Friday, May 29, 2020

Resensi Buku Menjerat Gus Dur


Resensi Buku Menjerat Gus Dur


Judul Buku       : Menjerat Gus Dur
Penulis             : Virdika Rizky Utama
Penerbit           : NUmedia Digital Indonesia
Tahun terbit    : Desember 2019
Tebal               : xxi+376 hlm.
Ukuran kertas : 17,6 × 25 cm.


Sepak terjang Gus Dur ada di beberapa titik. Untuk itu, tidak aneh apabila Gus Dur lebih sering menjadi sumber kontroversial di tengah-tengah kita. Hal tersebut tidak lain karena yang dijadikan pertimbangannya begitu kompleks. Di sini mengapa Gus Dur terlihat melangkah lebih maju dari yang lainnya.


Buku bisa di beli di Instagram "Pedagang Kampung"
Buku “Menjerat Gus Dur” yang ditulis oleh Virdika Rizky Utama adalah serpihan sejarah, terlebih yang berkaitan dengan pelengseran Gus Dur dari kursi presiden. Di samping itu, dalam buku tersebut terlebih digambarkan bagaimana kondisi negara dan pemerintahan pra-Gus Dur. Hal tersebut sangatlah penting, supaya dalam membaca kita tidak terputus dari variabel utamanya.


Pelengseran Gus Dur, dalam paparan Virdi, dibidik tidak hanya dalam satu sisi. Ketika Soekarno dan Soeharto dilengserkan dengan pertimbangan dekadensi legitimasi, yakni politik, ekonomi, dan moral, hal yang sama juga yang menjadi bidikan pembicaraan dalam buku ini dalam upaya pelengseran Gus Dur pada waktu itu. Yang menguatkan kualitas sebagai buku sejarah, buku ini didasarkan atas sebuah dokumen penting yang berhasil ditemukan Virdi dengan tidak sengaja alias kebetulan.


Buloggate dan Bruneigate digoreng untuk menurunkan reputasi Gus Dur dari sisi moral. Untuk itu dibangunlah narasi pada waktu itu, “bagaimana bisa seorang presiden ingin membersihkan KKN, namun terindikasi atau terlibat dugaan korupsi” (h. 9). Tuduhan bahwa Gus Dur tidak berpihak kepada umat Islam juga menambah tumpukan serangan bahwa Gus Dur sudah mengalami dekadensi legitimasi.


Pada bab I, dijelaskan bagaimana Orde Baru dan kondisi masyarakat pada masa kepemimpinan Soeharto. Sebagai titik balik dari kebijakan Soekarno, Soeharto dalam memimpin Indonesia menggunakan paradigma “ekonomi sebagai panglima” dari yang sebelumnya “politik sebagai panglima” (h. 11).


Karena Soeharto membuat sistem ekonomi ditangan pasar dengan mekanisme favoritisme, blokade pasar dengan kekuasaan serta mekanisme pasar yang digunakan oleh pengusaha dan penguasa demi keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga bukan pemerataan ekonomi yang terjadi melainkan oligarki yang semakin menguat dan membumi. Selanjutnya dapat diperhatikan bagaimana bisnis Soeharto dan keluarganya berkembang pada masa itu.


Sementara Islam politik pada masa Orba mengalami pasang surut, meskipun pada akhirnya dibentuklah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sebagai simbol kepedulian pemerintah kepada Islam. Dalam hal ini, Gus Dur menolak untuk bergabung dan menjadi bagian dari organisasi ini.


Bab I, diakhiri dengan lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dengan kekacauan dan gonjang-ganjingnya. Namun yang menarik, dalam buku ini justru disebutkan, bahwa turunnya Soeharto pada waktu itu bukan karena mendengar suara mahasiswa, melainkan koalisi yang dibangunnya menarik dukungannya pada 20 Mei 1998 (h. 48).


Pada bab 2 dijelaskan pemerintahan pada masa BJ Habibie dengan susunan kabinet dan polemik serta usaha-usahanya.


