Showing posts with label PENYULUHAN. Show all posts
Showing posts with label PENYULUHAN. Show all posts

Tuesday, December 8, 2015

Program Pengembangan Kawasan Minapolitan

Makalah Penyuluhan
Program Pengembangan Kawasan Minapolitan



1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Program Pengembangan Kawasan Perikanan (Minapolitan) merupakan salah satu Program Pemerintah yang dicanangkan sejak Tahun 2007 untuk mengatasi masalah kemiskinan di wilayah pesisir.  Salah  satu  sasaran  dari  program  Minapolitan  adalah  Pemberdayaan  masyarakat  pelaku minabisnis  sehingga  mampu  meningkatkan  produksi,  produktivitas  komoditas  perikanan,  yang dilakukan  dengan  pengembangan  sistem  dan  usaha  minabisnis  yang  efisien  dan  menguntungkan serta berwawasan lingkungan.  Salah  satu  kawasan  yang  ditetapkan  sebagai  lokasi  Program  Pengembangan  Kawasan Budidaya  Perikanan  (Minapolitan)  adalah  Kabupaten  Luwu  Timur,  daerah  ini  sangat  potensial dengan sumberdaya lautnya.  Program  Minapolitan  di  Kabupaten  Luwu  Timur  telah  berjalan  kurang  lebih  3  (tiga)  tahun, pada  tahun  2008  berupa  kegiatan  pembuatan  perencanaan  kawasan,  sedangkan  pelaksanaan perencanaan  berupa  kegiatan  pembangunan  sarana  dan  prasarana,  pendampingan  dan  sekolah lapang  bagi  kelompok  pembudidaya,  pelatihan, penyuluhan,  dan  pembinaan,  pemberian  bantuan, dan lain lain baru mulai dilaksanakan pada tahun berikutnya sampai sekarang. 

Program  Minapolitan  di  Kabupaten  Luwu  Timur  sejatinya  hanya  dapat  berhasil  bila koordinasi  dan  kerjasama  antar  pelaku  pembangunan  kawasan  pesisir  dan  masyarakat  nelayan dapat  berjalan  dengan  baik.  Dalam  pengamatan  awal  pada  Program  Minapolitan  di  Kabupaten Luwu  Timur  terdapat  kecenderungan  dominasi  oleh  stakeholder  non-masyarakat  seperti  instansi pemerintahan pusat, provinsi dan daerah dalam pelaksanaan kegiatan pokok program minapolitan, program  ini  juga  lebih  bersifat  derma  ( charity )  dibandingkan  upaya  –  upaya  mendayagunakan potensi sumberdaya faktor – faktor internal di masyarakat, hal ini sangat bertolak belakang dengan sasaran,  strategi  serta  arah  pengembangan  kawasan  yang  intinya  adalah  memberdayakan masyarakat  nelayan  sesuai  pedoman  umum  pelaksanaan  pengembangan  kawasan  minapolitan, masalah lain yang muncul kemudian adalah terdapat infrastruktur yang telah dibangun namun tidak digunakan oleh masyarakat secara optimal.

Merujuk  pada  tahap-tahap  yang  ada  pada  proses  pemberdayaan,  maka  pada  program  ini  ada indikasi  bahwa  pada  tahap  persiapan  sosial  (social  preparation)   masyarakat  nelayan  kurang dilibatkan.  Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa  pada  Program  Pengembangan  Kawasan Minapolitan  di  Kabupaten  Luwu  Timur  keterkoordinasian  seluruh  kegiatan  antar  pelaku  dalam mendorong  keberdayaan  masyarakat  lemah,  masing-masing  pihak  seperti  berjalan  sendiri-sendiri dalam  melaksanakan  kegiatannya  yang  dapat  berdampak  pada  tumpang  tindihnya  kegiatan-kegiatan  pembangunan  yang  ada  serta  tidak  efisien  dan  efektif  dalam  mencapai  tujuan  program seperti yang diharapkan.

1.2 Tujuan
Minapolitan bertujuan: meningkatkan produktifitas dan kualitas perikanan,  meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan,  mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai penggerak ekonomi rakyat, mengendalikan urbanisasi dari Desa ke Kota, menanggulangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan, menegaskan fungsi kawasan pedesaan, membangun pilar kekuatan ekonomi nasional di pedesaan serta meningkatkan konsumsi ikan perkapita pertahun.


2. PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Minapolitan
Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem dan manajemen kawasan dengan prinsip : integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi. Kawasan Minapolitan adalah kawasan ekonomi yang terdiri dari sentra-sentra produksi dan perdagangan komoditas kelautan dan perikanan, jasa, perumahan dan kegiatan terkait lainnya.

“Minapolitan merupakan kerangka berpikir dalam pengembangan agribisnis berbasis perikanan di suatu daerah. Minapolitan adalah wilayah yang berisi sistem agribisnis berbasis perikanan dengan penggeraknya usaha agribisnis,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004.

Dalam  pelaksanaan  Program  Minapolitan  di  Kabupaten  Luwu  Timur  terdapat beberapa instansi  atau  pihak  yang  terlibat.  Masing-masing  pihak  memiliki  tujuannya sendiri-sendiri. Walaupun sekilas terlihat bahwa  masing-masing pihak sepertinya  memiliki tujuan  yang berbeda-beda namun apabila kita lihat dengan seksama maka akan terlihat keterkaitan  antara tujuan mereka masing-masing. Keterkaitan tujuan antara satu instansi dengan instansi lainnya terletak pada tujuan  dasarnya  yaitu  bermuara  pada  peningkatan  pendapatan  dan  kesejahteraan masyarakat  (kaum nelayan/petani)  yang juga  merupakan tujuan  utama  dari Program  Minapolitan  yang  diusung  oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dengan adanya kesamaan tujuan dari multipihak tersebut maka dari berbagai instansi/dinas tersebut  dapat  saling  bekerja  sama  dalam  mencapai  tujuan.  Dibutuhkan  kerjasama  antara  pihak- pihak  yang  berkepentingan  sehingga  pelaksanaan  program  yang  bertujuan  meningkatkan pendapatan  dan  kesejahteraan  kaum  nelayan/petani  ini  dapat  terwujud.  Pihak  –  pihak  dengan
spesialisasi masing-masing saling bantu dan bekerja sama dalam memberikan kontribusinya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan kaum nelayan.  Pada pelaksanaan program minapolitan di Indonesia pada saat ini, kesamaan tujuan dari seluruh  stakeholder  yang  terlibat  adalah  peningkatan  pendapatan  dan  kesejahteraan  masyarakat nelayan  atau  petani,  kesamaan  gerak  telah  terbentuk  diantara  pihak-pihak  yang  terkait  dengan memberikan  kontribusi  dalam  arah  dan  gerak  yang  selaras  dan  terpadu  antara  satu  pihak  dengan  pihak lainnya menuju terwujudnya tujuan bersama. 

