Terlalu Banyak
Membaca Itu Tidak Baik
Aneh tidak sih jika kita di tanya
seseorang sudah berapa banyak buku yang kita baca. Terlebih jika ada komparasi
berapa lama kita membagi waktu dalam membaca buku dan Al-Quran. Hal-hal semacam
ini sering saya dengar di bangku-bangku warung kopi girasan, sekat rak buku
perpustakaan, bazar buku dan group-group diskusi. Puncak dari pertanyaan itu
adalah apa yang kita sudah kita kerjakan dari banyaknya buku yang tandas kita
baca. Sebuah momok yang seolah sengaja dibenturkan untuk kalangan pembaca dan
tidak.
Pada buku pergolakan pemikiran
islam karangan Ahmad Wahib, beliau berpendapat jika terlalu banyak persentase
waktu untuk membaca itu tidak baik. Kita hanya sekedar akan menjadi reservoir
ilmu. Pemikiran otentik yang kita adakan maksimal hanya dalam kerangka
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan dalam suatu buku dan perbandingannya
dengan buku lainnya. Banyak membaca harus diimbangi dengan banyak merenung dan
banyak observasi langsung. Harus ada keseimbangan antara membaca, merenung dan
mengamati. Dengan demikianlah kita akan mampu membentuk pendapat sendiri dan
tidak sekedar mengikut pendapat orang atau memilih salah satu di antara pendapat
yang berbeda-beda.
Mbah Nun pernah berkata jika kita
harus selalu menjadi manusia yang terus menerus belajar dan sinau bareng. Kita tidak
tahu apa yang selama ini kita fahami dan dapatkan benar bagi diri dan kemanusiaan
atau malah menyesatkan. Sebagai manusia pembelajar tentu kita harus memiliki
sumber ilmu, itu bisa kita dapatkan dari mengikuti kajian kitab kuning para Kyai,
membaca Al Quran, membaca buku dll. Sebagai telaah dari hasil belajar secara
mandiri, sebaiknya kita memiliki sebuah kelompok diskusi, pengajian, seminar
dll yang hasilnya dapat membuat hasil belajar kita semakin kokoh sebagai
kebulatan sistim pemikiran.
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 23 April 2020
No comments:
Post a Comment