Sedangkan pada bab 3 mengulas tentang sejarah penting bagaimana Indonesia melakukan pesta demokrasi yang pertama sebagai bagian dari buah reformasi 1998. Yang menjadi permasalah utama pada pemilu 1999 adalah kebutuhan UU yang memberi jaminan bagi keberlangsungan pemilu yang demokratis dan pelaksanaan pemilu yang diagendakan oleh MPR maksimal pada bulan Juni 1999.


Dengan berbagai lika-liku yang panas dan tidak mudah yang dipaparkan oleh Virdi, akhirnya Gus Dur berhasil memenangi pemilu dengan perolehan suara 374, sementara Megawati 313. Hasil ini membuat megawati berdiam seribu bahasa karena merasa dipermalukan. “Pokoknya saya tidak mau dipermalukan”, begitulah komentar Megawati ketika Saifullah Yusuf menanyakan kesediaan Megawati untuk menjadi Wakil presiden (103).


“Kita harus mempertahankan keutuhan negara kita dihadapan negara lain yang terkadang menganggap ringan perasaan dan harga diri kita. Ini bukan tugas ringan, ini tugas berat. Apalagi karena kita sedang didera oleh perbedaan paham yang besar oleh longgarnya ikatan-ikatan bangsa”, begitu komentar Gus Dur setelah mengucapkan sumpah presiden (h. 107). Pembahasan ini masuk dalam bab 4 dalam buku Menjerat Gus Dur.


Menurut Virdi langkah reformasi belum terjadi pada masa pemerintahan Habibie. Gus Dur melakukan langkah-langkah reformasi pertama kali dengan membina orang-orang yang dipercaya untuk mengawasi reformasi dan pengelolaan negara (h. 145). Departemen yang dinilai merugikan masyarakat dan menjadi lumbung korupsi satu demi satu dibubarkan. Diantara yang dibubarkan adalah Departemen Penerangan (Deppen), Departemen Sosial (Depsos), dan mengurangi kekuasaan Setneg.


Meskipun ia akhirnya mendapat serangan, Gus Dur tetap kekeh dengan pandangannya bahwa pemerintah sebaiknya tidak terlalu banyak campur tangan dalam urusan masyarakat (h. 146). Menjalankan amanat reformasi tidaklah mudah. Gus Dur bahkan ketika berkeinginan untuk membubarkan TAP MPR No. XXV/1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme, Gus Dur sampai dituduh sebagai bagian dari persekongkolan dengan komunisme (h. 146).


Awal kegaduhan hingga dilengserkannya Gus Dur bermula dari pemecatannya terhadap Jusuf Kalla (Menteri Perdagangan dan Perindustrian) dari Partai Golkar dan Laksamana Sukardi (Menteri BUMN) dari PDI-P. Bahkan Gus Dur menyodorkan bukti korupsi Jusuf Kalla kepada Akbar Tandjung setebal 400 halaman (h. 149).


Akibat pemecatan ini dan berlanjut dengan pembahasan munculnya 40 nama-nama musuh Gus Dur dengan tugasnya masing-masing membuat buku Virdi ini tambah menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Mereka diantaranya adalah Fuad Bawazier (mantan Menteri keuangan), Arifin Panigoro (Ketua Fraksi PDI-P di DPR), M. Jusuf Kalla (Bukaka), Amien Rais (Partai Amanat Nasional), Akbar Tandjung (Golkar), Eggi Sudjana (Ketua Umum PPMI), Dawam Rahardjo (Rektor Unisma, Bekasi), Wiranto (mantan Menko Polkam), Feisal Tanjung (mantan Panglima ABRI), dll.


Kurang lebih, dalam analisis Virdi, ada empat kelompok yang menurunkan reputasi kepresidenan Gus Dur, yakni kelompok yang kecewa karena kalah dalam pemilihan presiden, sisa-sisa Orba, Poros Tengah, dan TNI (h. 155).