2.2   Pengembangan Minapolitan
Dalam rangka mewujudkan minapolitan yang dinamis dan fleksibel, perlu diambil langkah-langkah koordinasi dengan instansi dan berbagai pihak terkait untuk pengembangan program ini secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Pengembangan minapolitan tetap mencakup pengembangan keempat subsistem dari sistem dan usaha agribisnis berbasis perikanan.
1.     Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) perikanan.
Yakni kegiatan yang menghasilkan sarana produksi bagi usaha penangkapan dan budidaya ikan seperti usaha mesin dan peralatan tangkap dan budidaya.
2.     Subsistem usaha penangkapan dan budidaya (on-farm agribusiness) Contohnya, seperti usaha penangkapan ikan, budidaya udang, rumput laut, dan ikan laut, serta budidaya ikan air tawar.
3.     Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) perikanan
Yakni suatu industri yang mengolah hasil perikanan beserta perdagangannya.
4.     Subsistem jasa penunjang (supporting agribusiness)
Suatu kegiatan-kegiatan yang menyediakan jasa, seperti perkreditan, asuransi, transportasi, infrastruktur pelabuhan kapal ikan, pendidikan dan penyuluhan perikanan, penelitian dan pengembangan serta kebijakan pemerintah daerah.
5.     Subsistem  harus dikembangkan secara simultan dan harmonis.

Selain berbagai contoh subsisten dari pengembangan program minapolitan seperti diatas, perlu juga adanya suatu poin – poin penting yang harus dimiliki oleh suatu daerah dalam rangka pelaksanaan minapolitan yang pro rakyat, seperti :
a)     Komitmen Daerah : ditetapkan Bupati/Walikota sesuai Renstra
b)    Komoditas Unggulan : seperti udang,patin, rumput laut dan lainnya.
c)     Letak Geografis : Lokasi strategis dan secara alami sesuai
d)    Sistem dan Mata Rantai Produksi Hulu dan Hilir : Keberadaan sentra produksi yang aktif seperti lahan budidaya dan pelabuhan perikanan
e)     Kelayakan Lingkungan : Tidak merusak lingkungan.

Minapolitan sebagai pusat ekonomi berbasis perikanan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang diperlukan dan didukung oleh sektor/instansi terkait. Sedangkan tujuan khusus adalah pengembangan program yang pro daerah perlu adanya koordinasi antara pihak daerah dengan pihak pusat secara bekesinambungan.

2.3   Pembangunan Minapolitan
Tidak  bisa  dipungkiri,  kalau  potensi  perikanan  dan  kelautan  di  Indonesia  cukup besar  dan belum tergali secara optimal. Karennya, diperlukan langkah strategis yang mampu  mengatasi permasalahan  yang  begitu  lama  membelit  sektor  ini.  Salah  satu  upaya  mungkin  dengan Revolusi Biru. Kalimat ini berarti melakukan perubahan yang signifikan dengan mengangkat konsep  pembangunan  berkelanjutan  dengan  Program  Nasional  Minapolitan  yang  intensif, efisien, dan terintegrasi guna peningkatan pendapatan rakyat yang adil, merata, dan pantas.

Revolusi Biru mempunyai empat pilar penting antar lain, perubahan cara berfikir dan orientasi pembangunan  dari  daratan  ke  maritime,  pembangunan  berkelanjutan,  peningkatan  produksi kelautan  dan  perikanan,  dan  terakhir  peningkatan pendapatan  rakyat  yang  adil,  merata,  dan pantas. Perubahan  asumsi-asumi  dasar pembangunan  yang selama  ini  lebih  banyak didasarkan pada kerangka  pemikiran  kontinen  menjadi  kepulauan,  makin  diperlukan  untuk  mendorong pemanfaatan  sumberdaya  alam  yang  lebih  berimbang.  Perimbangan  diperlukan  selain  untuk  peningkatkan pemanfaatan sumberdaya perairan atau laut yang begitu besar, juga mengurangi tekanan pada sumberdaya alam daratan. Reorietansi konsep pembangunan tersebut diperlukan untuk memberikanan arah  pembangunan sesuai dengan potensi yang ada dan tuntutan masa depan sesuai dengan perubahan lingkungan strategis.

Pada saat yang bersamaan, Revolusi Biru diharapkan dapat meningkatkan kesadaran bangsa, bahwa sumberdaya perairan  nasional  memerlukan sistem pengelolaan  yang  seimbang  antara pemanfaatan  dan  pelestariannya.    Pembangunan  yang  lebih  berorientasi  ke  darat,  dapat mengesampingkan potensi kerusakan di lingkungan perairan. Sedangkan, banyak sekali kasus kerusakan sumberdaya alam di darat berakibat fatal di wilayah perairan, terutama pesisir dan laut. Kesadaran  tersebut  diperlukan  untuk  memberikan  landasan  kuat  bagi  bangsa  Indonesia dalam pemanfaatan sumberdaya perairan bagi kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, baik untuk generasi masa kini maupun akan datang.

Revolusi Biru akan memberikan peluang optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan  dengan  inovasi  dan  terobosan  melalui,  percepatan  peningkatan  produksi  dan optimalisasi  penangkapan  ikan  dan  budidaya.  Produksi  sumberdaya  kelautan  dan  perikanan harus  ditingkatkan  untuk  memanfaatkan  potensi  sumberdaya  perikanan  tangkap  yang  begitu besar tidak hanya di perairan teritorial dan ZEEI tetapi di perairan laut lepas dan perairan ZEE negara  lain  di  dunia.

Sementara  itu,  dengan  gerakan  peningkatan  produksi  perikanan budidaya,  diharapkan  potensi  perairan  air  tawar,  payau  dan  laut  yang  begitu  besar  dapat  dimanfaatkan  menjadi  lahan-lahan  produktif  dengan  teknologi  inovatif  yang  menghasilkan tingkat produksi tinggi.

Dalam rangka mewujudkan kawasan minapolitan perlu diambil suatu langkah-langkah koordinasi dengan instansi dan berbagai pihak terkait, antara lain sebagai berikut :
1.     Koordinasi dengan instansi terkait di daerah, dibawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota setempat.
2.     Pembentukan kelompok kerja minapolitan daerah.
3.     Mengundang tim  evaluasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
4.     Peresmian minapolitan daerah secara yuridis

Dengan  konsep  Minapolitan  pembangunan  sektor  kelautan  dan  perikanan  diharapkan  dapat dipercepat.  Kemudahan  atau  peluang  yang  biasanya  ada  di  daerah  perkotaan  perlu dikembangkan  di  daerah-daerah  pedesaan,  seperti  prasarana,  sistem  pelayanan  umum, jaringan  distribusi  bahan  baku  dan  hasil  produksi  di  sentra-sentra  produksi.  Sebagai  sentra produksi,  daerah  pedesaan  diharapkan  dapat  berkembang  sebagaimana  daerah  perkotaan dengan  dukungan  prasarana,  energi,  jaringan  distribusi  bahan  baku  dan  hasil  produksi, transportasi, pelayanan publik, akses permodalan, dan sumberdaya manusia yang memadai.

