Tuesday, July 9, 2019

Jepara Masih Kota Ukir?



*Ali Ahsan Al Haris


Ditengah-tengah kesibukan saya menjadi buruh, aktifitas menulis dan membacaku akhir-akhir menjadi skala minoritas. Maklumlah, namanya juga ikut orang, kalau buka usaha sendiri mungkin waktu membaca dan menulisku tidak akan sekacau sekarang ini, etsss. Tidak ada jaminan juga jika memiliki usaha sendiri lantas ekspetasi upgrade diri semacam tadi menjadi skala prioritas. Sudahlah, kita kembali masuk track dari tulisan ini.

Apa sudah pantas, jika pemuda-pemudi Jepara, terkhusus masyarakat Jepara itu sendiri berwacana untuk memperjuangkan Jepara lewat ukir? Mengapa hal ini saya tanyakan? Karena berangkat dari observasi saya pribadi, dengan banyaknya industri garmen berekspansi ke kota ukir, masyarakat Jepara memang memiliki opsi dalam memilih pekerjaan. Akan tetapi di sisi lainya, sektor kreatif seperti relief di Jepara menjadi sektor yang bisa saya bilang, sangat serius terkena dampaknya dalam hal, mencari sumberdaya manusia yang mau memilih profesi tukang ukir.
Salah Satu Hasil kerajinan Ukir Kab Jepara

Perlu kita ketahui bersama, Jepara saya ibaratkan memasuki badai iklim usaha furnintur yang ekstrim. Tempat saya lahir ini telah mengalami kesulitan stok bahan baku produksinya, dimana bahan baku ini menjadi elemen yang sangat penting untuk berjalanya usaha ukir itu sendiri, apalagi jika bukan kayu.

Setelah di hajar dengan kesulitan mencari bahan baku utama yang murah, pengusaha mebel asli Jepara di hajar lagi dengan masuknya para kompetitor-kompetitor dari Negara asing. Tentu hal ini bermula dari politik pasar bebas dunia yang mengharuskan Indonesia mau tak mau harus ikut gabung. Kalau tidak gabung bagaimana? Tentu Indonesia secara perpolitikan global akan mengalami kesulitan dalam mengekspor produknya ke luar negeri, sedangkan di dalam negeri kebanjiran produk-produk asing dan aseng, hihihi.

Impact dari masuknya modal asing ke Jepara membuat pengusaha lokal kalah dalam segala lini, kalaupun bisa bersaing hanya di irisan-irisan kecil saja. Modal asing yang masuk ini akan dapat dengan muah membeli semua, dari pasar dan tenaga kerja. Toh, nyatanya sekarang memang seperti itu.

Pemerintah pusat beberapa kali memang menurunkan suku bunga untuk para pengusaha dalam negeri, namun hal tersebut tak pernah konsisten mengingat perpolitikan dalam negeri yang suka tak jelas sehingga membuat kebijakan di sektor ekonomi terkena imbasnya juga. Berbeda dengan para pemodal asing, mereka mendapatkan pasokan dana yang besar dari Bank negaranya dengan bunga yang lunak.

Para pemodal asing dari Jerman, Cina, Korea, Jepang dan Amerika yang merebak di Jepara mendirikan pabrik-pabrik di beberapa kecamatan dengan mudah membeli bahan baku produksi berupa kayu log untuk diolah dengan kekuatan modalnya yang besar. Mudahnya mencari bahan baku produksi, berbanding lurus dengan pabrik-pabrik asing mencari tenaga kerja karena pabrik tersebut produksinya lancar, honor mingguan pun ikut aman. Berbeda dengan pabrik-pabrik mebel yang dimiliki orang lokal, kesulitan membeli bahan baku juga berbanding lurus dengan mencari tenaga kerja.

Nah ini bagian paling seru yang ingin saya ceritakan. Modal asing juga banyak menggeser para pemain lokal yang dulunya kelas kakap. Jepara dulu dikenal orangnya yang kaya raya, tajir dengan rumah bertingkat karena banyak orang lokal yang menjadi eksportir. Naas, sekarang posisi mereka hanya menjadi pemain lini kedua, menjadi sub-eksportir di pabrik asing. Nasib para perajin yang dulunya banyak di pabrik-pabrik lokal dan pelosok kampung Bumi Kartini, kini menjadi buruh di pabrik-pabrik asing yang banyak bercokol di Jepara. Para poemasok yang dulunya menjadi juragan kecil di pelosok kampung kini menjadi mandor di pabrik. Semua telah perlahan direkrut oleh pengusaha asing.

Kini, Jepara sedang di gandrungi investor asing yang bergerak di bidang tekstil dan garmen. Lantas, apa yang terjadi di jepara sepuluh tahun kedepan. Apa masih layak kita beri predikat Jepara kota ukir, atau apakah Jepara Masih Kota Ukir?



No comments:

Post a Comment