Pada bab 5, Buloggate dan Bruneigate menjadi pembahasan yang menarik dan menjelaskan bukti sejarah yang semestinya. Kedua isu ini, sebagaimana kita ketahui, menjadi senjata untuk menurunkan reputasi Gus Dur. Kata kunci untuk mengurai masalah Buloggate ada dalam sosok Suwondo, mantan tukang pijat Soeharto dan pernah memijat Gus Dur juga. Virdi menyebut, “tidak ada indikasi bahwa ada hubungan antara Gus Dur atau keluarganya dengan Suwondo. Namun, musuh politik Gus Dur bersikeras menuduh Gus Dur terlibat dalam masalah ini” (h. 160).


Dalam sub bab tentang Dokumen Perencanaan, Virdi menyebutkan bahwa para elit politik melakukan rapat yang dilatarbelakangi dipecatnya Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla. Bahkan rapat tersebut membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk menjatuhkan Gus Dur, mengangkat Megawati menjadi presiden, dan kemungkinan serangan para pendukung Gus Dur.


Dalam upaya pelengseran Gus Dur, dari berbagai lini melakukan tugasnya masing-masing. Dalam buku ini, sangat mencengangkan memang membacanya, sebab tercatat nama-nama yang sepertinya tidak mungkin. Nama-nama itu ditulis dengan jelas.


Desakan agar Gus Dur mundur, sebagaimana disampaikan oleh Akbar Tandjung, adalah sesuatu yang wajar dalam negara demokrasi, selama masih dalam koridor demokrasi (h. 203).


Yang menyayangkan adalah konflik pada waktu itu tidak mempunyai manfaat sama sekali bagi negara dan demokrasi. Virdi menyebutkan bahwa konflik mereka hanya antagonis semata dan tidak ada manfaatnya, khususnya bagi peningkatan kualitas demokrasi (h. 212).


Pada bab 6 dibahas tentang penuntutan kepada Soeharto dan keluarganya. Habibie gagal untuk mengusut Soeharto. Inpres (Instruksi Presiden) No. 30 tahun 1998 hanya berfungsi untuk mengulur-ngulur waktu pengadilan Soeharto. Akhirnya, tugas itu jatuh ke tangan Gus Dur.


Pada 1 November 1999, Gus Dur meminta Jaksa Agung, Marzuki Darusman, untuk membuka kembali kasus Soeharto. Pada 6 Desember 1999, SP3 kasus suharto dicabut. Ini menunjukan penyelidikan terhadap Soeharto berlanjut. Tujuh yayasan yang dibidani Soeharto adalah Dharmais, Supersemar, Dakap, Gotong Royong, Amal Bhakti, Muslim Pancasila, Trikora, dan Dana Sejahtera Mandiri.


Ketika Kapolri Rusdihardjo menolak untuk menangkap Tommy Soeharto yang buron, akhirnya Gus Dur memberhentikan Rusdihardjo. Namun, apa yang dilakukan oleh Gus Dur justru memicu amarah para lawan politiknya. Apa yang dilakukan oleh Gus Dur dibenarkan oleh Jaksa agung Marzuki Darusman. Menurutnya, di samping ada dorongan publik, adanya alasan keamanan yang melatar belakangi pemberhentian tersebut.


Akhirnya, pada bab terakhir, disebutkan oleh penulis buku bahwa “setelah Gus Dur lengser, politik kekuasaan hanya sekedar bagi-bagi jabatan. Politik sudah tidak menyentuh substansinya, sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dengan cara-cara demokratis. Tidak ada lagi keberanian untuk mendobrak kelaziman yang sebenarnya keliru dalam praktik demokrasi. Dan Gus Dur merupakan aktor sekaligus korban dari praktik politik yang demikian keliru tersebut” (h. 332).