Konseptual  Minapolitan  mempunyai  dua  unsur  utama  yaitu,  Minapolitan  sebagai konsep pembangunan  sektor  kelautan  dan  perikanan  berbasis  wilayah  dan  minapolitan  sebagai kawasan ekonomi unggulan dengan komoditas utama produk kelautan dan perikanan. Secara ringkas  Minapolitan  dapat  didefinisikan  sebagai  Konsep  Pembangunan  Ekonomi  Kelautan dan  Perikanan  berbasis  wilayah  dengan  pendekatan  dan  sistem  manajemen  kawasan berdasarkan  prinsip  integrasi,  efisiensi  dan  kualitas  serta  akselerasi  tinggi.

Sementara  itu, Kawasan Minapolitan adalah kawasan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan yang terdiri dari sentra-sentra  produksi  dan  perdagangan,  jasa,  permukiman,  dan  kegiatan  lainnya  yang saling terkait. Konsep  Minapolitan  didasarkan  pada  tiga  azas  yaitu  demokratisasi  ekonomi  kelautan  dan perikanan pro rakyat, pemberdayaan masyarakat  dan keberpihakan dengan intervensi negara secara terbatas (limited state intervention), serta penguatan daerah dengan prinsip: daerah kuat serta bangsa dan negara kuat. Ketiga prinsip tersebut menjadi landasan perumusan kebijakan dan kegiatan  pembangunan  sektor  kelautan  dan  perikanan  agar  pemanfaatan  sumberdayanya benar-benar  untuk  kesejahteraan  rakyat  dengan  menempatkan  daerah  pada  posisi  sentral dalam pembangunan.

Dengan  konsep  ini,  diharapkan  pembangunan  sektor  kelautan  dan  perikanan  dapat dilaksanakan  secara  terintegrasi,  efisien,  berkualitas,  dan  berakselerasi  tinggi. Pertama, prinsip integrasi diharapkan dapat mendorong agar pengalokasian sumberdaya pembangunan direncanakan  dan  dilaksanakan  secara  menyeluruh  atau  holistik  dengan  mempertimbangkan kepentingan dan dukungan stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan di tingkat pusat dan  daerah,  kalangan  dunia  usaha  maupun  masyarakat.  Kepentingan  dan  dukungan  tersebut dibutuhkan  agar  program  dan  kegiatan  percepatan  peningkatan  produksi  didukung  dengan sarana produksi, permodalan, teknologi, sumberdaya manusia, prasarana yang memadai, dan sistem manajemen yang baik.

Kedua,  dengan konsep minapolitan pembangunan infrastruktur dapat dilakukan secara efisien dan  pemanfaatannya  diharapkan  akan  lebih  optimal.  Selain  itu  prinsip  efisiensi  diterapkan untuk  mendorong  agar  sistem  produksi  dapat  berjalan  dengan  biaya  murah,  seperti memperpendek  mata  rantai  produksi,  efisiensi,  dan  didukung keberadaan faktor-faktor produksi sesuai kebutuhan, sehingga menghasilkan produk-produk ekonomi kompetitif.

Ketiga , pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan  perikanan  harus  berorientasi pada kualitas, baik sistem  produksi  secara  keseluruhan,  hasil  produksi,  teknologi  maupun sumberdaya  manusia.  Dengan  konsep  minapolitan  pembinaan  kualitas  sistem  produksi  dan produknya  dapat  dilakukan  secara  lebih  intensif.  Keempat ,  prinsip  percepatan  diperlukan untuk mendorong agar target produksi dapat dicapai dalam waktu cepat,  melalui inovasi dan kebijakan  terobosan.  Prinsip  percepatan  juga  diperlukan  untuk  mengejar ketertinggalan dari negara-negara kompetitor,  melalui  peningkatan  market  share   produk-produk  kelautan  dan perikanan Indonesia tingkat dunia.

Selanjutnya, konsep minapolitan akan dilaksanakan melalui pengembangan kawasan minapolitan di daerah-daerah potensial unggulan. Kawasan-kawasan minapolitan akan  dikembangkan  melalui  pembinaan  sentra-sentra  produksi  yang  berbasis  pada  sumberdaya kelautan dan perikanan. Pada setiap kawasan minapolitan akan  beroperasi beberapa sentra produksi berskala ekonomi relatif besar, baik tingkat produksinya maupun tenaga kerja yang terlibat dengan jenis komoditas unggulan tertentu.

Agar  kawasan  minapolitan  dapat  berkembang  sebagai  kawasan  ekonomi  yang  sehat, maka diperlukan  keanekaragaman  kegiatan  ekonomi,  yaitu  kegiatan  produksi  dan  perdagangan lainya  yang  saling  mendukung.  Keanekaragaman  kegiatan  produksi  dan  usaha di kawasan minapolitan  akan  memberikan  dampak  positif  (multiplier  effect)  bagi  perkembangan perekonomian setempat dan akan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

2.4   Tujuan Umum Minapolitan
Program Nasional Minapolitan mempunyai 3 sasaran utama yakni menguatnya ekonomi rumah tangga masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil,  usaha kelautan dan perikanan kelas menengah ke atas makin bertambah dan berdaya saing tinggi dan sektor kelautan  dan perikanan menjadi penggerak ekonomi nasional. sementara untuk mencapai tujuan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan konsep minapolitan dilaksanakan melalui Program Nasional Minapolitan dan Peningkatan Produksi Kelautan dan Perikanan dengan langkah-langkah strategis antara lain menggerakkan produksi di sentra-sentra produksi unggulan pro usaha kecil di bidang perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan.

Kedua Mengembangkan Kawasan Minapolitan dengan cara mengintegrasikan sentra-sentra produksi menjadi kawasan ekonomi unggulan daerah, ketiga pendampingan usaha dan bantuan teknis di sentra-sentra produksi unggulan serta keempat pengintegrasian Kebijakan Makro lintas sektoral, pusat dan daerah.

Tujuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan konsep minapolitan secara umum dapat disingkat bahasa sebagai berikut:
1.     Meningkatkan Produksi, Produktivitas, dan Kualitas.
2.     Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya, dan pengolah ikan yang adil dan merata
3.     Mengembangkan  Kawasan  Minapolitan  sebagai  pusat  pertumbuhan  ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai penggerak ekonomi rakyat.
  

3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

·        Program Pengembangan Kawasan Perikanan (Minapolitan) merupakan salah satu Program Pemerintah yang dicanangkan sejak Tahun 2007 untuk mengatasi masalah kemiskinan di wilayah pesisir. 

·        Minapolitan bertujuan: meningkatkan produktifitas dan kualitas perikanan,  meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan,  mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan.

·        Dalam rangka mewujudkan minapolitan yang dinamis dan fleksibel, perlu diambil langkah-langkah koordinasi dengan instansi dan berbagai pihak terkait untuk pengembangan program ini secara menyeluruh dan berkelanjutan.

