokoh agama mencabut dukungannya kepada presiden.
Sebagai bahan pertimbangan
operasi di lapangan, Fuad Bawazier juga meminta Akbar Tandjung untuk memberikan
seluruh informasi perkembangan situasi di dalam gedung Senayan melalui Anas
Urbaningrum sebagai kurir.
"Saya optimis bahwa skenario
ini akan berjalan mulus. Dengan begitu, misi untuk menyelamatkan seluruh asset
politik dan ekonomi serta invertasi kita serta pengeluaran dana operasi sebesar
4 T, yang sudah saya sediakan tidak menjadi sia-sia dan dapat mengembalikan
kejayaan kita yang telah dirampas sejak reformasi," tulis Fuad Bawazier di
bagian akhir surat.
Sejauh Mana Dampak Buku “Menjerat Gus Dur”?.
Namun, pertanyaan penting yang
dapat diajukan di sini adalah, “Sejauh mana buku tersebut memiliki pengaruh dan
dampak kuat di masyarakat?” Maksud masyarakat di sini, juga termasuk elit
politik kita. Perihal pertanyaan ini penting diajukan di tengah tipikal media
sosial yang sedang tumbuh di Indonesia; memiliki kecepatan, masif, dan
sekaligus cepat menghilang. Gejala Viral Dalam media sosial, ada istilah
ungkapan baru yang menjadi bagian dari gejala konsumsi masyarakat digital,
yaitu viral. Dimaksud viral adalah informasi mengenai peristiwa itu tersebar
luas dan menjadi perhatian publik untuk dibicarakan sekaligus juga diwacanakan
kembali. Kondisi viral ini seperti virus, ia bisa menjalar sangat cepat dan
berdampak kepada orang banyak. Dengan kata lain, viral dan bagaimana rantai
informasi itu bergerak cepat dalam media sosial bisa sampai begitu masif hingga
mencapai pengguna telepon genggam secara personal. Di tengah lautan informasi
yang terus membludak sampai di layar kaca telepon genggam, kondisi itu tidak
bisa bertahan lama. Dengan hanya waktu seminggu peristiwa yang viral tersebut
bisa berganti dengan informasi lainnya, memiliki tautan, baik skala lokal,
nasional, dan internasional. Sebaliknya, peristiwa yang viral itu sangat
mungkin bertahan apabila ada semacam rekayasa sosial seperti konteks kasus
Ahok; ada yang menggerakkan di ranah online dan kemudian bertautan dalam ranah
offline melalui aksi demonstrasi. Tentu saja, dalam melakukan itu, tidak
sedikit uang yang dikeluarkan.
Nasib Buku Menjerat Gus Dur
Namun, jika hanya dilakukan secara kerelaan individual untuk membicarakan dan
menyebarkan informasi mengenai buku itu, saya yakin, ia akan berumur pendek.
Kondisi kemudian bisa diperparah dengan diamnya para elit politik yang
disebutkan nama-namanya dalam buku tersebut. Tidak terhubungnya buku tersebut
dengan talkshow yang selalu menjadi pembicaraan publik seperti Mata Najwa dan
ILC juga menambah pendeknya umur isu dalam buku ini. Di sisi lain, jika pembaca
yang mengkonsumsi buku-buku tersebut kebanyakan dari latar belakang NU sendiri,
buku tersebut hanya melingkar dalam komunitas yang terbatas di tengah
keseragaman ormas dan komunitas lain. Sementara, jika berharap kepada komunitas
akademisi, buku tersebut akan bersuara dan diartikulasikan kembali ke medium
yang relatif sunyi dari pembaca, seperti jurnal. Karena itu, membicarakan buku
tersebut dari spektrum lebih luas menjadi penting. Di sini, melihat kejatuhan
Gus Dur melalui konspirasi terencana dari kacamata NU dan Gusdurian saja tidak
cukup membuat buku ini menjadi refleksi bersama. Sebaliknya, buku ini justru
harus bisa memperluas audiens bahwa ini semata-mata bukan hanya mengenai Gus
Dur sebagai figur yang dihormati dalam internal NU. Melainkan adanya pembajakan
demokrasi yang dimainkan oleh para elit politik yang memiliki irisan dengan
oligarki. Di sini, isu-isu hak asasi manusia, pembelaan masyarakat sipil dan
minoritas, dan penguatan demokrasi dengan membatasi gerak peranan militer
dikebiri seiring dilengserkannya Gus Dur. Dengan kata lain, penjatuhan Gus Dur
adalah semacam dalih besar bagaimana transisi demokrasi kita berjalan mundur.
Cara Lain Mengenal Gus Dur
Dengan
membuka spektrum luas mengenai buku ini, orang-orang yang tidak memiliki irisan
yang kuat dengan Gus Dur dan NU setidaknya memiliki tarikan nafas yang sama.
Bahwasanya persoalan pedongkelan Gus Dur adalah bagian sejarah hitam dari
agensi politik yang saat ini masih memiliki pengaruh yang kuat. Cara semacam
ini memberikan ruang pewarisan pengetahuan kepada generasi sesudahnya yang
lebih melihat diri sendiri dan kebebasan individu. Di mana media sosial adalah
ruang berbagi narsisme diri sekaligus kegelisahan atas masa lalu yang tak
sepenuhnya menjadi masa lalu. Cara ini juga menciptakan bagaimana ingatan
mengenai Gus Dur untuk tidak bergerak sebagai ingatan kolektif yang komunal.
Lebih jauh dari itu, Gus Dur dan nilai advokasiinya mengenai Islam,
keindonesiaan, dan demokrasi menjadi ingatan kolektif bersama. Di mana individu
memberikan semacam sumbangsih melalui refleksinya mengenai Gus Dur. Memang,
sepeninggalnya Gus Dur ada gerakan Gusdurian yang bergerak secara kultural dan
masif di pelbagai daerah. Buku Menjerat Gus Dur ini, bagi saya membuka
kemungkinan lebih luas lagi mengenal figur Gus Dur dengan cara yang berbeda.
Sumber
referensi:
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/115057/menjerat-gus-dur--skenario--semut-merah---fuad-bawazier-dan-rencana-menikung-megawati
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/115057/menjerat-gus-dur--skenario--semut-merah---fuad-bawazier-dan-rencana-menikung-megawati
https://nyarung.id/2020/01/11/resensi-buku-menjerat-gus-dur/
https://ibtimes.id/sejauh-mana-dampak-buku-menjerat-gus-dur/
No comments:
Post a Comment