Tuesday, December 8, 2015

Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Indonesia


MAKALAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN
” KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP INDONESIA”




Disusun Oleh:
Agus siswanto
Yudha gallant nusa
Lukman budi setiawan
Widhiatma tan aking
Teguh wirawan
Yanto laras W





UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012





1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini juga berlaku bagi sumberdaya perikanan, seperti ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima, dan kerang mutiara. Sumberdaya ini secara umum disebut atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan.

Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Sekali terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan.Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP, sangat memahami permasalahan penangkapan berlebih di perairan laut Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan pantai utara Jawa. Didorong oleh harapan publik dimana sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia melalui peningkatan produksi hasil tangkap, DKP sekarang sedang mencari ‘sumberdaya yang tidak pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur (Widodo, 2003).

Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan Indonesia Bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa dikembangkan lebih lanjut? Indonesia cenderung melakukan intensifikasi perikanan tangkap. Artikel dari beberapa media yang menggambarkan keadaan peningkatan armada penangkapan di Indonesia menggambarkan beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. DKP mencoba mengangkat masalah ini dan menyelesaikannya dengan cara memfasilitasi transmigrasi nelayan.

Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengundang investor asing untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dianggap tidak akan pernah habis: situs Kedutaan Inggris di Indonesia mengundang industri perikanan tangkap di Inggris dalam memanfaatkan peluang ini (British Embassy, 2004), melalui suplai armada perikanan yang digunakan, kemungkinan bersama ABK, alat tangkap gill net, pukat harimau, pancing pole & line, pukat cincin, beserta pelayanan konsultasi dan transfer teknologi.

1.2 Perumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002).

Sekali terjadi sumberdaya yang sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan dan hal ini akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat (nelayan), pemasukan negara dan juga bagi ekosistem perairan laut.

1.3 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dua aspek terkait dengan sektor perikanan sebagai berikut:
1.     apakah stok perikanan Indonesia bisa terus dipertahankan meningkat dengan
meningkatnya laju eksploitasi dan
2.     pengembangan alternatif kebijakan perikanan tangkap
berbasis ekosistem dengan penekanan pada peranan Kawasan Perlindungan Laut, KPL, sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia, yang secara tradisional dipikirkan sebagai instrumen dari usaha konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelestarian Perikanan Di Indonesia
Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada sumberdaya produksi perikanan tangkap dan budidaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun sumberdaya tersebut saat ini sedang berada dalam kondisi terancam. Penangkapan ikan yang berlebihan, tidak mengikuti peraturan/undang-undang, serta tidak dilaporkan (IUU), menjadi masalah yang sangat serius pada sektor perikanan di Indonesia, termasuk pada perairan yang berbatasan dengan Australia ataupun dengan negara tetangga lainnya.

Penangkapan ikan karang (Reef Fishing) sudah lama menjadi sumber kehidupan jutaan masyarakat nelayan Indonesia. Secara global, produksi ikan karang sudah mencapai 6 metric ton atau 7% dari produksi perikanan dunia (Munro, 1996). Artinya, ikan karang adalah memasukan devisa bagi negara, dan menyediakan kesempatan kerja bagi jutaan nelayan.

2.2 Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Sedangkan ikan demersal adalah ikan-ikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya.

Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lain-lain, serta ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung, dan lain-lain. Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut.

2.3 Pengelolaan sumberdaya ikan.
Sifat sumberdaya ikan pada umumnya adalah “open access” dan “common property” Artinya pemanfaatannya bersifat terbuka, oleh siapa saja, dan kepemilikannya bersifat umum. Menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain:

a. tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan
(overexploitation), investasi berlebihan (overinvestment) dan tenaga kerja berlebihan (overemployment)
b. perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalkan oleh negara (state property rights), komunitas (community property rights).

Berdasarkan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa sebesar apapun potensi
sumberdaya ikan yang berada dalam suatu perairan tetapi tidak diatur atau tidak ada regulasi dalam bidang pemanfaatan sumberdaya ikan, maka akan menyebabkan terjadi degradasi terhadap potensi sumberdaya ikan dan hal ini akan berdampak terhadap pelaku-pelaku usaha penangkapan ikan, antara lain nelayan tangkap. Pengembangan suatu kawasan perairan untuk menjadi daerah penangkapan ikan dibutuhkan berbagai informasi sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pembukaan daerah penangkapan ikan tidak saja diperuntukkan untuk dimanfaatkan sebanyak-banyak tetapi aspek keberlanjutannya juga perlu diperhatikan sehingga memberikan dampak positif dari segi ekonomi.

Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terlaksana apabila dilakukan
pengelolaan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan. Saat ini pertumbuhan manusia dan kemajuan teknologi penangkapan ikan menyebabkan tingkat eksploitasi yang semakin meningkat. Pada sisi lain daya dukung lingkungan termasuk sumberdaya ikan mempunyai keterbatasan. Keterbatasan inilah sehingga dibutuhkan adanya pengrlolaan pemanfaatan sumberdaya ikan agar ketersediaan sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan daya dukung lingkungan pada setiap perairan dimana akan dilakukan pemanfaatan.Sehubungan dengan pengelolaan tersebut maka dibutuhkan adanya regulasi tentang tingkat pemanfaatan pada setiap wilayah perairan yang akan dikembangkan menjadi daerah penangkapan ikan. Batasan-batasan perlu ditetapkan sesuai dengan daya dukung lingkungan masing-masing perairan, bukan hanya seberapa banyak umberdaya ikan dapat dimanfaatkan tetapi juga perlu adanya pembatasan teknologi yang akan digunakan pada suatu wilayahperairan.

2.4 Potensi produksi sumberdaya Ikan di perairan Indonesia
Tabel dibawah ini menggambarkan potensi produksi dan tingkat pemanfaatannya di wilayah perairan Indonesia. Gambaran ini sangat diperlukan dalam melakukan prediksi untuk pengembangan suatu kawasan perairan menjadi daerah penangkapan ikan. Gambaran potensi ini juga diperlukan guna pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan agar aspek keberlanjutan tetap dapat dipertahankan.
Tabel. Potensi, Produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya Ikan di indonesia
Kelompok Sumberdaya
Potensi
(103 ton / tahun)
Produksi
(103 ton / tahun)
Pemanfaatan
(%)
Ikan Pelagis Besar
1.165,36
736,17
63,17
Ikan Pelagis Kecil
3.605,55
1.784,33
49.49
Ikan Demersal
1.365,08
1.085,50
79,52
Ikan Karang Konsumsi
145,25
156,89
>100
Sumber. Dahuri, R. 2002



3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Tangkapan masyarakat, Maksimum Berimbang Lestari
DKP melakukan pendugaan potensi perikanan tangkap Indonesia berdasarkan metode perhitungan yang dikembangkan sejak tahun 1930, ketika ahli biologi perikanan dari Norwegia, Hjort memperkenalkan teori penangkapan dalam keseimbangan atau disebut equilibrium fishing – menangkap sejumlah ikan yang setara dengan jumlah populasi yang meningkat melalui proses pertumbuhan dan reproduksi. Hjort menyatakan: jumlah ikan maksimal yang bisa ditangkap adalah sebesar setengah dari ukuran populasi pada kondisi alami (tidak ada penangkapan). Ketentuan yang berlaku, untuk memberikan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap, ahli perikanan harus melakukan monitoring terhadap stok ikan dan jumlah armada perikanan. Ketika stok ikan sudah menurun dan mencapai ukuran setengah dari kondisi alami, jumlah total armada perikanan harus dipertahankan konstan dengan cara menutup ijin usaha perikanan tangkap. Pemantauan stok ikan sangat mahal dan bahkan sekarang, 70 tahun kemudian, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan hasil dugaan yang cukup baik terhadap jumlah ikan di laut.

Peneliti lain, Schaefer, mencoba mengatasi kesulitan ini pada tahun 1950-an dengan metode berdasarkan analisis data effort atau upaya dengan hasil tangkap (Smith, 1988). Metode inilah yang digunakan oleh DKP, seperti juga banyak institusi perikanan lainnya di dunia, untuk menduga potensi hasil tangkapan (PCI 2001a; 2001b; 2001c; Venema, 1996). Secara esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut, dengan perhitungan sederhana bisa dihasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan juga ukuran atau jumlah alat yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan ini sering disebut dengan hasil tangkapan maksimum berimbang lestari (maximum sustainable yield), atau masyarakat.

Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia, sasaran pengelolaan ditentukan dari nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia telah ditetapkan 80% dari nilai MSY (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Karena keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY (Gulland, 1983), prinsip kehati-hatian pada kasus ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan ekonomi (rupiah).

Sebagai kesimpulan, penduga terhadap MSY bervariasi dua kali lipat, sementara penduga dari hasil terakhir mendapatkan nilai tengah diantara yang terendah dan tertinggi, yaitu 5,0 ton per tahun. Menurut statistik terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,4 juta ton pada tahun 2002 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003c). Apakah perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan sebagai ‘ruang’ untuk memperluas armada perikanan? Jawabannya adalah ‘tidak bisa’.

Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, terkait dengan perhitungan nilai MSY. Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan yang digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi, dua asumsi yang paling penting diantaranya adalah stok ikan berada dalam kondisi keseimbangan serta hasil tangkap-per-unit-usaha (hasil tangkap per armada per hari) merupakan petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Yang terakhir, dan sering kali terjadi pada kasus perikanan tangkap Indonesia, adalah hasil dari perhitungan diterjemahkan berbeda dari kondisi seharusnya.

Kualitas statistik perikanan
Perikanan tangkap Indonesia sangat khas dengan karakteristik multi-alat dan multispesies, tersebar di seluruh wilayah pendaratan. Hal ini menyulitkan dalam mendapatkan atau melakukan koleksi data statistik – koleksi data statistik hasil tangkap dari masing-masing alat tangkap hampir tidak mungkin dilakukan pada setiap pendaratan ikan sepanjang garis pantai yang mencapai ± 81.000 km.

Oleh karena itu, 30 tahun yang lalu dilakukan sistem sampling untuk mendapatkan data statistik perikanan. Sistem ini dilakukan dengan mencatat hasil tangkap harian dari beberapa alat tangkap pada tingkat desa, hasil tangkapan harian selanjutnya dihitung dengan mengalikan hasil tangkap beberapa hari sampling dengan jumlah armada perikanan di desa, dikalikan jumlah hari melaut dari masing-masing alat tangkap.

Hasil perhitungan ini digunakan untuk menduga total hasil tangkap dalam setahun (Yamamoto, 1980 dalam Pet- Soede et. al., 1999). Berbagai studi menunjukkan kelemahan sistem statistik perikanan ini terkait dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh DKP untuk menerapkan system tersebut dengan benar dan konsisten (Dudley & Harris, 1987; Venema, 1996). Permasalahan lainnya adalah DKP belum bisa mengatasi masalah di lapangan sehubungan dengan banyaknya alat tangkap atau kegiatan penangkapan illegal, tidak diatur, dan alat yang tidak dilaporkan (IUU fishing) kepada pemerintah. Jadi, sangat jelas bahwa hasil tangkap yang didapat dari IUU fishing tidak akan ikut dihitung dalam statistik perikanan. Studi FAO yang dilaporkan oleh Venema (1996) secara khusus menyebutkan kurangnya data untuk Indonesia Bagian Timur.

Studi yang dilakukan akhir-akhir ini dengan melibatkan DKP memberikan rekomendasi: ‘sehubungan dengan kualitas data dan statistik perikanan yang ada saat ini yang masih menjadi pertanyaan, dimana data yang didapat tergantung dari sistem koleksi data berdasarkan kerangkasampling dan metodologi yang dikembangkan 30 tahun yang lalu, pemerintah sebaiknya membuat pusat data dan informasi yang sepenuhnya bertanggung jawab dalam hal koleksi, kompilasi, analisis, interpretasi, pelaporan dan penyebar-luasan statistik perikanan’ (PCI, 2001b). Sebagai kesimpulan, nilai penduga bagi MSY yang didapat dari data yang masih mengandung beberapa kelemahan ini harus mendapat perlakuan ekstra hati-hati.