·        Minapolitan sebagai pusat ekonomi berbasis perikanan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang diperlukan dan didukung oleh sektor/instansi terkait.
·        Konseptual  Minapolitan  mempunyai  dua  unsur  utama  yaitu,  Minapolitan  sebagai konsep pembangunan  sektor  kelautan  dan  perikanan  berbasis  wilayah  dan  minapolitan  sebagai kawasan ekonomi unggulan dengan komoditas utama produk kelautan dan perikanan.


DAFTAR PUSTAKA


Agrina, 2010. Minapolitan Pinrang. Diakses pada
                       http://wartapedia.com/minapolitan.html 19 September 2012.

Kurniadi Yatim, 2010. MINAPOLITAN PELABUHAN PERIKANAN

                        SAMUDERA CILACAP (PPS CILACAP). Diakses pada

                         http://blokosuti.blogspot.co.id 16 September 2012.

Mujahid Mirah, 2010.Kolaborasi Multipihak pada Program Pengembangan

                         Kawasan Perikanan (Minapolitan) di Kabupaten Luwu

                         Timur. Luwu.                

Sunoto, 2010. Arah Kebijakan Pengembangan Konsep Minapolitan di

                        Indonesia. Jakarta.







Tuesday, April 22, 2014

MAKALAH PENYULUHAN



 ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN




Oleh :
ALI AHSAN



PROGRAM STUDI AGR0BISNIS PERIKANAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

A.     Pengertian Adopsi Inovasi

Adopsi  inovasi  mengandung  pengertian  yang  kompleks  dan dinamis.  Hal  ini  disebabkan  karena  proses  adopsi  inovasi  sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang  mempengaruhinya. Berarti dalam hal ini adalah proses pengambilan keputusan untuk menerima ide-ide baru.


Karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari sumber informasi  yang relevan. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dalam proses adopsi inovasi, yaitu:

. Adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan sukses. Pihak yang tergolong kriteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang relevan.

. Adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis, sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter.

. Adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan keuntungan, sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan dorongan kepada calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.

B.   Tahapan Adopsi Inovasi
Ada empat tahapan dalam proses adopsi inovasi, yaitu :
a.    Tahap Kesadaran
Pada tahapan ini petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dipunyai tentang teknologi baru yang akan di adopsi  itu masih bersifat umum. Ia mengetahui sedikit sekali bahkan informasi yang yang diketahui tersebut kadang-kadang tidak ada kaitannya dengan kualitas khusus yang diperlukan untuk melakukan adopsi.


b.    Tahapan Menaruh Minat
Pada tahapan ini petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk adopsi inovasi. Ia mulai mempelajari secara lebih terperinci tentang ide baru tersebut, bahkan tidak puas  kalau hanya mengetahui saja tetapi ingin berbuat yang lebih dari itu. Oleh karena itu, pada tahapan ini, petani  tersebut mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, apakah itu dari media cetak ataupun dari media elektronik.

c.    Tahapan Evaluasi
Pada tahapan ini, seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan pada tahapan-tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide baru tersebut akan diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang disebut evaluasi atau penilaian. Maksudnya tentu saja untuk mempertimbangkan lebih lanjut apakah minat yang telah ditimbulkan tersebut perlu diteruskan atau tidak. Hal ini berarti petani mulai menilai secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki.

d.    Tahapan Mencoba
Pada tahapan ini, petani atau individu dihadapkan dengan suatu masalah yang nyata. Ia harus menuangkan buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tersebut dalam suatu kenyataan yang sebenarnya. Pemikiran  itu harus dituangkan dalam praktek, sesuai dengan apa yang disebut dengan tahapan mencoba dari dari ide baru tersebut. hal ini  berarti  bahwa  ia harus belajar, apa yang disebut ide baru, bagaimana melakukannya, mengapa harus ia lakukan, dengan siapa ia melakukan ide baru tersebut, apakah dilakukan sendiri atau berkelompok dan dimana ia harus melakukan percobaan tersebut.


e.    Tahapan Adopsi
Pada tahan ini, petani atau individu telah memutuskan bahwa ide   baru yang ia pelajari adalah cukup baik untuk diterapkan dilahannya dalam skala yang agak luas. Tahapan adopsi ini barang kali yang paling   menentukan dalam proses kelanjutan pengambilan keputusan lebih lanjut.

C.   Sifat Adopsi Inovasi
Sifat adopsi inovasi ini akan menentukan kecepatan adposi inovasi. Berikut adalah sifat-sifat adopsi inovasi, yaitu :

a.    Apakah Memberi Keuntungan atau Tidak
Sejauh mana inovasi baru itu akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila memang benar bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

b.    Kompabilitas
Seringkali teknologi baru yang menggantikan teknologi lama tidak saling mendukung, namun banyak pula dijumpai penggantian teknologi lama dengan teknologi baru yang merupakan kelanjutan saja. Bila teknologi baru itu  merupakan kelanjutan dari teknologi yang lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan relatif lebih cepat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani yang sudah terbiasa untuk menerapkan teknologi lama yang tidak banyak berbeda dengan teknologi baru tersebut.

c.    Kompleksitas
Inovasi suatu ide baru atau teknologi baru yang cukup rumit untuk diterapkan akan mempengaruhi kesepatan proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru tersebut dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih cepat maka penyajian inovasi baru tersebut harus lebih sederhana.

d.    Triabilitas
Triabilitas merupakan persamaan dari kata kemudahan. Artinya makin mudah teknologi baru tersebut dilakukan maka relatif makin cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan petani.

e.    Observabilitas
Observabilitas disini maksudnya adalah dapat diamatinya suatu inovasi. Seringkali ditemukan bahwa banyak kalangan petani yang cukup   sulit untuk diajak mengerti mengadopsi inovasi dari teknologi baru, walaupun teknologi baru tersebut telah memberikan keuntungan karena telah dicoba di tempat lain.

