Tuesday, October 13, 2020

Resensi Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya

Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya 

 

Apa sih tujuan seorang penulis menulis cerita? Kalau aku jawabannya sederhana, bercerita. Tidak ada tujuan lain seperti mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi pesan-pesan yang baik, protes kepada pemerintah, atau berceramah.



Dengan jawaban sederhana itu, bukan berarti bercerita adalah hal yang sederhana pula. Setidaknya, ada 3 hal utama dalam bercerita: pencerita, cerita, dan orang yang mendengarkan/membaca cerita. Ketika bercerita kepada seorang teman misalnya, tidak selalu teman kita itu mau mendengarkan. Bisa jadi karena cerita kita yang basi, membosankan, atau tidak menarik. Bisa jadi juga karena kita tidak pandai bercerita. Atau malah, bisa karena cerita itu tidak tepat bagi yang mendengarkan.


Salah satu “aturan” menulis yang ia langgar adalah bahwasanya seorang penulis harus mengambil jarak dengan karakternya. Dea tidak melakukan hal itu. Ia menyatu dengan karakternya. Ia adalah karakter itu sendiri. Ia tidak butuh, dan tidak merasa perlu bercerita ke semua orang (inilah hal yang sering ingin dilakukan banyak penulis, sehingga tanpa mereka sadari, mereka menempatkan diri lebih tinggi dari pembaca). Ia memosisikan diri sebagai pencerita yang bercerita kepada orang-orang yang berada di dekatnya.


Pada tahun 1971, kalangan wartawan pernah mengalami kebuntuan saat mencari padanan “relax” dalam bahasa Indonesia. Ternyata kata “santai” yang kita gunakan saat ini pertama kali dicetuskan oleh Bur Rasuanto, penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu. Ia mengusulkan “santai” untuk padanan “relax” yang diserap dari bahasa Komering di Sumatera Selatan, kampung asal puaknya Bur.


Wawasan di atas hanya secuil ihwal menarik yang di tulis oleh Mas Ridho Arbain, setelah menamatkan kumpulan prosa nonfiksi dan reportase pertama yang dibukukan oleh Dea Anugrah, yang lebih dulu dikenal sebagai penulis fiksi cerita pendek maupun kumpulan puisi.


Buku ini laiknya magnet, sebab dapat dibaca selagi buang hajat paling masyuk atau dihabiskan dalam sekali duduk. Pada bagian tertentu, pembaca bisa saja berhenti sejenak untuk sekadar berkontemplasi.


Dalam satu judul, Dea ingin 'menceramahi' kita bahwa dunia yang ideal itu hampir tidak ada. Ia mengatakan, “Dunia ideal, bagi saya kini, cuma selaput tipis di kaki langit yang terus menjauh saban kita mendekatinya. Yang ada hanyalah dunia ini beserta hidup yang bergulir terus, terus, di dalamnya."


Bagian favoritku tentu saja tulisan penutup yang dijadikan judul buku ini. Sinyalir agar kita siap menerima segala bentuk predestinasi, entah puas atau kecewa, karena memang hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.


Buku ini jauh berbeda dengan “Bakat Menggonggong” Mas Dea yang best seller itu, ya namanya juga fiksi dan non fiksi, kan. Ehehehe.


Membaca “Bakat Menggonggong” karya Dea Anugrah, mendadak aku mengingat hal-hal di atas. Kumpulan cerpen ini adalah antitesis dari panduan cara menulis cerita pada umumnya. Dea begitu paham, ia adalah seorang pencerita. Hanya pencerita.


Seperti apa yang pernah Mas Stebby Julionatan tulis tentang buku Mas Dea yang Bakat Menggonggong, kurang lebih tanggapan belliau seperti ini:


Dea Anugrah pandai menggonggong.

