Kalau Jodoh Pasti Bertemu
*Ali
Ahsan Al Haris [ed]
Adinda dan Adam sudah pacaran semenjak mereka kelas 1 SMA dan
tahun ini memasuki tahun ke-3. Mereka adalah pelajar kelas XII di sebuah
sekolah di Sabang, kota paling barat Indonesia. Hubungan mereka berjalan cukup
baik, sama halnya seperti kebanyakan pasangan lain yang suka menghabiskan waktu
bersama. Makan, jalan, mendiskusikan banyak hal bersama. Baik urusan sekolah
ataupun luar sekolah.
Tahun ini adalah tahun yang akan lumayan berat. karena pasalnya
sebentar lagi mereka akan mengikuti ujian akhir. Setiap bertemu pun mulai ada
pembicaraan-pembicaraan tentang keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Setelah berusaha cukup giat mereka lulus dengan nilai yang
memuaskan.
“Din,
aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Suara Adam memecah keheningan di
antara mereka.
“Iya
Dam, katakan saja.” Jawab Adinda.
“Ini
hari terakhir kita di sekolah, dan mungkin…” Adam menghentikan ucapannya.
“Mungkin
apa?” desak Adinda penasaran.
“Aku
akan melanjutkan kuliah ke luar Aceh.” Hening, hanaya ada suara ombak yang
bersahutan di bibir pantai Pulau Weh. “Adinda, aku minta keikhlasanmu untuk
hubungan kita.” Lagi-lagi suara Adam memecah lamunan Adinda.
“Baiklah,
aku mengerti maksudmu.” Jawab Adinda sambil berusaha bangkit.
“Adinda
tunggu.” Pinta Adam sambil menarik lengan Adinda.
“Apa
lagi?” tanya Adinda dengan nada suara yang sedikit agak parau karena menahan
tangis.
“Aku
masih sangat mencintaimu, sama seperti 3 tahun terakhir..” Belum selesai
kata-kata Adam, Adinda sudah menjawab mantap.
“Mari kita buktikan cinta kita dalam penantian ini, dan jika kita
memang berjodoh aku dan kamu akan bertemu lagi pada saatnya nanti.” Jawaban
Adinda mengakhiri percakapan panjang mereka, Adam hanya terdiam melihat Adinda
berlalu.
7 tahun Adinda lewati dalam kesendirian, hanya bertemankan
kesunyian, buku-buku dan Nanda sahabatnya semenjak kuliah. Sekarang Adinda dan
Nanda adalah rekan kerja di sebuah Rumah Sakit Swasta. Suatu ketika entah
kenapa Adinda terikat akan sosok Adam, ia membatin “Masihkah ia mencintaiku?”.
Dan Bruuukk… Adinda menabrak seseorang, alangkah kagetnya Adinda ketika melihat
sosok yang ditabraknya adalah laki-laki yang beberapa detik yang lalu menjadi
lamunannya.
“Adinda” “Adam.” Terdengar bersamaan. Itu pertemuan pertama mereka
setelah terpisah 7 tahun oleh jarak dan waktu. Terliahat jelas di mata keduanya
ada segudang rindu yang mereka simpan untuk satu sama lain. Dari
ketidaksengajaan itu sampai ke pertemuan-pertemuan yang sengaja mereka aturkan.
1 bulan sudah mereka merajut kembali apa yang dulu sempat mereka simpan.
Sore
itu Adinda hendak pulang ke rumah seusai bertemu Adam. “Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikum salam.” Sambut ibu Adinda.
“Dinda,
ada yang mau Ayah dan Ibu bicarakan sama kamu, bisa duduk sebentar” pinta Ayah.
Dengan anggukan Adinda duduk di sebelah Ibunya sedangkan Ayah di depan
keduanya.
“Begini
Nak, kamu kan pernah bilang bahwa siapa saja yang datang melamarmu tidak akan
kau tolak selama ia orang yang baik dan kami setuju, bukan begitu?”.
“Iya
Ayah,” jawab Adinda dengan perasaan yang sudah tak menentu.
“Sekarang
Ayah dan Ibu sudah sepakat akan menjodohkanmu dengan anak dari teman kami, apa
ada yang ingin Dinda sampaikan? atau jika Dinda mau Ayah bisa meminta foto dari
calon suamimu.”
“Tidak
perlu Ayah, Dinda yakin siapapun yang kalian pilihkan untuk Dinda pasti yang
terbaik karena semua orangtua pasti menginginkan kebahagiaan untuk anak-anak
mereka.”
“Perasaan Adinda malam itu begitu kalang kabut, bukan karena
khawatir pada pilihan orangtuanya tapi ia terus memikirkan bagaimana cara
memberitaukan kepada Adam. Tanpa Adinda tau di rumah yang terpisah Adam juga
dijodohkan oleh orangtuanya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut mereka
bertemu dan saling bercerita tentang keadaan mereka yang tak mampu menolak
permintaan orangtua masing-masing.
“Semua
persiapan sudah siap. Pengantin laki-laki, penghulu, saksi dan wali nikah
Adinda yaitu Ayahnya. Adinda tidak diizinkan ke luar kamar sebelum Akad nikah
selesai, dengan perasaan yang tak menentu Adinda pasrah menunggu.
“Akadnya
sudah akan dimulai” bisik pengiring Adinda.
Sesaat sebelum berangkat Adam masih berharap bahwa nama yang disebutkan orangtuanya sebagai calon pendampingnya adalah orang yang selama ini ia cintai, hanya saja ada keraguan di hati Adam karena mengingat ia hanya tau nama kekasihnya Adinda namun tak tau nama walinya.
Sesaat sebelum berangkat Adam masih berharap bahwa nama yang disebutkan orangtuanya sebagai calon pendampingnya adalah orang yang selama ini ia cintai, hanya saja ada keraguan di hati Adam karena mengingat ia hanya tau nama kekasihnya Adinda namun tak tau nama walinya.
“Selang
beberapa jam Akad pun dimulai. Adam menjawab lantang dengan satu tarikan nafas
saja. “Kalian sudah sah jadi suami istri.” Ini adalah detik-detik menegangkan
untuk Adinda dan Adam karena mereka akan bertemu tanpa saling tau. Ibu
menggandeng Adinda ke luar kamar. Betapa kaget dan bahagianya mereka ketika
melihat satu sama lain.
“Subhanallah”
batin keduanya.
“Dialah
Adindaku” lirih Adam.
Ya
robb, inikah hadiah untuk keikhlasanku” batin Adinda. Dengan berlinang air mata
Adinda mencium tangan suaminya dan saat Adam mencium kening Adinda ia
membisikkan sesuatu.
“Ana
uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah)”.
“Ahabbakalladzi
ahbabtani lahu (Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya)”
jawab Adinda. Oleh [Wirdatun Jannah]
No comments:
Post a Comment