D.   Faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Inovasi
a.    Saluran komunikasi
Peranan saluran komunikasi ini sangat penting. Inovasi  yang disampaikan secara individual akan berjalan secara lebih cepat bila dibandingkan dengan inovasi tersebut dilakukan secara masal. Walaupun pendapat demikian tidak selalu benar, hal itu dikarenakan masih banyak faktor lain yang mempennaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Para peneliti membagi saluran komunikasi menjadi (1) saluran interpersonal dan media massa, dan (2) saluran lokal dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal adalah saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber  dan penerima) antara dua orang atau lebih.

b.    Ciri sistem sosial
Faktor selanjutnya adalah ciri dari sistem sosial yang ada di masyarakat di mana calon adopter itu bertempat tinggal. Masyarakat yang lebih modern akan relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Di samping itu masyarakat dengan individu-individu kosmoplitas akan relatif lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat yang bersifat lokalitas.

c.    Kegiatan promosi penyuluh pertanian
Proses adopsi inovasi ini juga dipengaruhi oleh peranan komunikator yang biasanya ditampilkan oleh penyuluh pertanian. Semakin giat penyuluh pertanian melaksanakan promosi tentang adopsi inovasi, maka semakin cepat  pula adopsi inovasi yang dilakukan oleh masyarakat tani.

d.    Sumber informasi
Sumber informasi juga sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber informasi dapat berasal dari media masa, tetangga, teman, petugas penyuluh pertanian, pedagang, pejabat desa atau dari informan yang lain.

e.    Faktor-faktor geografis
Faktor-faktor geografis juga dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Kondisi alam dari suatu daerah dapat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Wilayah yang memiliki kondisi alam yang sulit akan berpengaruh juga terhadap kecepatan adopsi inovasi. Misalnya wilayah yang topografinya curam dan berbukit-bukit akan lebih sulit dibandingkan dengan wilayah yang datar. Lokasi juga berpengaruh terhadap kecepatan adospi inovasi. Lokasi ini tentu berhubungan dengan jarak dan keterjangkauan. Daerah yang memiliki jarak yang jauh dengan  sumber informasi atau daerah yang terisolir akan cukup sulit dalam proses adopsi inovasi.

E.    Produktivitas Pertanian
Berdasarkan tinjauan Geografis, Sumaatmadja (1988:166), mengemukakan bahwa:
Pertanian sebagai suatu sistem keruangan, merupakan perpaduan subsistem fisis dengan subsistem manusia. Kedalam subsistem fisis  termasuk komponen-komponen tanah, iklim, hidrografi, topografi  dengan segala proses alamiahnya. Sedangkan dalam subsistem manusia termasuk tenaga kerja, kemampuan teknologi, tradisi  yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, kemampuan ekonomi, dan kondisi politik setempat.

Pendapat diatas mengemukakan bahwa dalam sistem usaha pertanian akan banyak dipengaruhi faktor-faktor baik fisik maupun sosial, adapun  faktor-faktor sosial yang mempengaruhi usaha pertanian salah satunya adalah produktivitas pertanian.

Partadireja (1980: 7), mengatakan bahwa:
Produksi per hektar ditentukan oleh keadaan dan kesuburan tanah, varietas tanaman, penggunaan pupuk organik, tersedianya air dalam jumlah dalam yang cukup dan alat-alat pertanian yang semuanya itu tremasuk modal, teknik bercocok tanam, teknologi yang didalamnya termasuk organisasi, manajemen dan gagasan- gagasan serta tenaga kerja.

Pendapat di atas mengungkapkan bahwa, hasil produktifitas dalam pertanian akan banyak dipengaruhi kondisi fisik lahan pertanian itu sendiri, pengelolaan usaha tani yang baik pula, serta modal yang cukup.

Produksi lahan pertanian sangat dipengaruhi tingkat kesuburan tanah dan bagaimana pengelolaannya, yang dimaksud “produktivitas lahan pertanian adalah kemampuan lahan untuk memproduksi sesuatu spesies tanaman atau suatu sistem penanaman pada suatu sistem pengelolaan tertentu. Aspek pengelolaan yang dimaksud misalnya pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan pengairan.

F.    Tingkat Pendapatan Petani
Perbedaan  kebijaksanaan  antar  sektor  pertanian  dan  industri dapat  dilihat  dalam  keperluan  akan  kebijaksanaan  yang  berada  antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku lain-lainnya. Pendapatan pada beberapa negara Asia penduduk desa jauh lebih rendah daripada penduduk kota yang hampir dari setengahnya. Mubyarto (1995:  250)  mengemukakan ada tiga hal yang menyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih yaitu :
a.    Kestabilan dan kemantapan yang lebih besar dari pendapatan penduduk kota.
b.    Lebih banyaknya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi.
c.    Lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan dikota yang  memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.

Sasaran pertanian ada dua yaitu sasaran sebelum panen atau sasaran pra panen dan sasaran pasca penen. Sasaran pra panen ialah hasil pertanian setinggi-tingginya. Sasaran ini merupakan sasaran tahap pertama atau sasaran tahap  pertama atau sasaran fisik. Sasaran tahap kedua yaitu sasaran ekonomis atau sasaran akhir ialah pendapatan atau keuntungan yang sebanyak-banyaknya tiap satuan lahan yang diusahakan karena hasil panen tinggi belum tentu memberikan keuntungan atau pendapatan tinggi pula.
Tingkat pendapatan dapat menunjukkan            tinggi rendahnya keadaan sosial ekonomi masyarakat tertentu. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang timbul di Indonesia yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar petani.

Usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dari lahan pertaniannya merupakan salah satu tujuan usaha pertanian. Tinggi rendahnya pendapatan   petani ditentukan beberapa hal diantaranya pengolahan lahan, pemupukan dan pengairan. Selain itu juga keadaan cuaca, sifat-sifat tanah dan  keadaan sosial budaya petani akan ikut menentukan pula, seperti yang dikemukakan arsyad (1987: 25) sebagai berikut :


Besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan garapan. Kecuali itu, faktor lain yang menentukkan diantaranya produktivitas dan kesuburan tanah. Jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.

Pendapatan petani menurut Arsyad tersebut tergantung pada modal dan pengolahan lahan. Kedua hal tersebut menentukan hasil jerih payah petani. Semakin besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengolahan lahan yang baik akan menentukan besarnya pendapatan yang diperoleh petani. Sebaliknya modal yang dimiliki sedikit kurang didukung pengolahan lahan pertanian yang maksimal hasilnya pun akan sedikit.
Pendapatan petani memiliki cirri khas sendiri yaitu penerimaan penghasilan hanya setiap musim panen sekali. Kadangkala dalam setahun penerimaan penghasilan tersebut bisa sampai dua atau tiga kali, tetapi ada juga  yang hanya satu kali.  Sehingga terdapat perbedaan antara pola pengeluaran dalam masyarakat petani. Pendapatan petani hanya diterima sekali panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat.
Pendapatan petani pada umumnya ditandai tidak adanya surplus produksi pertanian, sehingga menyebabkan terbatasnya kemampuan mereka  dalam investasi. Pendapatan per kapita yang sangat rendah di bawah kebutuhan minimum menyebabkan produktivitasnya rendah dan membatasi dirinya untuk kesepatan berusaha. Sehingga untuk menutupi kebutuhan yang tidak terbatas petani mencari sumber pendapatan lain di luar sektor pertain.
Jumlah rumah tangga petani di Indonesia didominasi petani kecil, sebagaimana diungkapakan Soekartawi (1986:6), bahwa karakteristik petani kecil di Indonesia ialah sebagai berikut:
a.    Petani yang pendapatannya rendah, kurang dari 240 Kg beras perkapita pertahun.
b.    Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar jawa
c.    Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan terbatas.
d.    Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.

