"Penyair Facebook Diantara Like, Share dan EYD"
Sebelum kalian membaca tulisan ini lebih lanjut, maaf jikalau ditemukan ejaan yang tidak sesuai EYD, dan permintaan maaf mendalam kembali dari saya jika tulisan ini terlalu panjang dan bertele-tele.
Hehehe
Saya ingin mengutip apa yang Eka Kurniawan tulis dalam kata pengantar pameran yang ia kurasi di Jakarta International Literary Festival 2019 (JILF 2019); Bacaan Liar Era Kolonial:
"Maka, berhati-hatilah. Jika kita masih menganggap puisi yang ditulis di Facebook, novel yang ditulis di Wattpad, atau diterbitkan sebagai buku elektronik sebagai karya sampah, siapa tahu kita sedang mencoba mempertahankan posisi elite kita, dan yang sedang kita hadapi adalah tak lain dari cikal bakal bacaan liar".
Konteks yang dibahas oleh Eka dalam versi lengkap kata pengantar tersebut adalah soal penggunaan bahasa (sesuai atau tidak sesuai EYD) dan media penerbitannya.
Dulu, banyak karya dikontrol oleh Balai Poestaka. Karya-karya dalam bahasa yang belepotan; bahasa Melayu, bahasa Indonesia campur bahasa Belanda, Jawa, dan Tiongkok tidak akan dicetak dan akan dianggap bacaan liar.
Di era yang agak lebih modern, bacaan yang dianggap layak adalah yang sesuai EYD. Tulisan yang isunya lebih dekat dan personal dengan ejaan yang digunakan di masa lalu tidak mendapatkan publikasi. Kesusastraaan lokal/daerah pun menjadi tenggelam (jika tidak mau menyebutnya punah).
Begitulah kiranya petikan tulisan dari Mas Budi Winawan yang saya baca. Apa yang menarik dari tulisan tersebut? Banyak, akan tetapi saya ingin fokus pada banyaknya penyair atau penulis yang hari ini berseliweran di jagad dunia maya, mulai facebook, twitter dan instagram.
Beberapa kawan dekat saya yang suka menulis pernah saya tanya pendapatnya mengenai fenomena penyair online, pertanyaan yang saya ajukan sederhana. Perihal seputar layak tidakkah tulisan tersebut dinamai sebagai karya sastra atau tidak.
Tentu jawabannya beragam. Mulai dari layak, karena semua jenis tulisan adalah karya sastra. Namun yang menarik adalah bagaimana caranya si penulis tersebut harus tetap produktif meski apa yang mereka tulis mendapat hujatan, bullying atau memiliki jumlah like dan share yang sedikit. Mengapa hal ini menjadi penting, observasi kawan saya ini (Meski tidak ilmiah, dan pastinya tidak dapat dipertanggung jawabkan juga), jumlah like dan share setiap postingan terkadang menjadi hambatan bagi penulis untuk terus berkarya. Selain itu, para penulis harus terus memperbanyak bacaannya, terutama dari buku. Mengapa harus banyak membaca? Karena tulisan adalah pesan, jika kita menulis terus menerus tanpa adannya bahan bacaan, alhasil dapat dipastikan tulisan kita tidak memiliki esensi. Kosong, asal bacot.
Jawaban yang menarik, batinku.
Saya sendiri pernah mengalami fase tersebut, saat saya tidak banyak membaca. Hal tersebut linier dengan kosongnya inspirasi dan perbendaharaan kata yang saya miliki. Kalau pun saya paksa menulis, yang ada waktu habis untuk delete kata atau kalimat karena memang bingung apa yang harus saya tulis. Dalam konteks ini, terjadi pada gaya tulisanku yang cenderung deep. Berbeda konteks jika catatan harian, kalau itu mah tinggal merekam atau mengingat apa saja aktifitas kita dalam sehari kemudian diambil benang merahnya saja. Meski tampak mudah, banyak kesulitan juga jikalau si penulis tidak banyak membaca.
Sudah mafhum kita dengar jikalau sebelum menulis kita harus menjadi pembaca, setelah tulisan jadi kita berubah peran menjadi pembaca karya kita sendiri, dan pada tahap akhir kita menjadi kritikus atas karya kita sendiri sebelum dikonsumsi publik.
Jadi, kesimpulannya harus banyak membaca.
Baca buku apa hari ini?
No comments:
Post a Comment