Stok ikan dalam kondisi keseimbangan
Perhitungan MSY berdasarkan Schaefer bisa dilakukan dengan asumsi bahwa stok ikan berada pada kondisi keseimbangan, artinya jika usaha atau effort dibidang penangkapan dipertahankan konstan, hasil tangkap dan populasi spesies yang dieksploitasi juga akan tetap konstan. Namun pada kondisi dimana perikanan tangkap berkembang secara bertahap, populasi ikan membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tekanan alat tangkap yang lebih banyak.

Periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan tidak pernah diketahui. Hasil penelitian terakhir mendapatkan bahwa banyak stok ikan sudah mengalami penurunan secara terus menerus sejak pertama kali ditangkap, dan populasi ikan berkurang 80% dalam 15 tahun sejak pertama kali dieksploitasi (Myers & Worm, 2003). Implikasinya adalah bahwabanyak stok populasi ikan yang tidak pernah mencapai kondisi keseimbangan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan metode Schaefer dalam perhitungan ‘catch-effort’ akan mendapatkan nilai MSY yang jauh lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya (over-estimated). Contoh lain yang menunjukkan bahwa hasil tangkap jarang sekali bisa mewakili perikanan dalam kondisi keseimbangan adalah penjualan ikan karang hidup untuk memenuhi permintaan pasar Hongkong. Perikanan karang jenis ini mengalami perkembangan yang sangat cepat ketika wilayah penangkapan di sekitar Hongkong mulai terkuras (Bentley, 1999; Sadovy et. al, 2003). Sayangnya, hanya setelah kerusakan itu terjadi kita bisa menyimpulkan bahwa jumlah usaha penangkapan pada area (termasuk wilayah Indonesia Bagian Timur) yang saat ini sedang mengalami kepunahan itu terlalu tinggi. Setelah stok ikan terkuras dan kolaps, kita bias menyimpulkan bahwa hasil tangkap tidak berasal dari suatu stok dalam kondisi keseimbangan, tetapi dari suatu stok yang masih mengalami penurunan. Kebanyakan jenis perikanan tangkap di Indonesia ternyata mengeksploitasi stok ikan yang mengalami penurunan, bukan yang berada pada kondisi keseimbangan. Oleh karena itu, penduga MSY bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tangkapan sebenarnya yang mempertahankan stok perikanan Indonesia secara berkelanjutan atau lestari.

Pada stok dalam kondisi keseimbangan, sebuah hasil tangkap yang lebih tinggi dari nilai MSY tidak akan pernah terjadi. Namun pada kenyataannya, hasil tangkap lebih tinggi dari MSY kadang bisa terjadi (perhatikan juga pada Gambar 1, terhadap dua data tangkapan dari hasil pengamatan yang mempunyai nilai lebih tinggi dari MSY), dan sering kali diartikan sebagai tanda penangkapan berlebih atau over-fishing. Walaupun total hasil tangkap (data lapang) yang didapat lebih tinggi dari MSY, tentu saja masih akan menjadi perhatian, perbedaan ini lebih banyak terjadi karena faktor ‘galat’, dimana penduga MSY bervariasi secara alami atau stok ikan juga bervariasi secara alami yang sering terjadi terutama untuk spesies-spesies yang siklus hidupnya pendek, seperti ikan lemuru atau tembang. Jika hasil tangkap didapatkan lebih tinggi dari MSY, hal ini harus dipahami sebagai bukti bahwa asumsi dalam perhitungan MSY tidak terpenuhi, dan dengan demikian, penduga terhadap MSY harus ditafsirkan dengan sangat hatihati.

Hasil tangkap-per-unit-usaha sebagai indikator besarnya (ukuran) stok
Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkap-per-unit-usaha dalam menduga status stok ikan. Diasumsikan bahwa ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap. Dengan asumsi ini, ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dia akan pindah ke bagian lain dari terumbu karang dimana ikan diperkirakan masih cukup banyak (Sadovy et al., 2003).

Kadang kala, nelayan juga bisa beralih menggunakan alat tangkap yang lebih efektif, atau mencari jenis ikan lain yang masih cukup banyak. Pada skenario ini penangkapan ikan akan terus berlanjut sampai stok terkuras. Kolapsnya perikanan Cod di perairan Atlantik (Kanada) pada tahun 1990an bisa dijadikan contoh, dengan dampak ekonomi yang paling parah dan bahkan menjadi mimpi buruk dalam sejarah Negeri Kanada (Walters & Maguire, 1996).