Tinggi rendahnya pendapatan petani ditentukan beberapa faktor, hal ini  senada dengan pendapat yang diungkapkan Arsyad (1989:  2). Bahwa:
Besar kecil pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan garapan. Kecuali ada faktor lain yang turut menentukan, diantaranya produktivitas dan kesuburan tanah, jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.
Kedua pendapat di atas pada dasarnya memiliki maksa yang sama bahwa semakin besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengelolaan yang baik maka semakin besar pula pendapatan yang akan diperolah petani dari hasil pertaniannya, tetapi yang menjadi masalah pada umumnya bagi  petani yaitu pendapatan yang diperoleh petani setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

G.   Studi Kasus Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
ADOPSI TEKNOLOGI M-BIO (Pengajuan Terdaftar Paten nomor P 20000939) SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN BERKELANJUTAN (Tindak lanjut KKN-PPM 2007)
Oleh : Rudi Priyadi dan Rina Nuryati

Adopsi Teknologi M-Bio sebagai pupuk hayati yang merupakan kultur campuran dari berbagai mikroorganisme yang menguntungkan bagi perbaikan tanah dan tanaman, dan dikembangkan di Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi pada usaha budidaya tanaman padi dengan System Rice Intensification (SRI) merupakan aplikasi teknologi pertanian ramah lingkungan yang mendukung program pembangunan berkelanjutan, karena secara teknis dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya setempat dan pemanfaatan limbah ( sampah tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, sampah kota, sampah dapur, dsb), serta dihindari sama sekali penggunaan bahan kimia baik berupa pupuk maupun pestisida.

Pengujian di lapangan sejak tahun 1998 teknologi ini telah mampu memberikan peningkatan hasil pada beberapa komoditas pertanian. Dan Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi teknologi ini mampu menghasilkan 300 gram GKP per rumpun tanaman padi. Kemudian di PKBM Al-Hidayah yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang telah mengadopsi teknologi ini satu rumpun tanaman padi mampu memberikan hasil rata-rata sebesar 160 gram GKP. Sementara itu di lahan sawah satu rumpun tanaman padi hanya menghasilkan rata-rata 80 gram GKP (Rina Nuryati dkk, 2008).

Sehubungan dengan hal tersebut maka teknologi tersebut perlu segera disosialisasikan kepada para petani untuk diadopsi pada usaha budidaya tanaman padi yang dilakukannya karena menurut Wiraatmadja (1985) penemuan baru itu tidak akan banyak manfaatnya, apabila tidak diketahui dan tidak digunakan oleh banyak orang. Sehubungan dengan hal tersebut maka telah dilakukan sosialisasi teknologi tersebut melalui penyelenggaraan KKN PPM 2007 yang ditindak lanjuti dengan Program Penerapan Ipteks 2009.

Tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan program ini adalah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sekaligus efektivitas dan efisiensi usahatani yang dilakukan melalui pemanfaatan bahan organik yang banyak tersedia di lingkungan sekitar petani, mengurangi ketergantungan petani pada penggunaan pupuk anorganik yang sering kali mengalami kelangkaan pada saat musim tanam tiba, dihasilkannya bahan pangan pokok bagi masyarakat yang aman dan sehat serta bebas dari berbagai bahan kimia yang berbahaya, menjamin keberlangsungan proses produksi dari usahatani yang dilakukan sekaligus menjamin kelestarian lingkungan di mana proses produksi dilakukan sehingga mendukung proses pembangunan pertanian yang berkelanjutan, kemudian yang paling penting adalah meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani   pada khususnya sekaligus meningkatkan aktivitas perekonomian pada sektor lainnya.

Bahan dan Metode
Kegiatan dilakukan di Desa Setiawaras Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya, yang pada Bulan Oktober 2007 desa ini telah dijadikan lokasi pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata sebagai Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau di kenal dengan KKN-PPM oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas Siliwangi dengan Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dan dalam penyelenggaraannya mendapatkan dana hibah dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M) Dikti melalui Universitas Gajah Mada Yogyakarta sebagai Koordinator KKN-PPM. Selanjutnya pada tahun 2009 diteruskan dengan pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 yang dalam pelaksanaannya didanai dari APBN Ditjen Pendidikan Tinggi.

Desa Setiawaras terpilih sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan KKN-PPM 2007 dan Program Penerapan Ipteks 2009 karena desa ini memiliki potensi desa yang cukup besar bagi pengembangan tanaman budidaya, khususnya padi, dengan luas lahan sawah beririgasi seluas 915,4 ha dan luas lahan sawah tadah hujan seluas 233.568 Ha. Sedangkan luas desa keseluruhan seluas 1.829.418 Ha berupa lereng dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.365 penduduk dengan jumlah kelompok tani sebanyak 10 kelompok tani .

Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah Metoda penyuluhan yang disertai dengan diskusi dan tanyajawab untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan pengalaman petani. Kemudian Metode pelatihan digunakan untuk membantu petani dalam meningkatkan kemampuan teknis persiapan dan pelaksanaan aplikasi teknologi M-Bio yang diteruskan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk melihat perkembangan dari hasil adopsi Teknologi M-Biopada budidaya tanaman padi.

Dalam upaya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani sasaran program terhadap Teknologi M-Bio sekaligus untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio, selama kegiatan monitoring danevaluasi dilakukan wawancara dengan petani sasaran program yang dalam pelaksanaannya dipandu dengan bantuan daftar pertanyaan atau kuesioner.

Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak supaya hasil yang diperoleh representative dan mewakili populasi yang diamati. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Nilai Tertimbang (Rasyid, 1995) untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani, serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap Teknologi M-Bio. Sementara itu untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio dilakukan analisis dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil dan Pembahasan
Sosialisasi Teknologi M-Bio yang telah dilaksanakan melalui penyelenggaraan Program KKN PPM 2007 telah berhasil menggugah kesadaran sebagian besar petani di Desa Setiawaras untuk melaksanakan budidaya tanaman padi secara organik dengan memanfaatkan berbagai sumber bahan organik yang tersedia di sekitar petani. Aplikasi Teknologi M-Bio ini sudah diterapkan pada usaha pembuatan pupuk organik padat, pupuk organik cair dan pestisida nabati serta pada teknis budidaya tanaman padi di lapangan  yang dalam pelaksanaannya dipadukan dengan system budidaya tanaman padi SRI.

Pengembangan usaha pembuatan pupuk organik ini seiring dengan program Departemen Pertanian yang telah mencanangkan dan memprogramkan pengembangan pertanian organik, dan sejalan dengan program Revitalisasi Pertanian, dengan aspek peningkatan mutu, nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta kelestarian sumber daya alam dan lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran utama.

Kondisi di atas ini diketahui berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Program Penerapan Ipteks 2009 yang merupakan program tindak lanjut dari penyelenggaraan KKN PPM 2007. Kesadaran petani dalam melaksanakan usaha budidaya tanaman padi organik ini juga didukung oleh potensi sumber bahan organik di Desa Setiawaras yang cukup berlimpah.

