Tuesday, June 24, 2014

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DI BAWAH SOEHARTO

BAB I
“POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DI BAWAH SOEHARTO”
)*Ali Ahsan

RESENSI BUKU
PENULIS                       : Leo Suryadinata
PENERJEMAH              : Nur Iman Subono
JUDUL ASLI BUKU      : Indonesia’s foreign policy under Soeharto, aspiring to      internasional                     leadership
JUDUL INDONESIA     : Politik Luar Negeri Di Bawah Soeharto
PENERBIT                     : LP3ES
CETAKAN                     : Pertama
ISBN                               : 979-8391-72-1
ISI                                   : 250 Halaman

Pada bab I mengulas sejumlah faktor yang memengaruhi politik luar negeri indonesia, faktor yang dimaksud adalah persepsi para pemimpin indonesia atas batas-batas dan wilayah, peranan indonesia dalam dunia internasional maupun budaya politik dari indonesia sendiri. Namun dalam resensi kali ini, saya akan lebih menitikberatkan pendapat maupun kutipan kalimat yang memang menurutku baru kuketahui. Resensi ini akan nampak point per point bukan lagi berbentuk deskriptif seperti halnya yang biasa kutulis.

 Ø  Hampir 60% minyak mentah Indonesia di jual ke Jepang dan Indonesia juga menerima bantuan asing dalam jumlah besar dari negara Jepang
 Ø  Negara Islam/mayoritas penduduknya beragama islam juga berpengaruh terhadap arah sikap politik suatu negara. Karena arah kebijakanya akan proaktif daripada responsif

 Ø  Dalam wacana mengenai batas teritorial Indonesia, Mohammad Yamin mengatakan bahwasanya wilayah Indonesia adalah refleksi dari kerajaan Srwijaya & Majapahit yakni meliputi Hindia Belanda, Malaysia, Borneo, Timor dan Papua Nugini; akan tetapi Moh. Hatta yang pada saat itu tergabung dalam panitia kecil RUU negara baru, mengatakan bahwasanya wilayah Indonesia hanya meliputi bekas Hindia Belanda semata. Karena jikalau memasukan seperti dua kerajaan silam yakni Majapahit dan Sriwijaya kesanya Indonesia di mata negara luar adalah Imprealis, ditambah lagi apakah benar adanya wilayah Majapahit itu sampai dengan apa yang di utarakan Moh. Yamin ternyata masih di perdebatkan di kalangan akademisi, karena akademisi percaya kekuasaan Majapahit tidak keluar dari Jawa, hanya saja pengaruhnya meluas ke wilayah Hindia Belanda

 Ø  Mungkin ini hanya kesimpulan sementaraku, mengapa banyak jargon “Ganyang Malaysia” atau secara real hubungan Indonesia dengan Malaysia sampai saat ini cenderung naik turun. Karena dibuku ini diutarakan saat Soekarno memimpin ia bersikeras bahwasanya Indonesia selalu dikaitkan dengan setiap masalah regional. Saat  pembentukan negara Malaysia, Indonesia merasa disepelekan karena pembentukan Malaysia di umumkan tanpa menunggu hasil dari misi PBB

 Ø  Dalam mempelajari politik luar negeri Indonesia, ada dua faktor yang harus di perhatikan, 1) Ancaman asing, 2) Konsep Kepulauan. Contoh:
1.      Dalam ancaman asing, menurut pengamat hal pertama ditimbulkan dari dalam. Seperti dugaan RRC ikut andil dalam kudeta 1965, pemerintah menduga komunis di Indonesia bekerjasama dengan RRC. Padahal hal ini sesungguhnya adalah phobia pemerintah semata sehingga pada bulan Februari 1989 mengumumkan normalisasi dengan RRC, menurut pemimpin Indonesia, RRC selain karena komunis juga sangat agresif.

