Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya
Apa sih tujuan seorang penulis menulis cerita? Kalau aku
jawabannya sederhana, bercerita. Tidak ada tujuan lain seperti mencerdaskan
kehidupan bangsa, memberi pesan-pesan yang baik, protes kepada pemerintah, atau
berceramah.
Dengan jawaban sederhana itu, bukan berarti bercerita adalah hal yang sederhana pula. Setidaknya, ada 3 hal utama dalam bercerita: pencerita, cerita, dan orang yang mendengarkan/membaca cerita. Ketika bercerita kepada seorang teman misalnya, tidak selalu teman kita itu mau mendengarkan. Bisa jadi karena cerita kita yang basi, membosankan, atau tidak menarik. Bisa jadi juga karena kita tidak pandai bercerita. Atau malah, bisa karena cerita itu tidak tepat bagi yang mendengarkan.
Salah satu “aturan” menulis yang ia langgar adalah
bahwasanya seorang penulis harus mengambil jarak dengan karakternya. Dea tidak
melakukan hal itu. Ia menyatu dengan karakternya. Ia adalah karakter itu
sendiri. Ia tidak butuh, dan tidak merasa perlu bercerita ke semua orang
(inilah hal yang sering ingin dilakukan banyak penulis, sehingga tanpa mereka
sadari, mereka menempatkan diri lebih tinggi dari pembaca). Ia memosisikan diri
sebagai pencerita yang bercerita kepada orang-orang yang berada di dekatnya.
Pada tahun 1971, kalangan wartawan pernah mengalami
kebuntuan saat mencari padanan “relax” dalam bahasa Indonesia. Ternyata kata
“santai” yang kita gunakan saat ini pertama kali dicetuskan oleh Bur Rasuanto,
penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu. Ia mengusulkan
“santai” untuk padanan “relax” yang diserap dari bahasa Komering di Sumatera
Selatan, kampung asal puaknya Bur.
Wawasan di atas hanya secuil
ihwal menarik yang di tulis oleh Mas Ridho Arbain, setelah menamatkan kumpulan
prosa nonfiksi dan reportase pertama yang dibukukan oleh Dea Anugrah, yang
lebih dulu dikenal sebagai penulis fiksi cerita pendek maupun kumpulan puisi.
Buku ini laiknya magnet, sebab
dapat dibaca selagi buang hajat paling masyuk atau dihabiskan dalam sekali
duduk. Pada bagian tertentu, pembaca bisa saja berhenti sejenak untuk sekadar
berkontemplasi.
Dalam satu judul, Dea ingin 'menceramahi' kita bahwa dunia yang ideal itu
hampir tidak ada. Ia mengatakan, “Dunia ideal, bagi saya kini, cuma selaput
tipis di kaki langit yang terus menjauh saban kita mendekatinya. Yang ada
hanyalah dunia ini beserta hidup yang bergulir terus, terus, di dalamnya."
Bagian favoritku tentu saja tulisan penutup yang dijadikan judul buku ini.
Sinyalir agar kita siap menerima segala bentuk predestinasi, entah puas atau
kecewa, karena memang hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.
Buku ini jauh berbeda dengan “Bakat
Menggonggong” Mas Dea yang best seller itu, ya namanya juga fiksi dan non
fiksi, kan. Ehehehe.
Membaca “Bakat Menggonggong”
karya Dea Anugrah, mendadak aku mengingat hal-hal di atas. Kumpulan cerpen ini
adalah antitesis dari panduan cara menulis cerita pada umumnya. Dea begitu
paham, ia adalah seorang pencerita. Hanya pencerita.
Seperti apa yang pernah Mas
Stebby Julionatan tulis tentang buku Mas Dea yang Bakat Menggonggong, kurang
lebih tanggapan belliau seperti ini:
Dea Anugrah pandai
menggonggong.