Potensi bahan organik lainnya juga tersedia dari luar Desa Setiawaras yaitu bahan organic yang berasal dari limbah usaha penggergajian kayu yang kapasitasnya dapat mencapai 18 ton/hari dan limbah dari pabrik kapur berupa abu/kapur dolomite yang dapat ditambahkan pada pupuk organik yang dibuat dengan aplikasi Teknologi M-Bio untuk meningkatkan kualitas pupuk organik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono Hardjowigeno (1992) yang menyatakan bahwa pemberian kapur dolomite berguna untuk menaikkan pH tanah agar unsure-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan.

Budidaya tanaman padi organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio di Desa Setiawaras ini menurut hasil wawancara dengan petani telah berhasil menaikkan produktivitas tanaman padi sebesar 10-15 persen.

Hal ini disebabkan karena pupuk organik dengan aplikasi teknologi M-Bio mempunyai kandungan unsure hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos/pupuk kandang (tanpa fermentasi kultur mikroba),. Diantaranya kandungan N dan K meningkat masing-masing 100 persen dan 30 persen dengan C/N = 8, pupuk organik tersebut apabila diaplikasikan ke dalam tanah maka bahan organiknya akan digunakan sebagai makanan bagi mikroorganisme efektif untuk berkembang biak di dalam tanah, sehingga juga sekaligus sebagai penyedia unsur hara/makanan bagi tanaman.

Oleh karena itu selain berguna untuk menambah komponen bahan organik untuk perbaikan sifat fisika tanah dan menambah unsur-unsur hara, juga mengandung antibiotik (menekan patogen/pembawa penyakit) dan mikroorganisme yang bermanfaat yang diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi tanah (Analisis Laboratorium Analis Kimia Bogor, 2007). Hal tersebut menyebabkan kebutuhan unsur hara tanaman dapat terpenuhi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi yang diusahakan.

Keberhasilan penyelenggaraan KKN PPM 2007 juga mendapatkan apresiasi dan dukungan dari pemerintah,yaitu dengan dikucurkannya bantuan ternak sapi sebanyak 50 ekor kepada kelompok tani di Desa Setiawaras. Bantuan ternak sapi ini diterima oleh kelompok tani pada tahun 2007 yaitu sekitar 2 bulan setelah penyelengaraan KKN PPM 2007 berakhir. Kondisi ini semakin menggairahkan petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman padi dengan aplikasi pupuk organik sekaligus melakukan usaha ternak sapi potong yang limbah kandangnya dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan pupuk organik.

Hal yang lebih menggembirakan dari hasil survey pendahuluan diketahui bahwa saat ini Kelompok Tani “Kalapa Herang” di Dusun Cipigan yang merupakan salah satu kelompok tani sasaran program KKN PPM 2007 telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik dengan Aplikasi Teknologi M-Bio dan produknya telah masuk ke perusahaan Pupuk Kujang di Cikampek dengan kapasitas pemesanan sebanyak 100 – 200 ton/bulan.

Keadaan ini tentu saja menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi peningkatan aktivitas perekonomian kelompok tani Kalapa Herang pada khususnya dan masyarakat Desa Setiawaras pada umumnya. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut saat ini adalah terbatasnya kapasitas produksi yang dapat dicapai sehubungan dengan keterbatasan alat dan peralatan yang dimiliki untuk memenuhi stándar mutu yang telah ditetapkan oleh pihak Pupuk Kujang.

Kondisi ini pada akhirnya mendorong kelompok tani Kalapa Herang untuk menjalin kerjasama dengan kelompok tani lain dari Desa Setiawaras yang telah menjadi sasaran program penyelenggaraan KKN PPM 2007 untuk mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik guna merespon peluang pasar yang telah tersedia, dan ternyata mendapat tanggapan yang positif, meskipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan pembinaan lebih lanjut untuk mampu menghasilkan pupuk organik seperti yang telah dihasilkan oleh Kelompok Tani Kalapa Herang untuk mampu menembus pasar PT. Pupuk Kujang Cikampek. Hal ini menyebabkan saat ini aktivitas perekonomian masyarakat di Desa Setiawaras lebih hidup dan lebih maju.

Namun demikian keberhasilan tersebut belum dicapai oleh seluruh petani yang ada di Desa Setiawaras karena proses adopsi terhadap suatu teknologi dari setiap individu petani berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari masih terdapatnya sebagian petani yang dalam proses pembuatan pupuk organiknya belum melaksanakan proses pembuatan sesuai dengan prosedur yang telah diberikan. Seperti tidak dilakukannya pengecekan suhu secara berkala terhadap bahan pupuk organik padat yang dibuat, padahal ini penting dilakukan agar proses fermentasi bahan organik berjalan sempurna guna menjamin kualitas pupuk organik yang dihasilkan. Demikian juga dengan proses aplikasi di lapangan masih terdapat beberapa tahapan yang tidak dilaksanakan oleh sebagian petani sasaran program.

Menurut Rogers dalam Hanafi (1997), proses keputusan terhadap suatu teknologi baru terdiri dari empat tahapan yaitu (1) tahap pengenalan, di mana seseorang mengetahui adanya suatu inovasi baru dan memperoleh beberapa keterangan tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi, (2) tahap persuasi, yaitu dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak terhadap inovasi tersebut, (3) Tahap Keputusan yaitu dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi dan (4) Tahap Konfirmasi yaitu di mana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin seseorang mengubah keputuannya apabila memperoleh informasi yang bertentangan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka setelah suatu program kegiatan selesai dilaksanakan sebaiknya diteruskan dengan program tindak lanjut yang sejalan dengan program yang telah dilakukan untuk memberikan bimbingan dan pendampingan sekaligus pencerahan sebagai upaya penyegaran guna menjamin keberlangsungan program yang telah disampaikan.

Selanjutnya dengan berpedoman pada hasil survey pendahuluan maka pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 hanya ditujukan pada petani atau kelompok tani tertentu saja yang masih menghadapi kendala tertentu dalam adopsi Teknologi M-Bio. Sehubungan dengan hal tersebut maka kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang merupakan Metode yang digunakan dalam Program Penerapan Ipteks 2009 pun disesuaikan dengan kondisi petani atau kelompok tani tertentu, karena ternyata permasalahan yang dihadapi oleh petani maupun kelompok tani sangat khusus dan bersifat lokal sehingga pemecahan masalah atau solusinya pun hanya berlaku untuk petani atau kelompok tani tertentu.