Penafsiran terhadap penduga dari MSY
Masalah lain yang juga sering terjadi adalah interpretasi pemerintah terhadap penduga dari MSY, dan bagaimana hasil tangkapan yang didapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap (Gillet, 1996). Pembuat kebijakan menafsirkan ‘hasil tangkapan’ di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau peningkatan armada penangkapan ikan. Interpretasi tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan. Tampaknya, perbedaan antara total hasil tangkapan Indonesia saat ini yang mencapai 4,4 juta ton (2002) dengan nilai dugaan MSY sebesar 5.0 juta ton juga ditafsirkan secara keliru.

Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre & Venema, 1992 dan Gulland 1983; Gambar 1). Evaluasi terhadap status perikanan tangkap hanya bermanfaat jika kita mempertimbangkan juga bahwa jumlah usaha penangkapan dan MSY itu sendiri kurang baik sebagai sebuah target dalam pengelolaan. Sebagai gantinya, pengelolaan harus difokuskan pada perkiraan jumlah unit usaha penangkapan yang menghasilkan nilai MSY, yaitu MSE atau Usaha Maksimum Lestari.

Hampir semua analisis yang dilakukan terhadap perikanan tangkap sebenarnya sudah menunjukkan kondisi dimana MSE sudah terlewati, sehingga perikanan menghasilkan tangkapan yang menurun karena terjadinya tangkap lebih (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho, 2003). Pengelola perikanan tidak memperhatikan MSE sehingga hampir tidak mempunyai strategi yang jelas tentang pembatasan usaha penangkapan. Sistem perijinan usaha yang ada saat ini bisa digunakan untuk membatasi jumlah usaha melalui pembatasan jumlah ijin usaha, namun sejauh ini belum ada ketentuan, baik untuk membatasi kapasitas penangkapan maupun prosedur untuk menghentikan perijinan ketika batas (kapasitas penangkapan) tersebut sudah tercapai.

3.2 Status perikanan tangkap Indonesia dari indikator-indikator lainnya
Suatu lokakarya yang dilakukan beberapa waktu yang lalu (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho 2003) untuk menduga status perikanan dari 4 (empat) wilayah pengelolaan perikanan menunjukkan gejala yang jelas terjadinya penangkapan berlebih. Pada semua wilayah perikanan tangkap tersebut, para ahli menyarankan untuk melakukan pembatasan usaha (penutupan wilayah penangkapan, pembatasan ijin usaha, menurunkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan menurunkan kapasitas armada (Widodo, 2003). Namun kesimpulan tersebut tidak sejalan dengan harapan bangsa ini, yaitu meningkatnya hasil tangkapan. Lokakarya memutuskan bahwa penduga MSY hasil lokakarya adalah 6,4 juta ton (sama dengan hasil dugaan pada tahun 2001). Upaya mencapai angka tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan eksplorasi dan intensifikasi perikanan tangkap di luar wilayah studi dan dengan ekplorasi sumberdaya ‘inkonvensional’ seperti stok sumberdaya laut-dalam. Rekomendasi lainnya dari lokakarya adalah mempertahankan total usaha (effort) pada kondisi yang ada saat ini.

Meskipun lokakarya mengakui adanya tantangan dalam menentukan status perikanan tangkap Indonesia, rekomendasi dan temuan-temuan di dalamnya masih bersifat mendua: pengelolaan melalui pembatasan vs eksplorasi dan intensifikasi, dan keyakinan akan adanya stok sumberdaya yang belum dieksploitasi (tanpa dukungan pembuktian), sementara sebagian besar walau tidak semua studi menunjukkan bahwa status perikanan tangkap yang diteliti berada pada kondisi tangkap lebih atau tidak jelas. Lokakarya juga menyarankan agar pengelolaan sebaiknya memperhatikan ekosistem, bukan spesies, serta menggaris bahawi kebutuhan untuk melakukan monitoring stok ikan, habitat, dan ekosistem.

