Thursday, December 19, 2019

Kucing Dalam Karung Itu Bernama, Buku

"Kucing Dalam Karung Itu Bernama, Buku"


Membeli buku itu seperti membeli kucing dalam karung, kami mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kami bahkan belum tahu apa isinya.

Tentu tulisan ini hanya pengalaman saya pribadi, namun tidak bisa dipungkiri pula, apa yang saya tulis ini adalah replika apa yang pembaca buku alami hari ini. Kok bisa? Saya sudah survey kecil-kecilan, hehe.

Oke fokus, saya akan awali tulisan ini dengan bagaimana seseorang pembaca dapat membaca ratusan buku bahkan ribuan buku dalam hidupnya. Apa yang mendasari calon pembaca membeli buku tersebut!

Waktu saya masih SD hanya membaca buku sejarah dan buku bergenre Islam, kalau ada bahan bacaan lain pun hanya dari majalah dan koran bekas. Naik ke SMP dan SMK bahan bacaan saya bertambah lagi, dari situlah saya mulai mengenal beberapa penulis yang saya anggap keren. Terlebih jika buku yang saya baca adalah buku-buku ilmiah, dari situ saya dapat meng track sumber rujukan dari buku yang saya baca, mulailah saya dapat membuat list buku dari penulis siapa saja yang kedepan saya baca. Hal ini berkembang semakin luas saat saya sekolah di Malang, sumber dan bahan bacaan yang maha luas menjadikan saya dapat menentukan selera bacaan saya. Benar, membaca adalah masalah selera.

Selain paragraf di atas, sumber bahan bacaan saya juga dipengaruhi oleh lingkungan, sosial media dan perkawanan. Ada imbas positif dari itu semua, tapi terkadang hal semacam ini yang secara tidak langsung membuat kita tolol dan membenarkan jika kucing dalam karung bernama buku itu benar adannya. Alasannya? Hidup bersosial menjadikan saya banyak berinteraksi dengan banyak orang, banyak pembaca dan klub sastra yang saya ikuti. Berada di lingkungan sesama pembaca buku menjadikan beberapa kawan merekomendasikan buku apa saja yang harus saya baca. Ingat, membaca buku itu masalah selera. Alhasil rekomendasi buku dari kawan-kawan yang saya ikuti secara tidak langsung menjadikan saya menuruti selera bacaan mereka. Hasilnya? Menjemukan. Saya cenderung menyesali apa yang mereka rekomendasikan kepadaku, bacaan mereka bukanlah selera saya. Membeli buku itu perlu uang dan waktu, dan itu bukanlah barang murah. Sosial media juga berperan besar pada kesalahan saya dalam membeli buku, mereka sebagai pemasar tentu akan membranding sedemikian rupa agar hasil dagangannya laku keras, dalam sisi bisnis tentu sangat bagus. Tapi dalam sudut pandang saya sebagai pembaca, hal ini sangat menjijikan. Uang yang kita keluarkan untuk membeli buku tersebut terbayar dengan bacaan yang tidak sesuai dengan selera kita. Kasus yang menjadi perhatian besar saya adalah sampul buku, kutipan dan komentar tokoh atau penulis dalam sebuah buku. Saat saya jalan ke toko buku, hal semacam itu yang membuat saya sering tertipu. Saya membeli buku karena tertarik dengan bagusnya sampul dan testimoni beberapa tokoh atau penulis pada buku yang rencananya tidak saya beli itu. Setelah saya putuskan membeli dan membacanya, hasilnya lagi-lagi menjemukan. Sempak.

Tentu paragraf di atas tidak mesti pembaca telan mentah begitu saja, saya pernah membeli buku karena tertarik dengan bagusnya judul dan cover, dan itu terjadi beberapa kali. Bahkan waktu saya masih Mahasiswa, pernah menargetkan diri saya dalam sebulan membeli 10 buku, meski alasan saya tampak konyol di mata kawan-kawan dekat saya, hal tersebut tetap saya lakukan meski dalam prakteknya saya sering asal membeli buku demi menutupi target pembelian buku bulanan. Lain cerita, saya pernah membaca karangan Jostein Gaarder, bagi banyak kalangan pembaca filsafat tentu akan mengamini buku "Dunia Sophie" adalah karangan yang fenomenal, luar biasa dan banyak kalimat-kalimat pujian lainnya. Tapi bukan Dunia Sophie yang ingin saya ceritakan, melainkan karangan Gaarder lainnya, "Misteri Soliter". Ada kawan saya yang kekeh berpendapat jika Misteri Soliter adalah buku terbagus nya Gaarder selain Dunia Sophie. Karena saya penasaran, saya memutuskan untuk membeli buku tersebut, setelah saya baca dan pikir-pikir. Dunia Sophie tetap buku terbaiknya Gaarder. Sisi positif dari perjumpaan saya dengan karyanya Gaarder adalah, saya membaca buku "Gadis Jeruk" dimana buku tersebut adalah karya Gaarder yang paling saya kagumi selain Dunia Sophie. Saya dibuat terkagum-kagum dengan plot cerita yang Gaarder tulis, dengan menceritakan kisah sepasang suami istri dan anak semata wayangnya yang dibalut dengan kisah saintek. Buku Gadis Jeruk berhasil membuat saya terpukau dan berkaca-kaca. Jika kalian mau, bisa baca resensinya di blog saya.

Oke kita fokus lagi. Maksud saya menuliskan paragraf di atas adalah usaha saya dalam menjawab bagaimana seorang pembaca dapat menghabiskan uang dan waktunya menikmati ribuan buku selama kita hidup. Saya dapat membaca banyak buku berkat perjumpaan saya dengan pelbagai karya penulis-penulis. Semakin kita banyak membaca, semakin kita dibukakan wacana dan pengetahuan dari pelbagai sumber. Hal tersebut yang menjadikan kepribadian kita terbentuk sebagai kebulatan sistem yang tidak lagi dapat diganggu gugat. Persis apa yang "Ahmad Wahib" tuliskan dengan judul "Bagiku Adalah Dialoq" dalam bukunya yang berjudul "Pergolakan Pemikiran Islam".

Terlepas banyak sisi positif yang saya dapatkan dari banyak membaca buku, membeli buku itu seperti membeli kucing dalam karung, kami mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kami bahkan belum tahu apa isinya.


Herannya, banyak kasus aparat-aparat yang suka merazia lapak dan toko buku dengan dalih buku tersebut menyebarkan komunisme, radikalisme dll. Saya yakin aparat-aparat itu tidak membaca buku yang mereka razia, mereka adalah korban seperti yang saya alami dulu. Korban membeli kucing dalam karung bernama buku.

No comments:

Post a Comment