Ya, Jika kau wartawan,
cerpen-cerpen Dea Anugrah dalam Bakat Menggonggong seperti narasumbermu yang
meracau. Ketika ditanya, “Bagaimanakah kau menghentikan kesedihan Wanda, Rik?”,
sebagai balasannya, Rik, narasumbermu itu, akan terlebih dahulu berbicara
mengenai mengenai sejarah keluarganya yang berasal dari kekaisaran Utsmani di
Timur Tengah, lalu beralih tentang cuaca malam itu yang sangat gerah, tentang
gaun yang Wanda kenakan, rimpel warna biru yang Rik nilai menambah
kecantikannya. Tak sampai di sana, sebelum menjawab dengan tegas dan lurus
pertanyaanmu, kisah Rik masih menumpang pada bentuk sayap kupu-kupu aneh yang
ia jumpai pagi tadi, dan turut mengapung pada sepoi angin di sekitar kalian,
sebelum akhirnya mendarat halus pada kesimpulan yang membuatmu gemas: Rik tak
kunjung menjawab pertanyaanmu! Hahahahaha.
Intinya, jika kau penggemar cerita yang bermuatan pesan moral, segera tutup dan
lemparkanlah kumpulan cerpen ini ke tempat sampah. Sebab untuk mengetahui
maksudnya, apalagi muatan moralnya (itupun kalau ada), kau harus tetap fokus.
Jangan terpancing oleh sayap-sayap cerita yang dihadirkan oleh bocah kelahiran
Bangka, ini. Karena, kalau sedikit saja perhatiammu teralihkan, maka yang kau
dapati adalah kehampaan. Busa-busa obrolan yang tak kau tahu kapan selesainya.
Karena, seperti yang kusampaikan di awal tulisan, Dea begitu memukau. Selain
karena ketampanannya, ia pandai menggonggong.
Seperti cecabang, itu yang Dea
katakan. Untuk tahu di mana letak pokok pohonnya (inti ceritanya, pen.), kau
harus memangkas cecabangnya yang berserabut itu. Tapi sayang kan, nanti
pohonnya gundul. Ga bisa bikin teduh lagi. Sebab cerita sendiri, masih kata
Dea, tak semua haruslah linear. Ada teknik bercerita yang dibuat melingkar,
dibuat sporadis, menyebar dan melebar. Itulah Dea Anugrah.
Saranku, ketimbang kau menggundulinya, menikmati cerita-cerita Dea sebagaimana
awal aku menikmatinya (dengan cara menebang cecabang itu dan mencari maknanya),
kusarankan Anda menikmatinya dengan cara yang lain. Dengan cara yang kulakukan
setelah aku bertemu Dea dan mendapat pencerahan. Seperti jika kau selama ini
tak suka makan sayur, sesekali belajarlan makan sayur di samping menikmati
kriuknya kulit ayam yang gurih dan kaya lemak.
Ya, jujur, kesan awal ketika aku
membaca kumpulan cerpen ini (baca: Bakat Menggonggong) adalah:
Mem-bing-ung-kan. Jenis naskah yang tak mudah dan tak langsung saya sukai.
Seperti lagu dangdut. Saya membutuhkan bantuan orang lain untuk memahami ritme
dan nadanya. Memahami makna lagunya. Hingga akhirnya, saya terpukau.
Ikut-ikutan mengetukkan kaki, tangan, lalu mengeleng-gelengkan kepala dan
terakhir, sebagai bentuk puncak ekstase, badan saya pun bergetar, bergoyang,
mengikuti irama yang dihasilkan.
Kejangalan Pemuda E di hari itu
saat membuka tutup toples acar, penjual bensin bermata biru yang memakan
bangkai kakek buyutnya, nasib pengarang naif yang tak jua insaf ketika
dimanfaatkan oleh teman-temannya, dan kisah percintaan waria yang tempatknya
dikalahkan secara telak oleh perempuan buruk rupa, adalah ragam menu yang
ditawarkan Dea dalam buku berisi 14 cerpen ini.
Ini pengalaman baru. Dan... tidak semua orang, tak semua pembaca bakal terampil
menikmati pengalaman baru tersebut. Seperti catatan pembacaan yang sempat saya
tinggal di Goodreads:
“Tak semua cerita yang ada di buku ini saya paham. Ini ladang yang baru.