Dalam pelaksanaannya, penyuluhan dan pelatihan ini tidak selalu harus dilakukan secara bersamaan karena seringkali hanya dengan memberikan penyuluhan saja petani sudah mengerti atau sudah paham tentang materi yang semula ditanyakan tanpa harus diikuti dengan kegiatan pelatihan. Meskipun pada keadaan tertentu memang kadang-kadang kedua kegiatan tersebut harus dilakukan bersamaan karena petani merasa perlu untuk mendapat penjelasan lebih detail lagi. Dengan demikian penyuluhan dan pelatihan yang dilaksanakan pada kegiatan ini umumnya hanya bersifat tukar pikiran dan pendapat saja, karena sebagian besar petani Di Desa Setiawaras sudah paham tentang Teknologi M-Bio dan hanya perlu memberikan penekanan pada point-point tertentu saja untuk menambah keyakinan akan keefektifan teknologi ini. Di samping itu guna menjamin keberlangsungan program selanjutnya, sekaligus untuk membantu dalam memberikan bimbingan teknis dalam aplikasi teknologi di lapangan telah ditunjuk kelompok tani pembina yaitu kelompok tani Kalapa Herang yang ada di Dusun Cipigan.

Sebagai kegiatan selanjutnya dari Program Penerapan Ipteks 2009 adalah kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat, memantau sekaligus mengkaji progam Penerapan Ipteks yang telah dilaksanakan. Monitoring dan evaluasi disertai dengan memberikan bimbingan dan pendampingan kepada petani di lapangan secara langsung, serta melakukan kembali wawancara disertai dengan menyebarkan kembali daftar pertanyaan atau kuesioner.

Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani tentang kegiatan yang dilaksanakan sekaligus untuk mengetahui tingkat adopsi progam, setelah program Penerapan Ipteks 2009 dikerjakan oleh petani sasaran program, juga ditujukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Program Penerapan Ipteks 2009.

Hasil penyebaran kuesioner kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis Kendall-W, dengan hasil analisis dan pembahasan sebagai berikut :
1.    Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani
Pengetahuan petani yang dianalisis pada program Penerapan Ipteks ini meliputi pengetahuan petani tentang pupuk organik dan tentang Teknologi M-Bio, sementara dari keterampilan petani dianalisis meliputi keterampilan dalam menentukan sumber bahan organik, menentukan alat dan bahan untuk proses pembuatan pupuk organik, keterampilan dalam proses pembuatan pupuk organik pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio di lapangan.

Pengukuran tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu rendah (skor 20 – 33,3), sedang (skor 33,3 – 46,66), dan tinggi (46,66 – 60). Hasil analisis diketahui bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diperoleh skor 48,35 dengan skor ideal 60,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Setiawaras telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang pupuk organik termasuk tentang sumber bahan organik yang dapat digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan penggunaan pupuk organik serta tentang aplikasi pupuk organik di lapangan, petani di Desa Setiawaras sudah memahaminya, sehingga pupuk organik sudah digunakan secara umum pada usaha budidaya tanaman padi yang dilaksanakannya.

Demikian juga dalam hal pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan aplikasi Teknologi M-Bio, tentang aplikasi Teknologi M-Bio pada teknis pembuatan pupuk organik padat, cair, pestisida nabati termasuk aplikasinya di lapangan, petani sudah tahu dan sudah memahaminya. Selanjutnya dari segi keterampilannya petani sudah memiliki keterampilan yang memadai untuk menentukan sumber bahan organik guna dipakai dalam pembuatan pupuk organik, sudah mampu menentukan alat dan bahan yang digunakan untuk proses pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan keterampilan dalam melaksanakan proses pembuatan pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio, secara umum tentang hal tersebut sudah mampu dilaksanakan oleh petani Di Desa Setiawaras.

2.    Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi M-Bio
Variabel adopsi yang dianalisis meliputi variabel adopsi Teknologi M-Bio dalam proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair, pada prose pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasinya di lapangan. Pengukuran tingkat adopsi terhadap Program Penerapan Ipteks 2009 diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu rendah (skor 22 – 36,67), sedang (skor 36,67 – 51,34) dan tinggi (51,34 – 66). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi M-Bio diperoleh skor 57,57 dengan skor ideal 66,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani Di Desa Setiawaras pada umumnya sudah menerapkan Teknologi M-Bio pada proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair, pada pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasi Teknologi tersebut di lapangan. Dengan sudah diadopsinya teknologi ini maka dihasilkan pupuk organik dan pestisida berkualitas sekaligus ramah lingkungan.

Salah satu indikator keberhasilan dari aplikasi Teknologi M-Bio ini berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa saat ini telah terjadi peningkatan produktivitas tanaman padi yang mencapai 5 sampai 10 persen.


3.    Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani dengan Adopsi Teknologi M-Bio
Dalam upaya mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan adopsi Teknologi M-Bio yang merupakan Program pokok Penerapan Ipteks 2009, dilakukan dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil analisis diperoleh nilai level of significant sebesar 0,005 dengan nilai korelasi sebesar 0,415, selanjutnya apabila dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,025 maka menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan adopsi Teknologi M-Bio. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keterampilan petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap Teknologi M-Bio. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan dan keterampilan petani maka semakin rendah pula tingkat adopsi Teknologi M-Bio.

Dengan demikian dalam upaya untuk meningkatkan adopsi Teknologi M-Bio di tingkat petani diperlukan upaya untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para petani. Karena dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani, maka akan menjadikan petani lebih produktif dalam menerapkan penemuan-penemuan baru baik berupa teknologi maupun manajemen usahatani pada umumnya (Mubyarto, 1989). 

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani salah satunya dapat dilakukan melalui pelaksanaan progam lanjutan dari program yang telah dilaksanakan seperti Program Penerapan Ipteks ini. Karena suatu program yang akan dicoba untuk disosialisasikan kepada para petani perlu dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan, sehubungan dengan adanya keterbatasan kemampuan pada masing-masing individu petani untuk mengadopsi suatu teknologi baru termasuk adanya berbagai perkembangan di lapangan  yang menyebabkan petani  memerlukan bimbingan dan arahan yang lebih lanjut.

Seperti yang terjadi saat ini pada Kelompok Tani Kalapa Herang di Desa Setiawaras yang telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik sehingga terdapat permintaan dari PT. Pupuk Kujang Cikampek sebanyak 100 – 200 ton/bulan. Hal ini memerlukan bimbingan dan arahan termasuk pendampingan untuk menjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi yang bisa dihasilkan guna mempertahankan kepercayaan pasar yang telah ada bahkan untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Dengan demikian diharapkan setelah program Penerapan Ipteks ini selesai dilaksanakan dapat diteruskan dengan program berikutnya yang sejalan dengan program yang telah diselenggarakan sehingga program pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Rina Nuryati, Betty Rofatin, Tenten Tedjaningsih, Rudi Priyadi. 2008. Keragaan Usahatani Tanaman Padi Pada
Polybag. Jurnal Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Hanafi. 1997. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi tanggal 15 September 2008.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3S. Jakarta.
Rasyid. 1995. Prilaku Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok sebagai Determinan Penting bagi Peningkatan Produktivitas Kerja Kelompok Karyawan. Disertasi Pascasarjana UNPAD. Bandung.
Sarwono Hardjowigeno. 1992. Ilmu Tanah. PT. Melon Putra. Jakarta.
Wiraatmadja. 1983. Penyuluhan Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah. Jakarta