Dalam sepekan terakhir, sebelum peringatan satu dasawarsa meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, buku ‘Menjerat Gus Dur’ sudah ludes di pasaran. Buku terbitan Numedia Digital Indonesia itu menjadi polemik sekaligus perbincangan luas di kalangan masyarakat. Penyebabnya tak lain karena investigasi yang dipaparkan penulis memuat keterlibatan tokoh-tokoh besar yang turut dalam proses penjatuhan Gus Dur.


Salah satu bagian terpenting dari karya Virdika Rizky Utama ini adalah dilampirkannya dokumen rahasia yang ditulis Fuad Bawazier. Dokumen empat halaman tersebut berupa surat laporan terkait rencana-rencana yang sudah dilakukan untuk menjatuhkan Gus Dur.


Surat yang dikirim ke Akbar Tandjung pada 29 Januari 2001 itu, mengungkap pelaksanaan rencana yang diberi nama ‘Sekenario Semut Merah’. Di dalamnya terdapat nama-nama dengan tugas masing-masing orang yang sudah dilaksanakan.   


Fuad Bawazier, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII itu menjadi ‘kepala operasi’ dan membagi tugas kepada beberapa pihak untuk penggalangan opini, menjaring dukungan masyarakat, propaganda media, termasuk merekrut preman, cendekiawan, dan pengusaha. Tujuannya jelas; menjatuhkan kredibilitas Presiden Gus Dur melalui kasus Buloggate dan Bruneigate yang dinilai telah berjalan sesuai skenario.


Fuad, dalam surat yang ditulis, meyakini kekuatan dan efek operasi tahap pertama sudah sesuai ekspektasi, sehingga menurut pandangannya harus ditingkatkan kepada pelaksanaan operasi jilid kedua yakni; memaksa Gus Dur mundur dan mendorong Megawati menjadi presiden sekaligus menjadikan Amien Rais sebagai wakilnya.  Kenapa Fuad merekomendasikan Ketum PDI P sebagai pengganti? Baginya, Megawati bisa dikendalikan dan pada akhirnya akan disingkirkan melalui penggembosan dari dalam lewat isu ketidakbecusan dalam mengatasi krisis ekonomi dan penyelesaian disintegrasi bangsa. Tugas itu dipercayakan kepada Amien Rais yang dinilai lincah karena berada di lingkar kekuasaan.   


Dokumen tugas yang dikirim ke Akbar Tandjung itu memuat tujuh garis besar laporan sekaligus rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan skenario tahap pertama. Berikut ini kutipan langsungnya.  


BEM PTN (Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nasional) dan BEM Perguruan Tinggi Swasta yang selama kita telah koordinir di Cilosari dan Diponegoro (PB HMI) serta kelompok kanan ormas Islam yang tersentral di tiga titik lainnya yakni; Masjid Sunda Kelapa, Istiqlal dan Al Azhar mulai bergerak masif, bergelombang, dan bersamaan hampir di seluruh Indonesia dengan satu komando isu menuntut Gus Dur Mundur. Khusus untuk pengepungan senayan dan rangka mem-pressure DPR agar menerima hasil kerja pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahkan kekuasaan (abuse of power) secara langsung dipelopori oleh para alumni ILUNI pro-kita, para rektor serta BEM UI dan UMJ. Mereka ini bergerak di bawah komando langsung Ketua Umum PB HMI, Fakhruddin CS.


Pada saat sidang paripurna digelar, adik-adik mahasiswa ini akan bergabung langsung dengan seluruh massa aksi rekan-rekan Pemuda Partai Keadilan yang langsung di bawah komando saudara Hidayat Nur Wahid, Gerakan Pemuda Ka'bah yang dimobilisir oleh saudara Ali Marwan Hanan, massa PBB di bawah saudara Hamdan Zoelva, massa PAN di bawah saudara Patrialis Akbar, dan massa rakyat dan preman yang diorganisir oleh saudara Yapto dan DPP Pemuda Pancasila. Pada saat itulah komando akan saya pegang langsung, sedangkan operator lapangan akan dipimpin oleh Ketua Umum KAMMI, AMPI, GPK, BM PAN, PB HMI, HAMAS, dan IMM.