2.      Sedangkan untuk konsep kepulauan, posisi Indonesia yang memiliki 13.000 pulau lebih mewajibkan pemerintah untuk mengontrol semua pulau tersebut, Mochtar Kusuatmaja sebagai mantan Menteri Luar negeri mengatakan bahwa karena politik dan keamananlah yang membuat pemerintah Indonesia memperkenalkan “KONSEP NUSANTARA” pada desember 1957

3.      Nusantara adalah istilah yang dipakai dalam Jawa Kuno untuk merujuk negara yang berdekatan dengan Majapahit & Sriwijaya

4.      Sedangkan menurut deklarasi Desember 1957, Nusantara itu “Seluruh perairan, yang mengelilingi diantara & menyatukan negara Indonesia tanpa mempertimbangkan perpanjangan luasnya bagian integral dari wilayah Indonesia, karenanya bagian perairan dalam negeri atau nasional berada di bawah kedaulatan penuh negara Indonesia”.

5.      Konsep Nusantara adalah konsep wilayah, sementara Wawasan Nusantara adalah konsep politik yang didasarkan pada konsep wilayah. Konsep tersebut menarik pemimpin Indonesia bahwa Indonesia disatukan, tidak dipisah oleh laut. Hal ini yang menjadi jargon bahwa TANAH & AIR adalah SATU.

“Karenanya, persepsi Indonesia terhadap ancaman dan konsep Nusantara/Wawasan Nusantara adalah dua faktor yang telah mempengaruhi dan akan menentukan perilaku politik luar negeri Indonesia”

 Ø  Islam Abangan di sebut juga Agama Jawi / Islam Nominal / Islam Liberal

 Ø  Islam Santri di sebut juga Islam Shaleh / Islam Ta’at

 Ø  Islam Abangan berasal dari massa Pra-Islam (Hinduisme), hal ini banyak terdapat di birokrat-birokrat, pemimpin militer atau tokoh sipil ternama sehingga mereka lebih memilih Pancasila sebagai Idiologi Indonesia daripada Islam

 Ø  Islam Santri di Indonesia memang terhitung sedikit, mereka ini sangat aktif di sektor perekonomian dan berwatak fundamentalis, mereka ini ingin mengislamkan masyarakat Jawa dengan menghapuskan budaya-budaya Pra-Islam.
Perjuangan antara Abangan dan Santri dalam politik terwujudkan dengan perseturuan antara PANCASILA & ISLAM
 Ø  Pada tahun 1945, Soekarno sebagai seorang Abangan merefleksikan pemikiranya dengan bukti UUD’45 & PANCASILA yang mengakui Pluralisme. Hal ini sama saja dengan dibangunya negara ini atas dasar sekuler.

 Ø  Dibawah kepimimpinan Soeharto, pada tahun 1985 Pancasila disahkan sebagai satu-satunya idiologi bagi seluruh organisasi massa di Indonesia

 Ø  Soeharto percaya, bahwasanya seorang penguasa harus mengikuti tradisi Jawa. Karena dia sebagai pemimpin yang kuat beranggapan bahwa negara adalah Kerajaan dan orang di dalamnya adalah pelayan yang wajib menggikuti menuruti apa perintahnya.


 Ø  Politik luar negeri Indonesia lebih diformulasikan oleh elite daripada “massa” melalui proses demokrasi. Elite ini dipengaruhi oleh budaya politik dan pengalaman historis di saat merumuskan politik luar negeri. Latar belakang abangan dan perasaan nasionalisme yang kuat dari elite terwujudkan dalam politik luar negeri mereka. Ini dapat dilihat dalam kebijakan Indonesia terhadap Timur Tengah dan penolakan terhadap pangkalan militer asing. Penting untuk dicatat bahwa elite ini menyadari hak Indonesia sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara, karena luasnya wilayah sejarah Indonesia. Tetapi kemampuan Indonesia yang terbatas telah mengahambat perilaku internasional mereka. “Faktor-faktor yang menentukan” (determinants) yang dibicarakan di atas telah bergesekan dengan politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun dari periode revolusi hingga era Soeharto.

No comments:

Post a Comment