*Ali Ahsan Al Haris
Ditengah-tengah
kesibukan saya menjadi buruh, aktifitas menulis dan membacaku akhir-akhir
menjadi skala minoritas. Maklumlah, namanya juga ikut orang, kalau buka usaha
sendiri mungkin waktu membaca dan menulisku tidak akan sekacau sekarang ini,
etsss. Tidak ada jaminan juga jika memiliki usaha sendiri lantas ekspetasi upgrade diri semacam tadi menjadi skala
prioritas. Sudahlah, kita kembali masuk track
dari tulisan ini.
Apa sudah pantas, jika
pemuda-pemudi Jepara, terkhusus masyarakat Jepara itu sendiri berwacana untuk
memperjuangkan Jepara lewat ukir? Mengapa hal ini saya tanyakan? Karena
berangkat dari observasi saya pribadi, dengan banyaknya industri garmen berekspansi ke kota ukir,
masyarakat Jepara memang memiliki opsi dalam memilih pekerjaan. Akan tetapi di
sisi lainya, sektor kreatif seperti relief
di Jepara menjadi sektor yang bisa saya bilang, sangat serius terkena dampaknya
dalam hal, mencari sumberdaya manusia yang mau memilih profesi tukang ukir.
Salah Satu Hasil kerajinan Ukir Kab Jepara |
Perlu kita ketahui bersama, Jepara saya ibaratkan memasuki badai iklim usaha furnintur yang ekstrim. Tempat saya lahir ini telah mengalami kesulitan stok bahan baku produksinya, dimana bahan baku ini menjadi elemen yang sangat penting untuk berjalanya usaha ukir itu sendiri, apalagi jika bukan kayu.
Setelah di hajar dengan
kesulitan mencari bahan baku utama yang murah, pengusaha mebel asli Jepara di
hajar lagi dengan masuknya para kompetitor-kompetitor dari Negara asing. Tentu
hal ini bermula dari politik pasar bebas dunia yang mengharuskan Indonesia mau
tak mau harus ikut gabung. Kalau tidak gabung bagaimana? Tentu Indonesia secara
perpolitikan global akan mengalami kesulitan dalam mengekspor produknya ke luar
negeri, sedangkan di dalam negeri kebanjiran produk-produk asing dan aseng, hihihi.
Impact dari
masuknya modal asing ke Jepara membuat pengusaha lokal kalah dalam segala lini,
kalaupun bisa bersaing hanya di irisan-irisan kecil saja. Modal asing yang
masuk ini akan dapat dengan muah membeli semua, dari pasar dan tenaga kerja.
Toh, nyatanya sekarang memang seperti itu.
Pemerintah pusat beberapa
kali memang menurunkan suku bunga untuk para pengusaha dalam negeri, namun hal
tersebut tak pernah konsisten mengingat perpolitikan dalam negeri yang suka tak
jelas sehingga membuat kebijakan di sektor ekonomi terkena imbasnya juga.
Berbeda dengan para pemodal asing, mereka mendapatkan pasokan dana yang besar
dari Bank negaranya dengan bunga yang lunak.
Para pemodal asing dari
Jerman, Cina, Korea, Jepang dan Amerika yang merebak di Jepara mendirikan
pabrik-pabrik di beberapa kecamatan dengan mudah membeli bahan baku produksi
berupa kayu log untuk diolah dengan
kekuatan modalnya yang besar. Mudahnya mencari bahan baku produksi, berbanding
lurus dengan pabrik-pabrik asing mencari tenaga kerja karena pabrik tersebut
produksinya lancar, honor mingguan pun ikut aman. Berbeda dengan pabrik-pabrik
mebel yang dimiliki orang lokal, kesulitan membeli bahan baku juga berbanding
lurus dengan mencari tenaga kerja.
Nah ini bagian paling
seru yang ingin saya ceritakan. Modal asing juga banyak menggeser para pemain lokal
yang dulunya kelas kakap. Jepara dulu dikenal orangnya yang kaya raya, tajir
dengan rumah bertingkat karena banyak orang lokal yang menjadi eksportir. Naas,
sekarang posisi mereka hanya menjadi pemain lini kedua, menjadi sub-eksportir
di pabrik asing. Nasib para perajin yang dulunya banyak di pabrik-pabrik lokal
dan pelosok kampung Bumi Kartini,
kini menjadi buruh di pabrik-pabrik asing yang banyak bercokol di Jepara. Para poemasok
yang dulunya menjadi juragan kecil di pelosok kampung kini menjadi mandor di
pabrik. Semua telah perlahan direkrut oleh pengusaha asing.
Kini, Jepara sedang di gandrungi
investor asing yang bergerak di bidang tekstil dan garmen. Lantas, apa yang
terjadi di jepara sepuluh tahun kedepan. Apa masih layak kita beri predikat Jepara
kota ukir, atau apakah Jepara Masih Kota Ukir?
No comments:
Post a Comment