Ya, Jika kau wartawan, cerpen-cerpen Dea Anugrah dalam Bakat Menggonggong seperti narasumbermu yang meracau. Ketika ditanya, “Bagaimanakah kau menghentikan kesedihan Wanda, Rik?”, sebagai balasannya, Rik, narasumbermu itu, akan terlebih dahulu berbicara mengenai mengenai sejarah keluarganya yang berasal dari kekaisaran Utsmani di Timur Tengah, lalu beralih tentang cuaca malam itu yang sangat gerah, tentang gaun yang Wanda kenakan, rimpel warna biru yang Rik nilai menambah kecantikannya. Tak sampai di sana, sebelum menjawab dengan tegas dan lurus pertanyaanmu, kisah Rik masih menumpang pada bentuk sayap kupu-kupu aneh yang ia jumpai pagi tadi, dan turut mengapung pada sepoi angin di sekitar kalian, sebelum akhirnya mendarat halus pada kesimpulan yang membuatmu gemas: Rik tak kunjung menjawab pertanyaanmu! Hahahahaha.


Intinya, jika kau penggemar cerita yang bermuatan pesan moral, segera tutup dan lemparkanlah kumpulan cerpen ini ke tempat sampah. Sebab untuk mengetahui maksudnya, apalagi muatan moralnya (itupun kalau ada), kau harus tetap fokus. Jangan terpancing oleh sayap-sayap cerita yang dihadirkan oleh bocah kelahiran Bangka, ini. Karena, kalau sedikit saja perhatiammu teralihkan, maka yang kau dapati adalah kehampaan. Busa-busa obrolan yang tak kau tahu kapan selesainya. Karena, seperti yang kusampaikan di awal tulisan, Dea begitu memukau. Selain karena ketampanannya, ia pandai menggonggong.


Seperti cecabang, itu yang Dea katakan. Untuk tahu di mana letak pokok pohonnya (inti ceritanya, pen.), kau harus memangkas cecabangnya yang berserabut itu. Tapi sayang kan, nanti pohonnya gundul. Ga bisa bikin teduh lagi. Sebab cerita sendiri, masih kata Dea, tak semua haruslah linear. Ada teknik bercerita yang dibuat melingkar, dibuat sporadis, menyebar dan melebar. Itulah Dea Anugrah.


Saranku, ketimbang kau menggundulinya, menikmati cerita-cerita Dea sebagaimana awal aku menikmatinya (dengan cara menebang cecabang itu dan mencari maknanya), kusarankan Anda menikmatinya dengan cara yang lain. Dengan cara yang kulakukan setelah aku bertemu Dea dan mendapat pencerahan. Seperti jika kau selama ini tak suka makan sayur, sesekali belajarlan makan sayur di samping menikmati kriuknya kulit ayam yang gurih dan kaya lemak.


Ya, jujur, kesan awal ketika aku membaca kumpulan cerpen ini (baca: Bakat Menggonggong) adalah: Mem-bing-ung-kan. Jenis naskah yang tak mudah dan tak langsung saya sukai. Seperti lagu dangdut. Saya membutuhkan bantuan orang lain untuk memahami ritme dan nadanya. Memahami makna lagunya. Hingga akhirnya, saya terpukau. Ikut-ikutan mengetukkan kaki, tangan, lalu mengeleng-gelengkan kepala dan terakhir, sebagai bentuk puncak ekstase, badan saya pun bergetar, bergoyang, mengikuti irama yang dihasilkan.


Kejangalan Pemuda E di hari itu saat membuka tutup toples acar, penjual bensin bermata biru yang memakan bangkai kakek buyutnya, nasib pengarang naif yang tak jua insaf ketika dimanfaatkan oleh teman-temannya, dan kisah percintaan waria yang tempatknya dikalahkan secara telak oleh perempuan buruk rupa, adalah ragam menu yang ditawarkan Dea dalam buku berisi 14 cerpen ini.


