AGAMA PUNYA SERIBU NYAWA
Ini Koleksi Buku Saya, Semoga Kalian Membacanya |
Judul : Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Cetakan : Pertama, April 2012.
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Jumlah Halaman : 281 Halaman
Buku
ini memang bukan karya pertama Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Tetapi entah, saya
pun kurang begitu tahu, ini buku beliau yang ke berapa kalinya terbit. Lepas
dari itu, khalayak mungkin tak asing dengan buku-buku lain beliau yang sudah
banyak beredar, semisal; Psikologi Kematian,
Psikologi Beragama, dan lain-lain,
yang banyak berlabel “best seller”.
Yang agak berbeda dari buku ini, adalah gaya tuturnya yang sederhana dan renyah
tetapi tetap mendalam, karena buku ini—sebagaimana diungkapkan
penulisnya—bermula dari kumpulan naskah esai tercecer, sebagai tanggap dan
refleksi atas pelbagai masalah yang kerap mendera manusia, agama dan
kemanusiaan.
Mencermati buku ini semakin menarik, bukan hanya
karena buku ini ditulis oleh seorang cendekiawan muslim terkemuka, melainkan
juga karena kandungan di dalamnya terdapat pelbagai nilai agama dan kemanusiaan
universal-fundamental, yang patut dijadikan bahan permenungan, terutama dalam
menyamuderai luas dan dalamnya kandungan agama, khususnya agama Islam, dalam
konteks Indonesia.
Khalayak mungkin akan cepat bertanya mengapa agama
punya seribu nyawa? Bukankah agama-agama yang dewasa ini masih berkembang,
sering kali menyulut konflik, intoleransi, atau bahkan radikalisme dan
terorisme? Bukankah agama justru hanya membuat manusia menjadi sektarian dan
fanatisme? Pertanyaan-pertanyaan ini wajar terujar. Akan tetapi—sebagaimana
spirit optimisme buku ini—khalayak akan mendapatkan pencerahan berikut pelbagai
alasan logis atau minimalnya “manggut-manggut”, mengapa kemudian agama punya
seribu nyawa.
Buku karya Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
terhimpun ke dalam lima bagian. Bagian pertama tentang Hakikat Beragama, bagian
kedua Ibadah dan Nilai Sosial, bagian ketiga Radikalisme Agama, bagian keempat
Dunia Islam Nusantara, dan kelima Agama Takkan Mati.
Berkenaan dengan bagian pertama, yang berisikan empat
belas tulisan itu, Prof. Komar mengupas pelbagai ulasan yang bermuara kepada
hakikat manusia beragama. Namun demikian, dari empat belas tulisan itu dapat
saya sarikan bahwa megapa manusia beragama, manusia beragama karena ia butuh.
Butuh petunjuk atas kecemasan dan harapan menuju kedamaian, kebahagiaan, dan
keselamatan baik dunia maupun akhirat. Yang perlu diingat, Prof. Komar
menganjurkan agar senantiasa belajar agama secara kritis. Hal demikian sangat
diperlukan untuk memperkokoh iman dan memperluas pengetahuan, yang harus terus
dipelajari bukan kemudian diperdebatkan untuk mencari menang-kalah sembari
menyalahkan pihak lain yang berbeda.
Di bagian kedua, berisikan delapan tulisan. Prof.
Komar dengan argumentatif menjelaskan bahwa ibadah yang kita lakukan semestinya
tidak hanya sebatas ritual. Ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain
semestinya berbanding lurus dengan ibadah sosial. Tentang bagaimana pentingnya
menjaga keharmonisan dan hidup berbagi, bersama, dan berdampingan. Termasuk di
dalamnya tentang urgensi memberi. Prof. Komar bahkan menegaskan, memberi kepada
orang lain sesungguhnya membuat diri sendiri menerima sesuatu yang sering jauh
lebih besar dan berharga dari yang diberikan. Mulai dari memberi kenyamanan,
keleluasaan, sedekah, atau sekedar senyuman kepada sesama dan orang lain.
Ulasan demi ulasan semakin renyah dan menarik, tatkala
kita terus membaca bagian ketiga buku ini. Ia terdiri dari sembilan tulisan
seputar radikalisme agama. Prof. Komar menghimbau agar umat beragama untuk
segera mengakhiri tradisi amuk, kekerasan. Agama, tidak diciptakan untuk
mentradisikan kekerasan; radikalisme dan terorisme. Makanya, Prof. Komar
mengajak umat beragama—tanpa terkecuali umat Islam Indonesia—untuk segera
menciptakan perdamaian dan peradaban luhur, sehingga Indonesia yang dikenal
sebagai “the largest and the most democratic muslim
country” ini bisa memberikan kontribusi pada dunia Islam dan
masyarakat dunia bahwa Islam itu agama pembawa rahmat, bukan fitnah dan laknat.
Dunia Islam Nusantara, tentang tradisi, ekspresi, dan
mazhab Islam Indonesia dikupas secara khas dalam bagian kelima. Bagian ini
terdiri dari sebelas tulisan. Prof. Komar secara meyakinkan berujar bahwa,
genealogi historis-teologis masuknya Islam ke Nusantara ini telah memberi
karakter ekspresi keislaman di Indonesia sampai hari ini. Sebuah gerakan Islam
kultural yang sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tradisi lokal, tanpa
kehilangan militansi dan substansi beragama. Keberislaman yang identik dengan
kesantunan dan keberagaman. Termasuk menolak formalisasi Negara Islam, yang
tidak sesuai dengan substansi Islam dan kultur bangsa, yang justru amat rentan
menimbulkan seteru dan konflik agama yang larut.
Bagian terakhir, keenam; Agama Takkan Mati, terdiri
dari enam tulisan. Merupakan bagian yang nampaknya utama karena sesuai dengan
judul besar buku ini, mengupas masalah agama, budaya, tradisi, ragam ekspresi
beragama, sampai masa depan Tuhan, sehingga kemudian memperkuat argumen; Agama
Punya Seribu Nyawa. Tidak lain, karena meskipun sebagian kalangan awam hingga
cendekiawan ada yang memilih anti-agama, ini tidak akan banyak berpengaruh
terhadap manusia arus utama atas candunya terhadap agama. Sampai-sampai, Prof.
Komar lugas mengatakan, membayangkan agama akan lenyap dari panggung sejarah
tidak lebih adalah mimpi bahkan omong kosong.
Walhasil, buku yang dibubuhi kata pengantar oleh Prof.
Dr. Quraish Shihab ini, juga memberikan pandangan sama dengan penulisnya bahwa
agama akan selalu digandrungi oleh manusia atas segala kecemasan dan harapan
yang sering kali mendera manusia. Atas itu semua, sekali lagi, buku ini menarik
dan perlu untuk dibaca oleh siapa pun dan kalangan apa pun. Karena sebagaimana
M. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga) dalam endorsement-nya mengatakan; “Agama,
apa pun dan dimana pun, punya kekuatan ajustibiltas yang sangat tinggi terhadap
lingkungan sekitar dan zaman yang dilaluinya. Penulis buku ini menguraikannya
dengan jelas dan tajam”. Begitu juga Yudi Latif (Cendekiawan Muslim) turut
memberikan apresiasi: “Buku ini melakukan penziarahan atas pengalaman keagamaan
sehari-hari, memberikan refleksi kritis dan mengisahkannya kembali dalam bahasa
yang sederhana dan memikat, guna menghadirkan modus beragama yang berparas
bunga”. Demikian, selamat membaca!
Behind the Gun : @aliahsanID
No comments:
Post a Comment