Semacam pertama kali kau berenang di tempat yang asing. Ada rasa was-was dan
sensasi untuk memasukinya, mencelupkan dirimu ke airnya yang dingin. Cara Dea
bercerita pun seperti misi GPIB: Meracau. Sari utara, timur, barat, selatan,
tak ada maksudnya. Intinya sih, kau duduk makan bersama, untuk mendengarkan
cerita-ceritanya yang dibuat Dea.”
Hahahaha. Tapi, kalau
pertanyaannya akhirnya kau ubah menjadi: Apa yang kau harapkan dari membaca
buku ini? Apa yang bisa kau pelajari dari peraih nominator KLA 2015 dan 2016
ini? Atau lebih jauh: Apa yang kau harapkan dengan mendatangkan Dea Anugrah ke
acara Berkomunlis di Probolinggo? Tak seperti Borges (dimana Anda akan ditanya
kembali dengan apakah gunanya burung berkicau), saya akan menjawabnya dengan:
Membentuk pengalaman membaca yang baru. Ya, menikmati cita rasa karsa dan aroma
aksara yang belum pernah kau cicip, yang berbeda dengan yang selama ini kau
nikmati. Syukur-syukur bisa belajar darinya, belajar dari yang tak tertulis,
yang tak dinampakkan pada karya-karyanya.
Ya, Sejak kedatangan Royyan
(Royyan Julian, pen.) pada Berkomunlis #1, cara menulis resensi saya berubah.
Kalau sebelumnya saya dingin, hanya menilai kualitas karya hanya dari karya itu
sendiri (meniadakan bayang-bayang penulisnya) ala Roland Barthes, kali ini saya
memandang karya secara utuh. Ia (baca: karya) begitu kompleks. Dia seperti
pucuk gunung es yang menyembul di permukaan lautan. Ia hanya sekelumit (sari)
pengetahuan, pengalaman dan empati penulisnya.
“Perlunya mempelajari teks berdsarkan konteks agar bisa mempelajari sejarah
dengan sudut pandang yang lebih luas,” itu yang diungkapkan senior Maman S.
Mahayana dalam bukunya Pengarang Tidak Mati. Maka, perlunya pula mempelajari
Dea secara konteks agar tidak terjebak pada pikiran yang sempit, yang terburu
membuang buku ini ke tempat sampah.
Saya ingat, dalam salah satu sesi
tanya jawab di radio, sempat saya melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus
pada Dea Anugrah: “Dea, apa yang kamu tulis dalam bakat menggonggong dianggap
sesuatu yang baru, pembaruan dalam dunia sastra. Apakah ini benar-benar genre
yang baru? Kalau memang ia, kau sebut apa genre cerita yang seperti itu?”
Dengan sopan Dea menggeleng, lalu
menjelaskannya. “Sebenarnya tidak. Hanya kitalah yang mungkin kurang mengenal,
membaca dan mengetahui karya-karya jenis ini. Jujur, saya banyak terinspirasi
dari cerita-cerita yang saya baca. Kisah-kisah angkatan baru dari Amerika Latin
misalnya. Dan saya menulis cerita yang saya suka untuk membacanya.”
Di situ, bisakah kau tangkap
keteguhannya? Kepercayadiriannya? Darinya saya belajar bahwa untuk menjadi
seorang penulis, kau harus percaya pada cerita-ceritamu. Termasuk, kata Dea,
percaya pada pembaca-pembacamu.
Poin ketiga, dan saya harapkan ini yang terakhir (sebab saya ingin Anda pun
bisa menilainya sendiri), Kepercayadiriannya ini mengantarkan simpulan saya
pada keteguhan Dea dalam mendobrak monopoli penerbitan dan angkatan sastra.
Lihatlah kedua buku yang telah diterbitkannnya –Bakat Menggonggong dan Misa
Arwah, mungkin saja diterbitkan oleh salah satu penerbit besar yang memonopoli
pendistribusian dan penjualan buku di tanah air, namun Dea tetap memilih untuk
menjadi penulis yang rendah hati. Ditangani dan diterbitkan sendiri oleh
teman-temannya, sahabat-sahabatnya.
No comments:
Post a Comment