Ini pengalaman baru. Dan... tidak semua orang, tak semua pembaca bakal terampil menikmati pengalaman baru tersebut. Seperti catatan pembacaan yang sempat saya tinggal di Goodreads:


“Tak semua cerita yang ada di buku ini saya paham. Ini ladang yang baru. Semacam pertama kali kau berenang di tempat yang asing. Ada rasa was-was dan sensasi untuk memasukinya, mencelupkan dirimu ke airnya yang dingin. Cara Dea bercerita pun seperti misi GPIB: Meracau. Sari utara, timur, barat, selatan, tak ada maksudnya. Intinya sih, kau duduk makan bersama, untuk mendengarkan cerita-ceritanya yang dibuat Dea.”


Hahahaha. Tapi, kalau pertanyaannya akhirnya kau ubah menjadi: Apa yang kau harapkan dari membaca buku ini? Apa yang bisa kau pelajari dari peraih nominator KLA 2015 dan 2016 ini? Atau lebih jauh: Apa yang kau harapkan dengan mendatangkan Dea Anugrah ke acara Berkomunlis di Probolinggo? Tak seperti Borges (dimana Anda akan ditanya kembali dengan apakah gunanya burung berkicau), saya akan menjawabnya dengan: Membentuk pengalaman membaca yang baru. Ya, menikmati cita rasa karsa dan aroma aksara yang belum pernah kau cicip, yang berbeda dengan yang selama ini kau nikmati. Syukur-syukur bisa belajar darinya, belajar dari yang tak tertulis, yang tak dinampakkan pada karya-karyanya.


Ya, Sejak kedatangan Royyan (Royyan Julian, pen.) pada Berkomunlis #1, cara menulis resensi saya berubah. Kalau sebelumnya saya dingin, hanya menilai kualitas karya hanya dari karya itu sendiri (meniadakan bayang-bayang penulisnya) ala Roland Barthes, kali ini saya memandang karya secara utuh. Ia (baca: karya) begitu kompleks. Dia seperti pucuk gunung es yang menyembul di permukaan lautan. Ia hanya sekelumit (sari) pengetahuan, pengalaman dan empati penulisnya.


“Perlunya mempelajari teks berdsarkan konteks agar bisa mempelajari sejarah dengan sudut pandang yang lebih luas,” itu yang diungkapkan senior Maman S. Mahayana dalam bukunya Pengarang Tidak Mati. Maka, perlunya pula mempelajari Dea secara konteks agar tidak terjebak pada pikiran yang sempit, yang terburu membuang buku ini ke tempat sampah.


Saya ingat, dalam salah satu sesi tanya jawab di radio, sempat saya melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus pada Dea Anugrah: “Dea, apa yang kamu tulis dalam bakat menggonggong dianggap sesuatu yang baru, pembaruan dalam dunia sastra. Apakah ini benar-benar genre yang baru? Kalau memang ia, kau sebut apa genre cerita yang seperti itu?”


Dengan sopan Dea menggeleng, lalu menjelaskannya. “Sebenarnya tidak. Hanya kitalah yang mungkin kurang mengenal, membaca dan mengetahui karya-karya jenis ini. Jujur, saya banyak terinspirasi dari cerita-cerita yang saya baca. Kisah-kisah angkatan baru dari Amerika Latin misalnya. Dan saya menulis cerita yang saya suka untuk membacanya.”


Di situ, bisakah kau tangkap keteguhannya? Kepercayadiriannya? Darinya saya belajar bahwa untuk menjadi seorang penulis, kau harus percaya pada cerita-ceritamu. Termasuk, kata Dea, percaya pada pembaca-pembacamu.


Poin ketiga, dan saya harapkan ini yang terakhir (sebab saya ingin Anda pun bisa menilainya sendiri), Kepercayadiriannya ini mengantarkan simpulan saya pada keteguhan Dea dalam mendobrak monopoli penerbitan dan angkatan sastra. Lihatlah kedua buku yang telah diterbitkannnya –Bakat Menggonggong dan Misa Arwah, mungkin saja diterbitkan oleh salah satu penerbit besar yang memonopoli pendistribusian dan penjualan buku di tanah air, namun Dea tetap memilih untuk menjadi penulis yang rendah hati. Ditangani dan diterbitkan sendiri oleh teman-temannya, sahabat-sahabatnya.



No comments:

Post a Comment