Monday, March 30, 2015

Resensi Buku Agama Punya Seribu Nyawa


AGAMA PUNYA SERIBU NYAWA



Ini Koleksi Buku Saya, Semoga Kalian Membacanya
Judul : Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Cetakan : Pertama, April 2012.
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Jumlah Halaman : 281 Halaman

Buku ini memang bukan karya pertama Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Tetapi entah, saya pun kurang begitu tahu, ini buku beliau yang ke berapa kalinya terbit. Lepas dari itu, khalayak mungkin tak asing dengan buku-buku lain beliau yang sudah banyak beredar, semisal; Psikologi Kematian, Psikologi Beragama, dan lain-lain, yang banyak berlabel “best seller”. Yang agak berbeda dari buku ini, adalah gaya tuturnya yang sederhana dan renyah tetapi tetap mendalam, karena buku ini—sebagaimana diungkapkan penulisnya—bermula dari kumpulan naskah esai tercecer, sebagai tanggap dan refleksi atas pelbagai masalah yang kerap mendera manusia, agama dan kemanusiaan.

Mencermati buku ini semakin menarik, bukan hanya karena buku ini ditulis oleh seorang cendekiawan muslim terkemuka, melainkan juga karena kandungan di dalamnya terdapat pelbagai nilai agama dan kemanusiaan universal-fundamental, yang patut dijadikan bahan permenungan, terutama dalam menyamuderai luas dan dalamnya kandungan agama, khususnya agama Islam, dalam konteks Indonesia.

Khalayak mungkin akan cepat bertanya mengapa agama punya seribu nyawa? Bukankah agama-agama yang dewasa ini masih berkembang, sering kali menyulut konflik, intoleransi, atau bahkan radikalisme dan terorisme? Bukankah agama justru hanya membuat manusia menjadi sektarian dan fanatisme? Pertanyaan-pertanyaan ini wajar terujar. Akan tetapi—sebagaimana spirit optimisme buku ini—khalayak akan mendapatkan pencerahan berikut pelbagai alasan logis atau minimalnya “manggut-manggut”, mengapa kemudian agama punya seribu nyawa.

Buku karya Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini terhimpun ke dalam lima bagian. Bagian pertama tentang Hakikat Beragama, bagian kedua Ibadah dan Nilai Sosial, bagian ketiga Radikalisme Agama, bagian keempat Dunia Islam Nusantara, dan kelima Agama Takkan Mati.

Berkenaan dengan bagian pertama, yang berisikan empat belas tulisan itu, Prof. Komar mengupas pelbagai ulasan yang bermuara kepada hakikat manusia beragama. Namun demikian, dari empat belas tulisan itu dapat saya sarikan bahwa megapa manusia beragama, manusia beragama karena ia butuh. Butuh petunjuk atas kecemasan dan harapan menuju kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan baik dunia maupun akhirat. Yang perlu diingat, Prof. Komar menganjurkan agar senantiasa belajar agama secara kritis. Hal demikian sangat diperlukan untuk memperkokoh iman dan memperluas pengetahuan, yang harus terus dipelajari bukan kemudian diperdebatkan untuk mencari menang-kalah sembari menyalahkan pihak lain yang berbeda.

Di bagian kedua, berisikan delapan tulisan. Prof. Komar dengan argumentatif menjelaskan bahwa ibadah yang kita lakukan semestinya tidak hanya sebatas ritual. Ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain semestinya berbanding lurus dengan ibadah sosial. Tentang bagaimana pentingnya menjaga keharmonisan dan hidup berbagi, bersama, dan berdampingan. Termasuk di dalamnya tentang urgensi memberi. Prof. Komar bahkan menegaskan, memberi kepada orang lain sesungguhnya membuat diri sendiri menerima sesuatu yang sering jauh lebih besar dan berharga dari yang diberikan. Mulai dari memberi kenyamanan, keleluasaan, sedekah, atau sekedar senyuman kepada sesama dan orang lain.

Ulasan demi ulasan semakin renyah dan menarik, tatkala kita terus membaca bagian ketiga buku ini. Ia terdiri dari sembilan tulisan seputar radikalisme agama. Prof. Komar menghimbau agar umat beragama untuk segera mengakhiri tradisi amuk, kekerasan. Agama, tidak diciptakan untuk mentradisikan kekerasan; radikalisme dan terorisme. Makanya, Prof. Komar mengajak umat beragama—tanpa terkecuali umat Islam Indonesia—untuk segera menciptakan perdamaian dan peradaban luhur, sehingga Indonesia yang dikenal sebagai “the largest and the most democratic muslim country” ini bisa memberikan kontribusi pada dunia Islam dan masyarakat dunia bahwa Islam itu agama pembawa rahmat, bukan fitnah dan laknat.

Dunia Islam Nusantara, tentang tradisi, ekspresi, dan mazhab Islam Indonesia dikupas secara khas dalam bagian kelima. Bagian ini terdiri dari sebelas tulisan. Prof. Komar secara meyakinkan berujar bahwa, genealogi historis-teologis masuknya Islam ke Nusantara ini telah memberi karakter ekspresi keislaman di Indonesia sampai hari ini. Sebuah gerakan Islam kultural yang sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tradisi lokal, tanpa kehilangan militansi dan substansi beragama. Keberislaman yang identik dengan kesantunan dan keberagaman. Termasuk menolak formalisasi Negara Islam, yang tidak sesuai dengan substansi Islam dan kultur bangsa, yang justru amat rentan menimbulkan seteru dan konflik agama yang larut.

Bagian terakhir, keenam; Agama Takkan Mati, terdiri dari enam tulisan. Merupakan bagian yang nampaknya utama karena sesuai dengan judul besar buku ini, mengupas masalah agama, budaya, tradisi, ragam ekspresi beragama, sampai masa depan Tuhan, sehingga kemudian memperkuat argumen; Agama Punya Seribu Nyawa. Tidak lain, karena meskipun sebagian kalangan awam hingga cendekiawan ada yang memilih anti-agama, ini tidak akan banyak berpengaruh terhadap manusia arus utama atas candunya terhadap agama. Sampai-sampai, Prof. Komar lugas mengatakan, membayangkan agama akan lenyap dari panggung sejarah tidak lebih adalah mimpi bahkan omong kosong.

Walhasil, buku yang dibubuhi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab ini, juga memberikan pandangan sama dengan penulisnya bahwa agama akan selalu digandrungi oleh manusia atas segala kecemasan dan harapan yang sering kali mendera manusia. Atas itu semua, sekali lagi, buku ini menarik dan perlu untuk dibaca oleh siapa pun dan kalangan apa pun. Karena sebagaimana M. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga) dalam endorsement-nya mengatakan; “Agama, apa pun dan dimana pun, punya kekuatan ajustibiltas yang sangat tinggi terhadap lingkungan sekitar dan zaman yang dilaluinya. Penulis buku ini menguraikannya dengan jelas dan tajam”. Begitu juga Yudi Latif (Cendekiawan Muslim) turut memberikan apresiasi: “Buku ini melakukan penziarahan atas pengalaman keagamaan sehari-hari, memberikan refleksi kritis dan mengisahkannya kembali dalam bahasa yang sederhana dan memikat, guna menghadirkan modus beragama yang berparas bunga”. Demikian, selamat membaca!

Behind the Gun : @aliahsanID

No comments:

Post a Comment