Gerakan ini Insya Allah akan memperoleh dukungan penuh dari Zoelva Lindan dan Julius Usma yang telah mampu mempengaruhi beberapa kantong massa PDIP untuk bergabung melakukan demonstrasi menyikat Gus Dur di Sidang Parlemen.


Kita juga telah melakukan aksi borong dollar di pasar Valuta asing dan bursa efek-untuk menjatuhkan nilai tukar rupiah-di dalam dan luar negeri (terutama di Hongkong, dan Singapura) secara langsung di bawah kendali Bendahara Umum DPP Golkar (Fadel Muhammad-pen). Aksi borong dollar ini juga didukung oleh Bambang Tri Atmojo, dan Liem Sioe Liong, Arifin Panigoro.


Seluruh kerja media massa (cetak dan elektronik) yang bertugas mem-blow up secara kolosal dan provokatif semua pemberitaan berkaitan dengan tuntutan mundur terhadap Gus Dur sudah di-arrange langsung oleh saudara Parni Hadi dan Surya Paloh, sedangkan operator teknis di lapangan saya telah menyiapkan banyak kaki terutama di parlemen.


Penggiringan opini publik oleh para tokoh dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur lewat tulisan di media massa yang dimobilisir langsung oleh Azumardi Azrha, Dr. Syahrir, dan rekan-rekan KAHMI telah mampu meyakinkan publik bahwa Gus Dur memang benar-benar gagal mengemban amanat reformasi.


Tugas saudara Din Syamsuddin untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto telah berhasil memaksa para ulama dan tokoh agama mencabut dukungannya kepada presiden.  


Sebagai bahan pertimbangan operasi di lapangan, Fuad Bawazier juga meminta Akbar Tandjung untuk memberikan seluruh informasi perkembangan situasi di dalam gedung Senayan melalui Anas Urbaningrum sebagai kurir.


"Saya optimis bahwa skenario ini akan berjalan mulus. Dengan begitu, misi untuk menyelamatkan seluruh asset politik dan ekonomi serta invertasi kita serta pengeluaran dana operasi sebesar 4 T, yang sudah saya sediakan tidak menjadi sia-sia dan dapat mengembalikan kejayaan kita yang telah dirampas sejak reformasi," tulis Fuad Bawazier di bagian akhir surat. 



Sejauh Mana Dampak Buku “Menjerat Gus Dur”?.

Namun, pertanyaan penting yang dapat diajukan di sini adalah, “Sejauh mana buku tersebut memiliki pengaruh dan dampak kuat di masyarakat?” Maksud masyarakat di sini, juga termasuk elit politik kita. Perihal pertanyaan ini penting diajukan di tengah tipikal media sosial yang sedang tumbuh di Indonesia; memiliki kecepatan, masif, dan sekaligus cepat menghilang. Gejala Viral Dalam media sosial, ada istilah ungkapan baru yang menjadi bagian dari gejala konsumsi masyarakat digital, yaitu viral. Dimaksud viral adalah informasi mengenai peristiwa itu tersebar luas dan menjadi perhatian publik untuk dibicarakan sekaligus juga diwacanakan kembali. Kondisi viral ini seperti virus, ia bisa menjalar sangat cepat dan berdampak kepada orang banyak. Dengan kata lain, viral dan bagaimana rantai informasi itu bergerak cepat dalam media sosial bisa sampai begitu masif hingga mencapai pengguna telepon genggam secara personal. Di tengah lautan informasi yang terus membludak sampai di layar kaca telepon genggam, kondisi itu tidak bisa bertahan lama. Dengan hanya waktu seminggu peristiwa yang viral tersebut bisa berganti dengan informasi lainnya, memiliki tautan, baik skala lokal, nasional, dan internasional. Sebaliknya, peristiwa yang viral itu sangat mungkin bertahan apabila ada semacam rekayasa sosial seperti konteks kasus Ahok; ada yang menggerakkan di ranah online dan kemudian bertautan dalam ranah offline melalui aksi demonstrasi. Tentu saja, dalam melakukan itu, tidak sedikit uang yang dikeluarkan.