3.3 Masa depan perikanan tangkap Indonesia dan peran kawasan perlindungan laut
Dokumen kebijakan DKP meminta seluruh jajarannya untuk berpedoman pada nilai MSY (PCI, 2001b). Hal ini bisa dipahami, namun sayangnya terlepas dari saran kebijakan itu sendiri, DKP masih menggunakan nilai MSY dalam sebutan lain, yaitu ‘potensi perikanan tangkap’ dalam setiap komunikasinya – para investor potensial mungkin tidak menyadari adanya unsure ketidak-pastian dari hasil perhitungan terhadap nilai penduga dan bisa mengartikan bahwa perbedaan antara hasil tangkap tahunan yang ada saat ini dengan penduga nilai MSY sebagai dukungan untuk perluasan investasi dibidang perikanan tangkap.

Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga pada berbagai perikanan di dunia. Khusus untuk Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi-spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas dan bias digunakan untuk menduga MSY (Widodo, Wiadnyana & Nugroho, 2003). Bahkan, jika data tersedia maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan dugaan MSY yang terlalu optimistik. Dengan demikian, sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.
Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP sangat jelas menyebutkan tentang status
perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik, melalui peningkatan produksi yang didorong oleh pemerintah dalam 30 tahun terakhir, jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk membuktikan terjadinya peningkatan usaha penangkapan secara tidak terkontrol di masa lalu serta untuk membalikkan kondisi over-fishing atau penangkapan berlebih (PCI, 2001b). Naskah kebijakan tersebut selanjutnya menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat agar menghentikan pemikiran romantis bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a).

Selain perikanan tangkap itu sendiri, pengelolaan perikanan tangkap Indonesia juga sedang mengalami krisis. Sementara sebagian besar (kalau tidak semua) kajian stok perikanan yang terpercaya menyimpulkan bahwa status perikanan tangkap Indonesia berada pada posisi belum jelas atau tangkap lebih, DKP diharapkan untuk mengelola perikanan sedemikian rupa agar mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB dengan kesadaran bahwa masih bisa melakukan peningkatan hasil tangkap dari sumberdaya yang sudah terbatas. Pembatasan usaha secara definitif akan menyebabkan penurunan total hasil tangkap dalam jangka pendek, sehingga menyebabkan gagalnya peluang (dalam jangka sangat pendek) memberikan kontribusi terhadap sasaran DKP secara keseluruhan. Kerugian jangka pendek yang diakibatkan dari pengelolaan restriktif (bidang penangkapan) hampir tidak mungkin bisa ditutupi melalui perluasan budidaya ikan yang memerlukan investasi modal, atau eksplorasi sumberdaya yang masih belum terjamah yang mungkin pada kenyataannya tidak ada, atau kalau ada, tidak menguntungkan secara ekonomis (seperti kasus perikanan tangkap terhadap spesies ikan demersal pada beberapa wilayah penangkapan (Venema, 1996)). Satu-satunya jalan untuk memecahkan kebuntuan ini adalah dengan membangun pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan di dalam lingkup DKP bahwa pengembangan perikanan tangkap seharusnya tidak diukur dari gambaran peningkatan produksi yang masih bisa dilakukan, tetapi pada jumlah usaha industri yang menguntungkan secara ekonomi, bisa dipertanggung jawabkan secara social dan tidak merusak lingkungan, sehingga bisa menopang penghidupan masyarakat pantai, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.

Alternatif pengelolaan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring Kawasan Perlindungan Laut (Marine Preserved Areas). Definisi IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tentang kawasan perlindungan laut adalah ‘suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya’. Selain fungsinya sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati, kawasan perlindungan laut, KPL, juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001).

Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KPL dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami.

Alasan utama bagi sedikitnya studi lapang untuk pembuktian ilmiah tentang manfaat komersial dari kawasan perlindungan laut (KPL) adalah karena kesulitan dalam melakukan penelitian eksperimental dengan ulangan dalam skala ekologis. Namun mekanisme deduktif dari bukti pengaruh populasi ikan di dalam wilayah larang-ambil bisa juga digunakan untuk wilayah sekitarnya. Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins, 2000): (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, “spill-over”, (2) ekspor telur dan/atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan. Selanjutnya, KPL bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif, seperti agregasi pemijahan ikan khususnya ikan. Keuntungan lain dari KPL dibanding alat pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha, pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan. Biaya penetapan dan pengelolaan KPL cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring (network) KPL global dengan ukuran 20-30% dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan menghasilkan tangkapan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya.

Jejaring KPL tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun. Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jaringan KPL ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun. Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP menyarankan untuk membuat paling tidak 10% dari total wilayah perairan laut Indonesia sebagai kawasan perlindungan laut (PCI, 2001a).

Akhir-akhir ini, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah menunjukkan usaha yang cukup kuat untuk membangun sebuah strategi pembentukan jejaring kawasan perlindungan laut di Indonesia dan telah membentuk forum terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah, disebut Komite Nasional Konservasi Laut Indonesia (Surat Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. SK 43/P3K/III/2004). Forum ini terdiri dari tim pengarah dan tim teknis dengan tiga kelompok kerja yang akan memberikan masukan teknis dalam penyusunan draft kebijakan yang difokuskan pada strategi nasional mengenai KPL, pengembangan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan, dan penyusunan kebijakan bagi konservasi spesies dan genetik. Tantangan utama yang dihadapi oleh tim teknis pada topic antara strategi nasional kawasan perlindungan laut dengan perikanan yang berkelanjutan adalah memformulasi usulan kebijakan dalam mengembangkan perikanan tangkap yang lebih berkelanjutan melalui jejaring KPL sebagai alat di tingkat nasional dan juga pengelolaan perikanan di tingkat lokal.


III KESIMPULAN DAN SARAN
Stok sumberdaya ikan pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan berada pada kondisi tereksploitasi penuh atau bahkan mengalami penangkapan berlebih. Saran kebijakan kepada pemerintah yang diajukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mensyaratkan penurunan atau paling tidak jangan lagi menambah tekanan terhadap sumberdaya yang ada saat ini.

Namun kenyataannya masih banyak kebijakan operasional pemerintah (DKP) pada tingkat lapang yangmengupayakan peningkatan hasil tangkap melalui perluasan usaha penangkapan (effort). Pemerintah menetapkan nilai 6,4 juta ton sebagai penduga MSY. Data statistik total produksi hasil tangkap terakhir (2002) mencapai angka 4.4 juta ton. Perbedaan ini diartikan sebagai ruang untuk perluasan usaha melalui kebijakan perluasan armada penangkapan. Kebijakan penambahan armada ini sangat beresiko dengan memperhatikan bahwa perbedaan tersebut bisa juga terjadi pada kondisi stok mengalami eksploitasi berlebih serta temuan yang menunjukkan bahwa nilai MSY ternyata bervariasi.

Masa depan perikanan tangkap Indonesia, dengan demikian, akan sangat tergantung dari:
- Komitmen pemerintah (DKP) untuk menggeser kebijakan perikanan dari pengelolaan beorientasi pada pengembangan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan, bias menerima atau bahkan menginginkan hasil tangkap yang stabil, serta menurunkan jumlah usaha penangkapan kalau diperlukan
- DKP dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat menerima prinsip bahwa ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’, paling tidak untuk perikanan tangkap, tidak berlaku atau eksploitasi tidak lagi menguntungkan
- Pengelola perikanan tangkap memahami dan menerima bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah yang disebut ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’ merupakan rencana yang ‘kurang tepat’ dan bahkan menyebabkan perikanan tangkap setempat mengalami kolaps, bukan peningkatan PDB.
- Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY yang terlalu sederhana menuju pengelolaan dengan pendekatan ekosistem, dimana di dalamnya kawasan perlindungan laut akan memainkan peranan yang sangat penting. Rekomendasi kebijakan perikanan terutama disampaikan oleh Komisi Nasional
Pengkajian stok Sumberdaya Perikanan maupun forum-forum pengkajian sejenis yang justru dibentuk oleh pemerintah. Komisi Nasional Konservasi Laut yang baru saja dibentuk bersama forum yang lainnya, juga diperkirakan akan menjadi media yang penting untuk mencapai pergeseran kebijakan seperti yang disebutkan di atas, terutama mengenai strategi pengembangan kawasan perlindungan laut sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem.


No comments:

Post a Comment