Nasib Buku Menjerat Gus Dur 
Namun, jika hanya dilakukan secara kerelaan individual untuk membicarakan dan menyebarkan informasi mengenai buku itu, saya yakin, ia akan berumur pendek. Kondisi kemudian bisa diperparah dengan diamnya para elit politik yang disebutkan nama-namanya dalam buku tersebut. Tidak terhubungnya buku tersebut dengan talkshow yang selalu menjadi pembicaraan publik seperti Mata Najwa dan ILC juga menambah pendeknya umur isu dalam buku ini. Di sisi lain, jika pembaca yang mengkonsumsi buku-buku tersebut kebanyakan dari latar belakang NU sendiri, buku tersebut hanya melingkar dalam komunitas yang terbatas di tengah keseragaman ormas dan komunitas lain. Sementara, jika berharap kepada komunitas akademisi, buku tersebut akan bersuara dan diartikulasikan kembali ke medium yang relatif sunyi dari pembaca, seperti jurnal. Karena itu, membicarakan buku tersebut dari spektrum lebih luas menjadi penting. Di sini, melihat kejatuhan Gus Dur melalui konspirasi terencana dari kacamata NU dan Gusdurian saja tidak cukup membuat buku ini menjadi refleksi bersama. Sebaliknya, buku ini justru harus bisa memperluas audiens bahwa ini semata-mata bukan hanya mengenai Gus Dur sebagai figur yang dihormati dalam internal NU. Melainkan adanya pembajakan demokrasi yang dimainkan oleh para elit politik yang memiliki irisan dengan oligarki. Di sini, isu-isu hak asasi manusia, pembelaan masyarakat sipil dan minoritas, dan penguatan demokrasi dengan membatasi gerak peranan militer dikebiri seiring dilengserkannya Gus Dur. Dengan kata lain, penjatuhan Gus Dur adalah semacam dalih besar bagaimana transisi demokrasi kita berjalan mundur.


Cara Lain Mengenal Gus Dur 
Dengan membuka spektrum luas mengenai buku ini, orang-orang yang tidak memiliki irisan yang kuat dengan Gus Dur dan NU setidaknya memiliki tarikan nafas yang sama. Bahwasanya persoalan pedongkelan Gus Dur adalah bagian sejarah hitam dari agensi politik yang saat ini masih memiliki pengaruh yang kuat. Cara semacam ini memberikan ruang pewarisan pengetahuan kepada generasi sesudahnya yang lebih melihat diri sendiri dan kebebasan individu. Di mana media sosial adalah ruang berbagi narsisme diri sekaligus kegelisahan atas masa lalu yang tak sepenuhnya menjadi masa lalu. Cara ini juga menciptakan bagaimana ingatan mengenai Gus Dur untuk tidak bergerak sebagai ingatan kolektif yang komunal. Lebih jauh dari itu, Gus Dur dan nilai advokasiinya mengenai Islam, keindonesiaan, dan demokrasi menjadi ingatan kolektif bersama. Di mana individu memberikan semacam sumbangsih melalui refleksinya mengenai Gus Dur. Memang, sepeninggalnya Gus Dur ada gerakan Gusdurian yang bergerak secara kultural dan masif di pelbagai daerah. Buku Menjerat Gus Dur ini, bagi saya membuka kemungkinan lebih luas lagi mengenal figur Gus Dur dengan cara yang berbeda.


Sumber referensi:
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/115057/menjerat-gus-dur--skenario--semut-merah---fuad-bawazier-dan-rencana-menikung-megawati
https://nyarung.id/2020/01/11/resensi-buku-menjerat-gus-dur/
https://ibtimes.id/sejauh-mana-dampak-buku-menjerat-gus-dur/



No comments:

Post a Comment